Hukum Mengirim Pahala kepada Mayit



Permasalahan tentang sampainya pahala yang dilakukan orang yang masih hidup kepada mayit telah menjadi satu bahasan yang mu’tabar sejak berabad-abad silam. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa mereka (para ulama) sepakat akan sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit sebatas yang disebutkan secara khusus oleh dalil. Yang menjadi khilaf di antara mereka adalah amal-amal selain yang disebutkan khusus oleh dalil. Apakah amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara mutlak atau tidak sehingga memberikan konsekuensi sampainya pahala kepada si mayit ? Sebagian ulama berpendapat bisa diqiyaskan, sebagian lain berpendapat tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah kemudian khilaf muncul. Adapun khilaf tersebut bisa diterangkan sebagai berikut :

1.    Bahwasannya setiap amal ibadah yang dilakukan oleh manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur[1].
2.    Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.[2]
Dalil yang Dipergunakan oleh Kelompok Pertama
1.    Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata :
يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Ya” [HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004].
2.    Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” [HR. Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud no. 2400, dan yang lainnya].
3.    Hadits Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu dimana ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الآن حين بردت عليه جلده
Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya” [HR. Al-Hakim 2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata : “Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim].
4.    Dan lain-lain.
Dalil-dalil di atas dan yang semisal diqiyaskan secara mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat bermanfaat bagi si mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir dan bacaan Al-Qur’an.
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه‏.‏ والله أعلم‏.‏
”Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Al-Fataawaa 24/324].
Dalil-Dalil yang Dipakai oleh Kelompok Kedua
Pada dasarnya dalil yang dipakai oleh kelompok pertama dipakai pula oleh kelompok kedua. Namun, kelompok kedua ini hanya mengkhususkan amalan-amalan yang sampai adalah sebatas yang disebutkan oleh dalil saja. Tidak diqiyaskan kepada yang lain. Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat tersebut antara lain :
1.    Firman Allah ta’ala :
وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya” [QS. An-Najm : 39].
Ayat ini mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.
2.    Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].
Al-Haitsami Haitsami dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah telah berkata :
الميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitami Haitsami 2/9].
Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata :
أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء
”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir].
Tarjih
Melihat keseluruhan dalil yang disebutkan (baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis dalam artikel ini), maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit kecuali yang disebutkan secara khusus oleh dalil. QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat sendiri. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu juga menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfaat baginya. Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan pahala – yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua – merupakan kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish) atas keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang menguatkan tarjih ini :
لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة
”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih].
Pemahamannya adalah, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) bagi orang lain (baik yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan puasa[3].
Selain itu alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini adalah :
a.    Prinsip dasar dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga diharuskan meninggalkan selain itu.
b.    Tidak pernah terdengar pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit. Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah dan Rasul-Nya.
c.    Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.
d.    Bahwa para ahli bid’ah di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qaari’ untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.
e.    Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.
Semoga tulisan ringkas ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Amien.
Wallaahu a’lam bish-shawwab.

Abul-Jauzaa’ Al-Bogory Al-Wonogiry – Sya’ban 1429.



[1]    Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.
[2]    Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.
[3]    Hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” ; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa nadzar, atau puasa yang lainnya ? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :
عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya” [HR. Abu Dawud no. 3308; shahih].

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamu'aliakum wr.wb.

maaf nih, boleh saya tanya sedikit, kalau sholat di makam emang setahu saya dilarang, tapi bagaimana dengan baca Al Qur'an? soalnya 'Al Fatihah' juga tergolong doa, kan?

terima kasih

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh

Betul apa yang antum katakan bahwasannya shalat yang dilakukan di makam adalah terlarang.

Adapun membaca Al-Qur'an di atas kuburan sebagaimana lazim dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang, maka hal itu adalah perbuatan bid'ah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة

Dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : Jangan kau jadikan rumah-rumahmu seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah" (HR. Muslim no. 780).

Beberapa ulama telah beristinbath dengan hadits di atas atas larangan membaca Al-Qur'an di atas kuburan. Pemahaman yang dapat diperoleh adalah bahwasannya kubur itu bukanlah tempat untuk beribadah seperti shalat dan membaca Al-Qur'an. Kita diperintahkan untuk melaksanakan beberapa ibadah tersebut di dalam rumah. Rumah yang sepi akan ibadah-ibadah shalat atau pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dipermisalkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam seperti sebuah kuburan.

SEbaik-baik contoh adalah apa yang telah ada pada salafunash-shaalih. Wallaahu a'lam.

Unknown mengatakan...

Assalamaulaikum

jazakalahu ustadz .artikel yang menarik dan sangat bermanfaat..alhamdulillah,

Barokallahu fiik
wassalam
Kuringtea

N B :bada ramadhan Ibu ana meningal dunia..Moga Allah lapangkan quburnya..dan golongkan ane menjadi anak yang sholeh yang doanya dikabulkan Allah Swt.Amin

Anonim mengatakan...

Bisakah disebutkan dalil yg mengharamkan shalat di kuburan?

Dari hadis "Jangan jadikan rumah seperti kuburan, baca Al-Qur'an di rumah agar setan lari darinya", dan baca Al-Qur'an tidak dilakukan di kuburan, maka bisa juga ditarik kesimpulan bhw setan tidak lari dari kuburan; jadi, setan memang keluyurannya di sekitar kuburan, ya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalil yang mengharamkan shalat di kuburan di antaranya :

لا تَجْلِسُوْا عَلَى اْلقُبُوْرِ وَلا تصَلُّوْا إِلَيْهَا

“Janganlah duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadapnya” [HR. Muslim no. 972].

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يبنى على القبور ، أو يقعد عليها ، أو يصلى عليها

“Rasulullah melarang membangun di atas kubur, mendudukinya, dan shalat di atasnya” [HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya 66/2 dan Baihaqi 3/61 dengan sanad shahih].

Dari Anas bin Malik ia berkata :

كنت أصلي قريباً من قبر ، فرآني عمر بن الخطاب ، فقال : القبر القبر . فرفعت بصري إلى السماء وأنا أحسبه يقول : القمر !

“Aku shalat di dekat kubur. Hal ini dilihat oleh Umar bin Khaththab. Dia lantas berseru : ‘Al-Qabru Al-Qabru (Awas kubur, awas kubur)!. Aku tengadahkan kepalaku ke langit karena aku sangka ia berkata : ‘Awas bulan (Al-Qamar)’” [Diriwayatkan oleh Abul-Hasan Ad-Dainawari dengan sanad shahih, Bukhari secara mu’allaq I/437 dan disambung oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf 1581 dengan tambahan : Umar berkata,”Aku katakan kubur, jangan engkau shalat menghadapnya”].

dan yang lainnya.

Tentang setan dan kuburan (sebagaimana yang antum singgung), maka mafhum yang dapat ditarik adalah bahwasannya setan itu menetap (tidak akan lari) di tempat-tempat yang tidak dibacakan Al-Qur'an. Dan kuburan itu bukan tempat khusus untuk membaca Al-Qur'an.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Simak terus up date diskusi antara mantan HT vs aktifis HT di : http://mantanht.wordpress.com

Semoga bermanfaat

Anonim mengatakan...

assalamualaikum ya akh. ana mau tanya ; tentang hadis ibnu umar radiallahuanhu, berwasiat untuk membacakan surat al quran ketika hendak atau menjelang kematian, juga hadis dari shabat atao tabi'in yang bunynyinya lebih kurang, aku mengirim pahala haji untuk rasulullah sallallahualaihiwassalam . juga bacaan qur'an tuk rasul. afwan akhi ana g bawa hadisnya tapi ada di blog majelisrasul oleh si "habib" mundzir. bagaimana kualitasnya ya akh.
jazakallahu khairan

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum ust.Abul Jauza
ada sebagian yg berpendapat.."bgm tidak menghadap kubur semua masjib, coba kita pikir semua masjid pasti menhadap kubur entah itu setelah seberang jalan,pekarangan atau sawah"
bgm pendapat antum?

