Penjajahan
Belanda memberikan pengaruh besar bagi bangsa Indonesia hingga struktur
DNA-nya. Hampir 75 tahun bangsa kita merdeka dari mereka, namun peninggalan mereka
belum juga binasa oleh jalannya roda zaman. Terutama, bagaimana mereka membangun
strata sosial berbasis keturunan dan jabatan. Terbentuklah kemudian kalangan ndoro-ndoro
yang biasanya petentang-petenteng, dan kawula alit yang punya
kewajiban mengabdi melayani golongan pertama. Feodalisme. Sistem sosial yang menomorsekiankan
prestasi dan produktivitas individu. Yang penting, situ anaknya siapa,
keturunan siapa, dan jabatannya apa. Banyak fasilitas disediakan khusus untuk mereka
dan ‘haram’ dicicipi kawula alit. Misalnya Eurospeesch Lagere School
(ELS), sekolah setara SD yang diperuntukkan khusus bagi orang Belanda dan
Eropa, serta pribumi golongan terpandang. Pribumi berduit kelas dua, disediakan
Hollandsche Inlandsche School (HIS). Terakhir, pribumi rendahan kawulo
alit di pedesaan - sekolahnya simbah saya dulu - Tweede
Inlandsche School atau bahasa kerennya : Sekolah Ongko Loro, yang bisa
melanjutkan ke sekolah rakyat atau Schakel School (dimana lulusannya
setara dengan HIS). Ini adalah contoh kecil diskriminasi penerapan sistem
feodalistik Belanda bagi bangsa Indonesia.
Feodalisme
warisan Belanda kini banyak bermutasi dengan berbagai beragam bentuknya. Dalam dunia
politik – katanya - , dikenal dengan politik keluarga. Mirip dengan monarki. Pemimpin
partai didapatkan dari warisan keturunan keluarga. Keturunan bagaikan berlian. You
know lah…. Dalam agama ada juga. Sistem kasta di agama tetangga. Celakanya,
sistem ini direpro dan dilestarikan oleh sebagian orang dalam agama kita,
Islam. Mereka membuat pengkelasan dalam masyarakat. Imbasnya, sebagian mereka
minta dihormati secara berlebihan. Dikuatkan lagi dengan bumbu-bumbu dalil palsu
(baca : dongeng). Tempo hari, ada video viral
oknum yang mengaku keturunan Nabi ﷺ. Dengan sangat konyolnya dia
membangga-banggakan keturunan dan nasab, dan seolah ingin mengatakan dirinya
dan kelompoknya lebih mulia daripada kaum muslimin kebanyakan. Ada sisipan bualan
garing yang membuat setiap penonton tertawa sekaligus sedih. Katanya, wanita paling
jahat di dunia adalah wanita syarifah (keturunan Nabi ﷺ) yang menikah bukan dengan habib. Alasannya,
memutuskan nasab. Ia dianggap sebagai wanita paling kurang ajar karena
menghasilkan anak yang tidak diakui Nabi ﷺ kelak di hari kiamat sebagai keturunannya.
Wanita itu telah melakukan perbuatan yag diharamkan agama ? What ?!!.
Membantah
bualan ini mudah saja. Kita lihat teladan salaf kita yang shalih dan kita
sisihkan sejenak perkataan orang ini. Akan saya sebutkan beberapa contoh – diantara
banyak contoh – wanita keturunan Nabi ﷺ dari garis Faathimah yang menikah dengan
laki-laki bukan dari kalangan ahli bait.
1.
Ummu Kultsuum bintu
'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan ayahnya dengan 'Umar bin Al-Khaththaab yang
notabene bukan berasal dari Bani Haasyim.
2.
Ummul-Husain bintu
Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Abdullah bin Az-Zubair
bin Al-'Awwaam [Ref : Nasabu Quraisy oleh Abu 'Abdillah Al-Mush'ab Az-Zubairiy,
hal. 50].
3.
Ummu Salamah bintu
Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Amru bin Al-Mundzir bin
Az-Zubair bin Al-'Awwaam [idem].
4.
