Dua Kalimat Syahadat Tidaklah Cukup Sebagai Bekal Masuk Surga & Kisah Terowongan Tua


Oleh : Al-‘Allamah Muhibbuddin Al-Khathib rahimahullah

Al-Khunisariy berkata : “Seusai menukilkan ungkapan di atas, Sayyid Ni’matullah Al-Musawiy berkata : ‘Dan penjelasannya sebagai berikut : Seluruh kelompok bersepakat bahwa dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka), dengan dasar sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang layak untuk disembah selain Allah, niscaya ia masuk surga”.

Adapun kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan tidak akan terwujud selain dengan sikap loyal kepada Ahlul-Bait hingga imam keduabelas, dan berlepas diri dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu Bakar, ‘Umar, hingga manusia terakhir yang beragama Islam selain dari sekte Syi’ah, baik penguasa atau rakyat biasa). Dengan demikian kelompok ini menyelisihi kelompok lain dalam hal ideologi sumber keselamatan”.

Sungguh Ath-Thusiy, Al-Musawiy, dan Al-Khunisariy telah benar ! Dan dalam waktu yang bersamaan telah berdusta !!

Mereka benar bahwa seluruh kelompok memiliki kedekatan dalam hal primer dan berselisih dalam hal sekunder. Tidak heran bila dimungkinkan terjadinya solidaritas dan taqrib (pendekatan) antara berbagai kelompok yang ideologi dasarnya saling berdekatan. Sedangkan taqrib ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al-Imamiyyah, karena mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip. Syi’ah tiada pernah rela terhadap umat Islam kecuali bila mereka semua mengutuk (Al-Jibt & Ath-Thaghut) Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma serta setiap muslim selain dari sekte mereka hingga hari ini. Dan bila mereka berlepas diri dari setiap orang selain Syi’ah – sampaipun putri-putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi oleh Dzun-Nurain ‘Utsman bin ‘Affan dan tokoh Bani Umayyah sang pemberani nan mulia yaitu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar Masjid An-Nabawiy Asy-Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu. Sanjungan itu beliau utarakan tatkala shahabat ‘Ali radliyallaahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl, dan menjadikannya madu bagi putri pamannya Fathimah radliyallaahu ‘anhaa[1], sehingga Fathimah mengadukannya kepada ayahnya.[2]

Syi’ah juga tidak akan rela kecuali bila umat Islam berlepas diri dari Imam Zaid bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thaalib, dan seluruh Ahlul-Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidlah (Syi’ah Imamiyyah) dengan segala ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang diantaranya ialah meyakini bahwa Al-Qur’an telah diselewengkan.[3]

Dan sungguh sekte Syi’ah senantiasa meyakini ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka. Hal ini, sebagaimana yang dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus tokoh pujaan mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqiy An-Nuriy Ath-Thabarsiy dalam bukunya : Fashlul-Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaab Rabbil-Arbaab. Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan menuliskan setiap baris dari buku ini di sisi kuburan seorang shahabat mulia pemimpin kota Kuffah Al-Mughirah bin Syu’bah radliyallaahu ‘anhu, yang oleh sekte Syi’ah dianggap sebagai kuburan shahabat ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.

Persyaratan sekte Syi’ah agar toleransi dengan mereka dapat terwujud dan agar mereka ridla dengan kedekatan kita kepada mereka adalah : Kita ikut serta bersama mereka mengutuk para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan anak cucu beliau, diantaranya Zaid bin Zainal-‘Abidin, dan setiap orang yang sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku munkar sekte Rafidlah (Syi’ah Imamiyyah).

Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An-Nushair Ath-Thusiy, dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al-Musawiy dan Mirza Muhammad Baqir Al-Musawiy Al-Khunisariy Al-Ashbahaniy.

Perlu diketahui bahwa tidak seorang Syi’ah-pun – baik dari kalangan yang tegas menampakkan ideologi taqiyyah atau yang menyembunyikannya – menyelisihi ucapan ini.

Adapun sisi kedustaan mereka adalah pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte Syi’ah. Seandainya mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka mengetahui bahwa dua kalimat syahadat menurut Ahlus-Sunnah adalah pertanda masuknya seseorang ke dalam pangkuan Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya – walaupun ia sebelumnya adalah kafir harbiy[4] - berubah menjadi orang yang dilindungi darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di akhirat, maka keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan bahwasannya keimanan itu – sebagai ditegaskan oleh Amiirul-Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz – memiliki kewajiban, syari’at, batasan-batasan, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah mencapai kesempurnaan iman, dan barangsiapa yang tidak menjalankannya dengan sempurna, maka ia belum mencapai kesempurnaan iman.

Dan tentunya mempercayai keberadaan iman mereka yang kedua belas tidak termasuk dari syari’at iman, karena sebenarnya ia adalah figur fiktif yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al-Hasan Al-Askariy yang wafat tanpa meninggalkan putra walau seorang. Sebagai buktinya, saudara kandung beliau yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan asumsi ia tidak meninggalkan seorang anakpun.

Marga ‘Alawiyyin[5] memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya. Pada daftar itu tidak pernah tercatatkan bahwa Al-Hasan Al-Askariy memiliki seorang anak. Marga ‘Alawiyyin yang semasa dengan Al-Hasan Al-‘Askariy tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang anak laki-laki. Fakta sebenarnya yang terjadi adalah : Tatkala Al-Hasan Al-‘Askariy wafat dalam keadaan mandul, mengakibatkan silsilah keimaman para pemuja mereka, yaitu sekte Imamiyyah, putus. Dengan ini, sekte Imamiyyah menghadapi ancaman pahit, yaitu paham mereka akan segera terkubur bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad Nushair – mantan budak Bani Numair – mencetuskan gagasan bahwa Al-Hasan Al-‘Askariy memiliki anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya.[6] Ide ini ia cetuskan agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan upeti dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah ! Dan agar mereka – walau dengan berdusta – dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.

