‘Ali Khalifah Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam


Disebutkan hadits sebagai berikut :

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي : أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammaad, dari Abu ‘Awwaanah, dari Yahya bin Sulaim Abu Balj, dari ‘Amr bin Maimuun, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi. Tidak sepantasnya aku pergi kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (bersama Dhilaalul-Jannah) hal. 565 no. 1188. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :

إسناده حسن ورجاله ثقات رجال الشيخين غير أبي بلج واسمه يحيى بن سليم بن بلج قال الحافظ صدوق ربما أخطأ

“Sanadnya hasan, rijalnya tsiqah, termasuk rijal Syaikhain (Al-Bukhariy dan Muslim), kecuali Abu Balj. Namanya adalah Yahya bin Sulaim bin Balj. Al-Haafidh berkata : “Jujur (shaduuq), namun terkadang keliru”.

Penilaian beliau tersebut disepakati oleh Dr. Faishal bin Baashim Al-Jawaabirah atas takhrij-nya terhadap kitab As-Sunnah.

Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).

Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut. Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif. Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain :

عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian.

Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.

Jika ada yang bertanya :

Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.

Dijawab :

Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq. Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut. Adz-Dzahabiy berkata :

“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].

Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?

Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.

Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat; sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.

Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah. Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.

Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau. Apalagi hal itu dikuatkan dengan alasan :

Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam.[1]

Berkata An-Nawawi rahimahullah :

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص

“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah” [selesai].[2]

Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي

“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].

Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.

Semoga risalah kecil ini bermanfaat.

Wallaahu a’lam.

NB : Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan – walau tidak kita pungkiri kepemimpinan juga ditentukan berdasarkan faktor keutamaan. Dan Ahlus-Sunnah telah bersepakat tentang pengutamaan Abu Bakr dan ‘Umar di atas ‘Utsman dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’in (semoga Allah meridlai mereka semuanya).

Aboel-Jaoezaa’ – 1430 H.



[1] Yusya’ bin Nuun adalah pemuda yang menemani Nabi Musa saat akan menemui Nabi Khidlr ‘alaihimus-salaam sebagaimana firman Allah ta’ala :

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا * قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا

“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." [QS. Al-Kahfiy : 62-63].

Al-Bukhari membawakan riwayat yang menjelaskan identitas pemuda/murid Nabi Musa tersebut dalam Shahih-nya :

قام موسى النبي خطيبا في بني إسرائيل فسئل: أي الناس أعلم؟ فقال: أنا أعلم، فعتب الله عليه، إذ لم يرد العلم إليه، فأوحى الله إليه: إن عبدا من عبادي بمجمع البحرين، هو أعلم منك. قال: يا رب، وكيف به؟ فقيل له: احمل حوتا في مكتل، فإذا فقدته فهو ثم، فانطلق وانطلق بفتاه يوشع بن نون، وحمل حوتا في مكتل، حتى كانا عند الصخرة وضعا رؤوسهما وناما، فانسل الحوت من المكتل فاتخذ سبيله في البحر سربا، وكان لموسى وفتاه عجبا،

“Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya : ‘Siapa orang yang paling banyak ilmunya ?’. Nabi Musa menjawab : ‘Akulah orang yang paling banyak ilmunya’. Allah menegurnya karena ia mengembalikan ilmu kepada-Nya (= yaitu ia tidak memberi jawaban bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui). Kemudian Allah berfirman kepada Nabi Musa : ‘Di pertemuan dua laut sana ada hamba-Ku yang yang lebih banyak ilmunya daripada kamu’. Nabi Musa bertanya : ‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa bertemu dengannya ?’. Allah berfirman : ‘Bawalah seekor ikan di dalam keranjang. Jika ikan itu lepas, di situlah hamba-Ku berada’. Kemudian Nabi Musa pergi dengan ditemani oleh pelayannya yang bernama Yusya’ bin Nuun. Keduanya membawa seekor ikan di dalam keranjang. Sesampainya di sebuah batu karang, mereka berdua berbaring dan tidur. Maka ikan yang mereka bawa itu lepas dari keranjang, kemudian berenang di laut. Hal itu membuat Nabi Musa dan pelayannya heran…” [HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380].