Ummu Kultsuum
bintul-Husain bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan
Ismaa'iil bin 'Abdil-Malik bin Al-Haarits bin Al-Hakam bin 'Aash [idem,
hal 51].
5.
Zainab bintu Al-Hasan
bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Al-Waliid bin
'Abdil-Malik bin Marwan Al-Umawiy [idem, hal. 52].
6.
Faathimah bintu
Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Ayyuub bin
Salamah bin 'Abdillah bin Al-Waliid bin Mughiirah bin 'Abdillah Al-Makhzuumiy [idem,
hal. 52-53].
7.
Mulaikah bintu
Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Ja'far bin
Mush'ab bin Az-Zubair bin Al-'Awwaam [idem, hal. 53].
8.
Ummul-Qaasim bintu
Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Marwaan bin
Abaan bin 'Utsmaan bin 'Affaan [idem].
9.
Faathimah bintu
Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan
Abu Bakr bin 'Abdil-Malik bin Marwan [idem].
10.
Sukainah bintu
Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan Mush'ab bin Az-Zubair bin
Al-'Awwaam. Kemudian Mush'ab digantikan oleh 'Abdullah bin 'Utsmaan bin
'Abdillah bin Hakam bin Hizaam bin Khuwailid. Kemudian Mush'ab digantikan oleh
Zaid bin 'Amru bin 'Utsmaan bin 'Affaan. Kemudian Zaid digantikan oleh
Ibraahiim bin 'Abdirrahmaan bin 'Auf. Kemudian terakhir, Ibraahiim digantikan
oleh Al-Ashbagh bin 'Abdil-'Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam [idem, hal.
59].
11.
Faathimah bintu
Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib dinikahkan dengan 'Abdullah bin 'Amru bin
'Utsmaan Al-Umawiy [idem].
Rahimahumullah.
InsyaAllah
saya masih bisa memberikan contoh yang lain. Akan tetapi, saya kira contoh di
atas cukup bagi kita semua untuk mengetahui sikap salaf dari kalangan ahli bait
yang berbeda dengan keyakinan orang tersebut. Kita patut bertanya : “Apakah
mereka semua, keluarga ‘Aliy bin Abi Thaalib, Al-Hasan bin ‘Aliy, dan Al-Husain
bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum telah membuat murka Allah ﷻ dengan melakukan perkara yang
diharamkan syari’at ? bermaksiat kepada-Nya ?”. Sungguh jauh mereka dari bualan
orang itu….
Kita
pun dapat mencontoh Nabi ﷺ
bagaimana beliau bersikap dan memandang kaum muslimin secara general.
Ketika
Nabi ﷺ ditanya siapakah laki-laki yang paling
beliau cintai, beliau ﷺ tidak menjawab 'Aliy bin Abi Thaalib yang
notabene keluarga dekat beliau, suami dari anaknya (Faathimah) yang
keturunannya kelak menjelang hari kiamat akan menjadi pemimpin bagi kaum
muslimin (Al-Mahdi). Akan tetapi beliau menjawab Abu Bakr, lalu 'Umar radliyallaahu
'anhum.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ
فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ
الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Dari
‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi ﷺ mengutusnya beserta rombongan pasukan
Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah
manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aaisyah".
Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau
menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya :
"Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin
Al-Khaththaab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang
laki-laki" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3662].
Ini
menunjukkan kecintaan hakiki dalam Islam bukan kecintaan karena nasab atau
keturunan, akan tetapi karena iman dan taqwa. Dan itulah yang ada pada diri Abu
Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Begitu juga dengan kaum muslimin,
siapapun diantara mereka yang paling bertaqwa, maka ia lah yang dicintai Nabi ﷺ. Beliau ﷺ
pernah bersabda :
إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاءِ يَرَوْنَ
أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ
الْمُتَّقُونَ، مَنْ كَانُوا وَحَيْثُ كَانُوا.....
“Sesungguhnya ahlul-baitku memandang bahwa mereka adalah
orang yang paling berhak terhadapku. Padahal tidak seperti itu. Sesungguhnya
wali-waliku di antara kalian adalah orang-orang yang bertaqwa, dimanapun mereka
berada…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 212
& 1011, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiiir 20/120-121 no. 241;
shahih].
