Imel untuk Seorang Teman


Prolog : Ini adalah sekelumit diskusi saya dengan salah seoang teman tentang masalah Murji’ah. Semoga ada manfaatnya apa yang tertulis di sini…..
Wa’alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas imel yang antum sampaikan kepada saya. Selanjutnya…….

Ada hal yang cukup menggelikan dalam imel antum sehingga saya pingin komentari untuk yang kali pertamanya. Sungguh saya merasa heran dengan sikap antum yang begitu sensitiv, bahkan terhadap note status fb saya. Sebagai info saja, note itu saya buat ketika saya naik bus dalam perjalanan Jogjakarta – Bogor, ketika asik buka-buka fb melalui handphone untuk mengisi kejenuhan. Saya buat status seperti itu adalah biasa, sebagaimana juga orang lain bertukar note status pada diri saya. Saya kadang menukilkan syi’ir-syi’ir Al-Qa’nabiy dan yang lainnya. Tapi aneh,….. kali ini ada yang ‘ngerasa’. Dan dengan yakinnya memastikan bahwa kalimat itu tertuju padanya…….
Kalau pun seandainya benar apa yang saya tulis di status fb saya maksudnya adalah antum, lantas,…. apakah memang itu tidak diperbolehkan ? Menyalahi akhlak salaf ?
Dan kalaupun seandainya benar bahwa tulisan itu saya tujukan pada antum, maka apakah salah ? Dari mana sisi kesalahannya padahal saya tidak menyebutkan satu huruf pun nama antum dan dalam perkara apa kalimat-kalimat itu saya tulis (sehingga setiap orang yang membaca pun akan memahami dengan pemahaman yang umum). Saya pun sebenarnya tidak tahu siapa antum,…. bahkan kalau seandainya masuk dalam friend-list fb saya (secara tidak sengaja). Anehnya,… ada yang sewot, sehingga perlu membuat imel khusus untuk menyatakan ‘keberatan’. Sayang sekali, ternyata yang ‘ngerasa’ dan ‘sewot’ itu antum……
Biasanya, orang yang memang sudah antipati pada seseorang, bawaannya akan selalu curiga. Segala sesuatu akan dianggap tertuju pada dirinya….. Cara berpikir yang kurang cerdas dan dewasa.
Cukuplah bagi saya itu sebagai satu pertanda/sinyalemen bahwa memang ada something pada diri antum terhadap diri saya…… Entah apa itu. Walau sebenarnya dari dulu saya tidak mau ambil pusing dengan kaifiyah komunikasi antum kepada saya, bahkan yang dengan gaya ‘level SMA’ sekalipun.[1]
Itu bagian awalnya,….
Tentang anggapan ghulluw antum pada diri saya terhadap Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy,….. Dari mana antum dapat menyimpulkan ? Apakah bukan sebaliknya ? Bukankah sedari awal yang sangat bernafsu membuka pembicaraan ini adalah antum. Saya tidak pernah inisiatif mencoba membuka pembicaraan ini dengan antum, karena ini masalah yang sangat daqiiq.
Mari kita tengok ke belakang….. Ketika saya meng-upload kitab Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah tulisan Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, apa respon antum ? Padahal tujuan saya meng-upload itu sebagai satu penjelasan dari apa yang beredar di internet tentang tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada beliau dengan menukilkan fatwa Lajnah Daaimah. Jika kemudian beliau (Asy-Syaikh ‘Aliy) memberikan jawaban atas fatwa tersebut – dan beliau pun seorang ulama - , apakah memang tidak diperbolehkan ? Sangat aneh antum merasa keberatan dan berusaha menghalang-halangi tersebarnya buku itu. Jika dalam hukum formal saja diberikan hak kepada tertuduh untuk memberikan hak jawab, apatah lagi dalam syari’at ? Di situ dijelaskan semua hal yang terkait dengan fatwa. Beliau cantumkan segala referensinya. Beliau pun juga tidak memotong-motong perkataan ulama sebagaimana dikatakan banyak orang. Dalam memberikan bantahan, beliau memakai kata-kata sopan dan halus kepada ulama Lajnah. Buku itu pun direkomendasikan ulama, semisal Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah, salah seorang ulama senior Madinah mantan pengajar Universitas Islam. Asy-Syaikh Dr. Husain Alusy-Syaikh hafidhahullah (imam dan Khaathib Masjid Nabawiy) pun mengatakan :
والشيخ علي قد ردَّ ردًَّا علميّاًَ [((الأجوبة المتلائمة على فتوى اللجنة الدائمة))] كما عَلَيه سلف هذه الأمَّة.
“Dan Asy-Syaikh ‘Aliy telah membantah dengan bantahan yang ilmiah [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah] sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh salaf umat ini” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam muhadlarah beliau yang berjudul : ‘Alaa Thariiqis-Sunnah].
Nah, apakah saya salah untuk menyampaikan buku tersebut sebagai ‘penyeimbang’ fatwa Lajnah Daaimah yang telah lebih dahulu beredar ? Dalam blog saya pun telah saya katakan agar kita bisa menyikapi secara arif khilaf di antara ulama tersebut. Lajnah Daaimah adalah para ulama, Asy-Syaikh ‘Aliy pun juga ulama. Namun apa sikap antum ? Belum saya hapus komentar aneh antum di blog saya. Silakan baca sendiri….. (apalagi malah nglantur sampai nanyain guru saya siapa, pernah ke luar negeri belum bermulazamah pada ulama, dapat ijazah tidak,…..mungkin hanya sekedar show ketidak setujuan dan menunjukkan kelemahan diri saya, I see, I don’t forbid U for that brother. I still show your ‘good’ comments in my blog).
Silakan saja mengeluarkan self declare :
Hanya saja antum ana pandang ghuluw dalam membela syaikh tertentu.... sementara saya tidak ghuluw dalam mengikuti apa itu jinsul amal atau syartul kamal, syartus shihah…walau itu jelas datang dari lawan2 syaikh yang antum bela.
Itu lisaanul-maqaal-nya (?), tapi lisaanul-haal menyatakan sebaliknya, bahkan lebih parah !! Saya juga sangat menyangsikan apakah antum telah membaca buku Syaikh ‘Aliy tersebut. Kalau pun membaca, apakah juga sampai tuntas. Kalaupun sampai tuntas, apakah juga paham isinya…. soalnya, keluaran dari antum tidak menggambarkan itu semua. Malah, menghalangi orang lain untuk mengetahui isi kitab Syaikh ‘Aliy tersebut, dan menyuruh ‘menerima saja’ apa yang telah difatwakan Lajnah Daaimah.
Siapakah yang ghulluw dalam hal ini ?
Dalam permasalahan ini, ulama yang menyelisihi Lajnah banyak. Yang pertama dan utama dari mereka adalah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin[2]. Kemudian Syaikh Ibrahim Ar-Ruhailiy, Syaikh Naashir Al-Barraak, Syaikh ‘Ubaid Al-Jaabiriy, dan yang lainnya. Tidak perlu saya sebutkan semua, karena benar dan salahnya satu hal tidak tergantung pada banyak sedikit orang yang mengatakannya.
Ulama itu bukan hanya Lajnah Daamah saja yang wajib kita perhatikan. Tapi semua ulama. Saya sangat ingin membiasakan diri untuk tidak taqlid pada ulama tertentu. Saya akan berpegang dan memperhatikan semua ulama yang dikenal mempunyai komitmen pada manhaj salaf.
Sebagai contoh kecil yang lain, ketika Lajnah Daaimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz alusy-Syaikh mengeluarkan fatwa tahdzir terhadap kitab Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallaah karya Dr. Khaalid bin ‘Abdillah Al-Anbariy karena dianggap membawa paham murji’ah, maka saya pun tidak serta merta menerima begitu saja. Bukan karena saya meremehkan kapasitas Lajnah, akan tetapi kitab yang ditahdzir tersebut telah dibaca dan ditaqdimi oleh Syaikh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan. Siapakah beliau ini ? Beliau adalah anggota Haiah Kibaaril-‘Ulamaa Saudi Arabia ! Dan Dr. Al-Anbariy pun telah memberitahukan bahwa kitabnya tersebut telah dibaca dan dipuji oleh Syaikh Al-Albaaniy dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah. Apalagi Dr. Al-Anbaariy juga merupakan termasuk kalangan ahli ilmu. Bagaimana sikap kita ?[3] Mudah untuk mengucapkan : ‘Saya tidak bersikap ghulluw pada ulama tertentu…..”. Tapi yang penting dari semua itu adalah kenyataannya. Hendaknya kita melakukan penelitian, check dan re-check atas pembahasan yang dimaksud. Alhamdulillah saya telah membaca bukunya. Bukunya bagus dan sarat hujjah-hujjah ilmiah. Atas dasar itu, saya tidak menerima tahdzir Lajnah Daaimah atas kitab Dr. Khaalid Al-Anbariy. Dan beliau pun telah menjawab tahdzir Lajnah dalam sebuah kitab (tapi saya lupa judul kitabnya).
Atau kita mundur ke belakang…… tentang fatwa Lajnah juga, yang saat masih diketuai oleh Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah. Lajnah mengeluarkan fatwa tahdzir atas kitab Dlabthudl-Dlawaabith fil-Iimaan wa Nawaaqidlihi karya Dr. Ahmad Az-Zahraaniy. Inti tahdzir tersebut juga berkaitan dengan paham irja’ dimana menurut Lajnah, penulis buku telah mengeluarkan amal dhaahir dari cakupan iman[4]. Akan tetapi, Dr. Ahmad Az-Zahraaniy telah menyanggahnya dengan bahasa-bahasa yang sopan kepada Lajnah yang sebagiannya adalah guru-guru beliau. Menurut beliau, ini keliru, sebab dalam kitab Dr. Az-Zahraaniy di halaman 4 secara tegas menyatakan :
"تأكيدنا أنّ العمل مطلوب على وجه الإلزام وهو داخل في حقيقة الإيمان الشرعي"
“Penguatan/pengokohan kami adalah bahwasannya amal itu dituntut dari sisi kewajiban, dan ia masuk dalam hakekat iman syar’iy”.
Dan yang lainnya.
Saya pikir, kita tidak perlu berkata-kata seperti : “Apakah Lajnah bodoh akan permasalahan ini ?”…. “Apakah Lajnah tidak tahu bahwa ini merupakan perselisihan di kalangan ulama”…..dan yang semisalnya sebagaimana banyak tergambar dalam imel antum. Sehingga, jika ada orang yang tidak sependapat dengan Lajnah berarti mengecilkan kedudukan mereka atau merendahkan mereka. Sekali lagi, ini adalah logika berpikir anak-anak SMA (atau bahkan SMP/SD ?).
Apakah haram hukumnya menyelisihi Lajnah Daaimah ? Ulama, siapapun itu – termasuk juga Lajnah (juga Syaikh Al-Albaaniy, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syaikh ‘Aliy) – bukanlah pribadi-pribadi ma’shum. Bukankah Imam Maalik bin Anas pernah mengatakan :
ليس على أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ قوله ويترك، إلا النبي صلى الله عليه وسلم.
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali dapat diambil atau ditinggalkan perkataannya, selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Contoh kecil yang lain,…. tentang masalah jinsul-‘amal. Antum katakan :
Jelas mereka menggunakan istilah jinsul amal dan istilah yang antum katakan muhdats...? dan hingga detik ini mereka tidak cabut fatwa2 mereka....!!
Bukankah antum telah tahu bahwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin yang berkata :
من قال هذه القاعدة ؟! من قائلها ؟! هل قالها محمد رسول الله ؟! كلام لا معنى له! نقول : من كفره الله ورسوله فهو كافر، ومن لم يكفره الله ورسوله فليس بكافر، هذا هو الصواب.
أما جنس العمل، أونوع العمل، أو آحاد العمل، فهذا كله طنطنة لا فائدة منها.
