Hukum Makan Kelelawar


Tanya : Apakah hukum makan kelelawar yang sebagian dari tubuhnya digunakan obat ?
Jawab : Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Syafii’iyyah dan Hanaabilah mengharamkannya. Adapun Maalikiyyah hanya memakruhkannya saja, sedangkan Hanafiyyah berselisih dalam boleh tidaknya. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengharamkan daging kelelawar[1]. Mereka berdalil dengan riwayat : 
عن عَبد الله بن عَمْرو ، أنه قال : لاَ تقتلوا الضفادع فإن نقيقها تسبيح ، ولا تقتلوا الخفاش فإنه لما خرب بيت المقدس قال : يا رب سلطني على البحر حتى أغرقهم
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih. Dan jangan kalian membunuh kelelawar, karena ketika Baitul-Maqdis roboh ia berkata : ‘Wahai Rabb, berikanlah kekuasaan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/318 & Ash-Shughraa 8/293 no. 3907 & Al-Ma’rifah hal. 456 – Al-Baihaqiy berkata : “Sanadnya shahih”].[2]
Setelah menyebutkan hadits di atas, Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله .........
“Telah berkata shahabat-shahabat kami : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
قال مقيده عفا الله عنه: والظاهر في مثل هذا الذي صح عن عبد الله بن عمرو من النهي عن قتل الخفاش والضفدع أنه في حكم المرفوع لأنه لا مجال للرأي فيه. لأن علم تسبيح الضفدع وما قاله الخفاش لا يكون بالرأي، وعليه فهو يدل على منع أكل الخفاش والضفدع.
وقال ابن قدامة في "المغني": ويحرم الخطاف والخشاف أو الخفاش وهو الوطواط،
قال أحمد: ومن يأكل الخشاف؟ وسئل عن الخطاف فقال: لا أدري، وقال النخعي: أكل الطير حلال إلا الخفاش، وإنما حرمت هذه لأنها مستخبثة لا تأكلها العرب اهـ. من المغني. والخشاف هو الخفاش، وقد قدمنا عن مالك وأصحابه جواز أكل جميع أنواع الطير: واستثنى بعضهم من ذلك الوطواط.
“Telah berkata penulis kitab ini (yaitu Asy-Syinqithiy) – semoga Allah memaafkannya - : ‘Dan yang nampak pada riwayat semacam ini yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Amru tentang larangan membunuh kelelawar dan katak; maka riwayat itu dihukumi marfu’,[3] karena tidak ada ruang untuk ra’yu berbicara tentangnya. Karena, pengetahuan tentang tasbih-nya katak dan yang dikatakan oleh kelelawar (dalam riwayat di atas) tidak mungkin berasal dari ra’yu. Dengan demikian, riwayat ini menunjukkan pelarangan memakan kelelawar dan katak’.
Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy berkata : ‘Diharamkan khuththaaf (sejenis kelelawar) dan khasysyaaf (kelelawar) atau khaffaasy dan ia sama dengan wathwaath’. Ahmad berkata : ‘Siapakah yang memakan kelelawar ?’. Ketika ia ditanya tentang khuththaaf ia menjawab : ‘Aku tidak tahu’. An-Nakha’iy berkata : ‘Memakan burung adalah halal, kecuali kelelawar. Ia diharamkan hanyalah karena menjijikkan dan orang Arab tidak memakannya’ – selesai dari Al-Mughniy. Al-kasysyaaf adalah al-kaffaasy. Telah kami jelaskan sebelumnya dari Maalik dan rekan-rekannya yang membolehkan memakan semua jenis burung, dan mereka mengecualikan sebagian di antaranya yaitu kelelawar” [Adlwaaul-Bayaan, 1/541-542].
Allah ta’ala berfirman :
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan diharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raf : 157].
Dan kelelawar termasuk jenis makanan yang buruk.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1431].