Anonim mengatakan...

Tanya Ustadz:
kalau masalah ini merupakan khilaf ulama salaf, maka kita tidak boleh membid'ahkan orang2 yg mengirimkan pahala bacaan Qur'an kpd mayit dong? apalagi ada atsar dari ibnu umar. Mohon penjelasanya ust, kami lg bingung. Jazakallahu khoiron.

abdullah mengatakan...

Buat anonim yag komentar,ada sebagian yg berpendapat.."bgm tidak menghadap kubur semua masjib, coba kita pikir semua masjid pasti menhadap kubur entah itu setelah seberang jalan,pekarangan atau sawah"
bgm pendapat antum?

sedikit menjawab:
Lalu kalau mau mencari tempat yang tidak menghadap kuburan dimana lagi tempatnya?
Harus pergi ke bulan??
Soalnya kalau diurut, bisa aja jarak kuburannya itu jauh dari masjid, tetapi tetap menghadap ke arah kuburan tersebut...
Lalu gimana?
Wong sudah dikasih yang gampang, kok nanya yang sulit-sulit?

Anonim mengatakan...

Ustadz ana mau Tanya sedikit, tentang artikel yang antum telah tulis diatas. Bahwa pada bagian akhir artikel antum sebutkan adanya tarjih dari ikhtilaf yang ada. Tapi pertanyaan ana apakah tarjih yang dimaksud adalah tarjih yang hakiki sebagaimana yang digunakan oleh ahli fiqh dan ahli ushul.

Doktor ismail Muhammad Ali Abdurrahman menjelaskan
Dalam kitab Qowaid Tarjih Inda Ushuliyin..tentang ta’rif dari tarjih
التعريف الترجيح
: تقديم المجتهد أحد الدليليْن المتعارضيْن
لاختصاصه بقوة الدلالة

Fail atau pelaku dari tarjih adalah mujtahid, bukan selainnya. Sehingga dalam ta’rifnya terdapat munaqosah apakah orang yang tidak mencapai derajat mujtahid dapat melakukan tarjih atau tidak.

أنّه غَيْر مانع مِن قيام غَيْر المجتهد بالترجيح بَيْن الأدلة المتعارضة ، وهو ليس أهلاً لِذلك ،
وكيف لا يدخل المجتهد في التعريف وهو مِن أهمّ أركان الترجيح

Tapi disitu dijelaskan bahwa keberadaan mujtahid termasuk rukun terpenting dan syarat terwujudnya tarjih sehingga selain mujtahid tidaklah disebut sebagai tarjih.

Jadi istilah tarjih yang antum gunakan dalam artikel tersebut memiliki 2 kemungkinan

1) antum menggunakannya tidak sebagaimana ia biasa digunakan dalam istilah fiqh dan ushul fiqh

2) antum sudah masuk dalam ketegori mujtahid yang memiliki otoritas dalam mentarjih

Atau mungkin ada sesuatu yang tidak masuk dalam kagetori yang saya ketahui

Mohoh kiranya al-ustadz fadhil menjelaskan secara ilmiah masalah ini/

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tarjih yang saya maksud adalah dalam pengertian ushuliyyuun secara umum, yaitu :

تقوية إحدى الأمارتين على الأخرى لدليل

[syarh al-kaukab al-muniir, 4/616 dan syarh mukhtashar ibni haajib, 3/371 - bisa dilihat di sini].

Dan inilah yang banyak dipakai oleh beberapa ulama dan penuntut ilmu dalam bebebrapa bahasan yang mereka turunkan. Termasuk beberapa asatidzah yang ada di tanah air.

Ada halangan tersendiri bagi saya untuk menjawab atau mengomentari apa yang antum tanyakan, terutama sekali siapakah yang berhak melakukan tarjih, karena pertanyaan antum secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pribadi saya.

Mohon maaf jika jawaban ini jauh dari kesan memuaskan.

Anonim mengatakan...

tarjih yang antum pakai adalah istilah yang hakiki sebagaimana yang digunakan ahli ushul. Tapi ustadz apakah antum tidak tahu bahwa terdapat syarat dan rukun-rukun dalam tarjih? Atau memang dalam pandangan antum ia adalah perkara yang tidak memiliki syarat dan rukun sehingga setiap tholib bisa masuk kedalamnya?

Ta’rif yang antum bawakan telah di nukil juga oleh Doktor Ali Aburrahman dalam kitab yang telah saya sebutkan dan terdapat munaqosyah didalamnya karena disana terdapat kekurangan. Ta’rif tersebut sejenis dengan ini

تقديم أحد طريقَي الحُكْم لاختصاصه بقوة في الدلالة

Duror Kaminah 154/4

تقوية طريق على آخَر لِيعلم الأقوى فيعمل به ويطرح الآخَر .
Al-Mahsul 443/2

Kekurangan dalam denisi yang antum bawakan dan yang sejenis dengannya adalah tidak memasukkan dua unsur penting yang merupakan rukun dari tarjih yakni adanya mujtahid dan adanya ta’arud. Sementara definisi yang ana nukil merupakan hasil munaqosyah dari berbagai macam ta’rif dari para ulama dengan masing2 kelebihan dan kekurangannya. Sehingga definisi tersebut syumul (dapat mencakup seluruh bagiannya) dan tafriq (dapat memisahkan dengan selain dirinya).

Dua unsur tarjih yang terlewat oleh Ustadz adalah

Mujtahid

( المجتهد ) : قيد أول ، خرج به تقديم غَيْر المجتهد وترجيحه ؛ فلا يُقْبَل لأنّه ليس أهلاً لِذلك

Ta’arud

( المتعارضيْن ) : قيد ثالث ، خرج به تقديم أحد الدليليْن غَيْر المتعارضيْن ؛ فإنّ الترجيح لا يقع بَيْنَهُمَا ؛ لأنّ التعارض أصْل لِلترجيح .

Dan Tarjih merupakan cabang dalam ijtihad dalam ushul fiqh, karena ia merupakan cara dalam istinbath hukum syar’i ketika terjadi ta’arudh dan cara menghilangkan ta’arud. Karenanya tarjih mensyaratkan adanya mujtahid sebagai pelaku dari tarjih, dan orang selain mujtahid tidak diterima tarjihnya karena bukan ahlinya.

Dan ada istilah Ulama murrojih, bahkan untuk menjadi ahli tarjih dalam mazhab di butuhkan penguasaan terhadap pendapat2 mahzab dan imam mahzabnya dan ikhtilaf2 didalam mahzabnya. Tapi untuk menjadi murrojih mazhab saja saya rasa jarang orang semacam itu saat ini.

مجتهد الترجيح وهوالفقيه المتبحر في مذهب إمامه أصولاً وفروعاً ، المتمكن من ترجيح قول على آخر وتمييز أصح الأقوال من غيرها بالاستناد إلى الأدلة ومرجحاتها وأصول الإمام ومسائله وما روي عنه وعن أصحابه وما دُو?ن من فتاويهم ولآرائهم الفقهية . وهذا النوع من الاجتهاد
Kitab Al-Wajiz Muyassar fi Ushul fiqh maliky - muhammad Abdul Ghoni

Tarjih juga merupakan cabang dalam pembahasan ushul fiqh…dan tujuan dari ushul fiqh adalah istinbath hukum.

