Faedah Seputar Suara Wanita


Suara Wanita Bukan Aurat
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apakah suara wanita itu aurat ?”. Beliau menjawab :
صوتُها ليس بعورة.
وقد كان النساء يسألن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم-، ويسألنَ الصحابة، ولم ينكر عليهن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم – ذلك.
وإنما العورة: هو خضوعها بالقول وتغنجها، لقوله -سبحانه يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ.
فالمشروع لها: أن يكون صوتها وسطاً، لا خضوع فيه، ولا فحش فيه؛ ولهذا قال : وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا.
فهكذا ينبغي للمرأة أن تكون متوسطة في كلامها، لا مفحشة في القول ولا خاضعة فيطمع الذي في قلبه مرض
“Suara wanita bukanlah aurat. Dulu para wanita biasa bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan mereka tersebut. Aurat itu hanyalah jika mereka menundukkan dan mendayu-dayukan suara. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya’ (QS. Al-Ahzaab : 32). Dan yang disyari’atkan bagi wanita adalah agar suaranya itu pertengahan saja. Tidak menundukkan, tidak pula mengeraskannya. Oleh karena itu Allah berfirman : ‘dan ucapkanlah perkataan yang baik’ (QS. Al-Ahzaab ; 32). Maka demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh wanita agar pertengahan dalam perkataannya. Tidak mengeraskannya, tidak pula menundukkannya, sehingga dapat membangkitkan syahwat orang yang dalam hatinya ada penyakit” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/10929].

