Hukum Memakan Binatang yang Dibunuh dengan Setruman Listrik


Tulisan ini merupakan tulisan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah dalam rangka bantahannya terhadap tulisan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi yang terdapat dalam kitabnya yang masyhur : Al-Halal wal-Haram fil-Islam. Dr. Al-Qaradlawi berpendapat bahwa halal hukumnya hewan yang dibunuh dengan menggunakan sengatan listrik oleh Ahli Kitab selama mereka menamakan cara tersebut sebagai satu ”penyembelihan”. Pendapat ini adalah dibangun atas dasar taqlid pada salah satu perkataan Ibnul-’Araby. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan memberikan penjelasan yang ringkas, padat, gamblang, dan memuaskan bagi para penuntut ilmu terkait dengan pembahasan yang diangkat oleh Dr. Al-Qaradlawi. Berikut penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan :

******************

”Penulis (yaitu Dr. Al-Qaradlawi) di dalam bahasan sembelihan sembelihan Ahli Kitab di halaman 48 (dalam kitab Al-Halal wal-Haram) menyebutkan :

المسألة الثانية هل يشترط أن تكون تذكيتهم مثل تذكيتنا بمحدد في الحلق اشترط ذلك أكثر العلماء‏.‏ والذي أفتى به جماعة من المالكية أن ذلك ليس بشرط قال القاضي ابن العربي في تفسير آية المائدة‏:‏
وهذا دليل قاطع على أن الصيد وطعام الذين أوتوا الكتاب من الطيبات التي أباحها الله وهو الحلال المطلق‏.‏ وإنما كرره تعالى ليرفع الشكوك ويزيل الاعتراضات عن الخواطر الفاسدة التي توجب الاعتراضات وتحوج إلى تطويل القول ولقد سئلت عن النصراني يفتل عنق الدجاجة ثم يطبخها هل تؤكل معه أو تؤخذ طعاما‏.‏ فقلت تؤكل لأنها طعامه وطعام أحباره ورهبانه وإن لم تكن هذه ذكاة عندنا ولكن أباح الله لنا طعامهم مطلقا وكل ما يرونه في دينهم فإنه حلال لنا إلا ما كذبهم الله فيه‏.‏ ولقد قال علماؤنا إنهم يعطوننا نساءهم أزواجا فيحل لنا وطؤهن فكيف لا نأكل ذبائحهم‏.‏ والأكل دون الوطأ في الحل والحرمة. هذا ما قرره ابن العربي ، وقال في موضع ثان‏:‏ ‏(‏ما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم الرأس ، أي بغير قصد التذكية ، ميتة حرام‏)‏‏.‏
قال المؤلف القرضاوي‏:‏ ولا تنافي بين القولين فإن المراد أن ما يرونه مذكى عندهم لنا أكله وإن لم تكن ذكاته عندنا ذكاة صحيحة‏.‏ وما يرونه مذكى عندهم لا يحل لنا والمفهوم المشترك للذكاة هو القصد إلى إزهاق روح الحيوان بنية تحليل أكله وهذا هو مذهب المالكية عامة‏
وعلى ضوء ما ذكرنا نعرف الحكم في اللحوم المستوردة من أهل الكتاب كالدجاج ولحوم البقر المحفوظة مما قد تكون تذكيته بالصعق الكهربائي ونحوه فما داموا يعتبرون هذا حلال مذكى فهو حل لنا وفق عموم الآية‏.‏ انتهى كلام المؤلف وهو محاولة لإباحة اللحوم المستوردة التي لم يتبع فيها طريقة الذكاة الشرعية‏.