Jika kita menukil perkataan Syaikh Utsaimin..
علم يبحث عن أدلة الفقه الإجمالية وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

Al-mustafid, disini adalah mujtahid yang mengambil faidah dari kaidah ushul, termasuk didalamnya tarjih.

kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dan harus mengerti batasan-batasan dalam setiap perkara, sebagaimana suatu perkara wajib di serahkan kepada ahlinya dan bukan selainnya, karena jika tidak maka hal ini keluar dari definisi adil. Karena kita berbicara tentang agama Alloh bukan latihan mengasah otak dan mengasah kemahiran tertentu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih, dan telah saya baca apa yang antum tuliskan.

Hanya bertanya,... seandainya kita mengetahui dalam satu permasalahan ada beberapa pendapat di kalangan ulama dengan dalil dan alasan masing-masing dalam kitab-kitab mereka, dan kita sedikit mempunyai ilmu tentang hal itu, bagaimana seharusnya sikap seorang muttabi' (bukan muqallid, bukan pula mujtahid) untuk menyikapinya ?. Apakah :

1. Kita hanya menyandarkan saja pada satu ulama atau ustadz tertentu yang kebetulan menjadi guru kita, atau guru dari guru kita tanpa boleh menengok kanan dan kiri ?.

2. Kita boleh bersikap kritis - sebagai seorang thullab - atas pendapat dan dalil dari masig-masing pihak, yang kemudian kita bisa menimbang kekuatan pendapat masing-masing sesuai dengan kadar pemahaman kita ?.

Misalnya saja (dan saya rasa antum dan yang lainnya sering menemuinya) :

Dalam permasalahan qunut shubuh secara terus-menerus, ada dua pendapat besar dalam hal ini. Pendapat satu mengatakan sunnah dengan dalil demikian. Pendapat kedua mengatakan bukan sunnah dengan dalil demikian. Kira-kira, bagaimana penyikapan kita ?.

Seandainya ada orang yang condong pada pendapat pertama dan mengetahui jawaban kelemahan pendapat kedua; menurut antum boleh tidak orang tersebut menyimpulkan dan menguatkan pendapat pertama tersebut dengan menurunkan alasan-alasannya ?.

1. Jika jawaban antum adalah tidak boleh, maka selesai lah pembicaraan ini.

2. Jika jawaban antum adalah boleh, maka perbuatan orang tersebut dinamakan apa ?. Sebab, seringkali tidak bisa dihindari bahwa disitu akan menggunakan kalimat : yang kuat adalah adalah pendapat pertama/kedua, karena..., atau kalimat sejenis. Kalimat ini ekuivalen dengan : yang raajih adalah pendapat pertama/kedua, karena..... Apakah boleh jika hal ini dinamakan tarjih ?. Seandainya ini tidak dinamakan tarjih, kira-kira istilah apa yang tepat ?. Mohon faedahnya.

Kemudian,.... saya sepakat bahwa unsur ta'arudl masuk dalam tarjih. Tidak dinamakan tarjih jika memang tidak terdapat ta'arudl. Saya pun sepakat bahwa ulama adalah orang yang paling berhak berijtihad dalam masalah tarjih.

Akan tetapi,.... ketika disebut ulama/mujtahid sebagai salah satu syarat, apakah yang dimaksudkan disitu adalah pemutlakan sebagai lawan dari jaahil, atau memang ada tafshil lain ?.

Bisakah hal ini dimisalkan dengan pernyataan bahwa tahdzir itu merupakan hak ulama ?. Ini benar secara asal, karena asal ilmu adalah dimiliki ulama, sehingga mereka bisa menghukumi dengan benar. Namun dalam tafshilnya, boleh bagi penuntut ilmu melakukan tahdzir jika tetap merujuk pada petunjuk mereka (ulama).

Bisakah hal ini dimisalkan kasus pengamalan ayat : 'fas-aluu ahladz-dzikri inkuntumlaa ta'lamuun' , yaitu : diperbolehkan bertanya kepada penuntut ilmu yang belum mencapai derajat ulama, jika kita tidak mengetahui sesuatu ?.

Pendek kata, apakah persyaratan yang antum sebut itu sebenarnya merujuk pada pokok pemahaman atas permasalahan yang dibahas ? Jika merujuk pada pokok pemahaman, maka itu tidak ada bedanya antara ulama dan thaalibul-‘ilmi. Dalam arti, jika seseorang telah memahami permasalahan yang ada, maka tidak mengapa seorang thaalibul-‘ilmi menjabarkan permasalahan tersebut, sebagaimana banyak dibiasakan di sebagian pondok pesantren.

Atau menurut antum bahwa syarat mujtahid itu mutlak, tidak bisa tidak, memang harus ulama mujtahid semisal Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimiin, dan yang lainnya yang bicara ?.

Saya melihat bahwa apa yang disebut atau dituliskan tentang pentarjihan atas satu pendapat oleh thalib, pada hakekatnya mengikuti pentarjihan ulama lainnya. Bukan pentarjihan yang sifatnya menghasilkan pendapat baru.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Misalnya beberapa 'pentarjihan' yang dilakukan oleh sebagian 'thullab' berikut (silakan di-klik) :

1. Contoh Satu.

2. Contoh Kedua.

3. Contoh Ketiga.

4. Contoh Keempat.

5. Contoh Kelima.

6. Contoh Keenam.

7. Contoh Ketujuh.

dan yang lainnya.

Artikel di atas semuanya berbahasa Indonesia dari beberapa orang yang kita kenal bersama. Artikel-artikel di atas memberikan pertarjihan dalam bahasan yang mereka turunkan. Ada yang bahasannya panjang, ada pula yang singkat.

Baca juga yang ini.

Adapun bahts dalam bahasa 'Arab oleh para thullab, lebih banyak lagi.

Ada sebagian ulama yang membedakan antara ikhtiyaar dan tarjih. Namun sebagian muhaqqiq tidak membedakannya, karena kedua istilah itu tidak ada bedanya secara esensi (hakekat).

Agama memang bukan ajang percobaan uji asah otak. Namun agama juga tidak mengharamkan bagi setiap muslim untuk memahami dalil, pendapat, dan permasalahan yang ada denga tetap merujuk pada penjelasan ulama.


Wallaahu a'lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam syarh al-waraqaat oleh asy-syaikh Ahmad bin 'Abdillah bin Humaid, terdapat pernyataan sebagai berikut :

الحقيقة دراسة علم الأصول ليست خاصة بالمجتهد، بل يستفيد منها طالب العلم في الترجيح وإدراك القول الراجح بناء على ما عرف من قواعد أصولية فليست خاصة بالمجتهد


Saya juga mendapati fatwa Ibnu Baaz sebagaimana di bawah :

http://www.ibnbaz.org.sa/mat/195.

Saya juga mendapati fatwa Lajnah sebagai berikut :

Pertanyaan :

عندما نقرأ في كتب الفقه نجد كثيرا من المسائل فيها أكثر من قول، فما هو موقف طالب العلم من ذلك، وما موقفه إذا ذكرت المسألة بلا دليل؟

Dijawab :

إذا كان طالب العلم أهلا للترجيح، وعنده مقدرة على اختيار ما يراه بدليله؛ جاز له ذلك، وإذا لم يكن أهلا لذلك سأل من يثق بعلمه.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو ... عضو ... نائب رئيس اللجنة ... الرئيس

عبد الله بن قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز

فتاوى اللجنة الدائمة(32)جزءا - (12 / 93)


Dr. Yaasir Burhaamiy berkata dalam Fiqhul-Khilaaf bainal Muslimiin (hal. 34) :

فالواجب على الإنسان على حسب مرتبته في العلم :

1 - العالم المجتهد يلزمه البحث و الاجتهاد و جمع الأدلة و النظر في الراجح منها فما ترجح عنده قال به
و عمل به و أفتى , و ما أحراه في المسائل التي تعم بها البلوى أن يشير إلى الخلاف فيها مع بيان ما يراه صوابا .