Sabda
beliau ﷺ sejalan dengan firman Allah ﷻ:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kalian " [QS. Al-Hujuraat : 13].
Al-Qurthubiy
rahimahullah berkata tentang ayat di atas:
وفي هذه الآية ما يدلك على أن التقوى هي
المراعى عند الله تعالى وعند رسوله دون الحسب والنسب
“Dan
dalam ayat ini menunjukkan bahwa ketaqwaan adalah hal yang dipertimbangkan di
sisi Allah ta’ala dan Rasul-Nya, bukan keturunan dan nasab” [Tafsir
Al-Qurthubiy, 16/345].
Rasulullah
ﷺ bersabda dalam khuthbahnya saat Fathu
Makkah:
أَمَا بَعْدَ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، يَا أَيُّهَا
النَّاسُ، إِنَّمَا النَّاسُ رَجُلانِ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى رَبِّهِ،
وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى رَبِّهِ "، ثُمَّ تَلا: يَأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا حَتَّى قَرَأَ الآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: " أَقُولُ هَذَا
وَاسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ "
“Ammaa
ba’du. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah ﷻ telah menghilangkan dari
kalian kesombongan Jahiliyyah. Wahai sekalian manusia. Ada dua golongan manusia,
yaitu (1) golongan yang baik, bertaqwa, dan mulia di sisi Rabb-Nya; serta (2) golongan
yang fajir (jahat), celaka, dan hina di sisi Allah”.
Kemudian beliau ﷺ
membaca ayat : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS.
Al-Hujuraat : 13). Lalu beliau melanjutkan : “Aku katakan ini dan aku
memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian semua” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 3270, Ibnu Hibbaan no. 3228; dan yang lainnya; shahih].
‘Abdullah
bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata:
لا أَرَى أَحَدًا يَعْمَلُ بِهَذِهِ
الآيَةِ: يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى، حَتَّى
بَلَغَ: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ، فَيَقُولُ الرَّجُلُ
لِلرَّجُلِ: أَنَا أَكْرَمُ مِنْكَ، فَلَيْسَ أَحَدٌ أَكْرَمَ مِنْ أَحَدٍ إِلا
بِتَقْوَى اللَّهِ
“Aku
tidak memandang seseorang mengamalkan ayat ini : ‘Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan – hingga
: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kalian” (QS. Al-Hujuraat : 13), yaitu ketika
seseorang berkata kepada orang lain : ‘Aku lebih mulia daripada dirimu’.
Padahal tidaklah seseorang lebih mulia daripada orang lain kecuali dengan
ketaqwaan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad
no. 898 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad
hal. 333].
مَا تَعُدُّونَ الْكَرَمَ ؟ وَقَدْ بَيَّنَ
اللَّهُ الْكَرَمَ، فَأَكْرَمُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ، مَا تَعُدُّونَ
الْحَسَبَ؟ أَفْضَلُكُمْ حَسَبًا أَحْسَنُكُمْ خُلُقًا
“Apa
yang kalian nilai/perhitungkan dari kemuliaan itu ? Sungguh, Allah telah
menjelaskan tentang kemuliaan. Orang yang paling mulia diantara kalian di sisi
Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Apa yang kalian
nilai/perhitungkan dari keturunan ?. Yang paling utama keturunannya diantara
kalian adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” [idem no. 899
dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 334].
Adakah
diantara kita yang ingin membangkitkan kembali slogan-slogan Jahiliyyah membangga-banggakan
keturunan ?. Ada, kata Nabi ﷺ
sebagaimana dalam sabdanya:
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ
الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ
فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ
“Ada
empat perkara Jaahiliyyah dari umatku dan mereka belum meninggalkannya :
Membanggakan keturunan, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang,
dan niyahah (meratapi mayit)…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 934].
Siapakah
mereka ?. Silakan dijawab masing-masing.