”Permasalahan yang kedua : Apakah penyembelihan mereka itu dipersyaratkan seperti penyembelihan kita juga, yaitu dengan pisau tajam dan dilakukan pada leher binatang sebagaimana jumhur ulama berpendapat demikian ? Adapun menurut pendapat golongan Malikiyyah bahwasannya hal itu bukanlah sebagai syarat. Telah berkata Al-Qadli Ibnul-’Araby ketika menafsirkan ayat dalam QS. Al-Maidah : ”Ini adalah satu dalil yang cukup tegas bahwa hewan buruan dan makanan ahli kitab termasuk dalam katagori ath-thayibaat (makanan-makanan yang baik) yang diperbolehkan oleh Allah. Ia halal secara mutlak. Allah ta’ala mengulang-ulangnya hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keraguan dan musnahnya anggapan yang membawa bahaya kerusakan sehingga memperpanjang permasalahan. Saya pernah ditanya tentang seorang Nashrani yang membekuk leher ayam lalu dimasaknya; apakah boleh dimakan dagingnya atau diambil makanannya saja ? Saya jawab : Dagingnya halal dimakan karena itu adalah makanan para Rahib dan ahbaarnya sekalipun sembelihannya tidak sama dengan kita. Sebab Allah telah menghalalkan makanan mereka secara mutlak. Dan setiap makanan yang dibenarkan oleh agama mereka berarti halal bagi kita, kecuali yang telah dijelaskan oleh Allah tentang kedustaannya. Dan telah berkata ulama kami bahwasannya mereka telah menyerahkan wanita-wanita mereka untuk kita nikahi sehingga halal bagi kita untuk menyetubuhinya, namun mengapa kita tidak boleh memakan sembelihan mereka ? Dan memakan sembelihan itu lebih ringan hukumnya dibanding menyetubuhi tentang halal dan haramnya”. Inilah pendapat Ibnul-’Araby. Dan ia berkata pula dalam tema yang kedua : ”Apa yang mereka makan tanpa sembelihan seperti pencekikan dan pemukulan kepala – tanpa niat menyembelih – , maka itu dinamakan bangkai. Hukumnya haram”. Penulis (yaitu Al-Qaradlawi) berkata : ”Dua perkataan ini tidaklah bertentangan, sebab yang dimaksud adalah : Apa yang mereka anggap sebagai penyembelihan, berarti halal bagi kita meskipun menurut kita sembelihannya tidak benar. Dan apa yang mereka anggap bukan sembelihan, maka tidak halal bagi kita. Oleh karena itu, mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan adalah bermaksud mengeluarkan nyawa hewan dengan niat untuk menghalalkan untuk memakan hewan tersebut. Dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.

Berdasarkan keterangan yang kami paparkan di atas, kita dapat mengetahui hukum daging-daging import dari negara-negara yang penduduknya mayoritas dari kalangan ahli kitab, seperti ayam dan daging sapi kemasan. Boleh jadi penyembelihannya tersebut menggunakan alat listrik (setrum) dan yang semisalnya. Selama binatang-binatang tersebut oleh mereka dianggap sebagai satu sembelihan, maka hal itu halal bagi kita sesuai dengan keumuman ayat”.

[Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : ”Selesailah pembicaraan Penulis – yaitu Dr. Al-Qaradlawi – yang intinya beliau berusaha menghalalkan daging import yang penyembelihannya bertentangan dengan syari’at Islam”].

Kemudian Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan memberikan bantahan sebagai berikut :

”Jawaban kami kepadanya ada beberapa segi sebagai berikut :

Pertama, Penulis telah merubah – semoga Allah memberikannya petunjuk – apa-apa yang ia nukil dari perkataan Ibnul-’Araby, menambah dan menguranginya, serta merubah sebagian kalimatnya. Hal ini merupakan perbuatan yang menafikkan amanat ilmiyah dan perasaan takut kepada Allah. Apabila kita mengembalikan apa-apa yang ia nukil dari perkataan Ibnul-’Araby dengan aslinya, maka nampaklah apa-apa yang telah kami sebut dalam hal ini (tentang hilangnya amanat ilmiyah). Misalnya :

  1. Telah berkata Ibnul-Araby :

    إنهم يعطوننا أولادهم ونساءهم ملكا في الصلح

    ”Bahwasannya mereka (Ahli Kitab) itu menyerahkan anak-anak laki-laki dan wanita-wanita mereka untuk dimiliki selama waktu perdamaian”.

