Taudliihul-Musykiil - Salah Satu Ciri Tafsir Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam


Di antara ciri khas tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menjelaskan hal yang masih musykil (taudliihul-musykil). Misalnya, penjelasan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang makna benang putih dan benang hitam dalam firman Allah ta’ala :

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih di sini adalah waktu siang, dan benang hitam adalah waktu malam.

Telah diriwayatkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab hadits yang lainnya, dari ‘Adiy bn Haatim radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia dulu telah meletakkan dua benang yang berwarna putih dan berwarna hitam di bawah bantalnya. Dia akan memeriksa kedua benang itu apakah ia telah bisa membedakan dengan jelas antara satu dengan yang lainnya. Maka pada pagi harinya ia pergi menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan perbuatannya semalam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما ذلك سواد الليل وبياض النهار

“Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, dan (benang) putih adalah siang”.[1]

Contoh lain : Diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ia berkata : {كنت قائما عند رسول الله صلى الله عليه وسلم. فجاء حبر من أحبار اليهود فقال: السلام عليك يا محمد! } “Aku pernah berdiri di samping Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang Rahib Yahudi dan berkata : ‘Assalaamu’alaika  ya Muhammad !…”. Redaksi hadits ini panjang, namun dalam redaksi yang panjang itu sang Rahib Yahudi berkata :

أين يكون الناس يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات؟

“Dimanakah manusia di hari ketika bumi digantikan oleh selain bumi dan langit ?”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

هم في الظلمة دون الجسر

“Mereka dalam kegelapan di hadapan jembatan”.[2]

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini untuk menjelaskan firman Allah ta’ala :

يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” [QS. Ibraahiim : 48].

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قوله عز وجل: {يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات} [14 /إبراهيم /48] فأين يكون الناس يومئذ؟ يا رسول الله! فقال "على الصراط".

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah ‘azza wa jalla : “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” :  ‘Dimanakah manusia pada waktu itu berada wahai Rasulullah ?’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas jembatan”.[3]

Contoh lain lagi adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Umayyah Asy-Syaibani, ia berkata :

سألت أبا ثعلبة الخشني فقلت يا أبا ثعلبة كيف تقول في هذه الآية عليكم أنفسكم قال أما والله لقد سألت عنها خبيرا سألت عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب كل ذي رأي برأيه فعليك يعني بنفسك ودع عنك العوام فإن من ورائكم أيام الصبر الصبر فيه مثل قبض على الجمر للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله وزادني غيره قال يا رسول الله أجر خمسين منهم قال أجر خمسين منكم

“Aku pernah bertanya kepada Abu Tsa’labah Al-Khasysyaniy : “Bagaimana pendapatmu tentang ayat ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu’ (QS. Al-Maaidah : 105) ?”. Abu Tsa’labah berkata : “Demi Allah, aku pernah menanyakan hal itu pada orang yang memang mengetahuinya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab : ‘Bahkan hendaklah kalian saling beramar ma’ruf nahi munkar. Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah masyarakat awam. Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal pada waktu itu akan diberi pahala seperti pahala lima puluh orang lain yang beramal seperti amalnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang dari kalangan mereka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan limapuluh orang di antara kalian”.[4]

Tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lain terhadap lafadh yang musykil dapat juga ditemui pada riwayat Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata :

عن المغيرة بن شعبة. قال: لما قدمت نجران سألوني. فقالوا: إنكم تقرؤن: يا أخت هارون. وموسى قبل عيسى بكذا وكذا. فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم سألته عن ذلك. فقال (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين قبلهم).

Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ”Hai Saudara perempuan Harun” (QS. Maryam : 28) sedangkan Musa itu hidup jauh sebelum jaman ’Isa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau orang-orang shalih sebelum mereka”.[5]

Di antara ayat yang lafadhnya masih sulit pengertiannya menurut para shahabat adalah firman Allah ta’ala :

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” [QS. An-Nisaa’ : 123].

Ibnu Katsir berkata :

وقد روي أن هذه الآية لما نزلت شق ذلك على كثير من الصحابة. قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الله بن نُمَيْر، حدثنا إسماعيل، عن أبي بكر بن أبي زهير قال: أخْبرْتُ أن أبا بكر قال: يا رسول الله، كيف الصلاح بعد هذه الآية: { لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ } فَكُل سوء عملناه جزينا به؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "غَفَر اللَّهُ لكَ يا أبا بكر، ألستَ تَمْرضُ؟ ألستَ تَنْصَب؟ ألست تَحْزَن؟ ألست تُصيبك اللأواء ؟" قال: بلى. قال: "فهو ما تُجْزَوْنَ به".

