Menyoal Perkataan : Undhur Maa Qoola wa Laa Tandhur Man Qoola


Tanya : Apakah perkataan 'jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan adalah perkataan yang mutlak salah dan merupakan perkataan orang yang mempunyai manhaj ‘di sini senang di sana senang’ ?
Jawab : Perkataan tersebut tidak mutlak benar, tidak mutlak pula salah.

Tidak mutlak benar jika ditempatkan bahwa setiap orang harus menuntut ilmu atau mencari ilmu pada setiap orang tanpa melihat kelurusan agamanya. Telah ada artikel di blog ini yang membahasnya (lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/memilih-milih-guruustadz-dalam-menuntut.html).
Tidak mutlak salah jika ditempatkan bahwa setiap kaum muslimin tidak boleh fanatik pada orang tertentu, dan harus tetap mengambil kebenaran darimana pun ia keluar. Betapapun tinggi kedudukan seseorang, jika perkataannya menyalahi nash, maka kita tingalkan ia dan kita ambil nash. Sebaliknya, betapa rendah kedudukan seseorang atau betapa bencinya kita pada seseorang, namun jika perkataannya berkesesuaian dengan nash dan mencocoki kebenaran, maka perkataan tersebut wajib untuk kita ambil. Oleh karenanya Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
ونرجح ما ظهر لنا أنه الراجح بالدليل من غير تعصب لمذهب معين ولا لقول قائل معين لأننا ننظر الى ذات القول لا إلى قائله
Kami merajihkan apa yang nampak pada kami bahwasannya ia lah yang raajih berdasarkan dalil, tanpa rasa TA'ASHUB terhadap madzhab tertentu. Tidak pula karena perkataan orang tertentu. Karena KAMI MELIHAT KEPADA DZAT PERKATAANNYA, TIDAK PADA ORANG YANG MENGATAKANNYA" [Muqaddimah Adlwaaul-Bayaan, 1/4].
Asy-Syinqithiy mempunyai salaf dalam makna perkataannya di atas, sebagaimana perkataan Maalik bin Anas rahimahullah :
وكل إنسان يؤخذ منه ويرد إلا صاحب هذا القبر
“Setiap orang (bisa) diambil dan ditolak perkataannya, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”.
Begitu juga ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang berkata :
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenali melalui orang-orang, namun kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenali orang-orangnya”.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
يوشك أن تنْزل عليكم حجارة من السماء أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، وتقولون قال أبو بكر وعمر؟.
“Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan : ’telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, sedangkan engkau (membantahnya) dengan mengatakan : ’telah berkata Abu Bakr dan ’Umar”.
Kebenaran itu wajib diterima, darimana pun ia datang. Meskipun bukan dari ulama yang sepemikiran dengannya, ustadz yang satu halaqah dengannya, dan yang lainnya. Bukankah beliau shallalaahu ‘alaihi wa sallam pernah membenarkan perkataan setan kepada Abu Hurairah tentang ayat kursi, sehingga beliau berkata :
أما إنه قد صدقك وهو كذوب
“Sesungguhnya ia telah jujur kepadamu, padahal ia seorang pendusta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy, baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/eksistensi-jin-menurut-syariat-islam.html].
Menolak kebenaran adalah satu kesombongan, dan kesombongan bukan merupakan bagian sifat penduduk jannah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر" قال رجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة. قال: "إن الله جميل يحب الجمال. الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Tidak akan masuk surga siapa saja yang ada dalam hatinya kesombongan meskipun sebesar dzarrah”. Salah seorang shahabat bertanya : “Sesungguhnya seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah itu juga termasuk kesombongan ?)”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah itu indah dan suka keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” [Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan yang lainnya].
Sungguh menyedihkan, sebagian ikhwan – dan yang lebih menyedihkannya adalah sebagian saudaraku ‘salafiy’ - menjadi begitu fanatik pada orang tertentu karena berpegang pada bagian yang pertama, namun mengabaikan bagian yang kedua. Dan mungkin, perkataan ‘manhaj di sini senang di sana senang’[1] itu merupakan produk yang dihasilkan oleh sikap kefanatikan ini.
Silakan baca penjelasan Fadliilatusy-Syaikh Shaalih As-Suhaimiy hafidhahullah di http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=891.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ al-atsariy – njakal, gentan, ngaglik, sleman, yogyakarta].


[1]     Mungkin orang yang mengatakannya pernah aktif di organisasi Pramuka, sehingga hapal bait lagu : ‘Di sini senang di sana senang’.

Comments

aulia mengatakan...

Jadi dapat disimpulkan bahwa utk mencari kebenaran lihat orangnya dan utk menerima kebenaran, lihat perkataannya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya.

Mencari itu bisa digambarkan sebagai usaha menuntut ilmu, berusaha mencari penjelasan kebenaran. Tentu saja, jalan ini tidak dapat ditempuh melainkan dengan kita menemui orang yang tepat untuk itu.

Adapun menerima kebenaran, tentu beda dengan yang pertama. Seandainya saja Quraisy Syihab - sekali lagi : seandainya - mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak boleh kita berbuat syirik kepada-Nya, bukankah perkataan itu wajib kita terima (benarkan), karena sesuai syari'at yang haq ?.