2- طالب العلم المميز القادر على الترجيح عليه أن يعمل بما ظهر له دليله من أقوال العلماء .

3- و العامي المقلد العاجز عن معرفة الراجح بنفسه عليه أن يستفتي الأوثق الأعلم من أهل العلم عنده و يسأله عن الراجح , فيعمل به في نفسه , و يجوز نقله لغيره من غير إلزام لهم به , و من غير إنكار على من خالفه بأي من درجــات الإنكار

[selesai]

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata :

إذا كان المسلم عنده من العلم ما يستطيع به أن يقارن بين أقوال العلماء بالأدلة ، والترجيح بينها ، ومعرفة الأصح والأرجح وجب عليه ذلك ، لأن الله تعالى أمر برد المسائل المتنازع فيها إلى الكتاب والسنة ، فقال جل جلاله :


(فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) النساء/59.

فيرد المسائل المختلف فيها للكتاب والسنة ، فما ظهر له رجحانه بالدليل أخذ به ، لأن الواجب هو اتباع الدليل ، وأقوال العلماء يستعان بها على فهم الأدلة .

وأما إذا كان المسلم ليس عنده من العلم ما يستطيع به الترجيح بين أقوال العلماء ، فهذا عليه أن يسأل أهل العلم الذين يوثق بعلمهم ودينهم ويعمل بما يفتونه به ، قال الله تعالى :

( فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء/43

[Al-Khilaaf bainal-'Ulamaa', asbaabuhu wa mauqifunaa minhu, hal. 23].

Bagaimana pendapat antum tentang beberapa hal tersebut di atas ?

Mohon penjelasannya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan berikut sebagai tambahan, barangkali saya mendapat tambahan faedah dari antum.

Pengasuk islamweb ketika ditanya bagaimana penyikapan ketika terjadi perbedaan penghukuman di kalangan ulama hadits, menjawab :

وطالب العلم إن كان قد وصل إلى درجة يستطيع فيها النظر في الأقوال المختلفة، وحصلت له الملكة في هذا الشأن بحيث يظهر له قوة قول من الأقوال فإنه يعمل بما ظهر له.

وأما إن كان مبتدئا في هذا الشأن أو كان عاميا لا يفهم مصطلحات هذا العلم وطرق الترجيح فيه، فشأنه أن يقلد من يوثق بقوله من الأئمة

..... dst [lihat : sini].

Ada edisi terjemahan dari penjelasan Syaikh Salim Al-Hilaaliy dimana beliau berkata :

"Juga haruslah difahami bahwa dakwah salafiyah ini berdasarkan hujjah/dalil. Oleh karena itu, jika ada seorang penuntut ilmu tidak sepakat dengan pendapat ulama tertentu karena melihat bahwa dalil ulama ini tidak begitu kuat ataupun tidak meyakinkan dirinya, maka ini adalah suatu hal yang diperbolehkan untuk melakukan tarjih, mendengarkan ulama ini dan mendengarkan pula ulama lain, sembari mengatakan, ”Yang ini punya dalil (yang kuat) dan aku mengambilnya.” Bukannya malah bertaklid buta pada seorang individu dan menyetujui seorang individu pada setiap pernyataan yang dikatakannya tentang setiap orang atau setiap kelompok di muka bumi... ini yang harus kita fahami!!!" [lihat : sini].

Anonim mengatakan...

Syukron ustadz, Na'am nukilan antum dan argumen antum bisa diterima dan punya bobot ilmiah.

Afwan jika ada kata-kata ana yang keliru selama ini. Jujur ada sesuatu yang kuat yang melindungi diri antum, antum patut bersyukur. Satu hal yang saya minta dari antum tolong doakan kebaikan bagi saudaramu ini...

Jazakallahu Khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mohon juga dimaafkan jika ada salah-salah kata. Dan yang terpenting, kritik dan sarannya tetap dinantikan. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk mengamalkan ilmu yang kita punya....

Saufy Jauhary mengatakan...

Assalamualaikum Ustaz, saya seorang yang menyokong manhaj salaf.baru-baru ini ada seorang yang mengirim sebuah hadis yang membolehkan mengsadaqahkan pahala bacaan al-quran kepada mayit.padahal apa yang saya belajar pahala surah tidak sampai kepada orang mati.hadis yang dimaksudkan adalah:

“Al-Khallal berkata: Telah dikhabarkan kepadaku oleh Hasan bin Ahmad Al-Warraq: Telah diceritakan kepadaku oleh Ali bin Musa Al-Haddad dan dia seorang yang sangat jujur. Dia berkata: Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menghadiri pengebumian jenazah. Tatkala mayat itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk di samping kubur sambil membaca Al-Qur’an. Melihat kejadian itu Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya: Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an di samping kubur itu bid’ah!. Maka ketika kami keluar dari kawasan perkuburan berkatalah Muhammad bin Qudamah kepada Imam Ahmad bin Hanbal: Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: Beliau seorang yang Tsiqah (Dipercayai). Apakah engkau ada meriwayatkan sesuatu daripadanya? Muhammad bin Qudamah berkata: Ya, telah dikhabarkan kepadaku oleh Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin Al-Lajlaj dari bapanya bahawa dia berwasiat apabila telah dikuburkan nanti supaya dibacakan di sisi kepalanya permulaan pada surah al-Baqarah dan pada pengakhirannya dan dia berkata: Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu. Mendengar riwayat tersebut Imam Ahmad berkata: Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar meneruskan pembacaannya tadi.”

Sanadnya Hasan seperti yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi di dalam kitabnya Al-Adzkar.

وروينا في سنن البيهقي بإسناد حسن أن ابن عمر استحبَّ أن يقرأ على القبر بعد الدفن أوّل سورة البقرة وخاتمتها
Ertinya:
Diriwayatkan di dalam Sunan Al-Baihaqi denagn sanad Hasan bahawa Ibnu Umar menyukai agar dibaca di atas perkuburan sesudah pengebumian permulaan pada surah Al-Baqarah dan pada pengakhirannya.

saya mohon jasa baik ustaz untuk meneliti status hadis berkenaan.barakallahhu feekum...

Dari Malaysia

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Silakan baca :

Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dan Wasiatnya untuk Dibacakan Surat Al-Baqarah pada Waktu Penguburannya.

Semoga ada manfaatnya.

Anonim mengatakan...

abu hilya

- Tentang QS An Najm : 39

Dalam Tafsir Al Khozin :

{ وأن ليس للإنسان إلا ما سعى } أي عمل وهذا في صحف إبراهيم وموسى أيضاً قال ابن عباس هذا منسوخ الحكم في هذه الشريعة بقوله تعالى : { ألحقنا بهم ذريتهم } فأدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء وقيل كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى فأما هذه الأمة فلها ما سعوا وما سعى لهم غيرهم لما روي عن ابن عباس « أن امرأة رفعت صبياً لها فقالت يا رسول الله ألهذا حج؟ قال نعم ولك أجراً » أخرجه مسلم وعنه « أن رجلاً قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمي توفيت أينفعها إن تصدقت عنها؟ قال نعم »

(“dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”) Yakni yang telah ia kerjakan. Hal ini juga terdapat dalam Shuhuf Nabi Ibrohim dan Nabi Musa. Ibnu Abbas berkata : Ayat ini hukumnya di mansukh dalam syari’at ini dengan firman Alloh (Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. QS, At Thur 21), maka anak-anak dimasukkan surga karena kesalehan bapak (orang tua mereka). Dan dikatakan ketetapan tsb (yakni kandunga QS, An Najm : 39) berlaku untuk kaum Nabi Ibrohim dan Nabi Musa, sedangkan Ummat ini (Ummat Nabi Muhammad Saw) maka bagi mereka apa-apa yang mereka usahakan dan apa-apa yang orang lain usahakan untuk mereka, karena bersandar pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Sesungghnya seorang perempuan yang ditinggal mati anak kecilnya bertanya kepada Rosululloh, Yaa Rosulalloh adakah baginya (anak kecilnya) hajji? Rosululloh menjawab : Ya, dan bagimu pahala. HR. Muslim) dan dari Ibnu Abbas pula : (“Sesungghnya seorang lelaki bertanya kepada Rosululloh Saw, sesungguhnya ibuku telah wafat, adakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah sebagai ganti darinya? Rosululloh menjawab : Ya.)

