Isyarat dengan Telunjuk Ketika Duduk di Antara Dua Sujud


Dr. Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mushlih pernah ditanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Apakah disunnahkan berisyarat dengan telunjuk dalam doa saat duduk di antara dua sujud ?”.
Jawab :
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Wa’alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakaatuh.

Jumhur ulama berpendapat tidak mengangkat telunjuk (berisyarat) kecuali saat duduk tasyahud. Namun sebagian yang lain berpendapat mengangkat telunjuk juga dilakukan pada saat duduk di antara dua sujud. Pendapat ini merupakan pendapat yang terpahami dari perkataan Ibnul-Qayyim dalam Zaadul-Ma’aad, yaitu perkataanya terhadap hadits yang diriwayatkan Al-Imaam Ahmad (18379) dari jalan ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata – dalam sifat shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - : “… dan beliau sujud, lalu meletakkan tangan beliau di samping kedua telinga beliau. Kemudian duduk di atas kaki beliau yang kiri (duduk iftirasy). Kemudian meletakkan tangan kiri beliau di atas paha kiri beliau, dan meletakkan hasta kanan beliau di atas paha kanan beliau, lalu berisyarat dengan telunjuk dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah dan menggenggam jari-jari yang lain. Kemudian sujud dimana kedua tangan beliau sejajar dengan kedua telinga beliau”.  Dan ini jelas penunjukkannya bahwa orang yang shalat berisyarat dengan telunjuknya ketika duduk di antara dua sujud. Adapun jumhur berkata : “Sesungguhnya riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang mauhfuudh yang ternukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari selain hadits ini dimana beliau tidak melakukannya kecuali ketika tasyahud; sebagaimana terdapat dalam Shahiih Muslim (no. 580) dari hadits Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kiri beliau di atas paha kiri beliau, dan meletakkan tangan kanan beliau di atas paha kanan beliau, dan beliau lingkarkan jarinya sehingga membentuk angka limapuluh tiga, dan berisyarat dengan telunjuk". Hadits ini sebagai dalil bahwa isyarat dengan telunjuk hanya ada pada waktu tasyahud.
Dan yang nampak/jelas (bagi saya) bahwasannya isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud itu merupakan sunnah tsaabitah (tetap/shahih) yang ternukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun (isyarat) pada waktu duduk di antara dua sujud, maka ia dilakukan kadang-kadang saja. Oleh karenanya, isyarat ketika duduk antara dua sujud tidaklah (banyak) ternukil sebagaimana ternukilnya perbuatan itu ketika tasyahud. Wallaahu a’lam”.
Saudaramu,
Dr. Khaalid Al-Mushlih (6-4-1427 H).
[selesai].
NB : Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Mushlih hafidhahullah di atas seperti perkataan gurunya, Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah (http://www.islamqa.com/ar/ref/121658 dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=147975). Semoga Allah ta’ala memudahkan penulisan pokok-pokok tashhih hadits berisyarat pada waktu duduk di antara dua sujud ini. [Bersambung ke : sini].

Comments

aris munandar mengatakan...

Masalah ibadah mahdhah telah selesai di masa salaf.
Adakah ulama salaf yang mendahului Ibnul Qayyim dalam masalah ini?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Semoga kita bersepakat pada kalimat :

إذا صح الحديث فهو مذهبي

إذا ورد الأثر بطل النظر

Oleh karena itu, kita akan fokus bagaimana keshahihan hadits ini. Seandainya shahih - sekali lagi : seandainya shahih - apakah kita tidak perlu mengamalkan kandungannya ?

aris munandar mengatakan...

Adakah ibadah yang terlewatkan dari ilmu para ulama salaf sehingga tidak ada satupun mereka yang berpendapat dengannya atau mengamalkannya?
Buku Ibnu Rajab, "Fadhlu Ilmi Salaf 'ala Ilmi Khalaf" patut selalu kita letakkan didepan mata kita.
Bukankah kita sepakat untuk mengikatkan diri dengan pemahaman dan pengamalan salaf terhadap al Qur'an dan sunnah?

aris munandar mengatakan...

Jangan pernah kita lupakan wasiat Umar bin Abdul Aziz:
فارض لنفسك ما رضي به القوم لأنفسهم فإنهم على علم وقفوا وببصر نافذ كفوا ولهم على كشف الأمور كانوا أقوى وبفضل ما كانوا فيه أولى
Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya no 4612

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya pikir, kita tidak akan tidak bersepakat dengan yang antum katakan, termasuk wasiat 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz dan juga kitab Fadlu 'Ilmis-Salaf. Alhamdulillah, keduanya telah saya baca.

Saya bertanya pada diri pribadi saya : "Jika kita sebut salaf, apakah itu mengeluarkan diri Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dari cakupannya ?". Saya akan jawab tidak, karena beliau lah sebaik-baik salaf. Pemimpin salaf umat ini. Saya tidak berprasangka Ustadz Aris melewatkan perkataan 'Umar bin 'Abdil-'Aziiz sebelumnya :

أما بعد أوصيك بتقوى الله والاقتصاد في أمره واتباع سنة نبيه صلى الله عليه وسلم وترك ما أحدث المحدثون بعد ما جرت به سنته وكفوا مؤنته فعليك بلزوم السنة فإنها لك بإذن الله عصمة

Nah, di sini kita akan melihat bahasan hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kita tidak perlu skeptis dan ancang-ancang membuat jarak terhadap hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan saya sangat yakin bahwa Ustadz Aris tidak bermaksud seperti itu.