Laki-Laki Diperbolehkan Mendengarkan Suara Wanita dalam Pelajaran
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum mendengarkan suara wanita yang terekam dalam kaset dengan maksud untuk belajar bahasa Inggris. Beliau menjawab :
نعم يجوز ذلك إذا كان المقصود الفائدة والعلم، ليس المقصود التَّلذُّذ بِصوتِها؛ وإنما أراد بذلك معرفة هذه اللُّغة التي حصل له من طريق التسجيل. بارك الله فيكم
“Ya, diperbolehkan hal itu apabila dimaksudkan untuk mengambil faedah dan ilmu. Bukan dimaksudkan pada perbuatan tersebut untuk bernikmat-nikmat dengan suaranya. Yang diinginkan dengannya hanyalah untuk mengetahui pelajaran bahasa yang dihasilkan dari jalan rekaman. Semoga Allah memberikan barakan kepada engkau” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/10610].
Pelajaran yang dibuka para wanita dalam majelis-majelis ilmu mereka sudah ada semenjak dulu. Misalnya, Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan tentang biografi Zainab bintu ‘Umar Ad-Dimasyqiy rahimahallah berkata :
قرأ عليها ابن سامة "صحيح مسلم" ، وقرأت علينا من أول "الصحيح" ألى أول النكاح ، وسمعت ما بقي على ابن عساكر . وسمعت منها عدة أجزاء رحمها الله
“Ibnu Saamah membacakan kepadanya (Zainab) Shahiih Muslim, dan ia (Zainab) membacakan kepada kami (Adz-Dzahabiy) awal kitab Ash-Shahih (Muslim) sampai pada awal kitab An-Nikaah (dalam Shahih Muslim). Dan aku mendengar apa yang tersisa (bahasan setelah awal kitab An-Nikaah dalam Shahih Muslim) dari Ibnu ‘Asaakir. Aku mendengar darinya (Zainab) beberapa juz – semoga Allah memberikan rahmat kepadanya” [Taariikhul-Islaam, 52/406-407].
Ibnul-Mulaqqin rahimahullah berkata :
وقد كانوا يسمعون من عائشة رضي الله عنها وغيرها من أمهات المؤمنين من وراء حجاب، ويروونه عنهن اعتمادا على الصوت
“Dan mereka (para shahabat dan tabi’iin) biasa mendengar dari ‘Aiisyah radliyallaahu ‘anhaa dan yang lainnya dari kalangan Ummahaatul-Mukminiin dari balik hijab. Dan mereka meriwayatkan darinya berdasarkan suara (yang terucap dari balik hijab tersebut)” [Al-Muqni’ fii ‘Uluumil-Hadiits, 1/313].
Wanita Diperbolehkan Mengucapkan Salam kepada Laki-Laki Ajnabiy.
حَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئِ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ، تَقُولُ: ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ، قَالَتْ: فَسَلَّمْتُ، فَقَالَ: " مَنْ هَذِهِ؟ " قُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ، فَقَالَ: " مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muusaa Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepada kami ma’n : Telah menceritakan kepada kami Maalik, dari Abun-Nadlr : Bahwasannya Abu Murrah maulaa Ummu Haani’ bintu Abi Thaalib telah mengkhabarkannya, bahwasannya ia mendengar Ummu Haani’ berkata : Aku pernah pergi untuk menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukkan Makkah (‘aamul-Fath). Aku dapati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam waktu itu sedang mandi dan Faathimah menutupinya dengan kain. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah ini ?”. Aku berkata : “Aku Ummu Haani’”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Selamat datang bagi Ummu Haani’” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2734, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
حدثنا موسى قال حدثنا مبارك قال سمعت الحسن يقول كن النساء يسلمن على الرجال
Telah menceritakan kepada kami Muusaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mubaarak, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan Al-Bashriy) berkata : “Dulu para wanita biasa mengucapkan salam kepada laki-laki” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1046; dihasankan sanadnya oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 398].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال ابن بطال عن المهلب سلام الرجال على النساء والنساء على الرجال جائز إذا أمنت الفتنة
“Ibnu Baththaal berkata dari Al-Muhallab : Pengucapan salam laki-laki kepada wanita dan wanita kepada laki-laki adalah boleh apabila aman dari fitnah” [Fathul-Baariy, 11/34].
Seandainya mengucapkan salam secara langsung kepada laki-laki ajnabiy diperbolehkan, maka qiyas aula-nya, menitipkan salam lebih diperbolehkan lagi – selama tidak menimbulkan fitnah.[1]
Catatan :
Ada riwayat dari Waatsilah bin Al-Asqaa’, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يُسَلِّمُ الرِّجَالُ عَلَى النِّسَاءِ، وَلا يُسَلِّمُ النِّسَاءُ عَلَى الرِّجَالِ
“Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita, namun wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki”.
Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 123 no. 244, Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathil no. 670, dan Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin 1/370. Riwayat ini sangat lemah, karena dalam sanadnya terdapat Bisyr bin ‘Aun Al-Quraasyiy dan Bakkaar bin Tamiim. Ibnu Hajar mengatakan sanad riwayat ini waahin [Fathul-Baariy, 11/34]. Al-Jurqaaniy mengatakan riwayat ini munkar yang menyerupai baathil. Dinyatakan palsu oleh Al-Albaaniy dalam Adl-Dla’iifah no. 5435.
Laki-Laki Diperbolehkan Mendengarkan Nyanyian Anak-Anak Wanita Saat Pernikahan
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، فِي عُرْسٍ وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ، فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ؟ فَقَالَ: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ، فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ، قَدْ " رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syariik, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d, ia berkata : Aku masuk menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshary radliyallaahu ’anhumaa dalam satu pernikahan yang di situ terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi. Maka aku berkata : ”Kalian berdua adalah shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan di sisi kalian ?”. Maka salah seorang dari mereka menjawab : ”Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami mendengarkan hiburan saat pernikahan” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3383; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 2/461].
Di lain riwayat disebutkan bahwa anak-anak wanita tadi bernyanyi sambil memukul duff.
Semerdu-Merdu Suara Wanita
حَدَّثَنَا أَبُو رِفَاعَةَ عُمَارَةُ بْنُ وَثِيمَةَ بْنِ مُوسَى بْنِ الْفُرَاتِ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَزْوَاجَ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَيُغَنِّينَ أَزْوَاجَهُنَّ بِأَحْسَنِ أَصْوَاتٍ سَمِعَهَا أَحَدٌ قَطُّ إِنَّ مِمَّا يُغَنِّينَ: نَحْنُ الْخَيِّرَاتُ الْحِسَانُ أَزْوَاجُ قَوْمٍ كِرَامٍ يَنْظُرْنَ بِقُرَّةِ أَعْيَانٍ، وَإِنَّ مِمَّا يُغَنِّينَ بِهِ: نَحْنُ الْخَالِدَاتُ فَلا يُمِتْنَهْ، نَحْنُ الآمِنَاتُ فَلا يَخَفْنَهْ، نَحْنُ الْمُقِيمَاتُ فَلا يَظْعَنَّ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Rifaa’ah ‘Umaarah bin Watsiimah bin Muusaa bin Al-Furaat Al-Mishriy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam : Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Aslam, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam : “Sesungguhnya istri-istri penduduk surga mendendangkan untuk para suami mereka dengan suara yang sangat indah/merdu yang tidak pernah didengar seorangpun (di dunia). Di antara yang mereka dendangkan adalah :
‘Kami adalah para wanita yang cantik jelita,
istri orang-orang yang mulia,
Kami melihat dengan mata yang indah’
Dan juga diantara yang mereka dendangkan :
‘Kami adalah para wanita yang kekal dan tidak akan mati,
kami adalah wanita yang aman tanpa ada takut
Kami adalah para wanita yang menetap dan tidak akan pindah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shagiir no. 259; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no. 1561].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: فَهُمْ فِي رَوْضَةٍ يُحْبَرُونَ، قَالَ السَّمَّاعُ: وَمَعْنَى السَّمَّاعِ: مثل ما ورد في الحديث " أَنَّ الْحُورَ الْعِينَ يُرَفِّعْنَ بِأَصْوَاتِهِنَّ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, dari Al-Auzaa’iy, dari Yahyaa bin Abi Katsiir tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka di dalam taman (surga) bergembira’ (QS. Ar-Ruum : 15), ia berkata : “As-sammaa’ (nyanyian). Dan makna as-sammaa’ (nyanyian) adalah semisal yang terdapat dalam hadits bahwa para bidadari mengeraskan suara-suara mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2507; shahih].