Bukankah konsekuensi dari perkataan beliau ini adalah perkataan jinsul-‘amal bukan merupakan perkataan dari salaf ? Jika memang ini perkataan salaf, apa faedah beliau mengatakan : أما جنس العمل، أونوع العمل، أو آحاد العمل، فهذا كله طنطنة لا فائدة منها ? Bukankah ini berkonsekuensi muhdats ?
Tinggalkan gaya-gaya klasik antum untuk menyalahkan orang yang menukil. Antum takut ya mengkritik Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ? Dan perhatikan perkataan Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy berikut saat membahas istilah jinsul-‘amal (saya tuliskan dari kitab aslinya) :
فإذا قاس العالم العاقل عبارة "جنس" التي لا وجود لها في القرآن والسنة ولا في لغة الصحابة، ولم يدخله السلف في قضايا الإيمان وهو لفظ مجمل يحتمل عدة معان تؤدي إلى اللبس والمشاكل.....
[Ittihaafu Ahlish-Shidq wal-Irfaan, hal. 180] – dalam buku ini ada bab yang membahas istilah jinsul-‘amal secara khusus (sangat menarik).
Ini semua perkataan ulama.
Sekarang jika saya tanya kepada antum : “Menurut antum, istilah jinsul-‘amal itu termasuk perkataan salaf bukan ?”.  Jika misal antum menjawab : ‘tidak’, bukan hal yang salah kan, jika saya mengatakan itu adalah istilah muhdats ?!!! [silakan antum melakukan penelitian tentang peristilahan ini dalam kitab-kitab salaf !]. Sungguh aneh jika dengan pengetahuan antum bahwa itu adalah istilah muhdats, namun kemudian tetap membela mati-matian peristilahan ini sebagai satu istilah syar’iy. Sekali lagi, tinggalkan gaya klasik antum yang mungkin akan mengatakan :
“Para ulama telah menggunakan istilah jinsul-‘amal. Tentu mereka tidak akan main-main dalam hal tersebut. Dan hingga detik ini, mereka tidak mencabut pernyataan mereka (seandainya mereka tahu bahwa istilah itu bukan berasal dari salaf)”.
Perkataan ini hanya akan membuat pembicaraan mentok. Intinya, para ulama tersebut jadilah pihak-pihak yang ‘haram’ untuk tidak disetujui dan disanggah. Perkataan itu tidak membuat cerdas. Menjumudkan otak-otak yang ingin melakukan penelitian dan pentarjihan di antara aqwal ulama. Yang ada hanyalah pemaksaan antum kepada lawan bicara antum untuk menerima pendapat ulama tertentu, padahal banyak ulama lain yang berpendapat berbeda…… Adapun perkara sebagian fudlalaa’ yang tidak mencabut fatwa mereka, maka itu bukan urusan pihak yang tidak sependapat dan menyanggahnya. Tentu saja orang yang tidak sependapat dan melakukan penyanggahan tidaklah dibebani apa yang bukan urusan mereka. Aneh antum ini…..
Lantas,….siapa sebenarnya yang ghulluw pada ‘ulama tertentu’ dalam hal ini ?
Saya ingatkan tentang perkataan Ibnu Taimiyyah tentang pentingnya menggunakan istilah-istilah syar’iy :
فطريقة السلف والأئمة أنهم يراعون المعاني الصحيحة المعلومة بالشرع والعقل.
ويُراعون أيضاًَ الألفاظ الشرعية، فيعبرون بها ما وجدوا إلى ذلك سبيلاًَ.
ومن تكلم بما فيه معنى باطل يخالف الكتاب والسنة ردوا عليه.
ومن تكلم بلفظ مبتدع يحتمل حقاًَ وباطلاًَ نسبوه إلى البدعة إيضاًَ، وقالوا : إنما قابل بدعة وردَّ باطل بباطل.
[Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql, 1/254 – melalui Al-Itthaaf, hal. 182-183].
Antum katakan :
Saya memandang bahwa antum ghuluw dalam hadits-hadits tentang tidak beramal sedikitpun. Karna tidak ada upaya dari diri antum untum mendamaikannya dengan  hadits-hadits lain yang bertentangan, antum lebih senang terjadi ta’arudh antar dalil. Jelas ini namanya hanya mau menguatkan diri pribadi tidak mau melihat gambaran yang berimbang dan utuh...
Ini hanyalah pernyataan cyclic dari antum kepada diri saya yang sebenarnya telah saya tanggapi.
Telah saya katakan lebih dari sekali bahwa pemahaman atas hadits Abu Sa’iid dan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa ada orang yang keluar dari neraka dan masuk surga hanya dengan keberadaan tauhidnya saja tanpa beramal kebaikan sedikitpun, merupakan perkataan ulama Ahlus-Sunnah yang tidak saya reka-reka atau buat-buat. Namun sebagaimana biasa, antum anggap ini bukan pendapat yang keluar dari ulama Ahlus-Sunnah, namun hanya keluar dari orang yang namanya Abul-Jauzaa’ semata.
Telah lewat dalam pembicaraan lalu bagaimana penjelasan dari Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr (bisa antum lihat dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 3048) dan Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahumallah. Namun sepertinya antum tidak memperhatikannya (atau memang tidak paham ?). Cara diskusi yang kurang sehat.
Atau lebih jelasnya antum ingin menyimak penjelasan Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy ?
فإن العلماء اختلفوا في تفسير (لم يعملوا بخير قط). فمنهم من حمل ذلك على أنهم لم يعملوا بخير قط على وجه الكمال، وممن قال بهذا ابن خزيمة قال : "فمعنى هذه اللفظة على هذا الأصل لم يعملوا خيراًَ قل على تمام والكمال، لا على ما أوجب وأمر به)".[5]
وهذا يقول به كل من يرى أنه لا بد للمسلم أن يأتي بشيء من العمل، مع اعتقاد القلب وقول اللسان كالصلاة أو ما بعدها من أركان الإسلام.
ومن أهل العلم من حمل لفظة الحديث على معنى أن هؤلاء المخرجين من النار لم يعملوا خيراًَ قط من عمل الجوارح، مع أنهم على أصول التوحيد.
يقول الإمام ابن عبد البر : "فيه دليل على أن من لم يصل من المسلمين في مشيئة الله إذا كان موحداًَ مؤمناًَ بما جاء به محمد مصدقاًَ مقراًَ وإن لم يعمل وهذا يرد قول المعتزلة والخوارج بأسرها".[6]
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية : "من اعتقد أن الإنسان لا ينتفع إلا بعمله فقد خرق الإجماع وذلك باطل من وجوه كثيرة". ثم ذكر من هذه الوجوه قوله : "خامسها أن الله تعالى يخرج من النار من لم يعمل خيراًَ قط بمحض رحمته، وهذا انتفاع بغير عملهم".[7]
وفي نقلٍِ فريدٍِ عن شيخ الإسلام في هذه المسألة نقله عنه تلميذه الإمام أبو بكر ابن المحب الصامت - وهو من خواص تلاميذ شيخ الإسلام ابن تيمية - في كتابه (إثبات أحاديث الصفات) - وهو مخطوط - قال : (حديث : "شفعت الملائكة، وشفع النبيون، ولم يبق إلا أرحم الراحمين، فيقبض قبضةًَ من النار ليخرج منها قوماًَ لم يعملوا خيراًَ - قط - قد عادوا حمماًَ") متفق عليه.
قال شيخنا [يعني : ابن تيمية] : "ليس في الحديث نفي إيمانهم، وإنما فيه نفي عملهم الخير. وفي الحديث الآخر : "يخرج منها من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان" [متفق عليه].
وقد يحصل في قلب العبد مثقال ذرة من إيمان - وإن كان لم يعمل خيراًَ - .
ونفي العمل - أيضاًَ - لا يقتضي نفي القول، بل يقال - فيمن شهد أن لا إله إلا الله، وأن محمداًَ رسول الله، ومات ولم يعمل بجوارحه - قط - : إنه لم يعمل خيراًَ، فإن العمل قد لا يدخل فيه القول، لقوله : (إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه).
وإذا لم تدخل في النفي إيمان القلب واللسان لم يكن في ذلك ما يناقض القرآن".[8]
وقال الإمام ابن رجب - رحمه الله - : "والمراد بقوله لم يعملوا خيراًَ قط من أعمال الجوارح وإن كان أصل التوحيد معهم، ولهذا جاء في الحديث الذي يأمر أهله أن يحرقوه بعد موته بالنار (إنه لم يعمل خيراًَ قط - غير التوحيد - ..... إلى أن قال : وهذا يدل على أن الذين يخرجهم الله برحمة من غير شفاعة مخلوق هم أهل التوحيد الذين لم يعملوا خيراًَ قط بجوارحهم والله أعلم)".[9]
[dikutip dari buku تبرئة الإمام المُحَدِّثِ من قول المرجئة المُحْدَث : hal. 44-45].
Silakan antum baca benar-benar penjelasan Syaikh Ar-Ruhailiy di atas. Pokok inti kalimat di atas bahwa para ulama (Ahlus-Sunnah) berbeda pendapat tentang tafsir : “Tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun” – sebagaimana tertera dalam hadits. Di antara mereka ada yang berpendapat maknanya adalah tidak pernah beramal sedikitpun dari sisi kesempurnaannya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang tersebut memang tidak pernah beramal kebaikan pada jawaarih-nya.
Silakan saja antum kesal atau keberatan dimana ini tidak akan mengubah realitas perselisihan ulama mengenai hadits tersebut. Atau sebagaimana kebiasaan jelek antum untuk melampiaskan kekesalan dan ketidaksetujuan antum itu pada diri saya, seakan-akan saya lah orang yang pertama kali mengucapkannya. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Dimanakah gerangan engkau ilmu berada ?
Adapun tidak ada upaya mendamaikan antara hadits-hadits itu maksudnya apa ? Ini perkataan terlalu global. Apakah tentang kaitannya dengan shalat ? Kalau ini yang dimaksud, bukankah saya telah menukilkan perkataan Al-Imaam Ash-Shaabuniy ?
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.[10]
Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka tidak kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allah subhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84, tahqiq & takhrij & ta’liq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423].
Apa yang saya kutip adalah penjelasan dari ulama Ahlus-Sunnah. Perkara antum tidak senang atau tidak sependapat, maka itu adalah urusan antum.
Ngomong-ngomong, memangnya antum selama ini telah mendamaikan hadits-hadits yang ‘bertentangan’ itu ya ? Dan sepertinya, usaha antum yang antum sebutkan sebagai ‘upaya mendamaikan’ itu juga telah saya komentari di Blog saya (walau sangat singkat).
Antum berkata :
Dan saya mengakui bahwa iman memiliki ushul dan fu’ru, dimana meninggalkan sebagian furu tidak mengkafirkan pelakunya selama ada ushul...tapi ini semua tidak berarti orang yang kosong dari amal perbuatan lantas iman didalam hati tetap selamat. Coba antum lihat baik2
العمل الظاهر لازم للعمل الباطن لا ينفك عنه وانتفاء الظاهر دليل انتفاء الباطن
(2) مجموع الفتاوى(7/553)
Amal Zhohir Mewajibkan bagi amal batin, (Keduanya) tidak dapat dipisahkan ketiadaan amal dhohir menunjukkan ketiadaan amal batin.
Syaikh jelas dalam tulisan itu memberikan bantahan secara khusus kepada orang murjiah, yang memisahkan antara amal dhohir dan amal batin. Anggap saya setuju bahwa tidak ada amal zhohir yang mengkafirkan pelakunya, tapi lihat syaikhul islam memiliki pandangan yang seimbang, dan secara khusus ia membahas keterkaitan antara amal zhohir dan batin. Yakni amal zhohir adalah akibat dari amal batin. Ketiadaan amal zhohir menunjukkan amal batinnya sudah tidak ada duluan.
Saya ingin bertanya kepada antum : Dimana saya mendapatkan taqyid perkataan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dalam perkataan antum : dimana meninggalkan sebagian furu tidak mengkafirkan pelakunya selama ada ushul’ ?
Jika ini berasal dari nukilan perkataan Syaikhul-Islaam yang saya bawakan tempo hari, maka ini hasil ramuan olah pikir antum atau memang manthuq dari perkataan Syaikhul-Islaam ?
Akan saya ulang apa yang pernah saya tulis dulu :
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ولهذا قال علماء السنة في وصفهم ‏[‏اعتقاد أهل السنة والجماعة‏]‏‏:‏ إنهم لا يُكَفِّرون أحدًا من أهل القبلة بذنب، إشارة إلى بدعة الخوارج المكفرة بمطلق الذنوب، فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛
Ini adalah pernyataan beliau tentang apa yang disebut ashlul-iman dan peniadaan keimanan seseorang (baca : kafir) jika tidak mempunyai ashlul-iman. Keberadaan ashlul-imaan pada seseorang cukup membuat dia disebut sebagai seorang muslim. Ashlul-iman itu adalah iqraar, tashdiiq, dan inqiyaad. Iqraar itu adalah amal lisaan, tashdiiq itu amal qalbu, dan inqiyaad itu amal qalbu [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638]. Ini bukan kalimat karangan saya atau sekedar penafsiran saya.
Selanjutnya beliau berkata :
والدين القائم بالقلب من الإيمان علمًا وحالًا هو الأصل، والأعمال الظاهرة هي الفروع، وهي كمال الإيمان‏.‏
فالدين أول ما يبنى من أصوله ويكمل بفروعه، كما أنزل اللّه بمكة أصوله من التوحيد والأمثال التي هي المقاييس العقلية، والقصص، والوعد، والوعيد، ثم أنزل بالمدينة ـ لما صار له قوة ـ فروعه الظاهرة من الجمعة والجماعة، والأذان والإقامة، والجهاد، والصيام، وتحريم الخمر والزنا، والميسر وغير ذلك من واجباته ومحرماته‏.‏
فأصوله تمد فروعه وتثبتها، وفروعه تكمل أصوله وتحفظها،
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/354].
Saya pikir antum bisa membaca perkataan beliau di atas.
Ahlus-Sunnah juga berpandangan bahwa iman itu bukan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terbagi-bagi yang jika hilang sebagiannya, maka hilang semuanya; atau jika telah tetap sebagiannya, maka tetap semuanya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa iman itu terbagi menjadi pokok dan cabang. Pokok iman merupakan sesuatu yang wajib ada sehingga ia dinamakan muslim yang menyebabkan seseorang selamat dari kekekalan neraka, sedangkan keberadaan cabang iman menyebabkan seseorang selamat dari adzab neraka dan masuknya ia ke dalam surga tanpa ‘adzab. Lebih jelasnya, jika seseorang meninggalkan pokok iman, maka ia kafir. Dan jika meninggalkan cabang iman, maka ia akan diancam dengan adzab Allah di neraka. Ancaman itu sesuai dengan kadar atau jenis cabang iman yang ia tinggalkan.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وأما من كان معه أول الإيمان، فهذا يصح منه؛ لأن معه إقراره في الباطن بوجوب ما أوجبه الرسول، وتحريم ما حرمه، وهذا سبب الصحة، وأما كماله فيتعلق به خطاب الوعد بالجنة والنصرة والسلامة من النار، فإن هذا الوعد إنما هو لمن فعل المأمور وترك المحظور، ومن فعل بعضا وترك بعضًا، فيثاب على ما فعله، ويعاقب على ما تركه، فلا يدخل هذا في اسم المؤمن المستحق للحمد والثناء، دون الذم والعقاب،
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/419].
ثم قالت الخوارج والمعتزلة‏:‏ الطاعات كلها من الإيمان، فإذا ذهب بعضها ذهب بعض الإيمان، فذهب سائره فحكموا بأن صاحب الكبيرة ليس معه شيء من الإيمان‏.‏ وقالت المرجئة، والجهمية‏:‏ ليس الإيمان إلا شيئًا واحدًا لا يتبعض، إما مجرد تصديق القلب كقول الجهمية أو تصديق القلب واللسان كقول المرجئة قالوا‏:‏ لأنا إذا أدخلنا فيه الأعمال صارت جزءًا منه، فإذا ذهبت ذهب بعضه، فيلزم إخراج ذي الكبيرة من الإيمان، وهو قول المعتزلة والخوارج، لكن قد يكون له لوازم ودلائل فيستدل بعدمه على عدمه‏.‏
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/510].
قلت‏:‏ أحمد وأبو ثور وغيرهما من الأئمة كانوا قد عرفوا أصل قول المرجئة،وهو‏:‏ أن الإيمان لا يذهب بعضه ويبقى بعضه، فلا يكون إلا شيئًا واحدًا فلا يكون ذا عدد؛ اثنين أو ثلاثة، فإنه إذا كان له عدد، أمكن ذهاب بعضه وبقاء بعضه، بل لا يكون إلا شيئًا واحدًا، ولهذا قالت الجهمية‏:‏ إنه شيء واحد في القلب‏.‏ وقالت الكرامية‏:‏ إنه شيء واحد على اللسان، كل ذلك فرارًا من تبعض الإيمان وتعدده، فلهذا صاروا يناظرونهم بما يدل على أنه ليس شيئًا واحدًا
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/393-394].
Semoga antum dapat memahami perkataan Syaikhul-Islaam di atas.
Terkait dengan pembahasan sebelumnya, Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa seseorang dikafirkan jika ia meninggalkan ashlul-iman. Ia tidak dikafirkan hanya karena meninggalkan far’ul-iman yang termasuk kamaalul-iman. Syaikhul-Islam berkata :
ومعلوم أن الإيمان هو الإقرار، لا مجرد التصديق‏. ‏والإقرار ضمن قول القلب الذي هو التصديق، وعمل القلب الذي هو الانقياد ـ تصديق الرسول فيما أخبر، والانقياد له فيما أمر، كما أن الإقرار بالله هو الاعتراف به والعبادة له، فالنفاق يقع كثيرًا في حق الرسول، وهو أكثر ما ذكره الله في القرآن من نفاق المنافقين في حياته‏.‏ والكفر هو عدم الإيمان، سواء كان معه تكذيب، أو استكبار أو إباء أو إعراض، فمن لم يحصل في قلبه التصديق والانقياد فهو كافر‏.‏
[majmu’ al-fatawaa, 7/638-639].
قلت‏:‏ على أنه لو كان ضد الكفر بالله، فمن ترك الأعمال شاكرًا بقلبه ولسانه فقد أتى ببعض الشكر وأصله‏.‏ والكفر إنما يثبت إذا عدم الشكر بالكلية‏.‏ كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد‏.‏ ولا يلزم من زوال فروع الحقيقة ـ التي هي ذات شعب وأجزاء ـ زوال اسمها، كالإنسان، إذا قطعت يده، أو الشجرة، إذا قطع بعض فروعها‏.‏
[majmu’  al-fataawaa].
Khusus di bagian akhir perkataan Syaikhul-Islaam : “Sesungguhnya siapa saja yang meninggalkan cabang-cabang iman (furuu’ al-imaan) tidaklah menjadi kafir hingga ia meninggalkan pokok iman (ashlul-iimaan), yaitu i’tiqad” [selesai].
Beliau menggunakan kata : furuu’ al-iimaan (cabang-cabang iman), bukan : ba’dlu furuu’ al-iimaan (sebagian cabang-cabang iman).
Perhatikan uslub kalimat Syaikhul-Islaam !!
Perkataan beliau : ‘hingga ia meninggalkan pokok iman (ashlul-iimaan), yaitu i’tiqad’ ; merupakan kalimat shariih bahwa yang dimaksudkan beliau seseorang menjadi kafir jika ia meninggalkan pokok iman, bukan yang lainnya !!! Ia merupakan ‘illat kekafiran dalam bahasan at-tarku (meninggalkan).
Kata ‘hingga’ (حتى) merupakan hatta ghayah sebagai satu pentunjuk ‘illat hukum atas kalimat sebelumnya (sebagaimana dikenal dalam ushul fiqh). Sehingga, yang menjatuhkan kekafiran adalah meninggalkan pokok iman. Ia lah satu-satunya ‘illat yang ada pada perkataan Syaikhul-Islaam tersebut. Sekaligus menafikkan ketidakkafiran orang yang meninggalkan selainnya, yang ditunjukkan dalam kalimat awal perkataan beliau : ‘meninggalkan cabang-cabang iman’ !!!!! Inilah makna dhahir perkataan beliau.
Mari kita pahami benar-benar perkataan beliau sesuai yang beliau maksudkan, bukan sesuai yang saya atau antum inginkan.
Adapun perkataan beliau yang antum nukil, maka itu tidak seperti yang antum bayangkan.  Ngomong-ngomong, antum telah membaca secara utuh kalimat Ibnu Taimiyyah tersebut ? (kayaknya belum, tapi semoga perkiraan saya salah). Berikut perkataan beliau secara lebih lengkapnya :
الرابع‏:‏ظن الظان أن ليس في القلب إلا التصديق،وأن ليس الظاهر إلا عمل الجوارح‏.‏ والصواب أن القلب له عمل مع التصديق، والظاهر قول ظاهر وعمل ظاهر، وكلاهما مستلزم للباطن‏.‏ والمرجئة أخرجوا العمل الظاهر عن الإيمان؛ فمن قصد منهم إخراج أعمال القلوب ـ أيضًا ـ وجعلها هي التصديق، فهذا ضلال بين، ومن قصد إخراج العمل الظاهر قيل لهم‏:‏ العمل الظاهر لازم للعمل الباطن لا ينفك عنه، وانتفاء الظاهر دليل انتفاء الباطن، فبقى النزاع في أن العمل الظاهر‏:‏ هل هو جزء من مسمى الإيمان يدل عليه بالتضمن، أو لازم لمسمى الإيمان‏؟
Ingat,…. beliau ini sedang membahas firqah Murji’ah yang telah mengeluarkan amal dhaahir dari cakupan iman. Inilah Murji’ah Fuqahaa. Jadi perkataan ini adalah sanggahan yang beliau katakan kepada orang yang mengeluarkan amal dhaahir dari cakupan iman.
Namun, apa sebenarnya maksud beliau ketiadaan yang dhaahir menunjukkan ketiadaan yang baathin ? Perkataan ini mujmal ! ‘Aqiidah Ahlus-Sunnah telah menyatakan bahwa iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Terkait dengan bahasan tarkul-‘amal, maka Imam Ahmad berkata :
الإيمان بعضه أفضل من بعض يزيد وينقص، وزيادته في العمل، ونقصانه في ترك العمل.
قال ابن أبي شيبة : وسألتُ أحمد عن الإسلام والإيمان ؟ فقال : الإيمان قول وعمل، والإسلام إقرار.
[As-Sunnah oleh Al-Khallaal 3/581 dan Ta’dhiimu Qadrish-shalaah 2/528]
Bertambahnya iman adalah dengan beramal, dan berkurangnya iman dengan meninggalkan amal.
Oleh karena itu, keterkaitan dhaahir dan bathin itu sesuai dengan kadar ia mengerjakan atau meninggalkannya. Jika ada amal dhaahir yang ia kerjakan, maka di saat itu pula terwujud keberadaan (bertambah) iman dalam hati. Begitu pula jika ia meninggalkan amal dhaahir, maka akan hilang pula keberadaan iman di dalam hati sesuai dengan kadarnya. Inilah maksud dari perkataan mujmal itu. Sebab, Murji’ah berpandangan bahwa iman tetap ada dan sempurnya baik ia melakukan atau meninggalkan amal-amal dhaahir. Inilah yang saya singgung di awal tentang pendapat Murji’ah bahwasannya iman itu merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terbagi-bagi.
Apa yang saya tuliskan ini tergambar dalam penjelasan Ibnu Taimiyyah :
فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/644].
Dan sepertinya antum salah paham atas perkataan Ibnu Taimiyyah yang antum nukil di atas.
Dan ini juga sebagai jawaban terhadap nukilan antum atas perkataan Ibnu Taimiyyah :
فالعمل يصدق أن في القلب إيمانا وإذا لم يكن عمل كذب أن في قلبه إيمانا لأن ما في القلب مستلزم للعمل الظاهر وانتفاء اللازم يدل على انتفاء الملزوم
مجموع الفتاوى(7/294).
 Amal menjadi pembenar dari iman yang ada dihati jika tidak melahirkan amal maka didustakan apa yang ada didalam hati iman tersebut. Karena apa yang ada didalam hati mewajibkan adanya amal dhohir ketiadaan amal menunjukkan ketiadaan iman
Sekarang, kita bahas lebih lanjut apa yang dimaksud dengan intifaaul-malzuum (ketiadaan yang dilazimi, yaitu iman dalam hati) – walau dalam tulisan saya di atas telah saya singgung.
Syaikhul-Islaam berkata berkaitan dengan ini :
وقيل‏:‏ بل الأعمال في الأصل ليست من الإيمان، فإن أصل الإيمان هو ما في القلب، ولكن هي لازمة له، فمن لم يفعلها كان إيمانه منتفياً؛ لأن انتفاء اللازم يقتضي انتفاء الملزوم لكن صارت بعرف الشارع داخلة في اسم الإيمان إذا أطلق، كما تقدم في كلام النبي صلى الله عليه وسلم، فإذا عطفت عليه ذكرت، لئلا يظن الظان أن مجرد إيمانه بدون الأعمال الصالحة اللازمة للإيمان يوجب الوعد، فكان ذكرها تخصيصاً وتنصيصاً ليعلم أن الثواب الموعود به في الآخرة وهو الجنة بلا عذاب لا يكون إلا لمن آمن وعمل صالحاً، لا يكون لمن ادعى الإيمان ولم يعمل، وقد بين سبحانه في غير موضع أن الصادق في قوله‏:‏ آمنت، لابد أن يقوم بالواجب، وحصر الإيمان في هؤلاء يدل على انتفائه عمن سواهم‏.‏