Oleh karena itu, di sini, kita akan melihat bagaimana pendapat sebagian ahli ilmu tentang hadits dalam bahasan ini (yang semoga Allah memudahkan saya menuliskan ringkasannya). Shahih atau tidak shahih. Jika memang tidak shahih, tentu tidak perlu kita toleh apa yang menjadi kandungannya, karena kita telah dicukupkan dengan riwayat-riwayat yang shahih. Namun jika shahih, saya yakin kita semua tahu apa yang telah Allah bebankan pada kita terhadap riwayat tersebut....

Wallaahu ta'ala a'lam.

aris munandar mengatakan...

Andai ada orang yang membuat amal ibadah baru dengan berlandaskan hadits-hadits yang bersifat umum. mengetahui hal tersebut kita sampaikan kepadanya bahwa amalan tersebut tidak dituntunkan karena tidak ada ulama salaf yang memahami hadits tersebut dengan pemahaman semacam itu. Eh ternyata dia menjawab, "Tidak bisa semacam itu, haditsnya bersifat umum dan nabi tidak memberikan takhsis sehingga maknanya harus kita pahami sebaca umum. andai maknanya khusus, tentu nabi telah menjelaskannya. karena makna umum adalah apa yang nabi maksudkan makna nabi adalah salaf saya bahkan nabi adalah salafnya salaf".
Kira-kira jawaban apa yang tepat untuk kita sampaikan dalam kondisi semacam itu?

aris munandar mengatakan...

Jika kita telah sepakat dengan kalimat berikut:
ولهم على كشف الأمور كانوا أقوى
maka mungkinkan kita bisa menerima dan menyakini adanya sebuah hadits-yang menurut sangkaan kita shahih-yang tidak diketahui atau tidak diketahui makna kandungannya oleh tiga generasi awal Islam lalu baru diketahui dan diamalkan oleh Ibnul Qayyim atau ulama belakangan yang lainnya?
Bukankah tidak adanya ulama salaf yang berpendapat dengan hadits tersebut adalah indikator kalo mereka sepakat untuk tidak mengamalkannya karena sebab syar'i tertentu yang belum kita ketahui?
Tidakkah dalam kondisi ini kita sebaiknya bersikap hati-hati dengan meneladani sikap mereka?
Mohon pencerahan dari ustadz Abul Jauzaa.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Ustadz Aris,..... tentang hadits yang bersifat umum, maka tentu anggapan mereka (orang yang membuat bid'ah) tidak diterima. Namun jika perkataan antum tertuju pada hadits dalam bab ini, maka - maaf - kurang akurat. Mungkin ustadz membaca sebagian fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin yang menyebutkan hadits :

إن النبي صلى الله عليه وآله وسلم,كان إذا جلس في الصلاة أشار بالسبابة

atau yang semakna. Beliau berpegang pada kaedah ushuliyyah : ذكر بعض ألفاظ العام بحكم يوافق العام لا يعد تخصيصا.

Tapi sebenarnya pendalilan dalam masalah ini bukan hadits yang tersebut di atas. Coba kita lihat kembali bersama dalam Musnad Ahmad (dan secara makna, hadits itu telah disebutkan oleh Dr. Al-Mushlih di atas).

Bahkan, haditsnya bersifat khusus dan jelas sekali penunjukkannya. Perkataan sebagian ulama yang mendla'ifkan hadits ini menunjukkan secara tidak langsung kesharihan penunjukkan hukum yang ada di dalamnya.

Yang jadi pedoman pokok dari suatu hadits adalah keshahihannya dan kejelasan penunjukkan (hukum)-nya. Jika dua hal itu telah terpenuhi, maka hadits itu diamalkan. Penafikan ilmu/pengetahuan akan orang yang beramal dengan hadits tersebut bukanlah halangan untuk mengamalkan hadits tersebut. Bukankah jika ternukil pendapat shahabat yang menyelisihi dhahir hadits, maka pendapat itu lemah ? Ini dengan catatan, ada perkataan shahabat yang ternukil mengenai bahasan tersebut. Lantas bagaimana halnya jika semata-mata disebabkan tidak diketahui ada shahabat atau salaf menyebutkan hadits tersebut, sementara hadits tersebut nyata-nyata ada ? [Dan sampai saat ini, yang nampak bagi saya, hadits tersebut adalah shahih]. Saya rasa, tidak bijak rasanya bermudah-mudah 'menyimpulkan ijma'' hanya karena ketiadaan pengetahuan akan sesuatu hal sehingga mengkonsekuensikan menolak hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apalagi, isyarat yang disebutkan adanya ijma' sukutiy ini merupakan ijma' dhanniy saja. Klaim 'bersepakat' yang antum katakan di sini menurut saya lemah.

Saya hanya ingin mengingatkan kembali bagaimana Imam Maalik langsung mengamalkan sunnah ketika beliau tahu keshahihan hadits menyela-nyela jari kaki ketika berwudlu tanpa bertanya : 'Adakah orang yang telah melakukannya ?'. Dan yang lainnya dari sikap salaf.

Seandainya Ustadz Aris mengkritik hadits ini dari sisi riwayat atau dirayatnya, maka pada prinsipnya 'tidak ada perbedaan mendasar' antara kita. Karena hadits dla'if memang tidak layak untuk diamalkan. Namun seandainya kritik itu semata-mata hanya karena ketiadaan pengetahuan adanya ulama sebelum Ibnul-Qayyim mengamalkan hadits ini, sementara hadits ini sendiri adalah shahih dan penunjukkannya sharih; maka maaf, saya berbeda dengan antum untuk 'yang kesekian kalinya'.