    Tetapi ibarat yang diungkapkan oleh Penulis adalah sebagai berikut : ”Mereka telah menyerahkan wanita-wanita mereka untuk kita nikahi”. Penulis menghapus kalimat ”anak-anak laki-laki mereka” dan ”selama waktu perdamaian”. Penulis juga merubah kalimat ”untuk dimiliki” menjadi ”untuk dinikahi”.

  2. Telah berkata Ibnul-Araby :

    فإن قيل فما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم الرأس- فالجواب أن هذا ميتة وهي حرام بالنص وإن أكلوها فلا نأكلها نحن كالخنزير فإنه حلال لهم ومن طعامهم وهو حرام علينا‏

    ”Maka jika dikatakan apa-apa yang mereka makan itu bukan dalam bentuk penyembelihan seperti pencekikan dan pemukulan kepala – maka itu dinamakan bangkai. Haram hukumnya menurut nash, walau mereka memakannya, maka kita tidak akan memakannya. Begitu pula babi bagi mereka halal untuk memakannya namun haram bagi kita”.

    Adapun ibarat yang diungkapkan Penulis adalah sebagai berikut : ”Apa yang mereka makan tanpa sembelihan seperti pencekikan dan pemukulan kepala – tanpa niat menyembelih – , maka itu dinamakan bangkai. Hukumnya haram”. Wahai Pembaca, antara dua ibarat tersebut Penulis telah menambah kalimat : ”yaitu tanpa niat menyembelih” (أي بغير قصد تذكية‏) dan menghapus kalimat Ibnul-’Arabi lainnya : ”menurut nash” (بالنص‏) sampai pada kalimat ”namun haram bagi kita” (وهو حرام علينا). Barangkali ia berbuat demikian bertujuan untuk menghilangkan pertentangan yang sangat jelas dari pembicaraan Ibnul-’Araby sehingga dapat dijadikan dasar bagi fatwanya untuk pembolehan binatang yang disembelih dengan menggunakan sengatan listrik, sekalipun menyimpang dengan penyembelihan menurut syari’at.

Kedua, Bahwasannya perkataan Ibnul-Araby ini sangat berlawanan. Satu saat beliau mengungkapkan : ”Apa-apa yang dimakan oleh Ahli Kitab yang disembelih/dibunuh bukan dengan cara penyembelihan, tentu haram hukumnya (untuk memakannya) sebagaimana babi yang haram bagi kita untuk memakannya”. Penjelasan beliau ini adalah benar karena sejalan dengan dalil-dalil syari’at. Dan hal itu termasuk binatang yang mati karena dibekuk lehernya. Demikian pula penafsiran beliau tentang Al-Munkhaniqah (binatang yang mati karena dicekik) yang telah diharamkan Allah bagi kita untuk memakannya, mencakup pula binatang yang dibekuk lehernya; sebagaimana perkataan beliau :

والمنخنقة فهي التي تخنق بحبل بقصد أو بغير قصد أو بغير حبل‏

”Dan Al-Munkhaniqah adalah yang terjerat lehernya dengan tali atau selainnya, baik disengaja maupun tidak disengaja”.

Maka hal ini membatalkan kalimat yang ditambahkan oleh Al-Qaradlawi : ”yaitu tanpa niat menyembelih”. Kemudian perkataan Ibnul-’Araby yang pertama tadi berlawanan dengan kalimat beliau yang kedua dimana beliau mengatakan : ”Bahwasannya diperbolehkan menurut kami binatang yang mati karena dibekuk lehernya oleh kaum Nashrani karena telah menjadikannya makanan baginya dan bagi para ahbar serta rahibnya sekalipun cara penyembelihannya tidak sama dengan kita”. Sekarang kita bertanya : Mana di antara dua perkataan beliau tadi yang dapat dijadikan pegangan ? Maka tidak diragukan lagi bahwa perkataan beliau yang pertamalah yang dapat dijadikan pegangan karena sesuai dengan nasy syari’at. Adapun perkataan beliau yang kedua, maka ini keliru, tidak bisa dijadikan pegangan.

Pada awal (tulisannya) Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) mengatakan :

لم أرض لعقلي أن أقلد مذهبا معينا في كل القضايا والمسائل أخطأ أو أصاب

”Saya tidak bisa menerima dengan akal saya bahwa saya bertaqlid pada satu madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, baik itu salah atau benar”.