Dan dialah yang kemudian memimpin Bani Israil dalam penaklukan Baitul-Maqdis.

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الشمس لم تحبس على بشر إلا ليوشع ليالي سار إلى بيت المقدس

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya matahari tidak pernah tertahan tidak terbenam hanya karena seseorang, kecuali untuk Yusya’. Yaitu pada malam–malam dia berjalan ke Baitul-Maqdis (untuk berjihad)” [HR. Ahmad 2/325 no. 8298; shahih].

وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : غزا نبي من الأنبياء فقال لقومه لا يتبعني رجل قد ملك بضع امرأة وهو يريد ان يبنى بها ولم يبن ولا أحد قد بنى بنيانا ولما يرفع سقفها ولا أحد قد اشترى غنما أو خلفات وهو ينتظر أولادها فغزا فدنا من القرية حين صلاة العصر أو قريبا من ذلك فقال للشمس أنت مأمورة وأنا مأمور اللهم احبسها على شيئا فحبست عليه حتى فتح الله عليه فجمعوا ما غنموا فأقبلت النار لتأكله فأبت ان تطعم فقال فيكم غلول

Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada seorang Nabi di antara Nabi-Nabi Allah yang akan berangkat berperang. Ia berkata kepada kaumnya (yaitu Bani Israail) : ‘Tidak boleh ikut denganku seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu sedangkan ia ingin menggaulinya namun belum menggaulinya. Tidak pula orang yang sedang membangun rumah namun belum memasang atapnya. Tidak pula orang yang telah membeli kambing atau onta yang tengah bunting sedangkan ia menunggu kelahirannya’. Maka ia pun berangkat berperang melewati sebuah perkampungan pada waktu shalat ‘Ashar telah tiba atau sekitar waktu itu. Maka ia berkata kepada matahari : ‘Engkau diperintah dan akupun diperintah. Ya Allah, tahanlah ia (matahari) untukku. Maka matahari pun ditahan untuknya, hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan kepadanya. Kemudian mereka mengumpulkan ghanimah. Lalu datanglah api untuk memakannya, namun ia enggan memakannya. Lalu ia berkata (setelah melihat hal itu) : ‘Ada diantara kalian yang melakukan ghuluul (mencuri ghanimah) …..” [HR. Ahmad 2/318 no. 8221; shahih].

Keterangan : Tidak ada seorang yang memimpin pasukan, mempunyai hak dalam pengurusan ghanimah, dan menghukum orang yang melakukan kesalahan melainkan ia seorang pemimpin. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi Yusya’ bin Nuun adalah pemimpin Bani Israail sepeninggal Nabi Musa ‘alaihimas-salaam. Wallaahu a’lam.

[2] Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :

وقد تقدم بيان نسب يوشع في أحاديث الأنبياء وأنه الذي قام في بني إسرائيل بعد موت موسى

“Telah berlalu penjelasan penjelasan nasab Yuusya’ dalam ahaadiistul-anbiyaa’, dan bahwasannya ia adalah orang yang memerintah (menjadi imam) Bani Israail setelah wafatnya Musa” [Fathul-Baariy, 8/415].

Apa yang dijelaskan oleh Al-Haafidh tentang Yusya’ yang menjadi pengganti Musa setelah wafatnya adalah sangat masyhur. Hampir ditemui pada mayoritas kitab tafsir dan taariikh. Disebutkan baik oleh Ahlul-Kitab ataupun kaum muslimin.

[3] Bahkan Nabi Musa pernah marah kepada Nabi Harun ‘alaihimas-salaam sepulang dari bukit Thursina karena mendapatkan Bani Israail yang melakukan kesyirikan (membuat patung anak lembu), sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala :

قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا * أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي * قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

“Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?". Harun menjawab: "Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku" [QS. Thaha : 92-94].

Comments

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.

Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.

Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyamakan kedudukan 'Ali radliyallaahu 'anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.

Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada 'Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.

Namun karena Syi'ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Anonim mengatakan...

Salam

Sekadar bertanya... Apa pandangan Saudara Jauzaa tentang Abu Thalib (Bapa saudara Nabi saw)?

Apakah benar bapa saudara Nabi saw akan memakai terompah neraka?

wasSalam