Dalam
pernikahan, faktor bagusnya agama seseorang menjadi pertimbangan utama bagi
seorang wanita untuk menikah dengannya. Barangsiapa bermaksiat kepada Allah ﷻ, baik yang mengaku keturunan
Nabi, raja, presiden maupun yang bukan - , maka baginya dosa dan bara'ah
kaum muslimin terhadapnya sesuai kadar maksiat yang dilakukannya. Sangat tidak
dianjurkan keluarga perempuan kita dinikahkan dengan orang sepertinya.
Saya
contohkan Khumaini, ulama Syi'ah. Dia mengaku keturunan ahli-bait [http://bit.ly/2Tn6L1O dan http://bit.ly/3axQMUx]. Termasuk golongan
habaaib dalam bahasa kita. Seandainya pun pengakuannya benar - sementara kita
tahu dia seorang pendusta - tetap saja kita katakan Khumaini KAFIR, perusak
Islam[1].
HARAM anak perempuan kita dinikahkan dengan dirinya atau orang semisalnya dari kalangan
Raafidlah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Nasab
sama sekali tak dapat menolong dari kemurkaan Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ
bersabda:
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا
أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ
مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا
فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ
لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا
“Wahai
Bani ‘Abdi Manaaf, belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Bani ‘Abdil-Muthallib,
belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Ummuz-Zubair bin Al-‘Awwaam bibi
Rasulullah, wahai Faathimah bintu Muhammad, belilah diri kalian dari Allah. Aku
tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta
sesuka kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3527].
Beliau
ﷺ pun baraa’ (berlepas diri) atas
kemaksiatan dan/atau kekufuran yang mereka lakukan (jika mereka melakukannya),
dan mereka kelak akan dijauhkan dari beliau ﷺ.
Allah
ﷻ berfirman:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا
أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila
sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada
hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” [QS. Al-Mukminuun :
101].
Rasulullah
ﷺ bersabda:
إِنِّي عَلَى الْحَوْضِ حَتَّى أَنْظُرَ
مَنْ يَرِدُ عَلَيَّ مِنْكُمْ وَسَيُؤْخَذُ نَاسٌ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ
مِنِّي وَمِنْ أُمَّتِي فَيُقَالُ هَلْ شَعَرْتَ مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ وَاللَّهِ
مَا بَرِحُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ
“Sesungguhnya
aku (kelak akan) berada di telaga Haudl, hingga kemudian aku melihat beberapa
orang akan datang kepadaku di antara kalian, dan beberapa manusia dihalau
dariku, dan aku akan berkata : ‘Ya Rabb, mereka bagian dariku dan dari
ummatku’. Kemudian akan dikatakan : ‘Apakah kamu mengetahui apa yang mereka
perbuat sepeninggalmu?’. Demi Allah, mereka telah berbalik ke belakang (dari
agamamu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6593].
Ahli
bait Nabi yang shalih ? (Sangat) banyak. Ahli bait yang menjadi ulama dan
fuqahaa’?. Banyak. Ahli bait yang menjadi ahli hadits ? Banyak. Yang mengaku
ahli bait Nabi tapi doyan bid'ah dan khurafat ? Tak sedikit. Yang mengaku ahli
bait tapi membiarkan dan bangga istrinya secara vulgar berkonde dan tidak
berjilbab ? Ada dan telah viral. Yang kena kasus korupsi dan telah inkracht
kena hukum bui ? Ada juga. Yang kena borgol polisi karena tuduhan pencabulan ?.
Ada, viral masuk berita kemarin lengkap dengan penampakan tato wanita cabul di lengan
kurusnya. Tahun 2012, jagat media dibuat heboh akan pemberitaan oknum habib
yang dituduh mencabuli laki-laki (homo?). Mereka semua sama seperti kita, ada
yang baik dan ada yang buruk, ada
yang shaalih dan ada yang thaalih (jahat), ada yang ‘aalim dan ada yang
jaahil (bodoh). Yang baik diberikan walaa’ (loyalitas),
sedangkan yang buruk diberikan baraa’ (berlepas diri) – sesuai kadar masing-masing.