Lalu mengapa dia sendiri di sini mengesampingkan akalnya dalam pembahasan ini dan bertaqlid pada Ibnul-’Araby dalam pendapatnya yang keliru lagi bertentangan sehingga dengan fatwanya ditarik kesimpulan tentang bolehnya makan sembelihan dengan sengatan listrik ?

Ketiga, Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) mengatakan : ”Mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan adalah bermaksud mengeluarkan nyawa hewan dengan niat untuk menghalalkan untuk memakan hewan tersebut”. Perkataan ini mempunyai arti kapan saja binatang tersebut dikeluarkan nyawanya dengan niat untuk dimakan, berarti hukumnya seperti menyembelih menurut syari’at, walaupun dengan menggunakan beberapa cara dan dimanapun mengena pada badan binatang tersebut. Ini adalah kekeliruan yang sangat jelas, karena penyembelihan yang sesuai dengan syari’at mempunyai sifat dan alat yang khusus serta di tempat yang khusus dari bagian binatang tersebut sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah.

Telah berkata Ibnul-’Araby dalam tafsir surat Al-Maaidah pada penjelasan penyembelihan yang sesuai dengan syari’at :

وهي في الشرع عبارة عن إنهار الدم وفري الأوداج في المذبوح والنحر في المنحور والعقر في غير المقدور عليه - كما تقدم - مقرونا ذلك بنية القصد إليه وذكر الله تعالى

”Bahwa yang dimaksud penyembelihan dalam syari’at adalah mengalirnya darah, terpotongnya urat leher hewan yang disembelih di lehernya. Adapun penyembelihan binatang yang sulit di atasinya – sebagaimana penjelasan yang lalu – dengan disertai niat untuk menyembelihnya dan menyebut nama Allah ta’ala”.

Selanjutnya beliau (Ibnul-'Araby) menyebutkan khilaf (perbedaan pendapat) tentang hukum hukum menyembelih dari tengkuknya, kemudian beliau berkata : ”

وهذا ينبني على أصل نحققه لكم وهو أن الذكاة وإن كان المقصود بها إنهار الدم ولكن فيها ضرب من التعبد والتقرب إلى الله سبحانه لأن الجاهلية كانت تتقرب بذلك لأصنامها وأنصابها وتهل لغير الله فيها وتجعلها قربتها وعبادتها فأمر الله تعالى بردها إليه والتعبد بها له‏.‏ وهذا يقتضي أن يكون لها نية ومحل مخصوص وقد ذبح النبي صلى الله عليه وسلم في الحلق ونحر في اللبة وقال‏:‏ ‏(‏إنما الذكاة في الحلق واللبة‏)‏ فبين محلها وقال مبينا لفائدتها‏:‏ ‏(‏ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل‏)‏ فإذا أهمل ذلك ولم يقع بنية ولا شرط ولا صفة مخصوصة زال منها حظ التعبد‏

"Dan hal ini dikembalikan pada asalnya sebagaimana telah kami jelaskan kepada kalian. Yaitu bahwa penyembelihan sekalipun ada niat untuk mengalirkan darah, tetapi penyembelihan itu termasuk bagian dari ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Suci. Karena, di jaman jahiliyyah orang-orang mendekatkan diri kepada Allah dengan penyembelihan yang mereka peruntukkan pada patung-patung mereka, disembelihnya untuk selain Allah. Mereka menjadikan sembelihan itu dalam amalan taqarrub dan ibadah mereka. Maka Allah memerintahkan agar mengembalikan hal itu semua hanya untuk Allah. Dengan demikian berarti penyembelihan itu ada kaitannya dengan niat dan tempat yang khusus. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah menyembelih pada di bagian tenggorokan dan lehernya. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : {إِنَّمَا الذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ واللُّبَّةِ} ”Bahwasannya sembelihan itu hanya dilakukan di tenggorokan dan di lehernya”. Ini menunjukkan tempatnya yang khusus. Bahkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan lagi : { ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل‏} ”Apa-apa yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah, maka makanlah”. Apabila hal ini diabaikan, yaitu tidak ada niat, tidak ada persyaratan dan sifat-sifat yang khusus, maka hilanglah makna ibadah” [selesai perkataan Ibnul-'Araby].

