Beberapa Jenis Ikhtilaf dan Motifnya


1.    Ikhtilaf (perselisihan) yang disebabkan oleh hawa nafsu :
Ada kalanya perselisihan lahir dari ketamakan diri untuk mewujudkan obsesi pribadi ataupun perkara lain yang sifatnya individual. Dan terkadang juga yang menjadi pemicu munculnya perselisihan adalah keinginan untuk dikenal sebagai orang yang pandai, memiliki ilmu, dan mengerti agama. Perselisihan semacam ini - bagaimanapun bentuk dan ragamnya - tidak diragukan lagi termasuk perbuatan tercela. Sebabnya adalah karena didominasi oleh dorongan hawa nafsu, padahal hawa nafsu itu tidak mendatangkan kebaikan sama sekali. Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah“ [QS. Shaad : 26].


Dan dengan sebab mengikuti hawa nafsulah orang-orang yang sesat menyimpang dan terperosok ke dalam kesesatannya. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan“ [QS. Al-An’aam : 119].
Hawa nafsu itu sangat banyak jenis dan ragamnya, jalannya sulit dilalui dan bercabang-cabang, namun secara umum bisa dikelompokkan menjadi : (1) hawa nafsu, (2) mementingkan diri sendiri, (3) egoisme, dan (4) mau menang sendiri. Karenanya ahlul-bid’ah itu disebut ahlul-ahwaa’, sebab mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan tidak mengambil dalil syar’i sebagai suatu kebutuhan dan dasar untuk berpijak yang mereka berangkat darinya. Namun mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dan berpatokan kepada pendapat mereka. Mereka menempatkan dalil-dalil syar’iy di belakangnya. Mereka mendahulukan teori-teori sesat para filosof, dan kebohongan ahli kalam, maka merekapun tersesat dan menyesatkan (orang lain) dari jalan Allah dan dari jalan yang lurus; lalu setan mengacaukan agama mereka. Dan sungguh benar firman Allah yang mengatakan :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?. Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya “ [QS. Al-Kahfi : 103-104].
Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata :
إن هذه الأٓية تشمل الحرورية كما تشمل اليهود والنصارى وغيرهم؛ لا أنها في هؤلاء على الخصوص، وإنما عامة في كل من عبد الله على غير طريقة مرضية يحسب أنه مصيب فيها، وأن عمله مقبول، وهو مخطيء وعمله مردود.
“Ayat ini meliputi orang-orang Haruriyyah (Khawarij) sebagaimana halnya Yahudi, Nasrani, dan selain mereka; karena ayat ini turun tidak hanya berkenaan dengan mereka secara khusus, akan tetapi mencakup semua orang yang beribadah kepada Allah tidak dengan cara yang diridlai sedang dia menyangka ibadahnya sudah benar dan amalnya itu diterima, padahal sebenarnya dia salah dan amalnya tertolak”. [selesai]
Namun Allah Yang Maha Kuasa menghendaki di tengah maraknya perpecahan, perceraian, dan penyimpangan dari jalan yang lurus ini membangkitkan untuk agama-Nya yang haq orang yang mampu mewujudkan kehendak Allah dalam menjaga dan memelihara agama ini. Orang tersebut melaksanakannya sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya. Para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengemban tugas mulia ini dengan sebaik-baiknya. Dan generasi tabi’in setelah mereka adalah penerus terbaik dari pendahulu yang terbaik. Mereka telah melaksanakan tugas mereka dalam mengemban amanah agama serta mewariskannya kepada para Imam Sunnah dan siapa saja yang mengikuti jalan mereka dan berpedoman dengan petunjuk mereka, tanpa menghiraukan orang-orang yang menyelisihi dan menghasut orang lain untuk menjauhi dan tidak menolong mereka; dari kalangan pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan pengikut aliran sesat sepanjang masa, dan dari generasi ke generasi. Segala puji bagi Allah atas nikmat dan karunia ini.
2.    Ikhtilaf (perselisihan) yang didasari alasan yang haq
Terkadang muncul perselisihan yang bukan didasari oleh dorongan pribadi dan hawa nafsu. Perselisihan semacam inilah yang dikehendaki oleh iman dan sesuai dengan akal sehat. Contohnya adalah perselisihan antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik adalah perselisihan yang wajib adanya. Demikian pula perselisihan antara seorang muslim terhadap pemeluk agama dan keyakinan yang kufur dan menyimpang seperti Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, komunisme, dan lain sebagainya.