Muhammad bin Nushair ini menginginkan agar dia-lah yang menjadi Al-Baab (pintu penghubung) terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan pengikutnya, dan bertugas memungut upeti. Akan tetap kawan-kawan para setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai Al-Baab/pintu ialah seorang pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong di depan pintu rumah Al-Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini, pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair – Pent.) memisahkan diri dari mereka, dan mendirikan sekte An-Nushairiyyah yang dinisbatkan kepadanya.

Gambar 1. Terowongan Persembunyian Imam Syi'ah

Dahulu kawan-kawan Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam Keduabelas” hasil rekayasa mereka. Kemudian ia menikah dan memiliki anak keturunan yang nantinya akan memegang tampuk Imamah, sehingga paham Imamiyyah dapat berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah Dinasti ‘Abbasiyyah dan juga para pejabatnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar. Suatu dongeng lucu yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih lucu daripadanya, sampaipun dalam dongeng kuno bangsa Yunani.

Mereka menginginkan dari seluruh umat Islam yang telah Allah karuniai dengan nikmat akal sehat agar mempercayai dongeng palsu ini !! Semua itu sebagai syarat terwujudnya taqrib mereka dengan sekte Syi’ah ?!. Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani pengobatan gangguan jiwa !! Dan alhamdulllah atas kenikmatan akal sehat, karena akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat – setelah nikmat iman yang benar – merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.

Sesungguhnya umat Islam berloyal kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di dalamnya orang-orang shaalih dari Ahlul-Bait tanpa dibatasi jumlah tertentu. Dan kaum mukminin terdepan yang mereka loyali adalah sepuluh shahabat yang telah diberi khabar gembira oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan masuk surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kesepuluh shahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk memvonis mereka kafir.

Umat Islam juga berloyal kepada seluruh shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang di atas pundak mereka lah agama Islam tegak dan terbentuklah dunia Islam. Kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di bumi Islam dengan tumpahan darah mereka. Mereka lah orang-orang yang menurut kedustaan sekte Syi’ah sebagai musuh-musuh ‘Ali dan anak keturunannya. Sungguh mereka telah hidup berdampingan dengan shahabat ‘Ali dalam keadaan saling bersaudara, mencintai, dan bahu-membahu. Mereka matipun dalam keadaan saling mencintai dan bahu-membahu.

Amat tepat perumpamaan mereka yang telah Allah ta’ala sebutkan dalam surat Al-Fath. Kitabullah yang tiada kebatilan baik dari arah depan ataupun belakang. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang mereka :

أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Mereka amat keras terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi sesama mereka” [QS. Al-Fath : 29].

Pada surat Al-Hadiid Allah berfirman :

وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى

“Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik” [QS. Al-Hadiid : 10].

Dan Allah juga berfirman tentang mereka pada surat Aali ‘Imraan :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” [QS. Aali ‘Imraan : 110].

[Selesai – Dikutip dari buku : “Mungkinkah Syi’ah dan Ahlus-Sunnah Bersatu ?” karya Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib rahimahullah, hal. 36-42; Pustaka Muslim – dengan penambahan beberapa catatan kaki dan ilustrasi oleh Abu Al-Jauzaa’].



[1] Setiap wanita anak saudara ayah seseorang yang manapun disebut juga sebagai anak paman. Oleh karena itu Penulis menyebut bahwa Fathimah radliyallaahu ‘anhaa adalah sepupu shahabat ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, karena ia adalah putri saudara sepupunya.

[2] Maksudnya adalah sabda Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut :

أَمَّا بَعْدُ، أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاص بنِ الرَّبِيْعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي، وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي، وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنِ يَسُوءَهَا، وَاللهِ لا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ عِنْدَ رَجُلٍِ وَاحِدٍ

“Amma ba’du, aku telah menikahkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, dia berbicara di hadapanku dan menepati janjinya kepadaku. Sesungguhnya Fathimah merupakan bagian dariku, dan aku benci/khawatir jika hal itu berakibat buruk baginya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah pada diri seorang laki-laki (suami)” [HR. Al-Bukhari no. 3729 dan Muslim no. 2449]. – Abu Al-Jauzaa’.

[3] Beberapa contohnya dapat dibaca di : 'Aqidah Syi'ah Tentang Al-Qur'an. – Abu Al-Jauzaa’.

[4] Kafir harbiy adalah orang kafir yang menampakkan permusuhannya terhadap Islam dan umat Islam – Pent.

[5] Yang dimaksud dengan ‘Alawiyyin ialah anak keturunan shahabat ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.- Pent.

[6] Dan terowongan ayahnya – seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan - , maka para pengikut Sekte Syi’ah tidak mungkin memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far, saudara kandung Al-Hasan Al-‘Askariy. Sedangkan Ja’far ini telah meyakini bahwa saudara kandungnya, yaitu Al-Hasan, tidak memiliki anak laki-laki. Tidak di terowongan fiktif tersebut, juga tidak di luarnya.

Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan !! Maka, mana mungkin mereka dapat menemukannya….

Comments