Kembali,....
Dalam
ruang fiqh, pertimbangan nasab sebagai kafa'ah memang dikatakan oleh
jumhur ulama. Akan tetapi jika si wanita dan walinya ridla; tak mengapa,
pernikahannya sah, tidak haram, dan si wanita bukan dikatakan wanita paling
jahat dan kurang ajar[2].
Jika pernikahannya tersebut dibangun di atas dasar taqwa, lalu menghasilkan
generasi unggulan yang shalih, maka terpuji (dan ‘mesti’ dipuji). Karena tujuan
utama pernikahan untuk mencetak rumah tangga dan generasi yang shalih tercapai.
Btw,
ahli bait Nabi ﷺ mempunyai hak khusus yang diakui dalam syari’at.
Kita tidak memungkirinya. Mereka memiliki hak untuk dicintai, sebagaimana
firman Allah ﷻ:
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ
عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً
نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Itulah
(karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu
sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada
kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”
[QS. Asy-Syuuraa : 23].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى)، قَالَ: فَقَالَ سَعِيدُ
بْنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى مُحَمَّدٍ ﷺ فَقَالَ " إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ
بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ قَرَابَةٌ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ
تَصِلُوا قَرَابَةً بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa tentang ayat : ‘kecuali
kasih sayang dalam kekeluargaan’. Perawi berkata : Maka
Sa’iid bin Jubair berkata : “Kekeluargaan Muhammad ﷺ”. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata :
“Sesungguhnya Nabi ﷺ,
tidak ada satu pun perut di kalangan Quraisy, kecuali beliau mempunyai kekerabatan
dengan mereka. Lalu ayat itu pun kepada beliau, yang mengkonsekuensikan agar
kalian menyambung kekerabatan antara aku dan kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 3497].
عَنْ الْعَبَّاس
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ : وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ قَلْبَ امْرِئٍ إِيمَانٌ
حَتَّى يُحِبَّكُمْ لِلَّهِ وَلِقَرَابَتِي "
Dari
Al-‘Abbaas, dari Rasulullah ﷺ,
beliau bersabda : “Demi Allah, tidak akan masuk iman pada hati seseorang
hingga mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku”
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/207 & 207-208 & 4/165
dan dalam Al-Fadlaail no. 1756-1757 & 1760; dishahihkan oleh Ahmad
Syaakir dalam syarah-nya terhadap Musnad Ahmad].
Mereka
juga memiliki hak pengakuan nasab mereka adalah nasab yang mulia. Hal itu
dikarenakan Rasulullah ﷺ
bersabda :
إِنَّ اللَّهَ
اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ
كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي
هَاشِمٍ
“Sesungguhnya
Allah telah memilih dari anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraisy dari
(anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih dari (anak-anak) Quraisy Bani Haasyim,
dan telah memilihku dari Bani Haasyim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2276].
Kecintaan
terhadap kemuliaan nasab mengikuti ketaatan dan ketaqwaannya kepada Allah ﷻ. Barangsiapa yang tidak taat kepada Allah ﷻ dan bertaqwa kepada-Nya,
maka tak ada kecintaan karena kemuliaan nasab yang dimilikinya. Alias tak
bermanfaat (useless).