“Dan dikatakan juga : Bahkan, amal-amal pada asalnya tidak termasuk iman, karena pokok iman (ashlul-iman) adalah di dalam hati. Akan tetapi kemudian amal-amal tersebut menjadi satu keharusan bagi iman. Barangsiapa yang tidak melakukannya (amal), maka imannya dinafikkan (dianggap tidak ada), karena ketiadaan yang mengharuskan merupakan ketiadaan yang diharuskan (malzuum).[11] Bahkan menurut redaksi Syaari’ (yaitu Allah ta’ala), yang masuk dalam nama iman adalah bila dimutlakkan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[12] Apabila amal-amal disandarkan kepada iman, maka maksudnya adalah agar tidak ada yang beranggapan bahwasannya hanya dengan keberadaan imannya saja tanpa amal shaalih yang merupakan konsekuensi dari iman, sudah cukup untuk mendapatkan janji (surga). Penyebutan amal-amal shaalih itu merupakan pengkhususan terhadap nash-nash-nash yang telah ada, agar diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di surga tanpa adzab, tidaklah dapat diraih kecuali mereka yang beriman dan beramal shaalih. Hal itu tidak akan terjadi bagi orang yang beriman tanpa mengerjakan amal. Allah subhaanahu wa ta’aala telah telah menjelaskan dalam beberapa tempat, bahwa orang yang benar dalam perkataannya : ‘aku telah beriman’ ; harus melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pembatasan iman pada diri mereka menunjukkan penafikkan selain mereka”.
ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون شيء من الأعمال؛ ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع المسبب ولا يجعلونها لازمة له‏.‏ والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة، ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“(Termasuk kekeliruan mereka, yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di dalam hati akan menjadi sempurna tanpa adanya amal sedikitpun. Karena itu mereka menjadikan amal-amal sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat. Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman. Padahal, iman yang sempurna di dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah pasti itu. Tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa adanya amal dhaahir….. [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].
Perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Taimiyah di atas !!! Perkataan tersebut menjelaskan perkataan Ibnu Taimiyyah yang antum nukil itu.
Jadi yang penafikkan Syaikhul-Islaam terhadap orang yang tidak beramal dhaahir adalah penafikkan kesempurnaan iman. Kesempurnaan iman ini adalah keberadaan ashlul-iman dan al-imaanul-waajib (yang sempurna) pada diri seorang hamba. Inilah bantahan terhadap firqah Murji’ah yang menetapkan adanya kesempurnaan iman tanpa mengerjakan amal dhahir sama sekali. Orang yang tidak mengerjakan amal dhaahir, tentu saja imannya cacat, tidak sempurna; sebab padanya hanya ada ashlul-iman saja tanpa ada padanya keberadaan al-imaanul-waajib.
Mengenai perkataan Ibnul-Qayyim yang antum nukil, khususnya pada kalimat :
فتخلف العمل ظاهرا مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الايمان
“Meninggalkan amal dhaahir bersamaan dengan ketiadaan penghalang (yang memungkinkan ia mengerjakan amal) sebagai petunjuk atas kerusakan dan ketiadaan iman dalam baathin”.
Maka itu adalah perkataan yang sangat global. Ketiadaan iman baathin yang dimaksud adalah terkait dengan bertambah atau berkurangnya iman. Ketiadaan amal dhaahir menunjukkan ketiadaan iman dalam hati sesuai dengan kadarnya, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah di atas. Dan ini masuk dalam daerah al-iimaanul-waajib yang mana manusia mendapatkan ancaman dan janji sesuai dengan amal yang dilakukannya. Sebenarnya ini telah dijelaskan oleh Ibnul-Qayyim dalam kalimat lanjutannya (yang tidak antum terjemahkan, bold, dan underline) :
فالايمان قلب الاسلام ولبه واليقين قلب الايمان ولبه وكل علم وعمل لا يزيد الايمان واليقين قوة فمدخول وكل ايمان لا يبعث على العمل فمدخول 
“Maka, iman adalah qalbul-Islaam dan intinya; sedangkan keyakinan adalah qalbul-iimaan dan intinya. Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kuatnya iman, maka cacat. Dan setiap iman yang tidak membangkitkan amal, maka itu juga cacat” [Al-Fawaaid, hal. 85-86].
Nah, ‘kecacatan’ iman di sini menjelaskan ketiadaan iman yang disebut sebelumnya.
Inilah yang saya katakan di komentar saya tempo hari, bahwa antum itu selalu mengartikan kalimat “ketiadaan iman” adalah bersih sama sekali dari iman. Tidak ashlul-iman, tidak pula al-imaanul-waajib; sehingga konsekuensinya adalah kafir. Ini adalah keliru !! Sebab iman itu ada maraatib-nya. Jika antum mengatakan yang hilang atau kosong itu adalah ashlul-iimaan, tentu saja ini keliru. Sebab ashlul-iimaan adalah iqraar, tashdiiq, dan inqiyaad; dimana ia tidak menerima pengurangan. Orang yang melakukan tiga hal itu disebut sebagai muslim, dan yang meninggalkannya kaafir. Tiga hal tersebut merupakan shihhatul-iman. Ashlul-iman ini menyebabkan seseorang selamat dari kekekalan neraka.
Ibnu Rajab berkata :
ومعلومٌُ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.
[Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].
Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iman.
Amal dhaahir termasuk far’ul-imaan dan merupakan kamaalul-iman (kesempurnaan iman). Ia bukan merupakan bagian ashlul-iman. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan amal dhaahir, maka yang dinafikkan di sini adalah al-imanul-waajib yang padanya ada janji dimasukkan surga tanpa ‘adzab dan dibebaskan dari api neraka. Saya sebenarnya telah menuliskan ini pada komentar tempo hari (lihat tulisan saya yang berwarna biru di atas). Ditambah lagi perkataan Syaikhul-Islam dalam Al-Iman yang saya nukil agak panjang di atas.
Mari kita simak penjelasan Ibnul-Qayyim berikut ini (yang menegaskan apa yang saya katakan di atas) :
الاعتبار الثالث أن الايمان قول وعمل والقول قول القلب واللسان والعمل عمل القلب والجوارح وبيان ذلك أن من عرف الله بقلبه ولم يقر بلسانه لم يكن مؤمنا كما قال عن قوم فرعون {وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم} وكما قال عن قوم عاد وقوم صالح {وعادا وثمود وقد تبين لكم من مساكنهم وزين لهم الشيطان أعمالهم فصدهم عن السبيل وكانوا مستبصرين} وقال موسى لفرعون {لقد علمت ما أنزل هؤلاء الا رب السموات والارض بصائر} فهؤلاء حصل قول القلب وهو المعرفة والعلم ولم يكونوا بذلك مؤمنين وكذلك من قال بلسانه ما ليس في قلبه لم يكن بذلك مؤمنا بل كان من المنافقين وكذلك من عرف بقلبه وأقر بلسانه لم يكن بمجرد ذلك مؤمنا حتى يأتى بعمل القلب من الحب والبغض والموالاة والمعاداة فيحب الله ورسوله ويوالى أولياء الله ويعادى أعداءه ويستسلم بقلبه لله وحده وينقاد لمتابعة رسوله وطاعته والتزام شريعته ظاهرا وباطنا واذا فعل ذلك لم يكفِ في كمال ايمانه حتى يفعل ما امر به
فهذه الاركان الاربعة هى أركان الايمان التى قام عليها بناؤه
[‘Iddatush-Shaabiriin, hal. 109].
Ibnul-Qayyim telah memperinci empat keadaan [saya ringkas]. Pertama; orang yang mengetahui Allah dengan hatinya namun tidak mengikrarkan melalui lisannya (dua kalimat syahadat), maka ia bukan orang yang beriman.  Kedua; orang yang mengatakan melalui lisannya apa yang tidak ada dalam hatinya, maka ia bukan orang yang beriman, namun termasuk orang-orang munafiq. Ketiga; orang yang mengetahui dengan hatinya, mengucapkan (dua kalimat syahadat) dengan lisannya, belumlah cukup menjadikanya orang yang beriman hingga ia melakukan amal hati.[13] Keempat; orang yang telah melakukan tiga hal tersebut tidak cukup untuk memenuhi kesempurnaan imannya hingga ia melakukan amal-amal dhahir berupa amal-amal ketaatan yang diperintahkan (arkaanul-arba’ah).
Perhatikan, beliau menggunakan kalimat kamaalul-imaan bagi orang yang mengerjakan arkaanul-arba’ah. Mafhum-nya, orang yang tidak mengerjakan arkaanul-arba’ah, ia masih masuk dalam wilayah Islam, selama masih tetap ashlul-iman (berupa tiga hal yang disebut sebelumnya).
Penjelasan Ibnul-Qayyim ini senada dengan penjelasan gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahumallah.
Saya tetap memberikan penekanan dan pengulangan pada antum bahwa keberadaan ashlul-iman merupakan batas minimal seseorang disebut sebagai muslim, bukan kafir.
Ibnu Mandah berkata :
فأصله : المعرفة بالله، والتصديق له وبما جاء من عنده بالقلبِ واللسانِ، مع الخضوع له، والحُبِّ له، والخوفِ منه، والتعظيم له، مع تركِ التكبّرِ الاستنكاف والمعاندة، فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه.
[Al-Iman, 1/331].
Ashlul-iman ini membutuhkan furuu’ul-iman berupa amal-amal dhaahir sebagai penyempurna dan penjagaannya. Sebaliknya, furuu’ul-iman membutuhkan ashlul-iman sebagai perwujudannya dan kebenarannya. Jangan dibolak-balik !
Al-Marwadziy berkata :
لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباًَ، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....
[Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712] – perhatikan yang saya bold biru, bahwa amal-amal shaalih (amal dhahir) adalah penyempurna bagi ashlul-iman.
Inilah maksud perkataan saya tempo hari bahwa antum itu sepertinya belum paham akan istilah ashlul-iman, al-imanul-waajib, shihhatul-iman, kamaalul-iman, dan yang lainnya…..
Sebagaimana yang telah berulang-kali saya tulis kepada antum, pembahasan ashlul-iman yang saya tulis di atas adalah paparan secara umum menurut jumhur ulama Ahlus-Sunnah. Yaitu, mereka tidak memasukkan waajibat, khususnya amal dhaahir arkaanul-islaam selain syahadat, ke dalam shihhatul-iman. Kajian ini puncaknya akan berujung pada : Apakah orang yang meninggalkan shalat fardlu karena meremehkan/malas itu dikafirkan atau tidak ?. Sebagian ulama memasukkan amal dhahir shalat fardlu sebagai bagian dari shihhatul-iman, sehingga jika ia meninggalkannya, maka gugur ashlul-iman-nya. Begitu pula arkaanul-arba’ah yang lain.
Telah saya katakan sebelumnya bahwa ashlul-iman ini tidak boleh menerima pengurangan. (yang naik dan turun adalah maratib iman selain ashlul-iman). Maksudnya, barangsiapa yang mengurangi satu bagian saja dari ashlul-iman, maka ia kafir.
Dan dalam komentar saya yang lalu pun telah saya tuliskan :
Jika misal antum katakan bahwa amal dhahir itu wajib dan kafir bagi orang yang meninggalkannya; saya tanya kepada antum : “Amal dhahir apa yang jika ditinggalkan pelakunya dihukumi kafir ?”.
Jika antum menjawab : “Semua amal dhahir”; maka tidak syakk ini merupakan satu kesalahan.
Jika antum menjawab : ”Semua amal dhahir yang diwajibkan oleh syari’at”; maka tidak syakk pula ini merupakan kekeliruan. Bahkan inilah manhaj Khawarij. Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa seorang muslim tidak akan dikafirkan karena meninggalkan amal-amal yang diwajibkan selain rukun Islam yang lima.
Jika antum menjawab :”Semua amal dhahir yang termasuk rukun Islam yang lima”; maka, bukankah antum sendiri mengetahui (semoga) bahwa para ulama Ahlus-Sunnah telah berbeda pendapat tentang permasalahan ini – kecuali dua kalimat syahadat.
