‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum (1)


‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي أَبُو مُحَمَّدٍ جَعْفَرُ بْنُ حُمَيْدٍ الْكُوفِيُّ أَخُو أَحْمَدَ بْنِ حُمَيْدٍ يُلَقَّبُ بِدَارِ بِأُمِّ سَلَمَةَ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ أَبِي يَعْفُورَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ الْعَبْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " شَهِدْتُ خُطْبَةَ عَلِيٍّ يَوْمَ الْبَصْرَةِ قَالَ: فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا عَالَجَ مِنَ النَّاسِ ثُمَّ قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ ثُمَّ رَأَى الْمُسْلِمُونَ أَنْ يَسْتَخْلِفُوا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَبَايعُوا وَعَاهَدُوا وَسَلَّمُوا، وَبَايَعْتُ وَعَاهَدْتُ وَسَلَّمْتُ، وَرَضُوا وَرَضِيتُ، وَفَعَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَجَاهَدَ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَحْمَةُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَاسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَبَايَعَهُ الْمُسْلِمُونَ وَعَاهَدُوا وَسَلَّمُوا، وَبَايَعْتُ وَعَاهَدْتُ وَسَلَّمْتُ، وَرَضُوا وَرَضِيتُ، ......

Telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad Ja’far bin Humaid Al-Kuufiy saudara Ahmad bin Humaid : Telah menceritakan kepadaku Yuunus bin Abi Ya’quub, dari ayahnya, dari Al-Aswad bin Qais Al-‘Abdiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku menyaksikan khutbah ‘Aliy (bin Abi Thaalib) pada satu hari di kota Bashrah, ia berkata : “Ia (‘Aliy) memuji dan menyanjung Allah, lalu menyebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan apa-apa dilakukan beliau kepada manusia[1], kemudian Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. Kemudian kaum muslimin[2] berpandangan untuk menjadikan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai pengganti beliau sebagai khalifah. Lalu mereka membaiatnya, membuat perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Dan aku (‘Aliy) pun berbaiat kepadanya, membuat perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Mereka (kaum muslimin) ridlaa, dan aku pun juga ridlaa. Ia (Abu Bakr) melakukan kebaikan, berjihad, dan kemudian Allah ‘azza wa jalla mewafatkannya. Semoga Allah merahmatinya.[3] Kemudian ‘Umar radliyallaahu ‘anhu menggantikannya. Lalu kaum muslimin membaiatnya, membuat perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Aku pun berbaiat kepadanya, mengadakan perjanjian kepadanya, dan menerimanya. Mereka ridlaa kepadanya dan aku pun ridlaa kepadanya………… [As-Sunnah, 2/567-568 no. 1329].
Ja’far bin Humaid seorang yang tsiqah. Yuunus bin Abi Ya’fuur, dikatakan oleh Ibnu Hajar sebagai seorang yang shaduuq, namun banyak keliru. Adz-Dzahabiy memasukkanya dalam kitab Man Tukullimaa fiihi wahuwa Muwatstsaq au Shaalihul-Hadiits.
Abu Ya’fuur (ayah Yuunus) seorang yang tsiqah. Al-Aswad bin Qais, seorang yang tsiqah. Qais Al-‘Abdiy (ayah Al-Aswad) dikatakan Ibnu Hajar seorang yang maqbul. Al-Mizziy menyebutkan hanya seorang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu Al-Aswad (anaknya). Akan tetapi di sini An-Nasaa’iy dan Ibnu Hibbaan mentsiqahkannya.
Riwayat ini mempunyai penguat dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana diriwayatkan ‘Abdullah dalam As-Sunnah 2/563 no. 1315-1316 dengan sanad shahih.
Jadi, riwayat ini adalah shahih atau hasan lighairihi.
‘Aliy telah ridlaa dan menerima dengan kekhalifahan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan ini dilakukan jika hal itu didasari atas satu kedhaliman. Keridlaan dan penerimaan merupakan pengakuan atas kebenaran, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah ia rubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman”.
Keridlaan dan penerimaan ‘Aliy tentu tidak akan dikatakan jika masih terdapat pengingkaran dalam hati (atas kedhaliman/kemunkaran). Konsekuensi ini seperti yang ada dalam firman Allah ta’ala :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
‘Aliy menegaskan pengakuan keabsahan serta keridlaan dirinya terhadap kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar pada saat ia berkuasa (menjadi khalifah). Dan ia mengatakannya di depan pendukung-pendukungnya, sehingga tidak ada alasan untuk taqiyyah.[4]
Riwayat ini sekaligus menangkis sebagian omong-kosong Syi’ah tentang klaim imaamah[5] dan ketidakridlaan ‘Aliy terhadap kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar (serta ‘Utsmaan).
Jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ridlaa dan menerima, mengapa Syi’ah Raafidlah tidak ?. Tanyakan kepada Khamainiy, As-Sistaaniy, Al-Ya’quubiy, dan marja’-marja’ mereka yang lain. Jangan tanyakan kepada ‘Aliy, karena ia telah menjawabnya melalui riwayat di atas.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, indonesia – 1432 H - bersambung ke artikel : 'Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu 'anhum (2)].


[1]      Perawi meringkas perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
[2]      Yaitu para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
[3]      Ini adalah doa kebaikan yang tidak pernah diucapkan oleh kaum Raafidlah, walau mereka mengaku mencintainya (‘Aliy) radliyallaahu ‘anhu.
[4]      Baca artikel kami : Ahlul-Bait dan Taqiyyah.

Comments

Anonim mengatakan...

Ada yg mengatakan hadits di atas adalah hadits ahad!