Ibnu Qudamah telah berkata dalam Al-Mughni ketika menjelaskan tentang tempat/bagian penyembelihan sebagai berikut :

وأما المحل فالحلق واللبلة وهي الوهدة التي بين أصل العنق والصدر ولا يجوز الذبح في غير هذا المحل بالإجماع‏

”Adapun tempat/bagian penyembelihan adalah di tenggorokan dan leher, yaitu wahdah (cekungan/lekuk) yang terletak antara pangkal tenggorokan dan dada. Tidak diperbolehkan untuk menyembelih di tempat/bagian selain ini menurut ijma’ [selesai perkataan Ibnu Qudamah].

Keempat, Bahwasannya fatwa Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) tentang kehalalan daging import yang kadang-kadang penyembelihannya dilakukan dengan sengatan listrik dan yang semisalnya merupakan fatwa yang bathil. Sebab, penyembelihan dengan cara ini merupakan penyembelihan yang tidak syar’i. Lebih-lebih jika yang menyembelihnya bukan orang Islam. Sebab cara ini tidak memenuhi persyaratan penyembelihan. Ini fatwa yang dibangun dari perkataan Ibnul-’Araby yang terakhir. Dan telah kami jelaskan tentang pertentangan dan kebathilan yang ada di dalamnya.

Asy-Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman bin Jaasir dalam kitab Manasik-nya (2/219) menukil perkataan para fuqahaa’ :

وإن وكل من يصح ذبحه ولو ذميا كتابيا جاز مع الكراهة

”Jika penyembelihan itu diwakilkan kepada orang yang ahli, sekalipun ia adalah kafir dzimmi dari Ahli Kitab, maka hal itu diperbolehkan sekalipun makruh”.

Maka aku berkata : ”Dan yang dimaksudkan para fuqahaa’ tentang diperbolehkannya untuk mewakilkan kepada kafir dzimmi Ahli Kitab dalam penyembelihan hadyu atau hewan kurban kaum muslimin yaitu bila mereka menyembelihnya di tempat/bagian yang disyari’atkan dan menurut persyaratan yang dikenal. Tetapi jika mereka menyembelihnya dengan menusukkan paku atau memukulkan kapak di kepalanya dan yang semisalnya, atau dengan sengatan listrik sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum Nashrani di jaman sekarang, maka dilarang mewakilkannya dan haram pula dagingnya. Sebab, penyembelihan dengan cara itu tidak dinamakan penyembelihan (secara syar’i). Ia dihukumi dengan bangkai. Haram hukumnya sekalipun yang melakukannya seorang muslim. Wallaahu a’lam.

Adapun perkataan Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) : ”Selama binatang-binatang tersebut oleh mereka dianggap sebagai satu sembelihan, maka hal itu halal bagi kita sesuai dengan keumuman ayat” ; maka kami jawab :

”Bukanlah yang dimaksud makanan mereka yang diperbolehkan Allah kepada kita (untuk memakannya) adalah apa yang telah mereka halalkan. Akan tetapi yang dimaksud dengan makanan mereka (yang diperbolehkan bagi kita untuk memakannya) adalah apa-apa yang telah diperbolehkan Allah bagi mereka. Adapun perkataan Ibnul-’Araby yang dijadikan sandaran oleh Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) di sini adalah menjelaskan kebalikannya, bahkan memperkuat apa yang telah kami jelaskan tadi. Hal itu disebabkan karena kebolehan penyembelihan mereka itu dikaitkan dengan anggapan mereka dalam agamnya dan Allah tidak mendustakan mereka tentang masalah itu, supaya menjadi makanan bagi para ahbaar dan rahib mereka. Apakah penyembelihan dengan menggunakan sengatan listrik dimana mereka menganggap boleh bagi agama mereka itu tidak didustakan oleh Allah ? Tentunya Penulis (Dr. Al-Qaradlawi) harus menelaahnya terlebih dahulu.