“Telah diriwayatkan bahwasannya ketika ayat ini diturunkan, banyak di antara shahabat merasa berat (dalam memahaminya). Telah berkata Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Isma’il, dari Abu Bakr bin Abu Zuhair, ia berkata : Aku diberi khabar bahwa Abu Bakr pernah berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ada kebahagiaan (di antara kami) setelah diturunkannya ayat ini : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (QS. An-Nisaa’ : 123) ?. Bukankah setiap kejahatan yang kami lakukan akan dibalas ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr, bukankah kamu akan menderita sakit ?. Bukankah kamu akan ditimpa musibah ? Bukankah kamu jugaakan merasa sedih ? Bukankah kamu juga akan ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan ?”. Abu Bakr menjawab : “Benar”. Beliau bersabda : “Itulah balasan yang akan diberikan kepada kalian”.[6]

[banyak mengambil penjelasan dari Dr. Muhammad bin ‘Abdirrahim Muhammad – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’, di Ciomas Permai, Bogor, Rabi’uts-Tsaniy 1430 H].



[1]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1916, 4509, 4510; dan Muslim no. 1090.

[2]     Lihat Shahih Muslim no. 315.

[3]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 2791.

[4]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Khalqu Af’alil-‘Ibaad no. 155, Abu Dawud no. 4341, At-Tirmidzi no. 3058, Ibnu Majah no. 4014, Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 7/97, Ath-Thahawiy dalam Syarhul-Musykil no. 1171-1172, Ibnu Hibbaan no. 358, dan yang lainnya. Hadits ini dla’if, kecuali lafadh : “Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran….” ; shahih. Lihat Dla’iif Ibni Majah hal. 326 no. 801, Silsilah Ash-Shahiihah 1/892-893 no. 494, dan Dla’if At-Tirmidzi hal. 320 no. 3058.

[5]     Diriwayatkan oleh Muslim no. 2135.

[6]     Tafsir Ibnu Katsir 2/417. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 1/11 no. 68 – shahih dengan semua jalan dan syawaahid-nya.

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum.

Ustadz mohon penjelasannya tentang tafsir yang benar dari Surat at-Taubah ayat 100. Karena ada teman saya yang menafsirkan dengan pernyataan berikut :

"Ketika kita mendengar kata sahabat nabi apa yang muncul dibenak kita? Pasti terbayang sekelompok orang shalih yang setia membela nabi didalam perjuangannya. Rela mengorbankan harta, jiwa dan raganya. Lebih mengutamakan nabi daripada dirinya sendiri. Pemahaman keagamaan mereka merupakan manifestasi pemahaman terbaik terhadap islam. Dan yang paling penting Allah telah meridhoi mereka semuanya.

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Karena memang SEBAGIAN sahabat nabi mempunyai semua keutamaan-keutamaan diatas. Namun yang perlu diingat, hanya SEBAGIAN saja. Bahkan bisa dikatakan sebagian KECIL apabila dibandingkan dengan jumlah total sahabat nabi dalam arti orang yang berjumpa dengan nabi dan mati dalam keadaan islam. Dengan jumlah total sahabat nabi yang mencapai sekitar 30ribu, ternyata hanya beberapa saja yang Allah telah memastikan keridhoanNya terhadap mereka. Hal ini terlihat jelas berdasarkan kesaksian Allah sendiri.

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْه
Orang-orang terdahulu yang pertama-tama(masuk Islam) dari MUHAJIRIN dan ANSHAR dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. (Q.S. At-Taubah : 100)

Surat At-Taubah ayat 100, termasuk ayat yang turun pada masa-masa akhir yang berbicara mengenai sahabat. Kalau kita perhatikan dengan seksama, diantara puluhan ribu sahabat nabi ternyata Allah hanya memastikan keridhoanNya terhadap MUHAJIRIN, ANSHAR dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik.

Muhajirin dan anshar dapat dipastikan siapa saja mereka. Dan kita dapat mengetahui siapa mereka. Sedangkan "siapa yang mengikuti mereka dengan baik" kita tidak dapat memastikan siapa mereka. Karena Allah hanya menyebutkan sifatnya secara umum. Tidak menyebutkan siapa saja yang memiliki sifat tersebut. Oleh karena itu "siapa yang mengikuti mereka dgn baik" berlaku bagi siapa saja, tidak terbatas kepada orang yang hidup sezaman dengan muhajirin dan anshar.

Jadi sahabat yang telah mendapat keridhoan Allah hanyalah dari kalangan MUHAJIRIN dan ANSHAR. Selain daripada mereka kita belum bisa memastikannya. Karena memang Allah sendiri tidak memastikannya. Mereka seperti halnya kaum muslimin yang lain. Yang mendapatkan keutamaan dengan melakukan amal shalih dan mendapat kerendahan apabila melanggar. Sehingga taraddhi (ucapan radhiyallahu 'anhu) dalam arti tazkiyah atau penyucian sepantasnya hanya kita ucapkan bagi muhajirin dan anshar."

Apakah benar pernyataannya tersebut?

Syukron atas jawabannya.

Herry Setiawan - Bogor