Penyelisihan terhadap orang-orang seperti mereka hukumnya wajib dan tidak mungkin seorang mukmin dan muslim untuk menghindar darinya ataupun mengajak untuk menghilangkannya, karena perbedaan ini merupakan tuntutan iman dan inti ajarannya yang haq.
3.    Ikhtilaf (perselisihan) antara terpuji dan tercela.
Ada perselisihan yang tidak bisa dikatakan terpuji ataupun tercela, yaitu perselisihan dalam perkara-perkara furu’ yang di dalamnya terdapat beberapa kemungkinan tentang hukumnya, terkadang satu pendapat lebih kuat dari yang lainnya dan terkadang sebaliknya. Dan di antara contohnya adalah :
Perselisihan para ulama dalam perkara batalnya wudhu karena keluarnya darah dari luka dan karena muntah yang disengaja, hukum bacaan (Al-Faatihah) di belakang imam, bacaan basmalah sebelum membaca Al-Faatihah, hukum mengeraskan bacaan aamiin, dan banyak lagi contoh lain yang tidak mungkin untuk disebutkan seluruhnya.
Dalam perselisihan semacam ini ada kemungkinan untuk terjatuh ke dalam kesalahan, karena adanya kemungkinan bercampurnya antara dorongan hawa nafsu dan ketakwaan, antara yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah), dan antara yang maqbul (bisa diterima) dan yang mardud (tidak dapat diterima/tertolak).
Tidak ada jalan untuk selamat dari kesalahan dalam masalah ini kecuali dengan mengikuti kaedah-kaedah pokok yang dijadikan patokan dalam ikhtilaf/perselisihan, juga dengan mematuhi rambu-rambu dan adab-adabnya yang dijadikan sebagai patron. Kalau tidak, maka perselisihan akan berubah menjadi perpecahan dan konflik, dan masing-masing pihak yang berselisih akan terperosok ke dalam jurang hawa nafsu, semuanya menjadi kacau dan setan pun akan menancapkan tanduknya.
Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatakan :
وبين الأئمة اختلاف كثير في الفروع، وبعض الأصول، وللقليل منهم غلطات وزلقات ومفردات منكرة. وإنما أُمرنا باتباع أكثرهم صواباًَ، ونجزم بأن غرضهم ليس إلا اتباع الكتاب والسنة وكلما خالفوا فيه لقياس أو تأويل،....وما زال الاختلاف بين الأئمة واقعاًَ في الفروع وبعض الأصول مع اتفاق الكل على تعظيم الباري جل جلاله، وأنه ليس كمثله شيء وأنَّ ما شرع رسوله صلى الله عليه وسلم وأن كتابهم واحد ونبيهم واحد وقبلتهم واحدة وإنما وضعت المناظرة لكشف الحق وإفادة العالم الأذكى لمن دونه وتنبيه الأغفل الأضعف. فإذا وجد النص الصحيح الصريح فلا مجال لمخالفته سواء كان متواتراًَ أم آحاداًَ
“Di antara para imam terdapat perselisihan yang cukup banyak dalam masalah furu’, dan dalam sebagian masalah ushul (pokok); dan sebagian kecil dari mereka ada yang memiliki banyak kesalahan, kekeliruan, dan pendapat yang munkar. Dan kita hanya diperintahkan untuk mengikuti mereka yang paling banyak benarnya, dan telah dipastikan bahwa maksud dan tujuan mereka tidak lain dari mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan setiap perbedaan pendapat yang ada pada mereka adalah karena qiyas atau ta’wil,…….. dan senantiasa akan terjadi perselisihan (perbedaan pendapat) antara para imam dalam masalah furu’ dan sebagian masalah ushul, sekalipun mereka semuanya sepakat dalam mengagungkan Allah Yang Maha Besar - tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya - dan bahwa syari’at Rasul-Nya dan kitab yang mereka pegangi adalah satu, sebagaimana Nabi dan kiblat mereka adalah satu. Perdebatan dan diskusi yang terjadi di antara mereka adalah semata-mata untuk menyingkap kebenaran, sebagai ajang bagi ulama yang lebih pandai memberi faedah dan transfer ilmu kepada yang lebih rendah ilmunya, dan juga sebagai ajang untuk mengingatkan yang lalai lagi lemah. Maka ketika ada nash yang shahih dan sharih (jelas/terang), maka tidak ada tempat untuk menyelisihinya, baik nashnya mutawatir ataupun ahad”. [selesai]
[diterjemahkan oleh Sudirman, Lc.; diedit oleh Abul-Jauzaa’; dari kitab Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf, Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Prof. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan, hal. 50-55; Daar Balansiyah, Cet. Thn. 1417].

Comments