[selesai penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan].

Dinukil oleh Abul-Jauzaa’ dari kitab Al-I’laam bi-Naqdi Kitaab Al-Halaal wal-Haraam fil-Islaam; karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Cet. 2, Tahun 1396 H.

Sebagai bahan pembanding, saya juga membuka kitab Al-Halal wal-Haraam fil-Islaam edisi terjemah dengan judul : Halal dan Haram dalam Islam, alih bahasa : H. Mu’ammal Hamidy, PT. Bina Ilmu, Cet. 1993 halaman 79 – 80.


Teks asli dalam kitab Al-I’laam adalah sebagai berikut :

6- حكم ما أزهقت روحه بطريقة الصعق الكهربائي من الحيوانات المأكولة :
قال المؤلف في صحيفة ‏(‏48‏)‏ في مبحث ذبائح أهل الكتاب‏:‏ ‏(‏المسألة الثانية هل يشترط أن تكون تذكيتهم مثل تذكيتنا بمحدد في الحلق اشترط ذلك أكثر العلماء‏.‏ والذي أفتى به جماعة من المالكية أن ذلك ليس بشرط قال القاضي ابن العربي في تفسير آية المائدة‏:‏
وهذا دليل قاطع على أن الصيد وطعام الذين أوتوا الكتاب من الطيبات التي أباحها الله وهو الحلال المطلق‏.‏ وإنما كرره تعالى ليرفع الشكوك ويزيل الاعتراضات عن الخواطر الفاسدة التي توجب الاعتراضات وتحوج إلى تطويل القول ولقد سئلت عن النصراني يفتل عنق الدجاجة ثم يطبخها هل تؤكل معه أو تؤخذ طعاما‏.‏ فقلت تؤكل لأنها طعامه وطعام أحباره ورهبانه وإن لم تكن هذه ذكاة عندنا ولكن أباح الله لنا طعامهم مطلقا وكل ما يرونه في دينهم فإنه حلال لنا إلا ما كذبهم الله فيه‏.‏ ولقد قال علماؤنا إنهم يعطوننا نساءهم أزواجا فيحل لنا وطؤهن فكيف لا نأكل ذبائحهم‏.‏ والأكل دون الوطأ في الحل والحرمة‏)‏ هذا ما قرره ابن العربي ، وقال في موضع ثان‏:‏ ‏(‏ما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم الرأس ، أي بغير قصد التذكية ، ميتة حرام‏)‏‏.‏
قال المؤلف القرضاوي‏:‏ ولا تنافي بين القولين فإن المراد أن ما يرونه مذكى عندهم لنا أكله وإن لم تكن ذكاته عندنا ذكاة صحيحة‏.‏ وما يرونه مذكى عندهم لا يحل لنا والمفهوم المشترك للذكاة هو القصد إلى إزهاق روح الحيوان بنية تحليل أكله وهذا هو مذهب المالكية عامة‏
(2)
وعلى ضوء ما ذكرنا نعرف الحكم في اللحوم المستوردة من أهل الكتاب كالدجاج ولحوم البقر المحفوظة مما قد تكون تذكيته بالصعق الكهربائي ونحوه فما داموا يعتبرون هذا حلال مذكى فهو حل لنا وفق عموم الآية‏.‏ انتهى كلام المؤلف وهو محاولة لإباحة اللحوم المستوردة التي لم يتبع فيها طريقة الذكاة الشرعية‏.‏
وجوابنا عنه من وجوه‏:‏
الوجه الأول‏:‏ أن المؤلف تصرف - هداه الله - فيما نقله من كلام ابن العربي فزاد فيه ونقص وغير بعض كلماته ، وهذا عمل يتنافى مع الأمانة العلمية والخشية الإلهية‏.‏ وبمقابلة ما نقله على أصل كلام ابن العربي يظهر ما ذكرنا وذلك في مواضع‏:‏