Mengapa Wanita Tidak Bertasbih Saat Imam Salah Ketika Shalat?
أنا أَبُو الْحَسَنِ، أنا أَبُو مُحَمَّدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبِي، ثنا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يُفَسِّرُ حَدِيثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ "، قَالَ: لأَنَّ صَوْتَ الْمَرْأَةِ يَفْتِنُ فِي غَيْرِ صَلاةٍ، فَكَرِهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَكُونَ فِي الصَّلاةِ تَفْتِنُ النَّاسَ بِصَوْتِهَا
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy menafsirkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘tasbih adalah untuk laki-laki dan tepuk-tangan adalah untuk wanita’; ia berkata : “Hal itu dikarenakan suara wanita dapat menimbulkan fitnah di luar aktifitas shalat, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci hal tersebut ada dalam shalat, yang akan membuat manusia terfitnah dengan suaranya” [Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu, 1/105].
Ibnul-‘Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut berkata :
يعني كلامهن عورة فلا يظهرنه
“Yaitu (karena) perkataan mereka adalah ‘aurat[2], maka tidak boleh dinampakkan” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 1/164].
Wanita Tidak Mengeraskan Suaranya Ketika Bertalbiyyah
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
قال ابن عبد البر : أجمع العلماء على أن السنة في المرأة أن لا ترفع صوتها ، وإنما عليها أن تسمع نفسها . وبهذا قال عطاء ، ومالك ، والأوزاعي ، والشافعي ، وأصحاب الرأي
“Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa yang disunnah bagi wanita adalah tidak mengeraskan suaranya (ketika bertalbiyyah). Cukup baginya untuk bersuara yang dapat didengar oleh dirinya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh ‘Athaa’, Maalik, Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, dan ashhaabur-ra’yi” [Al-Mughniy, 3/317].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata :
السُّنَّةُ : أَنْ لَا تَرْفَعَ صَوْتَهَا ، حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ إجْمَاعًا
“Yang sunnah adalah wanita tidak mengeraskan suaranya (ketika bertalbiyyah). Dihikayatkan adanya ijma’[3] oleh Ibnul-Mundzir (akan permasalahan ini)” [Al-Inshaaf, 6/176].
نا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ الْبُهْلُولِ، نا مُؤَمَّلُ بْنُ إِهَابٍ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ. ح وَثنا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، نا سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " لا تَصْعَدُ الْمَرْأَةُ فَوْقَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلا تَرْفَعُ صَوْتَهَا بِالتَّلْبِيَةِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaaq Al-Buhluul : Telah mengkhabarkan kepada kami Muammal bin Ihaab : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud Al-Hafariy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud Al-Hafariy : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Wanita tidak boleh naik di atas Shafaa dan Marwah, dan tidak boleh mengeraskan suaranya saat bertalbiyyah” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 2767; shahih].
Segala Sesuatu Kecuali Perkataannya
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عُيَيْنَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَوْشَنٍ عَنْ مَرْوَانَ الْأَصْفَرِ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ إِذَا كَانَتْ حَائِضًا قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ الْجِمَاعِ قَالَ قَلْتُ فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْهَا إِذَا كَانَا مُحْرِمَيْنِ قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ كَلَامِهَا
Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haruun : Telah menceritakan kepada kami ‘Uyainah bin ‘Abdirrahmaan bin Jausyan, dari Marwaan Al-Ashfar, dari masruuq, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah : “Apa yang dihalalkan bagi laki-laki dari istrinya yang sedang haidl ?”. Ia menjawab : “Segala sesuatu kecuali jima’ (hubungan seks)”. Aku bertanya kembali : “Apa yang diharamkan laki-laki terhadap istrinya apabila keduanya sedang melaksanakan ihram ?”. Ia menjawab : “Segala sesuatu kecuali (mendengarkan) perkataannya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1079; shahih].
Teriakan Wanita
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْكِنْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا، فَصَاحَتْ، فَانْطَلَقَ، وَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، وَمَرَّتْ بِعِصَابَةٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، فَانْطَلَقُوا، فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا وَأَتَوْهَا، فَقَالَتْ: نَعَمْ هُوَ هَذَا، فَأَتَوْا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ لِيُرْجَمَ، قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، فَقَالَ لَهَا: اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا، وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا: ارْجُمُوهُ، وَقَالَ: لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin yahyaa An-Naisaabuuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf, dari Israaiil : Telah menceritakan kepada kami Simaak bin Harb, dari ‘Alqamah bin Waail Al-Kindiy, dari ayahnya : Ada seorang wanita di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang keluar rumah hendak melakukan shalat. Lalu ia berjumpa dengan seorang laki-laki, yang kemudian ia (laki-laki) memperkosanya. Setelah selesai memperkosanya, wanita itu berteriak-teriak. Laki-laki tadi pun kabur. Lalu ada seseorang yang melewatinya. Wanita itu berkata kepadanya : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki melakukan begini dan begitu kepadaku”. Lalu lewat pula sekelompok orang dari kaum Muhaajiriin, dan wanita itu berkata kepada mereka : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang melakukan begini dan begitu kepadaku”. Mereka pun pergi, yang kemudian menangkap seorang laki-laki yang diduga memperkosa si wanita tadi, lalu mereka pun membawa laki-laki tersebut kepadanya (si wanita). Wanita itu berkata : “Benar, dialah orangnya”. Mereka pun membawa laki-laki itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar laki-laki itu dirajam, maka berdirilah seorang laki-laki yang sebenarnya memperkosa si wanita. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah orangnya (yang memperkosa wanita itu)”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada si wanita : “Pergilah, Allah telah mengampunimu (karena salah tuduh)”. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada laki-laki pertama yang dituduh tadi dengan perkataan yang baik. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada laki-laki yang memperkosa : “Rajamlah ia”. Beliau kemudian bersabda : “Sungguh, ia telah bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penduduk Madiinah bertaubat dengannya, niscaya akan diterima (oleh Allah)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1454, dan ia berkata : “Hadits ini hasan ghariib shahih”. Dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 2/567-569 no. 900].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء على ان [ على ] المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه بما يوجب الحد او اقر بذلك فان لم يكن فعليه العقوبة ولا عقوبة عليها اذا صح انه استكرهها وغلبها على نفسها وذلك يعلم بصراخها واستغاثتها وصياحها
“Para ulama telah bersepakat diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila terdapat bukti yang mewajibkan baginya hadd atau si pelaku mengakui perbuatannya. Jika tidak memenuhi dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan – Abul-Jauzaa’), maka baginya hukuman (ta’zir). Tidak ada hukuman baginya (si wanita) apabila terbukti tidak menginginkannya dan dipaksa. Hal itu diketahui dengan suaranya, permintaan tolongnya, dan teriakannya” [Al-Istidzkaar, 7/146].
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, diy – 10052012].