Jazaakallaahu khairan atas segala masukannya yang sangat berharga.

aris munandar mengatakan...

قال عبد الملك الميموني: قال لي الإمام أحمد: يا أبا الحسن، أياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام
Manakiq Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi hal 178 sebagaimana saya baca di Lamm al Duror al Mantsur min al Qoul al Ma'tsur fi I'tiqad wa al Sunnah hal 35, terbitan Dar al Minhaj Mesir.
Apa makna nasehat Imam Ahmad di atas?
Apakah maknanya, janganlah bicara tentang masalah agama kecuali memiliki dalil shahih sharih karena Nabi adalah imamnya imam?
Ataukah maknanya, janganlah bicara masalah agama kecuali ada ulama sebelumnya yang berpendapat dengannya meski dia ulama mutaakhirin karena yang penting ada ulamanya?
ataukah maknanya, janganlah berpendapat dalam masalah agama sampai mengadakan penelitian adakah imam dari kalangan salaf yang berpendapat semacam itu?
Mohon pencerahan dari Ustadz Abul Jauzaa

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya nukilkan jawaban dari Ibnul-Qayyim :


قال الإمام أحمد لبعض أصحابه: إياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام . والحق التفصيل؛ فإن كان في المسألة نص من كتاب الله أو سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو أثر عن الصحابة لم يكره الكلام فيها.

وإن لم يكن فيها نص و لا أثر فإن كانت بعيدة الوقوع أو مقدرة لا تقع لم يستحب له الكلام فيها.

وإن كان وقوعها غير نادر ولا مستبعد وغرض السائل الإحاطة بعلمها ليكون منها على بصيرة إذا وقعت استحب له الجواب بما يعلم.

لا سيما إن كان السائل يتفقه بذلك ويعتبر بها نظائرها، ويفرع عليها فحيث كانت مصلحة الجواب راجحة كان هو الأولى

Satu point penting adalah beliau mentafshil perkataan Imam Ahmad tersebut. Apabila dalam permasalahan tersebut terdapat nash dari Al-Qur'an, atau sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, atau atsar dari shahabat; maka tidaklah dibenci perkataan padanya.

Semoga jawaban ini bermanfaat bagi kita semua.....

Wallaahu ta'ala a'lam.

aris munandar mengatakan...

قال أبو عبيدة مشهور ال سلمان – حفظه الله تعالى- : "كان جواب شيخنا – يعني الألباني- على سؤالي له :لما الاقتصار على القول بكراهة الجماعة الثانية و قد قامت الأدلة على منعها و الأصل في العبادات التوقيف فما المانع من القول بحرمتها أو بدعيتها؟ فقال حفظه الله: ما رأينا في ذلك لنا سلفا"
المرجع:
إعلام العابد في حكم تكرار الجماعة في المسجد الواحد لأبي عبيدة مشهور بن حسن بن سلمان دار المنار الطبعة الثانية 1412 ص 9
Syaikh Al Albani mengakui adanya banyak dalil-termasuk diantaranya adalah dalil dari sunnah-yang menunjukkan haramnya jamaah kedua namun beliau berpendapat bahwa hukum jamaah kedua adalah makruh dengan alasan beliau belum tahu adanya ulama salaf yang mengharamkan jamaah kedua.
Tepatkah mauqif al Albani dalam hal ini? Ataukah beliau bersikap “skeptis dan ancang-ancang membuat jarak terhadap hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam” yang beliau sendiri mengakui kalo hadits tersebut menunjukkan haramnya jamaah kedua?
Mohon faidah ilmiyyah dari ustadz Abul Jauzaa tentang hal ini.

aris munandar mengatakan...

Mohon penjelasan, perkataan Ibnul Qayyim "tidaklah dibenci" itu
mubah ataukah
dianjurkan ataukah
wajib perkataan padanya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Apabila inti dari pertanyaan ustadz aris masih berkisar pada permasalahan 'ketiadaan salaf', sebenarnya Syaikh Al-Bazmuul telah memberikan perincian yang bagus dalam hal ini (yang tidak saya tampilkan dalam komentar di atas). Saya persilakan ustadz aris membaca sendiri di : http://uqu.edu.sa/page/ar/101008.

Sedangkan makna 'tidak dibenci', yang jelas, tidak mungkin makna itu menunjukkan satu ketidakbolehan.

Wallaahu ta'ala a'lam.

['afwan, saya sengaja meninggalkan pencontohan antum atas kasus Syaikh Al-Albaniy, karena menurut saya hal itu berbeda dengan ini. terlebih, apa yang dijelaskan Syaikh Al-Bazmuul lebih mengarah pada core yang sedang kita bahas].

aris munandar mengatakan...