الأول‏:‏ قال ابن العربي‏:‏ ‏(‏إنهم يعطوننا أولادهم ونساءهم ملكا في الصلح‏)‏ والعبارة الموجودة في نقل المؤلف هكذا‏:‏ ‏(‏إنهم يعطوننا نساءهم أزواجا‏)‏ فحذف كلمة ‏(‏أولادهم‏)‏ وكلمة ‏(‏في الصلح‏)‏ وغير كلمة ‏(‏ملكا‏)‏ إلى كلمة ‏(‏أزواجا‏)‏‏.‏
الموضع الثاني‏:‏ قال ابن العربي‏:‏ ‏(‏فإن قيل فما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم الرأس- فالجواب أن هذا ميتة وهي حرام بالنص وإن أكلوها فلا نأكلها نحن كالخنزير فإنه حلال لهم ومن طعامهم وهو حرام علينا‏)‏ والعبارة الموجودة في نقل المؤلف هكذا‏:‏ ‏(‏ما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم الرأس - أي بغير قصد تذكية - ميتة حرام‏)‏‏.‏
فقارن أيها القارئ بين العبارتين تجد أن المؤلف زاد من عنده كلمة‏:‏ ‏(‏أي بغير قصد تذكية‏)‏ وحذف من كلام ابن العربي من قوله‏:‏ ‏(‏بالنص‏)‏ إلى قوله‏:‏ ‏(‏وهو حرام علينا‏)‏ ولعله فعل هذا ليزيل ما في كلام ابن العربي في الموضعين من التناقض الواضح حتى يبني عليه فتواه بإباحة ما ذبح بالصعق الكهربائي ، وإن كان على غير الذكاة الشرعية‏.‏
الوجه الثاني‏:‏ أن كلام ابن العربي هذا متناقض غاية التناقض ، فتارة يعتبر ما أكله أهل الكتاب وقد ذبح على غير وجه الذكاة ميتة حراما كالخنزير يحرم علينا أكله ، وهذا اعتبار صحيح يتمشى مع الأدلة الشرعية ويدخل فيه ما مات بفتل عنقه دخولا أوليا ، وهو أيضا قد فسر المنخنقة التي حرم الله علينا أكلها بتفسير يشمل ما فتل عنقه حيث قال‏:‏ ‏(‏والمنخنقة فهي التي تخنق بحبل بقصد أو بغير قصد أو بغير حبل‏)‏ فهذا أيضا يبطل الكلمة التي زادها القرضاوي وهي قوله ‏(‏أي بغير قصد التزكية‏)‏‏.‏ ثم ينقض ابن العربي كلامه الأول بكلامه الثاني فيقول إنه يباح لنا ما فتل عنقه النصراني وصار طعاما له ولأحباره ورهبانه ، وإن لم يكن هذا ذكاة عندنا ، فأي قوليه أولى بالاعتبار لا شك أن الأولى بالاعتبار ما وافق الدليل وهو القول الأول وأما القول الثاني فهو خطأ لا يتابع عليه‏.‏ والمؤلف في أول كتابه يقول‏:‏ ‏(‏لم أرض لعقلي أن أقلد مذهبا معينا في كل القضايا والمسائل أخطأ أو أصاب‏)‏ فما باله هنا يغيب عن ذهنه هذا القول ويقلد ابن العربي في قول خطأ ، قول متناقض متهافت‏.‏ ويبني عليه فتواه بإباحة ما تكون تذكيته بالصعق الكهربائي‏.‏
الوجه الثالث‏:‏ قول المؤلف‏:‏ ‏(‏والمفهوم المشترك للذكاة هو القصد إلى إزهاق روح الحيوان بنية تحليل أكله‏)‏ هذا القول يقتضي أنه متى حصل إزهاق روح الحيوان بنية تحليله حصلت الذكاة الشرعية بأي وسيلة كان الإزهاق وفي أي موضع من بدن الحيوان - وهذا خطأ واضح - لأن الذكاة الشرعية لها صفة مخصوصة وآلة مخصوصة وموضع مخصوص - كما بين ذلك العلماء رحمهم الله - ‏