Dalam Anwarut Tanzil Wa Asrorut Takwil Imam Al Baidhowi berkata :

{ وَأَن لَّيْسَ للإنسان إِلاَّ مَا سعى } إلا سعيه أي كما لا يؤاخذ أحد بذنب الغير لا يثاب بفعله ، وما جاء في الأخبار من أن الصدقة والحج ينفعان الميت فلكون الناوي له كالنائب عنه

(“dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”) kecuali usahanya, Yakni sebagimana seseorang tidaklah disiksa karena dosa orang lain ia tidak pula diberi pahala sebab perbuatan orang lain. adapun apa yang ada dalam beberapa hadits, bahwa shodaqoh dan hajji bisa bermanfaat untuk mayyit hal itu karena orang yang meniyatkannya untuk mayyit seperti/sama dengan pengganti dari mayyit.

Hal senada juga dapat anda temui dalam tafsir Al Baghowi, Ad Durrul Mantsur, Az Zamakhsyari dll. Kebanyakan para mufassirin yang kami jumpai tidak menggunakan ayat tsb untuk menutup total kemanfaatan dari yang hidup untuk yang sudah meninggal… selanjutnya silahkan periksa sendiri kitab-kitab tafsir mu’tabar…

Berikutnya anda melarang menggunakan metode qiyas sembarangan, namun disisi lain anda menggunakan hadits “puasa dan sholat tidak dapat diqodho’i oleh orang lain”. Ini yang salah qiyas siapa?… kami faham bahwa sholat dan puasa dalam madzhab Syafi’iyyah adalah Ibadah Badaniyah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam pelaksanaannya, meskipun ada sebagian kecil pendapat yang memperbolehkannya. Akan tetapi menggunakan Hadits Qodho’ Sholat dan Puasa untuk menghukumi kenduri kematian, apa ya bisa diterima akal pelajar?

وفي رواية أن سعد بن عبادة أخا بني سعد وذكر نحوه وأخرجه البخاري وعن عائشة رضي الله عنها قالت : « إن رجلاً قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمي افتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت تصدقت فهل لها أجر إن تصدقت عنها؟ قال نعم . » أخرجاه في الصحيحين . وفي حديث ابن عباس دليل لمذهب الشافعي ومالك وأحمد وجماهير العلماء أن حج الصبي منعقد صحيح يثاب عليه وإن كان لا يجزيه عن حجة الإسلام بل يقع تطوعاً . وقال أبو حنيفة : لا يصح حجه وإنما يكون ذلك تمريناً للعبادة . وفي الحديثين الآخرين دليل على أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها

Anonim mengatakan...

Selain itu alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini adalah :

Prinsip dasar dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga diharuskan meninggalkan selain itu.

Tidak pernah terdengar pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit. Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah dan Rasul-Nya.

Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.

Bahwa para ahli bid’ah di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qaari’ untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.

Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.

Jawaban kami :

Disini nampaknya anda tidak mampu membedakan antara Ibadah yang bersifat Tauqifiy (Ibadah Mahdho yang tekhnis pelaksanannya telah ditetapkan) dengan Ibadah yang bersifat Muthlaq yang berupa kebaikan-kebaikan yang bernaung dibawah dalil-dalil ‘AM dimana tekhnis pelaksanaannya tidak ada ketetapan.

Yang kedua, anda melarang apa yang tidak dilakukan oleh Rosululloh Saw, maupun para sahabat dengan hujjah “Seandainya hal itu baik, Niscaya mereka pasti telah mendahului kita”

Ketahuilah Ukhti, Hujjah anda bukanlah kaedah Ushul maupun Kaedah Fiqih yang dapat digunakan sebagai haluan atau rambu-rambu dalam berisntinbath. Selanjutnya jika anda belum memahami “At Tark”, cukup bagi kami mengajukan sebuah pertanyaan. “Beranikah anda mengatakan Rosululloh Saw mengharamkan kenduri kematian” ? jika anda memaksa memberanikan diri untuk mengatakannya, maka cukup sampai disini saja diskusi kita, selanjutnya silahkan anda seenaknya mengharamkan apa yang tidak diharamkan Syari’ mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Syari’… dst…. dan kami berlepas diri dari itu semua.. Wal ‘Iyadz Billah

Selanjutnya tentang comment anda :

“Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.”

Jawaban kami:

Pernyataan anda kotradiktif, karena memasukkan perkara sesuai kesukaan berarti meninggalkan metode Qiyas, Karena jika kita beristinhbath dengan menggunakan landasan hukum qiyas itu bererti kita tidak berbuat sesukanya, melainkan menggunakan salah satu landasan hukum yang disepakati….

Tentang alenia terakhir dalam comment anda diatas, perlu kami tanyakan satu hal: apa yang dimaksud “Dalil” dalam pengertian anda?….

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang klaim mansuukhnya QS. An-Najm, maka benar itu dikatakan oleh sebagian mufassiriin. Akan tetapi klaim itu - sependek pengetahuan saya - tidak didasari dalil.

Di atas telah dijelaskan bahwa hukum umum dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan tidak memperoleh apapun yang dilakukan oleh orang yang masih hidup, kecuali yang disebutkan oleh dalil. Pendek kata, ayat tersebut menerima takhshish oleh nash-nash yang lainnya.

Tentang riwayat :


لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة

”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih].

Justru ini menguatkan apa yang dinyatakan sebelumnya. Ini bukan qiyas. Seandainya seorang yang meninggal tetap dapat menerima manfaat amal ibadah dari orang lain (apalagi memakai dalil mansukhnya QS. An-Najm : 39), tentu itu tidak diperkecualikan.

Perkataan Anda :

"Disini nampaknya anda tidak mampu membedakan antara Ibadah yang bersifat Tauqifiy (Ibadah Mahdho yang tekhnis pelaksanannya telah ditetapkan) dengan Ibadah yang bersifat Muthlaq yang berupa kebaikan-kebaikan yang bernaung dibawah dalil-dalil ‘AM dimana tekhnis pelaksanaannya tidak ada ketetapan" [selesai].

Apakah menurut Anda perkara diterima tidaknya kirim pahala pada orang yang meninggal itu bukan merupakan taufiqiy yang membutuhkan dalil ?. Di atas telah disebutkan dalil umum yang menyatakan tidak sampainya pahala, dan kemudian ada dalil khusus pada beberapa hal tertentu yang mengecualikannya.

Perkataan Anda :

"Selanjutnya jika anda belum memahami “At Tark”, cukup bagi kami mengajukan sebuah pertanyaan. “Beranikah anda mengatakan Rosululloh Saw mengharamkan kenduri kematian” ? jika anda memaksa memberanikan diri untuk mengatakannya, maka cukup sampai disini saja diskusi kita, selanjutnya silahkan anda seenaknya mengharamkan apa yang tidak diharamkan Syari’ mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Syari’… dst…. dan kami berlepas diri dari itu semua.. Wal ‘Iyadz Billah [selesai].