Syaikh Bazmul mengatakan:
ـ أن يجمع السلف على ترك العمل بهذا النص، فهذا عند أهل العلم علة تمنع العمل بالحديث! ونبه عليها ابن رجب وغيره من أهل العلم.
Bagaimana cara mengetahui ijma salaf utk tidak beramal dengan suatu nash?
Apakah harus ada qoul sharih dari semua salaf alias ijma sharih ataukah
cukup dengan tidak adanya qo-il dari satupun salaf alias ijma zhanni?
Adakah contoh untuk nash yang salaf ijma tidak beramal dengannya?
Mohon pencerahan dari ustadz Abul Jauzaa

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Itu merupakan salah satu kondisi yang dikemukakan Syaikh Al-Bazmuul. Kondisi lain yang dinyatakan beliau adalah :

أن لاتعلم هل أخذ السلف به أو خالفوه، فلا تدري شيئا من عمل السلف بهذا النص الذي بين يديك، فهنا الواجب عملك بالنص وأخذه، فإن الحديث حجة بنفسه

Kalau boleh saya pun ingin bertanya : Apakah dalam pembahasan ini yang sesuai dengan perkataan Syaikh Al-Bazmuul adalah yang antum sitir di atas atau yang saya sitir di sini ?

Kemudian, kalau boleh saya pun bertanya : Apa sebenarnya ijma' sukutiy itu ? Apakah karena ketiadaan pengetahuan sebagaimana kondisi yang dikemukakan oleh Syaikh Al-Bazmuul di atas; atau ketidaan pengingkaran atas pernyataan satu atau lebih salaf dari yang lainnya ? Jika ustadz mengatakan bahwa salaf telah berijma' tidak mengamalkan hadits itu, adakah bayyinah dari perkataan salaf yang mendasari hal itu ? (sehingga bisa dianggap - minimal - sebagai ijma' sukutiy).

Mohon maaf jika di bagian ini saya yang bertanya, karena kewajiban seorang yang jahil adalah bertanya kepada seorang yang ia anggap lebih 'alim.

Anonim mengatakan...

hehe mantebb...
lanjutgan diskusi ilmiyah nya
ijin nyimak

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya hanya ingin sedikit memperjelas apa yang hendak saya tanyakan kepada Ustadz Aris (agar output yang ada sesuai yang saya maksudkan).

Apakah yang disebut ijma' sukutiy yang diisyaratkan oleh ustadz aris di sini ? (dan sebagai catatan, saya dalam posisi tidak sependapat dengan adanya klaim ijma' ini). Apakah ijma' yang ustadz sebutkan itu qarinahnya adalah karena tidak didapatkannya pengetahuan dari salaf yang mengamalkan sebuah hadits ? Ijma' sukutiy yang dikenal fuqahaa' - sependek pengetahuan saya - adalah adanya statement fatwa yang dikeluarkan oleh mujtahid (terutama dari kalangan salaf), yang kemudian tidak tampak pengingkaran dari dari mujtahidin yang lain yang mengetahui fatwa tersebut.

وَبِقَوْلِ الْبَعْضِ وَفِعْلِ الْبَعْضِ, وَانْتِشَارِ ذَلِكَ الْقَوْلِ أَوْ الْفِعْلِ وَسُكُوتِ الْبَاقِينَ عَنْهُ, وَيُسَمَّى ذَلِكَ بِالْإِجْمَاعِ السُّكُوتِي.

[Syarh Al-Mahalliy 'alal-Waraqaat].

Seandainya ustadz aris sepaham dan sependapat dengan pengertian ijma' sukutiy yang saya sebutkan, maka pertanyaannya : Dimanakah letak perkataan mujtahidin (dari kalangan salaf) yang menyatakan tidak mengamalkan hadits ini (berisyarat ketika duduk di antara dua sujud) yang mujtahidiin lain diam/sependapat dengannya ?".

Kebetulan saya melihat komentar antum di blognya ustadz Firanda yang membahas tentang ijma' sutrah. Terkait dengan bahasan ini, seandainya kita terima apa yang antum sebut sebagai ijma' sukutiy dalam masalah ini- kira-kira, bagaimana pendapat antum dengan statement Syaikh Asy-Syinqithiy berikut (saya yakin antum telah membacanya - saya copas langsung dari tulisan ustadz Firanda) :

واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي

"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445).

Terima kasih.

zaky rais mengatakan...

inilah salah satu ciri pembeda dakwah salaf dgn dakwah yg laen. ilmiah dikedepankan.

saya bnyk ambil manfaat dr diskusi ini. jazakumullah khairan

Anonim mengatakan...

obrolanmu sprti orang pintar...!!!!tp sy yakin bhw antum hanya orang yg bru mengenal agama di masa tua,dan yg sgt di sayangkan antum bljr dr orang2 yg tertipu dgn ilmunya..asal anda tau ilmu bs jg menjd sebab jauhnya kita dr ridho Allah SWT.klo sy perhatikan orang2 salapi merujuk kpd ulama itu itu aja,sprtinya di dunia ini yg fhm tntng agama cuma itu itu aja..ktk sy melihat orang2 salapi (kamu salah 1nya)sy ingat wktu sy kelas satu madrasah diniyyah,sy pernah di tanya sama kawan 1kls dgn sy,نصرا kalimah apa??kmdian sy jawab kalimah fi'il madi krn di otak sy ada suatu pemahaman bhwa klo ktka satu kalimah di tashrif,dia berada di posisi pertama maka dia fi'il madhi,tp stlh sy trs bljr,sy tau bhw jaban sy salah..nasihat sy untk kamu..bljr aja yg bnyk..dan jgn merasa paten dlu.

Bukan Salapi mengatakan...

@Anonim 19 Oktober 2010 11.13

--> obrolanmu sprti orang pintar

Jujur, komentar anda ini malah benar2 terlihat seperti komentar orang bodoh


--> tp sy yakin bhw antum hanya orang yg bru mengenal agama di masa tua

Ya, mungin saja, trus apa masalahnya?