[1]      An-Nawawiy rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits Jibriil yang menitipkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
وفيه بعث الأجنبي السلام إلى الأجنبية الصالحة إذا لم يخف ترتب مفسدة
“Dalam hadits itu terdapat dalil kebolehan seorang laki-laki ajnabiy mengirimkan salam kepada wanita ajnabiyyah yang shaalihah, apabila tidak khawatir menimbulkan mafsadah” [Syarh Shahiih Muslim, 15/211 – atau bisa dibaca di sini].
[2]      Permasalahan ini (yaitu : apakah suara wanita adalah ‘aurat) merupakan permasalahan yang dikhilafkan para ulama [lihat kitab : Shautun-Nisaa’ oleh Dr. Yuusuf bin ‘Abdillah Al-Ahmad, taqdim : Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan].
[3]      Klaim ijmaa’ ini perlu ditinjau kembali, karena ada riwayat dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia mengeraskan suara ketika talbiyah. Wallaahu a’lam.

Comments

Anonim mengatakan...

ustadz,
bagaimana dengan hukum demonstrasi wanita yang turun ke jalan untuk sesuatu yang mereka namakan aksi damai? apakah ada dalil yang mensyariatkan hal ini, dan atau sebaliknya, adakah dalil yang melarangnya (selain dalil tasyabbuh dan bid'ah)? jazaakallaahu khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak ada dalil yang mensyari'atkannya.