Kenduri kematian dalam arti makan-makan karena meninggalnya seseorang termasuk bagian dari meratap.

Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).

Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.

Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم

“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67).

Oleh karena itu, tentu saja haram hukumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang at-tark, maka kaedah yang berlaku adalah :


إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة

”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.

Anonim mengatakan...

Abu Hilya
Tentang QS. An Najm : 39, kami tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat para mufassirin ttg ayat tsb. Dan berikut kami sampaikan pendapat beberapa mufassirin, diantaranya adalah :

- Sebagian berpendapat ayat tersebut Mansukhul Hukmi oleh QS. At Thur : 21. Pendapat ini dinisbatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas ra.
- Sebagian yang lain berpendapat ayat tsb bersifat ‘Am Makhshush (dalil umum yang dibatasi)
- Sebagian yang lain berpendapat ayat tersebut berbicara tentang “Al Milk” (perkara yang dimiliki seseorang yang telah meninggal). Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan Huruf Jar yang berupa “Lam” pada kata “Lil Insani” yang memberi pengertian yang dimiliki mayyit. Dan berarti ayat tsb tidak berbicara ttg “Intifa’” (beroleh manfaat dari amal orang yang masih hidup). Dan hujjah Intifa’ul Mayyit ‘An ‘Amalil Ghoir (Berolehnya manfaat simayyit dari amal orang yang masih hidup) sungguh sangat banyak dan shohih.
- Sebagian yang lain berpendapat ayat tersebut merupakan rangkaian ayat sebelumnya yakni ayat 36-37, yang berarti ayat tsb merupakan ketetapan syari’at bagi ummat Nabi Ibrohim as dan Nabi Musa as.
- Sebagian yang lain berpendapat ayat tsb berbicara tentang keadilan Alloh, bukan tentang Fadhol (anugerah) dari Alloh. Adalah hal yang sangat dzhohir jika penguasa hanya menetapkan hak milik seseorang berdasar usahanya dan tidak menghukum seseorang berdasar kesalahan orang lain, apalagi penguasa yang dimaksud dalam ayat tsb adalah Alloh Yang Maha Adil. Adapun tentang fadhol (anugerah) dari Alloh, keberadaannya tidak terikat dengan usaha seseorang, bahkan Alloh berhak mengampuni siapapun yang ia kehendaki dengan kuasa-Nya.
- Tentang “Tahlilan” dan atau “Yasinan” atau shodaqoh, adalah milik mereka yang mengerjakannya, dan adalah hak mereka untuk tetap menjadikanna sebagai miliknya atau menghadiahkan kepada orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Khusus penghadiaan terhadap yang telah meninggal, kami berhujjah dengan setidaknya “Hadits Shodaqoh” dan “Hadits Hajji” untuk orang yang telah meninggal, dan tentunya masih banyak hadits-hadits lain tentang sampainya pahala dari orang yang masih hdup untuk orang yang telah meninggal.
- Dll.

Ketika kami mencermati uraian anda secara menyeluruh, sebenarnya anda tidak menafikan total Intifa’ul Mayyit ‘An ‘Amalil Ghoir (mayit beroleh manfaat dari amal orang lain), namun anda membatasi pada perkara yang telah ada contohnya. Dan ini berarti kita sedang berdiskusi tentang masalah Khilafiyyah antara “Wushul” (sampai) dan “tidak sampai”, bukan bid’ah atau sunnah. Karena sungguh kami yakin anda juga tahu hadits shodaqoh dan hajji untuk orang yang telah meninggal.

Tentang riwayat :

لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة

”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih].

Anonim mengatakan...

Sebagaimana telah kami sampaikan, bahwa dalam Madzhab Syafi’iyyah terdapat pembagian ibadah Mahdho sbb:

- Ibadah Badaniyyah Mahdhoh (murni ibadah badan) meliputi sholat, puasa dst…. Terhadap jenis ibadah ini para Ulama kami berpendapat: tidak dapat digantikan oleh orang lain. Oleh karenanya orang yang telah meninggal dalam keadaan berhutang sholat atau puasa, Jumhur Syafi’iyyah menyatakan sholat dan atau puasa yang ditinggal oleh si Mayyit tidak dapat digantikan (di qodho’) oleh ahli waris maupun orang lain. Makanya dari kami tidak ada yang mengqodho’ sholat atau puasa yang ditinggalkan mayyit, meskipun ada Qiil (pendapat lemah) tentang dibolehkannya, sebagaimana dalam Al Muhadzdzab.
- Ibadah Maaliyyah Mahdho (Ibadah murni harta) meliputi Zakat, shodaqoh dst…. Terhadap Ibadah jenis ini pelaksanaannya dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karenanya jika ada seseorang yang meninggal dalam keadaan berhutang belum menunaikan Zakatnya, maka wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikan zakatnya sebelum tirkah (harta tinggalan) dibagi kepada ahli waris.
- Ibadah Badaniyyah Wa Maliyyah (ibadah badan dan harta sekaligus). Meliputi Hajji…. Terhadap ibadah jenis ini kajiannya cukup luas berikut tata pelaksanaan bagi yang menggantikannya.

Kesimpulannya : Riwayat yang anda sampaikan diatas, menurut para Ulama kami tidak membatasi Intifa’nya (berolehnya kemanfaatan mayit dari amalan orang lain).

Anonim mengatakan...


Selanjutnya tentang Niyaha :

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan

قوله نهى النياحة والنوح أصله التناوح وهو التقابل ثم استعمل في اجتماع النساء وتقابلهن في البكاء على الميت

Ketahuilah saudaraku, ketika anda menggunakan Riwayat Sayyidina Jarir bin Abdillah, Sayyidina Tholhah, Sayyidina Sa’id Ibn Zubair untuk melarang kenduri kematian, sesungguhnya anda berhujjah dengan hukum “Qiyaas”, dan Insya Alloh anda menyadari akan hal ini. Dan kalau dibutuhkan Insya Alloh akan kami sampaikan penjelasan bahwa anda yang melarang dan kami yang membolehkan dengan hukum makruh, sama-sama menggunakan Qiyas.

Selanjutnya sebagaimana yang ada dalam artikel diatas, sungguh telah kami sampaikan pandangan Imam Syafi’iy dan para Ulama Syafi’iyyah. Kami katakan disana hukumnya “Makruh”. Adapun selanjutnya apakah tradisi yang ada disekitar kita masuk kategori “Niyaha” atau malah termasuk “Al ‘Izaa’/Ta’ziyah”, maka diperlukan pemahaman tentang yang dimaksud dengan “Niyaha” dengan pemahaman yang menyeluruh dan membatasi (yang memiliki Jami’ dan Mani’) yang tepat, dan disamping itu diperlukan pula infestigasi terhadap waqi’iyyah yang terjadi disekitar kita sebelum menghukuminya, agar kita tidak salah menempatkan hujjah. Sebagaimana yang disampaikan Ust Mas Derajad.

Tentang at-tark, maka kaedah yang berlaku adalah :

إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة

”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.

Maaf kaedah diatas anda sampaikan tanpa menyebutkan sumbernya, dan jika anda menggunakan kaedah tsb untuk melarang kenduri kematian, maka hendaknya dilakukan penelitian mendalam tentang:

- Jika dalam hal ini (kenduri kematian) ditinggalkan oleh Rosululloh Saw padahal ada faktor pendorongnya, maka harus dibuktikan tentang adanya faktor pendorong yang dimaksud, tidak hanya menggunakan ilustrasi “seandainya”.
- Harus pula dilakukan pembuktian tidak adanya “Mani’” (hal yang mencegah) Rosululloh Saw melakukannya.