--> dan yg sgt di sayangkan antum bljr dr orang2 yg tertipu dgn ilmunya

Ini komentar paling sok tahu yang pernah ana lihat di blog ini

--> asal anda tau ilmu bs jg menjd sebab jauhnya kita dr ridho Allah SWT

Sepakat, orang2 supi dan orang2 ngasy'ari pun setahu ana juga sepekat dengan hal ini

--> klo sy perhatikan orang2 salapi merujuk kpd ulama itu itu aja,sprtinya di dunia ini yg fhm tntng agama cuma itu itu aja

Itu karena wawasan anda yang sangat2 sempit -kalau tidak mau dikatakan bahwa anda ini bodoh terhadap realita yang ada di dunia persalapian-, bahkan dalam contoh artikel2 dan komen2 di blog ini -kecuali komentar orang2 semacam anda- jelas sekali bahwa dua orang diatas -yakni Aris Munandar dan Abul Jauzaa- tidak berpegang pada qaul ulama salapi di zaman ini semata...

--> ktk sy melihat orang2 salapi (kamu salah 1nya)sy ingat wktu sy kelas satu madrasah diniyyah,sy pernah di tanya sama kawan 1kls dgn sy,نصرا kalimah apa??kmdian sy jawab kalimah fi'il madi krn di otak sy ada suatu pemahaman bhwa klo ktka satu kalimah di tashrif,dia berada di posisi pertama maka dia fi'il madhi,tp stlh sy trs bljr,sy tau bhw jaban sy salah.

Kalau anda bodoh, maka jangan anggap bahwa orang lain selain anda itu sama bodohnya dengan anda, cukuplah cara berpikir anda ini mencerminkan kebodohan anda.

--> nasihat sy untk kamu..bljr aja yg bnyk..

Nasehat saya untuk anda, belajarlah yang banyak sebelum berkomentar sebab komentar anda diatas mencerminkan kebodohan anda -terutama terhadap dunia persalapian-... :D

--> dan jgn merasa paten dlu.
Kalimat anda ini butuh rincian, saya tidak menetapkan dan tidak mengingkari kalimat anda ini secara mutlak...

Anonim mengatakan...

@anonim 19 Oktober 2010 11.13

- klo sy perhatikan orang2 salapi merujuk kpd ulama itu itu aja

Coba dijelaskan, yg kamu maksud ulama itu2 saja itu siapa? Syaikh Albani kah, Syaikh Utsaimin atau Syaikh Ibnu Baz? Coba kamu baca komentar2 dari awal, siapa saja ulama2 yang pendapat2nya dibahas. Kalo perlu kamu baca artikel2 di web ustadz abul jauzaa ini. Ulama siapa aja yg dibahas. Selamat membaca...!!

- nasihat sy untk kamu :

Lebih baik kamu diam dan perhatikan diskusi ini dengan baik bila tidak bisa membantah dan berhujjah. Bila tidak suka, silahkan tinggalkan web ini. Komentar kamu mencerminkan kebodohan dirimu sendiri akibat gengsi tidak bisa berhujjah. Selamat belajaaaar...!! :D

Anang Dwicahyo mengatakan...

Ustadz , tolong komentar tidak bermutu tidak usah ditampilkan karena merusak konsentrasi kita-kita ini dalam belajar.

Bloq semacam ini jarang ana temui , jadi ana berharap bloq antum dapat menjadi contoh bloqer lainnya , sayang kalau di kotori dengan tulisan yang tidak bermutu.

Maaf , ana pengunjung setia bloq antum

Anonim mengatakan...

di bilang bodoh olah orang bodoh yg merasa pintar,bukan hal yg aneh,,tpitu hal yg biasa,dr hasil penelusuran banyak kiyai,,skrng di ketahui bhw di belakang kalian ada yahudi dan PKI..akhir2 ini bnyk hadits yg di anggap shoheh kalo di belakangnya ada kata2 "di sohehkan oleh albani"padahal albani hnya org bodoh yg sombong,dia muhaddits sesat tampa sanad,,bnyk bukti tntg hal ini,di satu kitab karangannya dia mendo'ifkan satu hadits tp di kitab dia yg lain mensohihkan hadits yg sama,di satu kitab karangannya,dia memuji satu 'ulama,tp di kitab karangan dia yg lain dia mencela ulama yg sama,,aneh bin ajaib..ini yg di bilang oleh orang salapi(salah pikir)MUHADDITS)????mengenai hujjah...percumah selain salapi mengeluarkan hujjah i komantar2nya,,krn itu tdk akan pernah di terima klo tk cocok dgn isi perut kalian,,jd ngapain pusing2 nuliskan hujjah,mlh justru hanya akan membuat kalian makin bnyk dosa...he he he....ini fakta dek..!!!ini kan warisan dr albani,bin baz.dll....

ibnu ruhadi mengatakan...

To : Anonim 19 Oktober 2010 11.13

Assalaamu 'alaykum...semoga anda sering mampir ke blog ini.

Jika menurut anda, orang-orang "salapi" ini hanya merujuk pada ulama yg itu-itu saja...sudilah kiranya, anda menukilkan perkataan/pendapat ulama "aswaja" sebagai tambahan FAEDAH ILMIYAH untuk kami.