Sealur dengan Syaikh Ibnu Baaz adalah Syaikhul-Islaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang berkata :
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها وتركها تهاونا؛ فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا نكفر بتركها.
والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم؛ وهو الشهادتان.
“Rukun islam yang lima; yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun yang empat. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun meninggalkannya karena meremehkannya, meskipun kami memeranginya, namun kami kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa pengingkaran. Kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
Sangat jelas perkataan di atas bahwa beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal-amal wajib yang termasuk rukun Islam yang lima kecuali syahadat. Dan dapat diambil faedah dari perkataan beliau ini bahwa hukum meninggalkan amal jawaarih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ahlus-sunnah. Mereka hanya sepakat tentang kekafiran orang yang meninggalkan syahadatain saja.
Oleh karena itu, Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahab memberikan kesimpulan :
والخلاصة؛ أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة.....
“Dan kesimpulannya, bahwasannya dalam permasalahan amal-amal anggota badan (a’maalul-jawaarih) : apakah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang yang meninggalkannya); merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/479].
Kurang jelas apa yang dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Lathiif di atas ? [apakah beliau dihukumi murji’ karena masih membuka ruang perbedaan pendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih ?].
Perhatikan riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2622; shahih].
Riwayat ini memberikan konsekuensi pemahaman bahwa di jaman shahabat – menurut ‘Abdullah bin Syaqiiq – seorang muslim tidak dikafirkan karena meninggalkan amal-amal hingga ia meninggalkan shalat (fardlu). Maksudnya, jika seseorang meninggalkan haji, zakat, dan puasa; namun ia masih mengerjakan shalat, maka ia tidak dikafirkan. Alasannya : Shalat merupakan kewajiban dhahir yang terbesar di sisi syari’at.
[Tambahan dari saya di imel ini : Hal yang sama, meskipun orang tersebut mengerjakan semua amal yang diperintahkan baik yang wajib dan yang sunnah, namun ia meninggalkan shalat, maka ia tetap dihukumi kafir].
Dengan melihat riwayat tersebut, lantas dimana bagian dari jumhur ulama Ahlus-Sunnah yang tidak mengkafirkan orang meninggalkan shalat karena malas dengan tetap mengakui kewajibannya ? Perlu antum ketahui, ulama yang tidak mengkafirkan shalat, tentu ia lebih tidak akan mengkafirkan orang yang meninggalkan amalan wajib yang lebih rendah kedudukannya dari shalat, seperti zakat, puasa, haji, dan yang lainnya. Jika antum cerdas (dan saya yakin itu), maka antum akan menangkap esensi dari perkataan ini.
Antum berkata :
Jika antum mengatakan bahwa bisa saja  orang yang kosong dari amal zhohir maka hatinya tetap kuat dalam keimanan sebagaimana hadits tentang syafa’at dan orang yang membakar diri.
Saya ingin bertanya : “Dari mana antum mendapatkan kesimpulan kalimat itu ? terutama kata-kata : ‘tetap kuat dalam keimanan’ ?
Ini hasil penyimpulan antum atau memang manthuq dari perkataan saya ? Jika manthuq dari perkataan saya, coba saya ditolong untuk mengingat kembali kapan dan dimana saya mengatakannya…..
Namun jika itu merupakan penyimpulan antum, saya khawatir ini timbul dari su’ul-fahm….
Seingat saya, orang yang ada di hadits syafa’at yang dimasukkan surga karena rahmat Allah adalah orang yang tetap keimanannya berupa ketauhidan. Tentu saja maksud saya adalah tetapnya ashlul-iman orang tersebut. Ramuan redaksi yang antum tulis sepertinya hendak mengindikasikan bahwa keimanan orang tersebut tetap ‘tinggi’. Jika ini yang dimaksud, tentu saja keliru. Karena keberadaan ashlul-iman dalam diri seseorang adalah kadar minimal keimanan seorang muslim (sehingga menyelematkannya dari kekekalan neraka). Karena tidak ada lagi yang lebih rendah daripada ashlul-iman.
Antum mengatakan :
Saya tetap memahami hadits itu adalah kaum yang khusus dan dikhususkan, bukan keumumman manusia, Karena umumnya manusia pastilah pernah beramal zhohir walau sekali dalam seumur hidupnya.
Jika antum membantah bahwa hal itu bisa saja terjadi…maka saya katakan  tidak kita temui dalamKecuali memang keyakinan mereka sudah rusak, iman mereka terhadap al-quran dan perintah dan larangannya sudah rusak dan hilang.
Silahkan berikan contoh orang yang kosong dari amal dhohir di saat ini..?
Yang ia masih bertauhid...
Jika antum tidak bisa menunjukkan memang tidak akan bisa, karna orang yang kosong dari amal adalah kaum yang khusus, dalilnya mana. Hadits itu sendiri yang menunjukkan mereka tidak ada dalam keumuman manusia.
……………….
Dan satu lagi tolong berikan tasawur...gambaran tentang bagaimana perbuatan kongkrit orang yang tidak beramal kebaikan sama sekali. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang seperti itu....tidak bisa dibayangkan.
Jika antum tidak bisa menggambarkan keadaan orang-orang tersebut, itu sudah dalil bahwa mereka adalah kaum yang khusus yang hanya diketahui oleh alloh (berhubung ini perkara hati yang ghoib), karena kaifiyah dari hadits tersebut tidak bisa dicerna oleh akal kita, dan tidak bisa digambarkan.
Saya yakin antum tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan
Tidak terlalu berlebihan kiranya bahwa kalimat tersebut lahir dari orang yang merasa tenang dengan kebodohannya, dan kemudian menganggap orang lain sama bodohnya dengan dirinya. Jangan menstandardisasi ketidakpahaman diri sendiri kepada orang lain begitu dong……
Telah lewat penjelasan para ulama mengenai hadits syafa’at. Silakan saja antum merasa musykil atas hadits tersebut. Para ulama di satu sisi, sedangkan antum di sisi yang lain. Tentu saja perkataan ulama lah yang akan saya tengok. Keberatan antum akan atas tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada diri saya. Akan aneh rasanya jika saya mengikuti jalan logika antum… Buat apa para ulama mensyarah hadits dan mengambil pelajaran darinya seandainya isi hadits itu sesuatu yang khayal ? objek yang tidak bisa dibayangkan hakekatnya ?
Tentang perkataan antum bahwa tidak mungkin ada gambaran orang yang tidak beramal dhahir, disebabkan karena kekeliruan antum memahami makna ‘tidak pernah beramal kebaikan sama sekali’ (berupa amal jawaarih).
Kalau pemahamannya adalah ‘tidak pernah beramal dhahir/jawaarih’ (baik yang baik atau yang jelek), ya itu tidak mungkin. Memangnya mereka itu patung yang tidak pernah bergerak semenjak mereka diciptakan ?
Kalau pemahamannya adalah ‘tidak pernah beramal kebaikan pada anggota badannya secara mutlak’ ya itu juga tidak mungkin. Hatta orang kafir pun pernah melakukan amal kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
Lantas, apa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut ?
Saya bantu mengingat kembali sebagian teks haditsnya :
Hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu :
فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ
Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mendahului mereka”.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
فَغُفِرَ لَهُ بِهَا وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Lalu Allah mengampuninya karena rasa takut tersebut, padahal ia tidak pernah melakukan perbuatan baik kecuali tauhid”.
Maksud ‘amal kebaikan’ dalam hadits di atas adalah amal-amal kebaikan dari anggota badannya (amal dhaahir) yang diharapkan dengannya secara ikhlash untuk wajah Allah semata. Ini sesuai dengan pemahaman dhaahir hadits. Jika pemahamannya adalah pemahaman versi antum – yaitu semua jenis amal kebaikan secara umum – ya ini tidak nyambung dan bertentangan dengan realitas, sebagaimana yang antum akui sendiri.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan bahwa orang tersebut dimasukkan ke dalam surga walau ia tidak pernah berbuat kebaikan. Maka, amal kebaikan di sini adalah dalam konteks sebab yang dapat memasukkannya ke dalam surga. Dan amal kebaikan yang menyebabkan seseorang dapat masuk ke dalam surga adalah amal yang ikhlash dan sesuai dengan yang disyari’atkan Syaari’.
Allah ta’ala berfirman :
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan” [QS. Az-Zukhruf : 72].
Apa maksud amal-amal dalam ayat di atas yang menjadi sebab seseorang masuk surga ? Apakah semua ‘amal kebaikan’ sebagaimana yang antum pahami ? misal : amal kebaikan yang dilakukan, namun dilakukan karena ingin mendapatkan bagian dari dunia ? Atau,…. maksudnya adalah amal kebaikan yang dilakukan secara ikhlash sesuai yang disyari’atkan-Nya ? Insya Allah antum dapat menjawabnya. Apalagi dalam tulisan antum tempo hari menyebut-nyebut tentang amal shaalih. Tentu saya yakin antum tahu definisi amal shaalih yang bermanfaat kelak sebagai bekal masuk ke dalam surga.
Uslub bahasa yang dipergunakan dalam dua hadits di atas serupa dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang tidak bagus shalatnya :
ارجِع فصلّ فإنّكَ لَم تُصل
“Kembali dan shalatlah, karena engkau belum shalat”.
Pada hakekatnya orang tersebut melakukan shalat, namun tidak dianggap melakukan shalat karena tidak sesuai dengan yang diperintahkan.
Sama dengan hadits tentang syafa’at. Orang tersebut barangkali memang pernah melakukan amal kebaikan secara hakekat (wujudnya), namun dianggap tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun karena tidak dilakukan ikhlash karena menghendaki wajah Allah dan/atau tidak sesuai dengan yang diperintahkan syari’at.
Dengan ini, hilanglah kemusykilan secara ‘aqliyyah. Itu bagi saya, entah antum…..
Nah,…. dari sini apakah antum masih kabur tentang gambaran orang yang semacam ini ? Fiktif belaka ? Perkara yang khayal ? Bagi saya kok tidak ya…….
Antum berkata :
Dan terakhir tentang fatwa syaikh bin baz....saya ada tambahan fatwa yang mungkin antum belum pernah baca. Walau afwan saya hanya temui kitab terjemahannya...jawaban beliau sama dengan ustadz yang saya pernah tanya tentang orang yang kosong dari amal zhohir.
Syaikh bin baz pernah ditanya :
Orang yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan ia meyakini dengan hatinya, akan tetapi ia meninggalkan semua amal lahiriah, apakah ia bisa menjadai muslim?