(3) قال ابن العربي في تفسير سورة المائدة في بيان الذكاة الشرعية‏:‏ ‏(‏وهي في الشرع عبارة عن إنهار الدم وفري الأوداج في المذبوح والنحر في المنحور والعقر في غير المقدور عليه - كما تقدم - مقرونا ذلك بنية القصد إليه وذكر الله تعالى - ثم ذكر الخلاف في حكم المذبوح من القفا - ثم قال‏:‏ وهذا ينبني على أصل نحققه لكم وهو أن الذكاة وإن كان المقصود بها إنهار الدم ولكن فيها ضرب من التعبد والتقرب إلى الله سبحانه لأن الجاهلية كانت تتقرب بذلك لأصنامها وأنصابها وتهل لغير الله فيها وتجعلها قربتها وعبادتها فأمر الله تعالى بردها إليه والتعبد بها له‏.‏ وهذا يقتضي أن يكون لها نية ومحل مخصوص وقد ذبح النبي صلى الله عليه وسلم في الحلق ونحر في اللبة وقال‏:‏ ‏(‏إنما الذكاة في الحلق واللبة‏)‏ فبين محلها وقال مبينا لفائدتها‏:‏ ‏(‏ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل‏)‏ فإذا أهمل ذلك ولم يقع بنية ولا شرط ولا صفة مخصوصة زال منها حظ التعبد‏.‏ اهـ‏.‏ وقال ابن قدامة في المغني مبينا محل الذكاة‏:‏ ‏(‏وأما المحل فالحلق واللبلة وهي الوهدة التي بين أصل العنق والصدر ولا يجوز الذبح في غير هذا المحل بالإجماع‏)‏‏.‏ اهـ‏.‏
الوجه الرابع‏:‏ أن فتوى المؤلف بحل اللحوم المستوردة مما قد تكون تذكيته بالصعق الكهربائي ونحوه فتوى باطلة لأن هذه الذكاة غير شرعية ولو ذكى مسم بهذه الكيفية ما حلت ذبيحته فغير المسلم من باب أولى لأن هذه الكيفية لا تتوفر فيها الشروط المشترطة في الذكاة‏.‏
وهذه الفتوى مبنية على قول ابن العربي الآخر وقد بينا ما فيه من التناقض والبطلان‏.‏
قال الشيخ عبد الله بن عبد الرحمن بن جاسر في منسكه ‏(‏2-219‏)‏ على قول الفقهاء وإن وكل من يصح ذبحه ولو ذميا كتابيا جاز مع الكراهة‏.‏ قلت‏:‏ ومراد الأصحاب بجواز توكيل الذمي الكتابي في ذبيحة هدي المسلم أو أضحيته إذا كان الكتابي يذبح الأضحية أو الهدي أو ينحرها في موضعه الشرعي بشروطه المعتبرة‏.‏ أما إن كان يذبحها بضرب المسامير أو الفئوس في الرأس ونحوه أو الكهرباء كما عليه عمل بعض النصارى في هذا الزمان فإنه لا يصح توكيله ولا تحل ذبيحته بذلك لأن ذبحه للبهيمة على هذه الصفة لا يسمى مذكى ولا تحل بذلك بل حكمها حكم الميتة فهي حرام كما لو فعل ذلك مسلم وأولى ، والله أعلم‏.‏
وأما قول المؤلف‏:‏ ‏(‏فما داموا يعتبرون هذا حلالا مذكى فهو حل لنا وفق عموم الآية‏)‏ فيجاب عنه بأنه ليس المراد بطعامهم الذي أباحه الله لنا ما استحلوه هم بل المراد بطعامهم ما أباحه الله لهم‏.‏ وكلام ابن العربي الذي اعتمده المؤلف هنا يفيد خلاف ما قاله ويؤيد ما ذكرنا لأنه قيد إباحة ما ذبحوه بكونهم يرونه في دينهم ولم يكذبهم الله فيه ويكون طعاما لأحبارهم ورهبانهم ، وهل ما ذبح بالصعق الكهربائي يرون إباحته في دينهم ويأكله أحبارهم ورهبانهم ولم يكذبهم الله فيه ، على المؤلف أن يثبت ذلك‏.‏

Comments