Jika anda tidak setuju dengan penjelasan ust.abul jauzaa mengenai "Isyarat dengan Telunjuk Ketika Duduk di Antara Dua Sujud" ini...bantahlah beliau dengan mengutip perkataan/penjelasan tentang materi yg sama dari Kiyai Syafi'i Hadzami, atau Habib Mundzir, atau Habib Umar, atau Imam Nawawi Al Bantani.

Silahkan saudara nukilkan perkataan Imam Rafi'i, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Syaikhul islam Zakariya Al Anshari, Imam Syamsuddin Ar Ramly, Imam Zainudin Al Mallibary...dari kitab-kitab fiqh mereka sesuai pembahasan di artikel ini.


Sungguh, ini jauh lebih bermanfaat untuk kami...para "salapi".
Daripada saudara menulis komentar seperti diatas (19 Oktober 2010 11.13), yg hanya mempermalukan diri anda sendiri.

bayu mengatakan...

@ ust aris
mbok yo klo komen pake tulisan arab kasih terjemahannya juga. jangan pelit lah. emangnya yang datang ke blognya abul jauzaa orang keren semua yang bisa baca tulis arab?

perasaan ane liat komengnya juga one liner semua lagi. bagi2 ilmunya jangan nanggung dunk :P

aris munandar mengatakan...

Utk memastikan apakah hadits yang kita bahas masuk kategori:
a. ijma salaf utk meninggalkan beramal dengannya ataukah
b. tidak diketahui adanya salaf yang beramal dengannya.
Kita perlu mengetahui definisi ijma salaf, cari utk mengetahuinya dan seperi apa contohnya.
Nah, saya belum ilmu tentang hal itu semua oleh karena itu saya tanyakan kepada ustadz Abul Jauzaa, seorang kutu buku yang handal utk menimba ilmu dari beliau.

aris munandar mengatakan...

Utk membantu mendudukkan masalah dalam hal ini mungkin ustadz Abul Jauzaa bisa membacakan untuk kita buku Laa jadida fi Ahkam al Shalah karya Syaikh Bakr Abu Zaid lalu menyampaikan kesimpulannya di sini.
Kalo tidak salah ingat, karena buku tersebut saya baca beberapa tahun yang lewat,permasalah ini dibahas dalam buku tersebut.
Jazakumullahu khoiron

alif mengatakan...

Semoga dg diskusi ini ilmu menjadi agung & jelas karena hujjah, meski dr siapapun yg menyampaikannya & tdk lantas meremehkn karena kedhoifannya, krn bukan dia dulu yg dibenarkan melainkan ilmunya.

Anonim mengatakan...

Setuju dengan akh alif. Ada ungkapan sbb : Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tp lihat apa yg disampaikan. Sekaligus ini jg menjadi bantahan bagi org2 yg beranggapan bahwa ilmu hanya dilihat dan diambil dari orang2 yang mempunyai "sanad" keilmuan hingga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Anyway, saya tidak hendak memperpanjang apalagi menanggapi komen yang tidak bermanfaat spt anonim 19 Oktober 2010 11.13 dan 20 Oktober 2010 08.17, yg jelas saya merasa diskusi ini banyak memberikan faidah baru bagi saya terutama pengetahuan mengenai ijma' ulama apalagi setelah saya baca tambahan artikel ustadz Firanda mengenai ijma' ulama terkait hukum sutroh. Alhamdulillah, saya bersyukur pada Allah Ta'ala karena telah dikenalkan pada org2 "salapi" (spt ustadz Abul Jauzaa & ust Aris Munandar) yg walaupun mereka tidak ghuluw pada sanad keilmuannya (baca: tawadhu'), tetapi diskusi diantara mereka sangat ilmiah dan jauh dari pergunjingan. Hatta, ini membuktikan kebenaran ungkapan yg saya bawakan diatas bahwasanya jgn lihat org yg menyampaikan tetapi lihatlah apa yg disampaikan.

Monggo, silahkan dilanjut lagi saudara2ku sekalian. Dan bagi yg mempunyai pikiran spt anonim 19 Oktober 2010 11.13 dan 20 Oktober 2010 08.17, saya harap anda2 tidak sekedar menggunjing. Buktikan sanad keilmuan anda disini, komentari sesuai dengan apa yg dibahas dlm artikel (maaf, jgn bisanya hanya mengklaim si anu muhaddits sesat, si itu bodoh & sombong, salapi didalangi oleh PKI & yahudi). Kami, para "salapi" insya Allah adalah org2 yg selalu haus dan butuh akan ilmu walaupun kami tidak punya sanad keilmuan spt anda. :)

Anonim mengatakan...

Ana mencoba keluar dari isi diskusi dan perselisihan. Hanya memperhatikan adab para ustadz yang sedang berdiskusi. Sedikit memprhatikan, penyampaian Ustadz Firanda dalam berdiskusi dengan Ustadz Aris di web beliau (Ust. Firanda) terlihat lebih lembut dan beberapa kali dengan sapaan yang menyejukkan "akhil karim" . Saya kira ini adalah teladan dari beliau agar berhati-hati agar tidak menyakiti lawan bicara dan tidak terlihat "menjatuhkan".

Pada akhirnya, ta'lif qulub tetap terjalin pada diri mereka.

Wallahu'alam..

Anonim mengatakan...

Semoga yang membaca dan memberikan masukan dalam diskusi ini semuanya mendapat kebaikan dari Allah , termasuk anonim yang mengatakan dibelakang kita ada yahudi dan pki.

alif mengatakan...