Jawab
Tidak, ia tidak menjadi seorang muslim sampai ia mengesakan Alloh dengan amalnya, mengesakan Alloh dengan rasa takut dan berharap kepadanya, dengan mencintainya dengan sholat dan ia beriman bahwa Alloh telah mewajibkan demikian, dan telah mengharamkan berbuatan demikian.
Tidak bisa dibayangkan....tidak bisa dibayangkan ada seorang muslim beriman kepada Alloh namun meninggalkan semua amal ibadah lahiriyah. Perkiraan ini tidak berdasar sama sekali...tidak mungkin hal ini terjadi pada seorang muslim...sebab iman mendorong untuk beramal, iman yang tulus...ya.
(Dinukil dari komentar terhadap Fathul Majid Syarah kitab tauhid,
 kaset ke-2 awal side B)
Kitab aslinya Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat Tadmir wa dhawabith al-Jihad wa at-Takfir  
(Darul Haq cetakan 1 agustus 2006 : Fatwa2 Terlengkap seputar terorisme, jihad dan mengkafirkan kaum muslimin hal 385)
Maaf, saya sudah baca fatwa itu jauh-jauh hari sebelum antum mengimelkan ini pada saya. Baik yang versi bahasa Indonesia atau bahasa Arab. Di internet pun banyak dinukil.
Jika antum menyandingkannya dengan fatwa beliau yang saya telah saya tulis, niscaya antum akan mengetahui benang merahnya. Akan saya copas ulang :
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ  بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah ?”.
Beliau menjawab :
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.
Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].
Dalam fatwa ini beliau telah mengatakan bahwa orang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal (dengan keberadaan ashlul-iman di hati dan iqrar syahadatain) termasuk golongan Ahlus-Sunnah. Namun beliau menempuh jalan tarjih, dengan perkecualian meninggalkan shalat. Orang yang meninggalkan shalat tetap dihukumi kafir meski ashlul-iman dalam hati orang tersebut ada. Beliau memasukkan amal dhahir berupa shalat sebagai bagian dari shihhatul-iman. Oleh karena itu, menurut beliau, amalan shalat merupakan tambahan dari tiga hal dalam shihhatul-iman dalam ashlul-iman. Adapun amal-amal jawaarih yang lain tidak masuk, sehingga tidak dikafirkan. [saya harap antum memperhatikan pertanyaan yang disampaikan kepada beliau]. Ringkasnya, beliau memperkecualikan amalan shalat di antara amal-amal jawaarih tersebut yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad).
Kemudian di fatwa yang antum sampaikan, beliau berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (amal-amal lahiriah). Tentu saja jawaban itu muncul karena beliau berpendapat tentang amal dhahir shalat fardlu merupakan bagian dari shihhatul-iman, sehingga tidak mungkin seseorang disebut muslim dengan meninggalkan semua amal dhahir. Ingat, beliau menempuh jalan tarjih di antara pendapat-pendapat yang beredar di kalangan Ahlus-Sunnah. Sangat dimengerti.
Tentang ‘ustadz’ yang pernah antum tanya, ngomong-ngomong boleh tahu siapa ?
Antum berkata :
Dan terakhir saya Tanya. Dalam hadits orang yang membakar dirinya imam bukhori meletakkan hadits tersebut dalam bab Takut kepada alloh...
Mengapa rasa takut yang hebat dari lelaki tersebut tidak mengajaknya kepada beramal? Padahal ia tahu wajibnya beramal dan ancaman meninggalkan amal?
Ingat khawarij, mereka begitu giat dalam beribadah dan beramal atas dasar rasa takut yang mendominasi diri mereka...
Dan sungguh aneh mengapa laki-laki tersebut memiliki rasa takut yang hebat tidak membuat ia beramal, walau sekedar Istighfar...?
Kalau antum tanya pada saya mengapa laki-laki itu tidak begini dan begitu, ya jangan tanya pada saya. Saya tidak tahu, karena keterangan dalam hadits hanya sekedar apa yang tertulis saja. Maaf, saya tidak bisa mereka-reka apa gerangan alasan orang tersebut jika memang tidak ada di jalan riwayat yang lain yang menjelaskannya. Sampai saat ini, saya tidak mengetahui ada jalan riwayat lain yang menjelaskan apa yang antum tanyakan itu. Saya memahami sebagaimana dhahir-nya sebagaimana yang dipahami para ulama – walau antum tidak suka. Dan para ulama – tentu saja yang antum tidak sepakat dengan mereka – telah mengambil ‘ibrah hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah secara umum sesuai dengan dhahir dan keumumannya sebagaimana kaedah : al-‘ibratu bi-‘umuumil-lafdhiy……
Adapun jawaban globalnya, saya pikir sudah tergambar dalam tulisan saya di atas.
Antum berkata :
Pada akhirnya saya coba melimpahkan masalah ini kepada orang-orang yang memiliki kekhususan dalam ilmu syar'i. Kebetulan ada teman beliau lulusan dari ma'had dan Sekarang juga sudah lulus dari LIPIA dengan predikat Mumtaz. Sekarang beliau ikut muqobalah untuk S2 ke madinah...tinggal nunggu hasil, ane sudah berikan beberapa referensi yang mungkin terkait dengan masalah meninggalkan seluruh amal. 
Dan juga ada kawan , beliau lulusan dari ma'had dan melanjutkan studi di unaisah mulazamah kepada murid syaikh utsaimin dan sekarang beliau aktif mengajar di beberapa ma'had, saya juga berikan beberapa bahan untuk beliau pelajari tentang masalah ini. 
Rencananya ada salah seorang peneterjemah di sebuah penerbit buku beliau lulusan dari universitas madinah, kebetulan teman ana kenal dekat dengan beliau,  juga coba ane nanti kasih beberapa referensi yang terkait. 
Silakan saja antum diskusikan hal ini dengan orang-orang yang antum anggap mumpuni dalam hal ini. Apakah S1, S2, atau S3, pengajar ma’had, ustadz kibaar, ustadz shighaar, lulusan syari’at univ. dalam negeri atau luar negeri, baik yang berpredikat mumtaz, jayyid jiddan, atau sekedar jayyid saja. Ndak ada kekhawatiran saya tentang hal ini, karena selama ini saya tidak merasa ngarang-ngarang cerita, ngarang-ngarang jawaban, atau ngarang-ngarang kutipan – walau dalam komentar-komentar antum nada dan semangatnya selalu mengarah seakan-akan sayalah yang membuat-buat cerita dan alasan. Hattaa pada imel terakhir yang antum sampaikan pada saya. Saya pun ndak khawatir, seandainya imel saya ini antum perlihatkan kepada konsultan antum tersebut….. sangat dipersilakan. No problemo ! Malah jika ada yang menunjukkan kekeliruan esensial pada tulisan saya ini dengan alasan-alasan atau referensi-referensi valid, saya ucapkan jazaahullaahu khairan !!
Atau, barangkali antum mau menyebutkan konsultan antum dalam hal ini pada saya, akan sangat baik itu. Barangkali saya kenal, sehingga saya bisa mendapat pencerahan dari beliau ini dan bisa saling tukar referensi. Saya punya beberapa referensi yang membahas tentang hal ini. Atau, baiknya antum tanya kepada Ustadz Abu Qatadah (yang katanya antum dulu pernah bertanya pada beliau tentang permasalahan ini) dan meminta transkrip atau rekaman daurah Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy di Lawang 3 tahun yang lalu.
Saya telah mengikuti pembahasan ini semenjak beberapa tahun lalu saat muncul isu irja’ dalam kasus tarkul-‘amal dan al-hukmu bi-ghairi maa anzalallaah. Saya telah membaca penjelasan Lajnah Daaimah, Syaikh Al-Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Ar-Raajihi, Syaikh Shaalih Alusy-Syaikh, Syaikh Hamd bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-‘Atiq, dan yang lainnya, serta beberapa diskusi di forum ahlalhdeeth. Begitu juga saya telah membaca penjelasan Syaikh Al-Albaaniy, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh ‘Aliy, Syaikh Ahmad Az-Zahraniy, Syaikh Al-Barraak, Syaikh Ar-Ruhailiy, Syaikh Rabi’, Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, dan yang lainnya, serta beberapa diskusi di forum kulalsalafiyeen dan sahab. Mereka semua para masyaikh Ahlus-Sunnah yang dalam hal ini berbeda pendapat dengan kadar khilaf yang berlainan.
Dan maaf, dalam hal ini terpaksa untuk dikatakan bahwa pihak yang kontra dengan Lajnah Daaimah adalah lebih kuat – walau mungkin antum berpendapat berbeda dan menginginkan semua orang mematuhi keputusan Lajnah. Gak boleh ada perbedaan. Yang berbeda, ya Muji’ah lah namanya,….. kan itu kata ulamaa…… ya…ya…ya…. I see…
Walau lisanul-maqaal-nya antum mengatakan pada saya : ‘saya tidak menuduh antum ahlul bid’ah’,…. namun lisaanul-haal-nya kok ngarah-ngarah ke sana ya ? Minim, saya menangkap antum menganggap saya berpemahaman Irja’, bukan Ahlus-Sunnah.
Kalaupun misal setelah membaca imel ini antum tetap gak sependapat, saya juga gak masalah, gak maksa kok. Minimal, imel saya ini sebagai jawaban atas imel antum tempo hari. Menuh-menuhi inbox. Apapun itu, sangat tidak bijak kiranya jika ingin berbicara namun tidak menguasai medan pembahasan. Maksudnya, kita hendaknya mendalami hujjah masing-masing pihak yang berselisih sampai mendetail. Menelusuri kitab-kitab yang dijadikan sumber penukilan semampunya. Jika kita ingin menyelami penjelasan Ibnu Taimiyyah, hendaknya membaca langsung pada kitabnya untuk membantu dalam pemahaman atas nukilan-nukilan yang beredar yang biasanya hanya sepotong kalimat atau paragraf. Dan maaf, sepertinya metode antum hanya copas dari internet saja….. Walau tidak dilarang (karena saya juga melakukannya), namun jika ada nukilan atau penjelasan yang seakan-akan bertentangan, metode seperti ini gak bisa diandalkan, kecuali kita merujuk pada kitab aslinya. Jangan gengsi menggunakan e-book atau free-program. Gak ada kewajiban kita harus menelaah via hard-copy selama versi digital bisa dipergunakan yang tetap menjunjung tinggi validitas matan kitab. Kecuali jika antum punya duit banyak untuk beli kitab versi hard-copy…..
Mohon maaf jika saya katakan antum tidak tsabt dalam bahasan. Masih tersimpan di komputer saya sebagian tulisan antum kepada saya, termasuk yang tertulis dalam forum (kecuali jika antum menghilangkan jejak dengan menghapusnya) ataupun imel. Masih ingat kekeliruan antum menuliskan seorang ulama yang telah wafat mensyarah kitab ulama yang masih hidup ? (tidak usah saya sebutkan siapanya). Juga kekeliruan penukilan fatwa Syaikh Ar-Raajihiy ? Kasus fatwa Syaikh Ibnu Baaz beserta ‘rujuk’-nya antum ? Dan sekarang, antum rujuk dari apa yang dirujuk sebelumnya…. Bagi saya itu merupakan gambaran kecil bahwa antum tidak menguasai bahasan dan tidak menguasai referensi. Mudah menyimpulkan dari sedikit yang dibaca lalu menghukumi dengannya. Mudltharib.
Terakhir (lagi)….. mohon maaf jika ada kesalahan dalam imel saya ini dan juga imel-imel saya sebelumnya. Pinginnya pendek, tapi malah ladi panjang.
Akhukum : Abul-Jauzaa’