Bagi kami, perkara yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rosululloh Saw tanpa adanya dalil lain yang melarang perkara tsb, atau yang disebut “At Tark”, maka hukumnya “Jawaz” (boleh) kami berhujjah pada hadits dari Ibnu Abbas :

فَمَا أَحَلَّ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ

“Dan apa yang telah dihalalkan Alloh Swt maka dia adalah halal, dan apa yang telah diharamkan Alloh maka dia adalah haram, sedang apa yang Alloh diam darinya (tidak membicarakannya) maka dia adalah boleh” (HR, Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi)
Hadits senada juga diriwayatkan oleh At Thobroni dan Al Bazzar dari hadits Abi Darda’ dengan sanad hasan, dan juga At Turmudzi dan Ibnu Majah dari hadits Salman, dan dari jalur-jalur yang lain.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Singkat saja dari saya :

Saya kira di artikel telah jelas bahwasannya para ulama sepakat tentang sampainya amal kepada mayit yang disebutkan oleh nash, diantaranya haji dan yang lainnya. Jadi, janganlah Anda berbicara gak jelas dan berputar-putar seperti di atas.

Apa Anda tidak membaca uraian An-Nawawiy yang berkata :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya (yang menyepakatinya) adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [LihatSyarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].

Baca baik-baik ya.... An-Nawawiy mengatakan bahwa Asy-Syaafi’iy berpendapat bacaan Al-Qur’an itu tidak sampai ke mayit dengan dasar QS. An-Najm ayat 39 dan hadits terputusnya amal anak Adam. Kira-kira, logika pendalilan Asy-Syaafi’iy itu seperti yang Anda sampaikan ataukah tidak ?. Baca juga penjelasan Al-Haitsamiy dan Ibnu Katsiir di atas. Dan ini yang dikatakan ulama ushul Syaafi’iyyah, Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salaam rahimahullah :

وأما ثواب القراءة ، فمقصور على القارئ ، لا يصل إلى غيره لقوله تعالى : وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم :39] ، وقوله : لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ [البقرة : 286] وقوله : إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وقوله عليه السلام : (( من قرأ القرآن وأعرابه , فله بكل حرف عشر حسنات )) فجعل أخر الحروف وأجر الاكتساب لفاعليها , فمن جعلها لغيرهم فقد خالف ظاهر الآية والحديث , بغير دليل شرعي , ومن جعل ثواب القراءة للميت , فقد خالف قوله تعالى :وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى. فإنّ القراءة ليست من سعي الميت ؛ وكذلك جعل الله العمل الصَّالح لعامليه بقوله : مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ? [فصلت:46] , فمن جعل شيئاً من الأعمال لغير العاملين فقد خالف الخبر الصادق

[Selengkapnya : Al-Fataawaa-Al-maushiliyyah, hal. 98-100]

Coba baca baik-baik dan pahami perkataan ini. Setelah beliau rahimahullah menyatakan pahala membaca Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit dengan menyebutkan dalil-dalilnya (diantaranya adalah QS. An-Najm : 39), maka beliau menyatakan bahwa orang yang memperuntukkan amal-amal kepada orang yang tidak melakukannya, maka ia telah menyelisihi nash.

Ini indikasi kuat bahwa mereka tidak berpendapat hukum yang ada dalam QS. An-Najm ayat 39 itu mansukh (mansukh hukmi). Pendapat yang disandarkan pada Ibnu ‘Abbaas yang Anda katakan ia berpendapat mansukh, setahu saya itu gak ada sanadnya.

Bung,... please, kalau nyusun bahasa, jangan seolah-olah jawaban ini saya yang ngarang ya.

Terkait dengan hal tersebut, jika mereka (ulama yang saya sebutkan di atas) mengatakan kirim pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit, bukankah amal-amal itu pada hakekatnya merupakan kesia-siaan ?. Jika itu merupakan kesia-siaan, bukankah itu merupakan bid’ah ?. Jika bid’ah itu jelas-jelas menyelisihi nash, bukankah itu merupakan bid’ah madzmuumah ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika Anda mengatakan bahwa perbuatan itu baik merupakan anggapan baik Anda semata (baca : istihsaan), maka inilah istihsaan yang dicela oleh Imam Asy-Syaafi’iy :

أن حراماً على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف الاستحسان الخبر

“Sesungguhnya haram bagi seseorang untuk berkata berdasarkan istihsaan, apabila istihsan-nya itu menyelisihi nash”.

Kemudian tentang kaedah yang saya sebutkan, maka itu ada dalam buku Qawaa’idu Ma’rifatil-Bid’ah karya Dr. Muhammad Al-Jizaaniy, seorang pakar ushul kontemporer. Dan itu bisa dibuktikan melalui nash-nash yang ada. Saya telah menulis artikel singkat terkait hal tersebut di sini.

Kalau cara memahami bid’ah versi Anda dengan bersandar pada hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu, ya pasti gak akan ada kata bid’ah dalam kamus Anda. He..he...he....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang bahasan kenduri kematian, perkataan Anda :

"Selanjutnya tentang Niyaha :

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan

قوله نهى النياحة والنوح أصله التناوح وهو التقابل ثم استعمل في اجتماع النساء وتقابلهن في البكاء على الميت

Ketahuilah saudaraku, ketika anda menggunakan Riwayat Sayyidina Jarir bin Abdillah, Sayyidina Tholhah, Sayyidina Sa’id Ibn Zubair untuk melarang kenduri kematian, sesungguhnya anda berhujjah dengan hukum “Qiyaas”, dan Insya Alloh anda menyadari akan hal ini. Dan kalau dibutuhkan Insya Alloh akan kami sampaikan penjelasan bahwa anda yang melarang dan kami yang membolehkan dengan hukum makruh, sama-sama menggunakan Qiyas"
[selesai kutipan].

Yang kita bicarakan adalah kenduri mayit, alias makan-makan pada acara kematian mayit (pada saat atau pasca kematian mayit).

Saya merasa tidak berhujjah dengan qiyas, akan tetapi berhujjah dengan qaul shahabat. Bagaimana pendapat yang beredar di kalangan shahabat tentang hal itu. Ternyata, mereka berpendapat bahwa kegiatan itu merupakan bagian dari niyahah. Kalau bicara niyahah,maka asal hukumnya adalah haram.

Kalau misal ada ulama Syaafi'iyyah yang berpendapat bahwa makan-makan kenduri adalah makruh, anehnya orang-orang kita di sini malah berlomba-lomba mengadakannya. Atau bahkan memang sudah dijadikan tradisi. Ketika sebagian yang pintar ditanya alasannya, mereka berkata : "Ulama kami berpendapat makruh".