[1]      Bahasa Arabnya : Kaffaasy atau wathwaath atau khusyaaf atau khuththaaf.
[2]      Telah berkata Al-Baihaqiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah memberitakan Hisyaam Ad-Dustuwaaiy, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “…….(al-hadits)….”.
Abu ‘Abdillah, ia adalah Ishaaq bin Muhammad bin Yuusuf bin Ya’quub bin Ibraahiim bin Ishaaq bin Yuusuf As-Suusiy An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah, diridlai, shaalih, lagi pandai [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 26].
Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, ia adalah Muhammad bin Muusaa bin Al-Fadhl bin Syaadzaan An-Naisaabuuriy Ash-Shairafiy; seorang yang tsiqaah, diridlai, dan masyhur dengan kejujurannya [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 154].
Abul-‘Abbaas, ia adalah Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran dan keshahihan penyimakan haditsnya [lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/452-460 no. 258].
Yahyaa, ia adalah Ibnu Abi Thaalib Ja’far bin ‘Abdillah bin Az-Zibriqaan. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku menulis darinya bersama ayahku. Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, maka ia menjawab : “Tempatnya kejujuran”. Al-Aajurriy berkata : “Abu Daawud Sulaimaan bin Al-Asy’ats menulis hadits Yahyaa bin Abi Thaalib”. Muusaa bin Haaruun berkata : “Aku bersaksi bahwa Yahyaa bin Abi Thaalib berdusta”. Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad Al-Haafidh berkata : “Yahyaa bin Abi Thaalib tidak kokoh/kuat”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Menurutku tidak mengapa dengannya. Tidak ada seorang pun yang mencelanya dengan hujjah (yang benar)” [lihat Taariikh Baghdaad, 16/323-325 no. 7464]. Ibnu Hajar menyepakati perkataan Ad-Daaruquthniy tersebut. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengannya. Orang-orang telah memperbincangkannya” [Lisaanul-Miizaan, 8/452-453]. Perkataan yang benar, ia seorang yang hasan haditsnya. Adapun persaksian Muusaa bin Haarun, Adz-Dzahabiy memberikan kemungkinan bahwa yang dikatakannya itu bukan dalam hadits, sebab Ad-Daaruquthniy adalah orang yang lebih mengetahui tentangnya. Wallaahu a’lam.
‘Abdul-Wahhaab, ia adalah Ibnu ‘Athaa’ Al-Khaffaaf; seorang yang diperselisihkan. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/399]. Telah berkata ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy dan Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak mengapa dengannya”. Telah berkata Al-Ghallaabiy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Ditulis haditsnya”. Dan telah berkata ‘Abbaas Ad-Duuriy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq, namun tidak kuat”. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, lalu ia menjawab : ‘Tempatnya kejujuran’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia lebih engkau senangi ataukah Abu Zaid An-Nahwiy dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aruubah ?’. Ia menjawab : ‘’Abdul-Wahhaab di sisi mereka bukanlah seorang yang kuat dalam hadits”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang shaduuq, insya Allah”. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Al-Bukhaariy berkata : “Ditulis haditsnya,….aku harapkan (haditsnya dapat dipergunakan sebagai hujjah)”. An-Nasaa’iy dan Ibnu ‘Adiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-Hasan bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak kuat. Namun para ulama telah membawakan haditsnya” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/450-453 no. 838]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq” [Miizaanul-I’tidaal, 2/681 no. 5322]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4290]. Kesimpulannya, ia seorang yang shaduuq.
Hisyaam Ad-Dustuwaaiy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7348].
Qataadah, ia adalah Ibnu Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun masyhuur dalam tadlis [lihat : Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 102 no. 92].
Zuraarah bin Aufaa Al-‘Aamiriy Al-Harasyiy; seorang yang tsiqah ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 336 no. 2020].
Sanad hadits ini lemah karena ‘an’anah dari Qataadah. Akan tetapi Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir no. 521 membawakan jalur lain sebagai berikut : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Musayyib bin Waadlih : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Syu’bah, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل الضفدع، وقال : نقيقها تسبيح
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih”.
‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy adalah seorang yang tsiqah [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 446-447 no. 707].
Al-Musayyib bin Waadlih As-Sulamiy At-Tallamannasiy Al-Himshiy; seorang yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, banyak salahnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/294]. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat (9/204), dan kemudian berkata : “Banyak salahnya (kaana yukhthi’)”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 651 no. 3497]. Al-Jurqaaniy berkata : “Banyak salahnya”  [Al-Abaathil 1/506 no. 315].
Hajjaaj bin Muhammad Al-Mushiishiy, seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun tercampur hapalannya di akhir umurnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 224 no. 1144].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin [idem, 436 no. 2805].
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan dari Al-Musayyib. Akan tetapi ini bisa dijadikan mutaba’ah bagi riwayat pertama sekaligus untuk menghilangkan syak akan ‘an’anah dari Qataadah, sebab dalam jalur ini Syu’bah telah meriwayatkan darinya. Periwayatan Syu’bah dari Qataadah dibawa pada hukum muttashil meskipun Qataadah membawakan dengan ‘an’anah [lihat Riwaayatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy, hal. 484].
Oleh karena itu, status hadits ini adalah hasan. Dan para ulama menjelaskan bahwa yang mahfudh adalah riwayat yang mauquf sebagaimana riwayat yang pertama. wallaahu a’lam.
[3]      Dihukumi setara dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Comments

abuismail mengatakan...

Afwan ustadz,awal nukilan dari syaikh syinqithi diterjemahkan al-Muqayyadah berkata?
Mohon dicek lagi apa yang dimaksud bukan "Qola Muqoyyiduhu" (penulis kitab ini -- yakni adhwaul bayan -- berkata)?
Barokallohu fiikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Abu Ismaa'iil benar, Abul-Jauzaa' salah. Saya telah keliru memahami kata tersebut. Segera saya perbaiki. Terima kasih atas masukan dan kritikannya.