Tidak diperbolehkan. Keluarnya wanita dari rumah untuk demonstrasi hanya merupakan fitnah. Fitnah bagi dirinya dan juga agamanya. Perbuatan mereka haram dalam beberapa segi. Tasyabbuh dengan orang kafir, ikhtilath, dan menimbulkan firnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

"Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar (rumah), maka syaithaan akan memperindahnya (sehingga pandangan laki-laki akan tertuju padanya)".

Allah ta'ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu" [QS. Al-Ahzaab : 33].

Perbuatan demo itu mengganggu jalan dan pengguna jalan, padahal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ، بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

"Keimanan itu ada tujuh puluh sekian cabang atau keimanan itu ada enam puluh sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu itu adalah cabang dari keimanan".

Dan yang lainnya dari sebab pelarangan demosntrasi.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Saya copaskan dari blog HT tentang ini ustadz

Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:

Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut.[3]

Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.

Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau protes. Dalam hal ini, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).

Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak.[4]

Tindakan muhâsabah semacam ini juga telah dilakukan oleh para sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid.

----

[3] Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.

[4] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99.

[5] Al-Ya’qubi, Târîkh al-Ya’qûbi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hijrah ke Habasyah = dalil kebolehan long march bagi wanita dengan laki-laki ajnabiy bersama-sama ?.

Riwayat wanita yang memprotes 'Umar itu lemah.

Tentang kisah Asmaa', saya belum paham riwayat mana yang dimaksudkan.

Anyway,.... Hizbut-Tahriir memang dikenal comot dalil dan comot sumber semaunya. Itu Taariikh Al-Ya'quubiy saja dijadikan referensi, padahal sudah ma'ruf kitab itu adalah kitabnya orang Syi'ah.

Anonim mengatakan...

Syubhat pertama: Kisah Ummu Habibah dan shahabiyah lainnya berhijrah ke Habasyah

Pengambilan kisah ini sebagai dalil, adalah terlalu mengada-ada dan memaksakan. Seperti biasa, kebiasaan mereka mengamalkan sesuatu baru mencari dalil atas amalan mereka, bukan beramal setelah tahu bahwa ada dalil yang mensyariatkan itu. Kisah hijrahnya shahabiyah ke Habasyah dengan berjalan kaki, adalah kisah yang ma'ruf dan memang benar ada, karena tekanan di Mekkah yang tidak dapat mereka tahan lagi.. Yang hendak kami tanyakan,

1. Kalau mereka tidak berjalan kaki bersama-sama dan bershaf-shaf, lantas mau bagaimana lagi caranya hijrah? Naik pesawat? Jangan berpikir seolah-olah mereka bisa hijrah dengan cara lain selain berjalan bersama-sama sehingga bisa seenaknya dikatakan: shahabiyah melakukan long march, maka kami mengikuti mereka!
Apakah kalian hendak menyamakan antara yang mereka lakukan (hijrah) dengan yang kalian lakukan (demonstrasi), hanya karena kalian sama-sama berjalan kaki berbarengan?

2. Tujuan mereka berhijrah adalah tujuan yang dibenarkan syariat. Alangkah jauhnya menyamakan hukum berhijrah dengan demonstrasi yang kalian lakukan. Sehingga, mengqiyaskan demonstrasi untuk yang dilakukan wanita di era sekarang dengan hijrahnya wanita pada masa terdahulu adalah qiyas yang tidak masuk akal dan bathil.

Kalau yang dilakukan para demonstran wanita itu tepat seperti apa yang dilakukan shahabiyah, kami rasa itu lebih make sense.

Adapun kisah Asma' yang diambil dari Tarikh Al Ya'qubi, ustadz Abul Jauzaa'. Kami sudah cari tapi tidak ketemu. Mungkin ada yang menemukan? Sayangnya tidak dicantumkan di situ jilid/bab apa dan halaman berapa. Kalau seandainya ustadz mau mencarikan, itupun sekiranya kisah tersebut dapat dipercaya.

Anonim mengatakan...

seringkali dikala mata memandang saudari kita ( akhwat ) turun ke jalan , berteriak dengan keyakinan kebenaran , ter-iris hati ini .......

semoga Allah memberi petunjuk kepada saudariku semua , untuk menjahui petunjuk setan.....

Abah Shulthon mengatakan...

Aurat Wanita dalam Pandangan Enam Ulama Syafi'iyah

Hijab Milik Siapa, Yahudi atau Kristen?

Wanita Ikut Ziarah Makam Wali, Bolehkah?