Apa sih sebenarnya makna makruh ? Dibenci atau disukai ?. Dan ingat mas,... sebagian ulama mutaqaddimiin banyak menggunakan kata makruh itu untuk makna makruh tahriim.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum.. apakah dalam diskusi ini kita me'rasa'kan keagamaan, keIslaman.. atau menjauhkannya? Ini baru Seorang Abu Jauzaa dan anonim, bisa dibayangkan level diskusi dulu antara Al Farabi dan Ghazali. Sama2 terdidik sama2 kaya dengan referensi. Setelah saya memperhatikan aktivitas kompetisi intelek keIslaman yang sekarang semakin meningkat diwebiste dsb, saya menjadi terbuka dalam memetakan situasi kenapa dulu ‘Ihya’ bisa lahir dan menyejukan perseteruan para ahli fiqh. Rujukan, referensi dan sebagainya menjadi sumber kekayaan dan kekuatan tiada tara, dukunganpun menjadi kunci permodalan. Tapi kemanakah para pencari Tuhan sebenarnya..? yang berpengetahuan dalam ilmu niat.. bukankah niat yang menjadi kajian fiqh sebenarnya, bukahkan niat menjadikan hokum haram, makruh mubah dsb. Yang dengannya bisa menjadikan haram yang halal (seperti menikah dengan niat buruk menjadi haram hukumnya).
Kecendekiaan bertolak dari rasa batin yang sempurna yang mengantarkannya pada kesempurnaan rasio yang mungkin malah melewati batas2 rasional. Kebenaran referensi menjadi mubazir saat mengorbankan rasa, sebagaimana Rasulullah yang marah pada seorang ibu yang memarahi anaknya karena kencing dicelana. Apa susahnya mengambil seember air untuk menghilangkan najis daripada harus melukai hati sang anak dengan memarahinya. Belajar dari para Auliya yang sempurna dalam rasa dan tentu mereka cendekia, dan saya belajar dari kasus diatas. Rasullulah tidak bertebaran kata pada si ibu tentang haram makruh mubahnya memarahi anak dan sebagainya. Rasulullah mengambil air dan membasuh najis si anak lalu mengingatkan si ibu tentang keutamaan kasih sayang daripada peringatan.
Pengalaman nyata pribadi. Seorang pemilik gedung mendapati seorang karyawannya (kebetulan salah satu sahabat saya) yang sudah bekerja belasan tahun merokok di elevator, si pemilik gedung tidak menegur, dia berkata, boleh minta rokoknya? Dengan senang hati, kata si karyawan. Setelah itu si karyawan menawarkan pemantik.. kata pemilik gedung, oh terima kasih, tidak boleh merokok di elevator, ini untuk nanti setelah saya makan siang. Si karyawan ini malu tapi bertambah rasa hormatnya. Kalau saja pemilik gedung memarahi karyawan tersebut dengan membacakan aturan ini dan itu, bisa jadi mengantar pada tujuannya, tapi kenapa harus dilupakan pengabdian belasan tahun menjadi karyawan, hanya pada ketidak disiplinan atau kesalah pengertian.
Saat seseorang yagn telah memiliki referensi melihat orang lain membaca al qur’an di makam dengan niat agar sampai pada mayit, maka sering mereka sudah memiliki referensi langsung menjadi hakim. Kenapa tidak duduk disebelah orang tersebut, bersabar lalu katakan padanya ayat2 doa yang indah yang ada relevansinya dengan permintaan ampunan dan keberkahan bagi si mayit.
Cintailah sesama muslim apapun kekurangan dan kelebihan mereka tanpa reserve, sesungguhnya sebagian dari kita adalah ujian bagi yang lain.
Bila kebanyakan dari kita memusuhi Yahudi, Rasul memilih mengIslamkan mereka dengan kecerdasan batin, dan ini sebuah cara pikir mental yang berbeda.

Wassalam...

Arie

Anonim mengatakan...


Assalamualaikum..Afwan tanya lagi ustad.. karena banyak yang belum menerangkan maksud hadits ini.

Bagaimana derajat hadits ini :

Dari kitab Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; Musnad Imam Ahmad juz 5 hal 293-294. sunan Darul Qutny juz 4 hal 685 yang berbunyi sebagai berikut:



عن عاصم ابن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار: قال خرجت مع رسول الله صلي الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلي الله عليه وسلم وهو على القبر يوصى الحافر يقول أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجعنا إستقبله داعي إمراته فأجاب ونحن معه فجيئ بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا إلى رسول الله صلي الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت ألى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشترى لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارلي قد اشترى شاة أن يرسل بـها إليّ بثمنها فلم يوجد فارسلت إلى إمراته فار سلت إليّ بـها فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأ سرى

“Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah SAW berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah SAW makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istrinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”.

Isteri di dalam hadits tersebut apakah isteri orang lain atau isteri si mayyit?
dan banyak orang "aswaja" mengklaim kebolehan bertahlilan dengan hadits tersebut..
mohon pencerahannya.. ana ucapkan Jazakallah khair

Unknown mengatakan...

assalamualaikum

tadz saya mau nanya nich...
dulu saya pernah berhutang kepada seseorang sebesar 600rb dan saya tidak sempat untuk melunasinya sampai sekarang dikarenakan orang tsb sudah tidak tau dimana tempat tinggalnya, trus bgmna saya mau melunasinya apakah dengan saya sodaqohkan bisa melunasinya...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anonim 24 November 2012 16.10,.... hadits tidak benar dalam pengambilan hukumnya, karena yang mengundang makan dan memberi makan adalah seorang wanita yang belum pasti keluarga si mayit. Adapun istri (keluarga) si mayit hanya mencarikan kambing saja untuk diberikan kepada yang bersangkutan. Padahal, yang dilarang adalah nerkumpul dan makan-makan di keluarga si mayit.

=========

Kundi Arto,... wa'alaikumus-salaam. Jika antum telah berusaha untuk mencari orang tersebut untuk membayar hutan namun tidak menemukannya, antum dapat bersedekah dengan uang tersebut atas nama orang yang memberi hutan pada antum.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaykum ya ustd, Barakallahufiyk. Saya baca di blog2 sdr kita aswaja, mrk juga berdalil dg qaul Imam Syafii yg tdpt di beberapa kitab utk mbolehkan MERUANG (istilah di Aceh utk baca al-Qur'an diats kuburan org yg baru saja meninggal, secara di upah/pasang tarif), spti dlm Riyadus Shalihin, 'Imam Syafii menyunnahkan baca al-Qur'an dikuburan, lebih bagus bila dpt mengkhatam-k-y.' Saya sangat bingung ustd, krn yg kita ketahui yg masyhur dr pdpt beliau adlh tdk sampai pahala bc al-Quran kpd mayit. Mohon pencerahan-y ustd, Terimakasih wa Jazakumullahu khairan katsira. Abu Raihan di Lhokseumawe.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Silakan baca : Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dan Wasiatnya untuk Dibacakan Surat Al-Baqarah pada Waktu Penguburannya.

Naufal arsyahafin islam mengatakan...

Penjelasan yang hebat...diskusi yang panjang penuh akan ilmu....inilah pelajaran yang berharga buatku....didkusi antara 2 orang yang berilmu namun krtika di beri dalil yang memuaskan sama2 bisa menerima....terima kasi ustad



Abu Umar mengatakan...

1. Sepertinya pak ustadz tidak bisa membedakan antara AL-HAITSAMI dan AL-HAITAMI

2. Penulis KITAB AL-FATAWA ALFIQHIYAH AL KUBRO ADALAH AL-HAITAMI....BUKAN...SEKALI LAGI BUKAN....AL-HAITSAMI

3. Penggalan itu bisa di temukan di kitab tersebut JUZ2 tapi HALAMAN 26 BUKAN HALAMAN 9

4. PAK USTADZ MENGGUNTING PENJELASAN PANJANG DARI AL-HAITAMI...sehingga maknanya JAUUHHH dari makna yg di maksud oleh AL-HAITAMI...

5. MAKNA yang sesungguhnya yg di maksud oleh AL-HAITAMI adalah..

وكلام الشافعي – رضي الله عنه – هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقيبه. ( الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي, ج : 2, ص : 27

Terjemah : perkataan imam syafiiy maksudnya adalah JIKA alquran itu TIDAK dibaca DIHADAPAN si mayit dan TIDAK BERDOA setelahnya.


6. Entah sengaja atau TIDAK yang JELAS PENGGUNTINGAN PERKATAAN AL-HAITAMI TERSEBUT MENYEBABKAN MAKNA NYA JADI BERTOLAK BELAKANG DENGAN MAKNA ASLINYA


7. Semoga Allah memberi taufik pada kita agar menyampaikan agama DENGAN JUJUR DAN APA ADANYA....