[1]        Seperti komentar-komentar antum pada blog saya dengan memakai nama ‘anonim’. Walau sempat bersembunyi dengan nama ‘anonim’ dengan memakai gaya bahasa anak gaul, tetap tidak bisa menyembunyikan siapa sebenarnya di balik tulisan-tulisan tersebut. Termasuk, kalimat-kalimat tidak cerdas saat mengomentari artikel takhrij hadits yang saya tulis yang kata antum : ‘comot-comot hadits’. Bahkan sampai mengomentari penggunaan referensi e-book atau free-program. Bagi saya, sangat tidak level untuk terbawa dengan gaya-gaya bodoh seperti ini.
[2]        Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata : “Ini adalah kesalahan dari Lajnah, dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyyuun dan tsauriyyuun”.
Beliau menambahkan : “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasihatku kepada penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa Fulan dan Fulan” [At-Ta’rifu wat-Tanbi’ah, hal. 15].
Ini beliau ucapkan saat menyikapi fatwa Lajnah kepada Syaikh ‘Aliy.
Sekaligus sebagai jawaban atas pernyataan klasik antum :
Jika memang bermuara kepada masalah fiqh mengapa harus dipertahankan mempersoalkan kafir tidaknya orang yang kosong dari amal zhohir?? apa sebatas untuk mempertahannkan pandangan dalam masalah fiqh, sementara akibatnya menimbulkan perpecahan dan fitnah, jika itu cuma pendapat fiqh kenapa tidak ditarik saja sementara agar tidak timbul perdebatan dan perpecahan.
[adapun tentang permasalahan ‘kosong dari amal dhahir’ akan saya komentari kemudian].
[3]        Apakah kita akan mentahdzir orang yang membaca dan merekomendasikan buku tersebut (Syaikh Al-Albaaniy, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syaikh As-Sadlaan) karena berpemahaman irja’ ?
[4]        Bunyi teks tahdzir Lajnah Daaimah itu sebagai berikut :
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين وبعد :
فقد اطلعت اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء على الكتاب الموسوم بـ : ( ضبط الضوابط في الإيمان ونواقضه ) تأليف المدعو / أحمد بن صالح الزهراني ، فوجدته كتابا يدعو إلى مذهب الإرجاء المذموم ؛ لأنه لا يعتبر الأعمال الظاهرة داخلة في حقيقة الإيمان ، وهذا خلاف ما عليه أهل السنة والجماعة من أن الإيمان قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح ، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية .
وعليه : فإن هذا الكتاب لا يجوز نشره وترويجه ، ويجب على مؤلفه وناشره التوبة إلى الله عز وجل .
ونحذر المسلمين مما احتواه هذا الكتاب من المذهب الباطل حماية لعقيدتهم واستبراء لدينهم ، كما نحذر من اتباع زلات العلماء فضلا عن غيرهم من صغار الطلبة الذين لم يأخذوا العلم من أصوله المعتمدة .
وفق الله الجميع للعلم النافع والعمل الصالح .
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عبد العزيز بن باز - رحمه الله – عبد العزيز بن عبد الله بن محمد آل الشيخ - عبد الله بن عبد الرحمن الغديان
صالح بن فوزان الفوزان - بكر بن عبد الله أبو زيد .
[5]      At-Tauhiid oleh Ibnu Khuzaimah, 2/732.
[6]      At-Tamhiid, 23/290.
[7]      At-Takhwiif minan-Naar, hal. 259.
[8]      Dinukil dari kitab : Tarkul-‘Amalidh-Dhaahir wa Atsaruhu fil-Iman oleh Dr. Ahmad Az-Zahraaniy.
[9]      Jaami’ul-Masaail, 5/203.
[10]     Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), namun dengan lafadh :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.
[11]       Ini persis seperti yang perkataan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa yang antum tulis. Maka perhatikanlah !!!
[12]       Misalnya seperti hadits :
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قِيلَ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ
[Diriwayatkan oleh Ahmad].
Di sini beliau memutlakkan nama iman kepada perbuatan tidak mengganggu kepada tetangga.- Abul-Jauzaa’.
[13]       Konsekuensi perkataan beliau ini adalah : Orang yang mengetahui Allah dengan hatinya, mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya, dan melakukan amalan hati (sebagaimana telah disebutkan macam-macamnya oleh Ibnul-Qayyim); maka ia termasuk orang yang beriman yang membedakannya dengan orang kafir. Perhatikanlah !!!!! 

