Beberapa Aspek Tarjih dari Sisi Sanad (Penjelasan Ringkas)


Dalam satu pembahasan ilmiah, seringkali kita menemui beberapa hadits yang kelihatannya saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat di antara ulama ketika ingin menentukan status hadits (shahih-dla’if, marfu’-mauquf, maushul-mursal, dll.) atau menyimpulkan hukum dari hadits-hadits tersebut. Salah satu metode yang dipakai para ulama adalah metode tarjih. Pada metode tarjih, ada beberapa sisi yang dapat digunakan sebagai bahan tinjauan. Diantaranya adalah dari sisi sanad. Di artikel ini akan coba dituliskan sedikit penjelasan tentang hal itu disertai contohnya untuk memudahkan pemahaman.

Beberapa aspek tarjih dari sisi sanad hadits antara lain adalah :

1.      Perawi salah satu dari dua hadits yang bertentangan jumlahnya lebih banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang lain. Maka, hadits yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat dibandingkan hadits yang dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya.

Contoh :

حدثنا حفص بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي عليه السلام أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين

”Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272].

Syu’bah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).

Jika kita mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih kuat dibandingkan dua raka’at.

2.      Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.

Contoh :

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan (Al-Ihsaan : 6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan Al-Azdiy), dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’ :

لا ينظر الله إلى رجل أتى رجلًا أو امرأةً في دبرها

“Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau wanita (istrinya) dari duburnya”.

Abu Khaalid Al-Ahmar telah diselisihi oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas. Waki’ bin Al-Jarraah telah meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari Makhramah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116)]. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini lebih shahih di sisi mereka daripada riwayat yang marfu’”.

Apa yang dikatakan oleh Al-Haafidh adalah benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabt daripada Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi yang berstatus shaduq, kadang salah dan berselisihan riwayatnya; sedangkan Waki’ adalah perawi yang berstatus tsiqatun haafidh.

Tarjih yang dilakukan atas dua riwayat di atas menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf dimenangkan atas riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain, riwayat di atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma saja.

3.      Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang lainnya.

Contoh :

عن ميمونة قالت : تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان

Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” [HR. Abu Dawud no. 1843; shahih].

Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ

”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410].

Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah radliyallaahu ‘anhaa dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.

Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :

وهم بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم

Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Abu Dawud no. 1845; shahih].

4.      Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.

Contoh :

عن أبي رافع قال :   تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال وبنى بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما

Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” [HR. At-Tirmidzi no. 841].

Jika hadits ini shahih[1], maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’  merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

5.      Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri.

Contoh :

عن عائشة وأم سلمة - رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم

Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya.  Kemudian beliau mandi dan berpuasa”  [HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109].

أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم

Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu shubuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” [HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih].

Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.

Itulah lima aspek tarjih dari sisi sanad. Sebenarnya masih ada aspek lainnya yang dijelaskan oleh ulama ushul selain dari yang di atas. Namun lima hal di atas merupakan aspek yang sering dijumpai/digunakan dalam beberapa bahasan.

Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.

 

[Bahan bacaan : Mudzakiratun fii Ushuulil-Fiqhi oleh Asy-Syinqithi, Taisirul-Wushuul ilal-Ushuul oleh ‘Atha’ bin Khaliil, Taisiru ‘Uluumil-Hadiits lil-Mubtadi-iin oleh ‘Amru bin ‘Abdil-Mun’im Saliim, Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albani, dan yang lainnya].

 

Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai.



[1]     Sayangnya hadits ini adalah dla’if, karena perawi yang bernama Mathar Al-Warraaq. Al-Haafidh berkata : “Shaduuq, banyak salahnya”. Yang shahih adalah riwayat mursal sebagaimana dalam Al-Muwaththa’. Lihat selengkapnya dalam Irwaaul-Ghaliil 6/252-253 no. 1849.

Comments

Anonim mengatakan...

ana izn copy paste buat tugas makalah ana,terimakasih...