Masukan khusus para "anonim", knapa kalian nggak pake nama? atau kunyah?
nick,dll. Paling nggak bisa membedakan antara komentar² anda dg yg anonim² yg lain utk selanjutnya.
Demikian

Abu Umar mengatakan...

Itulah bedanya metode mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam kritik hadits. (Baca: Membandingkan Metode Mutaqaddimin dan Mutaakhirin dalam Kritik Hadits

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas link-nya. Banyak hal yang dapat saya peroleh dari situ. Intinya, saya sependapat bahwa pada asalnya kita harus memperhatikan dan melihat lafadh-lafadh dan penilaian mutaqaddimiin. Namun begitu, bukan berarti ulama mutaqaddimiin itu ma'shum yang bebas kritik. Termasuk juga tulisan yang ada pada link yang Anda sebutkan.

Contoh kecil saja dari satu paragraf dalam tulisan tersebut :

Begitu juga hadits riwayat Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang istrinya lalu keluar untuk shalat tanpa berwudhu'.[35] Hadits ini didhaifkan oleh semua huffaz mutaqaddimin - antara lain Sufyan Al-Tsauri, Yahya bin Sa'id Al-Qathan, Yahya bin Ma'in, 'Ali bin Al-Madini, Al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Abu Bakr Al-Naisaburi, Al-Daruquthni, Al-Baihaqi dan lain-lain – karena 'Urwah di dalam sanad ini adalah Al-Muzani, seorang perawi yang tidak dikenal, bukan 'Urwah bin Zubeir yang tsiqah.

Lagi pula riwayat ini tidak dikenal di hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubeir (harus diingat bahwa ahli hadits telah mengumpulkan hadits-hadits 'Urwah dari 'Aisyah dalam dokumen tersendiri), yang ada hanya riwayatnya dari 'Aisyah “bahwa Nabi Saw mencium salah satu istrinya dalam keadaan puasa.” Jadi para ulama klasik ini menduga kuat telah terjadi kekeliruan dalam sanad yang diriwayatkan oleh Habib bin Abi Tsabit ini, yakni perawinya hendak meriwayatkan hukum puasa orang yang mencium istrinya, namun keliru sehingga berpindah ke hukum wudhu.[36]

Namun ulama mutaakhirin menyanggah penilaian tersebut mulai dari Ibn Al-Turkmani (w. 745 H) dan Al-Zaila'i (w. H) hingga Syeikh Ahmad Syakir dan Syeikh Nashiruddin Al-Albani (semoga Allah merahmati mereka semua).[37] Bermodalkan penilaian bahwa Habib bin Abi Tsabit tsiqah dan ia hidup semasa dengan 'Urwah bin Zubeir, jadi sesuai dengan “mazhab Muslim” riwayatnya dinyatakan bersambung [38] (padahal tidak ada pernyataan dari Imam Muslim yang menshahihkan hadits ini). Oleh karena itu mereka menilai bahwa sanad ini shahih
.

Kritik :

'Urwah dalam sanad riwayat tersebut adalah memang 'Urwah bin Az-Zubair, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Maajah (no. 502), ia berkata :

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلي بن محمد، قالا : حدثنا وكيع، قال : حدثنا الأعمش، عن حبيب بن أبي ثابت، عن عروة بن الزبير، عن عائشة، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ. قلت : ما هي إلا أنت ! فضحكت.

[sanadnya : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan 'Aliy bin Muhammad, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii', ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari 'Urwah bin Az-Zubair, dari 'Aaisyah, ia berkata : "....(al-hadits)...."].

Begitu juga yang diriwayatkan oleh Ahmad yang juga menisbatkannya pada 'Urwah bin Az-Zubair.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Memang ada jalan lain yang menyebutkan bahwa 'Urwah di sini adalah Al-Muzanniy, sebagaimana dalam Sunan Abi Daawud no. 180. Abu Daawud berkata :

وروي عن الثوري قال ما حدثنا حبيب الا عن عروة المزني يعني لم يحدثهم عن عروة بن الزبير بشيء

"Dan diriwayatkan dari Ats-Tsauriy, ia berkata : 'Tidaklah Habiib meriwayatkan hadits kepada kami, kecuali dari 'Urwah Al-Muzanniy, yaitu tidaklah meriwayatkan hadits kepada mereka dari 'Urwah bin Az-Zubair sedikitpun" [selesai].

Namun ini pun bukan harga mati yang tidak boleh menerima kritik begitu saja. Telah sangat jelas dalam riwayat Ibnu Maajah (dan Ahmad) di atas, 'Urwah yang dimaksud di sini adalah Ibnuz-Zubair. Adapun perkataan Ats-Tsauriy, maka ia dibawakan Abu Daawud dengan shighah tamridl. Perkataan Ats-Tsauriy itu bisa juga dipahami bahwa Ats-Tsauriy hanya mengetahui riwayat Habiib ini dari 'Urwah Al-Muzanniy. Namun bagi selain dia (Ats-Tsauriy), Habiib juga meriwayatkan dari 'Urwah bin Az-Zubair.

Dan perlu ditambahkan, riwayat Abu Daawud tersebut berasal dari 'Abdurrahmaan bin Maghraa' yang dikatakan oleh Ibnu Hajar seorang yang shaduuq, namun diperbincangkan dalam hadits Al-A'masy. Di sini ia meriwayatkan dari Al-A'masy.