Comments

Yudi Darmawan mengatakan...

subhanllah..

abu wafa mengatakan...

subhanalloh, inilah bahasan yg ana tunggu...

jazakallohu khoyron.

abu wafa mengatakan...

sedikit mengomentari baris yg ini ust :

Jangan gengsi menggunakan e-book atau free-program.

ttg free program.Pasti maksudnya ke program non-bajakan y ust?
Ana berdoa, smoga kita (khususnya ikhwah salafiyyin) dapat menggunakan software2 legal (non-bajakan) dalam kegiatan kita sehari2.

NB: btw, antum pakai office 2007 yg legal kan ust? ^_^

baarokallohu fiik

anang dwicahyo mengatakan...

subhanallah , nggak semuanya dapat saya ikuti , maklumlah saya nggak bisa bahasa arab dan ustadz mungkin agak sedikit emosi sehingga lupa menterjemahkan padahal bloqnya juga di baca orang-orang bodoh seperti saya

Anonim mengatakan...

ga nyangka, ternyata diskusi masih berlanjut di luar komen blog...

koreksi dikit tadz :
"Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya"

terjemah seharusnya : "Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka TIDAK kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@akh abu wafa,.. sebenarnya maksudnya lebih ke arah free program tafsir, hadits, atau kitab yang diproduksi oleh islamspirit. (see : www.islamspirit.com).

@akh anang,.... biasa saja tuh, tidak emosi. dikarenakan itu bahasa imel/surat (bukan bahasa artikel), tentu saja alur bahasanya mengikuti surat sebelumnya. memang sebagian besar belum diterjemahkan, karena memang begitulah adanya yang terdapat dalam arsip imel saya.

@akh reevy, terima kasih atas koreksinya. sudah saya perbaiki.

Penanya mengatakan...

Tadz, ada salah ketik satu huruf -walau sebenarnya ga masalah- tapi bagus juga kalau di perbaiki, yakni ketika antum ketikan:

“Dan Asy-Syaikh ‘Aliy telah membantah dengan bantahan yang ilmiah [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah] sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh salah umat ini” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam muhadlarah beliau yang berjudul : ‘Alaa Thariiqis-Sunnah].

yang benar bukan "salah umat ini" tapi "salaf umat ini", mungkin antum kecepatan nulisnya jadi huruf "f" tertukar dengan huruf "h".

Oya tadz, komen ana kali ini ga usah ditampilkan ya tadz, soale ga penting2 amat...cuma menuh2in kolom komentar di blog antum aja nantinya, hehe :D

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sudah diperbaiki. Terima kasih atas koreksinya. Jazaakallaahu khairan.

[komen tetap ditampilkan, karena itu menunjukkan tulisan ini memang perlu untuk dikoreksi, diperbaiki, dan diberi masukan seperlunya. manusia tempatnya lupa dan salah]

Anonim mengatakan...

subhanallah. terima kasih. Rada-rada paham sih.