Menghajikan Orang Lain



Definisi Haji
Secara Etimologi (bahasa – Lughawi), kata haji berasal dari bahasa Arab yang bermakna ”Tujuan” (الْقَصْدُ); dan dapat dibaca dengan dua lafadh : Al-Hajj (الْحَجُّ) dan Al-Hijj (الْحِجُّ) [Al-Mughni 5/5 oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi; Daarul-‘Alamil-Kutub, Cet. 3/1417].
Adapun dalam Terminologi Syari’at, haji adalah :
قصد مكة والمشاعر لأداء المناسك
“Bepergian menuju Makkah dan Al-Masyaa’ir (tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji) untuk melaksanakan manasik” [Tanbiihul-Afhaam 2/49 oleh Ibnu ‘Utsaimin – Daar Ibni Haitsam Cet. 1425].

Ada pula yang mendefinisikan sebagai :
قصد بيت الله الحرام والمشاعر لأداء عبادة مخصوصة في زمن مخصوص بكيفية معينة
“Bepergian menuju Baitullah Al-Haram dan Al-Masyaa’ir untuk melaksanakan ibadah tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan amalan yang tertentu pula” [Shahih Fiqhis-Sunnah 2/160 oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim – Maktabah At-Taufiqiyyah].
Dalil Pensyari’atan
Allah ta’ala berfirman :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” [QS. Ali Imran : 97].
Hadits dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا
Telah berkhutbah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada kami dan beliau berkata : ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian” [HR. Muslim no. 1337].
Dua dalil di atas (dan juga tentunya beberapa dalil yang lain), kewajiban haji merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu manusia yang mampu. Kata ”mampu” di sini meliputi kemampuan dalam perbekalan, kendaraan, keamanan, kesehatan/kondisi fisik, dan adanya mahram (khusus bagi wanita). Sehingga bila seseorang tidak mempunyai kemampuan (sebagaimana yang telah disebutkan), maka kewajiban tersebut gugur padanya.
Bolehkah Haji Diwakilkan Oleh Orang Lain ?
Secara syari’at, hal ini adalah diperbolehkan dengan beberapa dalil yang menunjukkan sebagai berikut :
1.    Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ’anhumaa ia berkata :
كان الفضل رديف رسول الله صلى الله عليه وسلم فجاءت امرأة من خثعم فجعل الفضل ينظر إليها وتنظر إليه وجعل النبي صلى الله عليه وسلم يصرف وجه الفضل إلى الشق الآخر فقالت يا رسول الله إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخا كبيرا لا يثبت على الراحلة أفأحج عنه قال نعم وذلك في حجة الوداع
Adalah Al-Fadhl bin ‘Abbas dibonceng Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang wanita dari Khats’am yang membuat Al-Fadhl melihat wanita tersebut. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Al-Fadhl ke arah lain. Kemudian wanita tersebut bertanya : “Ya Rasulullah, sesungguhnya kewajiban dari Allah terhadap para hamba-Nya tentang haji mengenai ayahku yang sudah dalam keadaan sangat tua. Ia tidak dapat tegak (mapan) berada di atas punggung binatang tunggangannya. Apakah saya boleh menghajikan untuknya?”.  Nabi menjawab : “Ya”.  Hal itu terjadi pada haji wada’. [HR. Al-Bukhari no. 1513, Muslim no. 1334, dan Abu Dawud no. 1809].
Al-‘Allamah Abuth-Thayyib Muhammad Syamsul-Haq Al-‘Adhim ‘Abadi berkata :
وفي الحديث دليل على أنه يجزي الحج عن المكلف إذا كان ميئوسا منه القدرة على الحج بنفسه مثل الشيخوخة فإنه ميئوس زوالها , وأما إذا كان عدم القدرة لأجل مرض أو جنون يرجى برؤهما فلا يصح . وظاهر الحديث مع الزيادة أنه لا بد في صحة التحجيج عنه من الأمرين عدم ثباته على الراحلة والخشية عن الضرر عليه من شده , فمن لا يضره الشد كالذي يقدر على المحفة لا يجزئه حج الغير عنه
“Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya menghajikan orang lain yang mukallaf, selama orang itu tidak mempunyai harapan lagi untuk memiliki kemampuan melaksanakan ibada haji sendiri. Misalnya, karena lanjut usia. Sesungguhnya orang seperti ini sudah tidak mungkin lagi mempunyai harapan. Namun bila ketidakmampuannya disebabkan oleh sakit, atau penyakit gila yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka tidak sah (jika dihajikan). Menurut dhahirnya, hadits beserta tambahannya, menunjukkan bahwa agar menghajikan orang lain bisa menjadi sah, harus memenuhi dua syarat, yaitu : Orang yang dihajikan tidak lagi mampu tegak berada di atas kendaraannya, dan jika diikat dikhawatirkan akan berbahaya baginya. Dengan demikian, barangsiapa yang jika diikat tidak berbahaya, seperti orang yang mampu ditandu, maka tidak sah jika dihajikan oleh orang lain” [‘Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud 5/248].
2.    Dari Abu Razin Al-‘Uqaili radliyallaahu ’anhu :
أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أبي شيخ كبير لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن قال حج عن أبيك واعتمر
Sesungguhnya ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya : “Ya Rasulullah, sesungguhnya bapak saya seorang yang sudah tua. Tidak bisa berhaji, ber-umrah, dan tidak bisa pula ditandu”.  Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : ”Hajikanlah untuk bapakmu dan umrahkanlah” [HR. Ibnu Majah no. 2906 dan Abu Dawud no. 1810; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 3/11 no. 2366].
Kebolehan menghajikan orang lain ini lebih ditekankan lagi bagi kerabat atau ahli waris orang yang telah bernadzar haji namun keburu meninggal sebelum menunaikan nadzar hajinya. Hal ini didasarkan riwayat berikut :
عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال أتى رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال له إن أختي نذرت أن تحج وإنها ماتت فقال النبي صلى الله عليه وسلم لو كان عليها دين أكنت قاضيه قال نعم قال فاقض الله فهو أحق بالقضاء
Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau : “Sesungguhnya saudara perempuanku bernadzar untuk berhajji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kemudian berkata : ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar” [HR. Al-Bukhari no. 6699].
Diperbolehkannya menghajikan orang lain dengan syarat orang yang akan menghajikan tersebut telah menunaikan/melaksanakan haji terlebih dahulu. Dalilnya adalah hadits :
عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم سمع رجلا يقول لبيك عن شبرمة قال من شبرمة قال أخ لي أو قريب لي قال حججت عن نفسك قال لا قال حج عن نفسك ثم حج عن شبرمة
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar (ketika berhaji) seorang laki-laki mengucapkan talbiyyah haji : ‘Labbaika (kupenuhi panggilan-Mu ya Allah) atas nama hajinya Syubrumah’. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapa Syubrumah?”. Ia menjawab : “Saudara saya (atau kerabat saya)”. Nabi bertanya : ”Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?”. Ia menjawab : “Belum”. Maka beliau bersabda : ”Berhajilah untuk dirmu sendiri, kemudian (kelak) kamu berhaji untuk Syubrumah” [HR. Abu Dawud no. 1811, Ibnu Majah no. 2903 dan Ibnu Hibban 962; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/509 dan Shahih Sunan Ibni Majah 3/10 no. 2364].
Kesimpulan
Perwakilan pelaksanaan haji serta umrah hanya sah dilakukan oleh orang yang telah melaksanakan ibadah haji kepada orang yang telah meninggal dunia atau yang masih hidup namun sudah tidak mempunyai kemampuan fisik untuk melaksanakannya [silakan rujuk Taudlihul-Ahkaam 4/37 oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Alu Bassam – Maktabah Al-Asadi]. Wallaahu a’lam.
Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, Kamis, 23-10-2008/01:12 WIB.

Comments

Anonim mengatakan...

assalaamu 'alaikum

Ustadz, maaf sedikit OOT. apakah benar bahwa hadits yang intinya menyebutkan bahwa "umrah itu tidak wajib" adalah hadits yang lemah?

lalu, sebenarnya apa hukum dari umrah, sunnah atau wajib?

terima kasih,
jazaakaLlaahu khairaa
faris