Anonim mengatakan...

Afwan ust. bsakah Al hadits bis merubah hukum2 dlm Al Quran ataukah sebaliknya??? ana gk tau mgkn isitilax mansukh dan nasikh

ada org syiah yg menghalalkan nikah mutah dgn berdalilkan Surah Annisa Ayat 24..., ini pemaparanx:
"Allah SWT berfirman:
(...Except the forbidden women) the rest are lawful unto you to seek them with gifts from your property (i.e., dowry), provided that you desire protection (from sin), not fornication. So for whatever you have had of pleasure (Istamta'tum) with them by the contract, give unto them their appointed wages as a duty. And there is ... Lihat Selengkapnyano sin for you in what you both agree (in extending the contract) after fulfilling the (first) duty. Lo! Allah is ever Knower, Wise. (Quran 4:24)

Itu adalah teks bahasa inggrisnya, mari kita simak teks bahasa Indonesia versi terjemahan Depag RI

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

ini lanjutanx ust

"Dalam ayat di atas bahasa arab yang digunakan unuk menikah adalah “Istamta... Lihat Selengkapnya’tum” suatu bentuk verbal ke 10 dari akar kata Mut’ah. Kata Istamta’a juga banyak digunakan dalam kitab hadits sunni yang merujuk sebagai pernikahan sementara.

Fakhri Ar-Razi seorang ulama sunni terkemuka berkomentar dan mengesahkan bahwa surat Annisa 24 tersebut mengenai halalnya pernikahan sementara. Namun anehnya, meski tidak ada ayat yang secara terang-terangan melarang nikah Mut’ah, kebanyakan ulama Sunni mengharamkan nikah Mut’ah. Seandainya pun ada ayat pembatalan dalam Al-Quran, maka sama saja dengan menuduh Al-Quran sebagai kitab yang plin-plan, disatu sisi menghalalkan dan disatu sisi mengharamkan, sama saja juga menuduh Allah SWT sbg Dzat yang plin-plan dalam menyampaikan firman-Nya (Astaghfirullah).

Imam ‘Ali AS bersabda : Mut’ah adalah berkah dari Allah kepada hamba-Nya. Jika saja Umar dulu tidak melarangnya, tentu kini tidak akan ada orang yang melakukan dosa zina kecuali orang yang paling buruk.

Perkataan Imam ‘Ali itu menyayangkan sikap Umar ibn Katthab yang melarang Mut’ah, sebab dampaknya perzinahan malah semakin marak pada masa itu.

Sumber Sunni :
• Tafsir al-Kabir, by al-Tha'labi, under commentary of verse 4:24 of Quran;
• Tafsir al-Kabir, by Fakhr al-Razi, v3, p200, commentary of verse 4:24;
• Tafsir al-Kabir, by Ibn Jarir al-Tabari, under commentary of verse 4:24 with authentic chain of narrators, v8, p178, Tradition #9042;
• Tafsir al-Durr al-Manthoor, by al-Suyuti, v2, p140, from several chain of transmitters;
• Tafsir al-Qurtubi, v5, p130, under commentary of verse 4:24 of Quran;
• Tafsir Ibn Hayyan, v3, p218, under commentary of verse 4:24 of Quran;
• Tafsir Nisaboori, by al-Nisaboori (8th century);
• Ahkam al-Quran, by Jassas, v2, p179, under commentary of verse 4:24. "

Btulkah ini ust???
bnyk skali pemaparanx ust cba liat di sini :
http://www.facebook.com/home.php?#!/profile.php?id=100000661534376&v=wall&story_fbid=144657098882492

mohon penjalasanx bnyk ana takut org2 awam akan mengaminix, cz ini debat terbuka d forum FB.

syukran...,

abu faris mengatakan...

pertanyaan saya simpel: apa hubungan pembahasan hukum makan kelelawar dengan logo batman...? ^_^

Anonim mengatakan...

Afwan ustad mau menanggapi anomin diatas perihal syiah .

Sebaiknya antum menghindari FB beserta perdebatannya , nggak ada manfaatnya bahkan bisa menjadi racun dalam aqidah yang lurus.

MAsalah nikah mut'ah dll , antum bisa juga buka di bloq : http://www.hakekat.com/

Anonim mengatakan...

menurut saya perlu dijelaskan ustadz mengenai tafsir yg benar dari ayat tersebut, emang biasa org syi'ah mengotak atik ayat sekenanya, kan mereka emang penyembah hawa nafsu...

Abu Hanifah mengatakan...

mas Kurniawan ono-2 ae pertanyaannya.. nih hehe..

bob mengatakan...

bermakna saya tidak boleh memancing menggunakan umpan kataklah pak ustaz? sebab katak tu terpaksa saya bunuh dahulu sebelum dijadikan umpan...