Juga, perkataan dalam tulisan tersebut bahwa pelemahan mutaqaddimin terhadap hadits di atas semata-mata disebabkan 'Urwah ini, maka ini sama sekali tidak valid. Sebagian mutaqaddimin yang mengkritik hadits ini mempermasalahkan penyimakan Habiib dari 'Urwah. Misalnya saja perkataan At-Tirmidziy :

هذا حديث حسن غريب سمعت محمدا يقول حبيب بن أبي ثابت لم يسمع من عروة بن الزبير شيئا

"Hadits ini hasan ghariib. Aku mendengar Muhammad (yaitu Al-Bukhaariy) berkata : 'Habiib bin Abi Tsaabit tidak pernah mendengar dari 'Urwah bin Az-Zubair sedikitpun".

Juga perkataan Ats-Tsauriy yang telah lewat. Para ulama mutaqaddimin yang mengkritik kebersambungan sanad Habiib dengan 'Urwah selain keduanya adalah Ibnu Ma'iin dan Abu Haatim. Namun, Abu Daawud menyatakan isyarat kebersambungan sanad antara Habiib dengan 'Urwah saat mengkritik perkataan Ats-Tsauriy :

وقد روى حمزة الزيات عن حبيب عن عروة بن الزبير عن عائشة حديثا صحيحا

"Dan telah diriwayatkan oleh Hamzah Az-Ziyaat, dari Habiib, dari 'Urwah bin Az-Zubair, dari 'Aaisyah sebuah hadits yang shahih".

Perkataan ini yang dipakai sebagian ulama muta'akhkhriin untuk menyatakan ittishalnya. Kalaupun kemudian ditambah bahwa Habiib sejaman dengan 'Urwah (sehingga sanadnya bersambung), maka ini adalah persyaratan yang dikemukakan Imam Muslim sebagaimana ma'lum.

Dan seterusnya dan seterusnya.

Intinya,... gembar-gembor perbedaan manhaj mutaqaddimiin dengan muta'khkhiriin itu tidaklah sehebat yang dikatakan. Termasuk dalam tulisan tersebut.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai tambahan kecil saja tentang permasalahan Habiib bin Abi Tsaabit. Ia adalah seorang mudaallis tingkat 3 sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar. Di sini ia menggunakan sighah 'an'anah. Oleh karena itu riwayatnya lemah selama tidak menunjukkan tashrih penyimakan.

Namun, sebagian ulama yang menshahihkannya adalah karena hadits itu mempunyai penguat.

Anonim mengatakan...

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=17255

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?threadid=5899

mudah2an bermanfaat...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih. Link tersebut telah saya baca sebelumnya. Jika kita perhatikan dengan cermat pembahasan di dalamnya, juga bahasan para ulama di tempat lain; akan nampak kekeliruan klaim tulisan ustadz Malaysia itu - yang nampaknya begitu terpengaruh oleh Dr. Al-Malaibariy dan rekan. Tidak benar bahwa para ulama mutaqaddimin telah sepakat dalam mendla'ifkan hadits dalam bahasan karena 'Urwah yang ada dalam sanad adalah 'Urwah Al-Muzanniy. Tidak benar pula klaim inqitha' antara Habiib dan 'Urwah (bin Az-Zubair) adalah kesepakatan ulama mutaqaddimiin. Dalam point ini, ada perbedaan penafsiran di kalangan ulama perkataan Abu Daawud atas riwayat Habiib dari 'Urwah.

Memang benar, Habiib disifati olah para ulama banyak melakukan tadlis. Namun menurut penelitian Syaikh Naashir Al-Fahd (lihat : http://majles.alukah.net/showthread.php?t=54552), Habiib adalah sedikit tadlisnya. Bahasan ini pun masih terbuka lebar untuk menampung pendapat pro dan kontra.

Walhasil, perbedaan pendapat penilaian hadits tersebut masih dalam koridor perbedaan dalam ranah ilmu hadits yang dimaklumi. Dan sangat tidak tepat jika hadits itu dijadikan contoh pengkutuban manhaj mutaqaddimin dan muta'akhkhriin sebagaimana digembar-gemborkan ustadz Malaysia itu.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Abdul mengatakan...

Ustadz Al-Jauza, yang dimaksud Ustadz dari Malaysia itu maksudnya ID Abu Umar ya?

Kalau iya, setau saya beliau asli Bekasi,JABAR namun sekarang menetap di Singapura di Ma'had Darus Syifa (kalau ndak salah).

Dan Ustadz Abu Umar ini juga pernah menimba ilmu pada Syaikh Nuruddin 'Itr

Mudah-mudahan Ustadz Abu Umar bisa senantiasa berpartisipasi sebagaimana Ustad Aris, Ustadz Muhammad Abduh, Ustadz Abu Faris dll sehingga bisa menambah ilmu bagi saya dan teman-teman lain yang masih belajar.

Barakallahu Fikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak kenal dengan Abu 'Umar. Yang saya maksud dengan ustadz Malaysia itu adalah yang Ustadz Umar M Noor, MA (sebagaimana yang terdapat dalam link myquran yang disampaikan oleh Abu 'Umar).

Admin mengatakan...

Riwayat pertama dan kedua tidaklah bertentangan

yang pertama nabi duduk pake isyarat (umum)
lalu nabi duduk tasyahud juga isyarat dan tidak ada pengecualian

karena ketika ada penyebutan lafadz bagian dari yg umum dengan hkum yang sama itu bukan pengecualian

seperti kue enak
donat enak

apakah yang enak hanya donat????

sama dengan hal di atas, dan sama sekali tidak bertentangan