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لا ريب أنه لآل
محمد صلى الله عليه وسلم حقا على الأمة لا يشركهم فيه غيرهم ، ويستحقون من زيادة
المحبة والموالاة ما لا يستحقه سائر بطون قريش...وأما ترتيب الثواب والعقاب على
القرابة ، ومدح الله عز وجل للشخص المعين وكرامته عند الله تعالى ، فهذا لا يؤثر
فيه النسب ، وإنما يؤثر فيه الإيمان والعمل الصالح ، وهو التقوى ، كما قال تعالى :
( إن أكرمكم عند الله أتقاكم ) وفي الصحيح ( أن النبي ﷺ سئل : أي الناس أكرم ؟
فقال : أتقاهم )
“Tidak
diragukan keluarga Muhammad ﷺ
mempunyai ha katas umat yang tidak dimiliki oleh siapapun selain mereka. Mereka
juga berhak menerima tambahan kecintaan dan loyalitas dimana hal tersebut tidak
diterima oleh seluruh kabilah Quraisy…. Adapun pengkelasan pahala dan hukuman
atas kekerabatan, serta pujian Allah ‘azza wa jalla kepada seorang
individu dan kemuliaannya di sisi Allah ta’ala; maka nasab tidak
berpengaruh. Yang berpengaruh padanya hanyalah iman dan amal shaalih, yaitu
ketaqwaan, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kalian" (QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga hadits yang terdapat
dalam Ash-Shahiih bahwasannya Nabi ﷺ pernah ditanya : ‘Siapakah
manusia yang paling mulia?’. Maka beliau ﷺ menjawab : ‘Yang paling bertaqwa
diantara mereka” [Minhaajus-Sunnah, 4/599, 601].
الذي ينفع الناس
طاعة الله ورسوله وأما ما سوى ذلك فإنه لا ينفعهم لا قرابة ولا مجاورة ولا غير ذلك
كما ثبت عنه في الحديث الصحيح أنه قال يا فاطمة بنت محمد لا أغني عنك من الله شيئا
يا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا يا عباس عم رسول الله لا أغني عنك
من الله شيئا وقال ص - إن آل أبي فلان ليسوا لي بأولياء إنما وليي الله وصالح
المؤمنين وقال إن أوليائي المتقون حيث كانوا ومن كانوا
“Yang
bermanfaat bagi manusia adalah ketaatan kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, sedangkan selain keduanya tidaklah
bermanfaat; baik kekerabatan, kedekatan, dan yang lainnya. Hal itu sebagaimana tetap
dari Nabi ﷺ dalam hadits shahih bahwasannya beliau ﷺ bersabda : ‘Wahai Faathimah bintu
Muhammad, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari murka Allah. Wahai
Shafiyyah, bibi Rasulullah, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari murka
Allah. Wahai ‘Abbaas, paman Rasulullah, aku tidak dapat membelamu sedikitpun dari
murka Allah’.[3]
Beliau ﷺ bersabda : ‘Sesungguhnya keluarga Abu
Fulaan bukanlah waliku, sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin
yang shalih’.[4] Dan
beliau ﷺ juga bersabda : ‘Sesungguhnya waliku
adalah orang-orang yang bertaqwa dimanapun ia berada dan siapapun dia[5]”
[Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/435].
Asy-Syaikh
‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad hafidhahullah berkata :
ويَرَون أنَّ
شرَفَ النَّسَب تابعٌ لشرَف الإيمان، ومَن جمع اللهُ له بينهما فقد جمع له بين
الحُسْنَيَيْن، ومَن لَم يُوَفَّق للإيمان، فإنَّ شرَفَ النَّسَب لا يُفيدُه
شيئاً، وقد قال الله عزَّ وجلَّ: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ}،
وقال ﷺ في آخر حديث طويلٍ رواه مسلم في صحيحه (2699) عن أبي هريرة رضي الله عنه:
((ومَن بطَّأ به عملُه لَم يُسرع به نسبُه)).
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa ketinggian nasab mengikuti
ketinggian iman. Barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya dua hal tersebut,
sungguh telah terkumpul baginya dua kebaikan. Dan barangsiapa tidak
menetapi/konsekuen pada iman, maka ketinggian nasab tidak bermanfaat
sedikitpun. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa’
(QS. Al-Hujuraat : 13). Dan juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ dalam akhir satu hadits panjang yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2699 dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu : ‘Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa
dipercepat oleh (kemuliaan) nasabnya” [Fadhlu Ahlil-Bait wal-‘Uluwwu
Makaanatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad – www.dorar.net].
An-Nawawiy
rahimahullah menjelaskan hadits Abu Hurairah yang dibawakan oleh
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin hafidhahullah di atas dengan perkataannya:
مَعْنَاهُ : مَنْ
كَانَ عَمَله نَاقِصًا ، لَمْ يُلْحِقهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَاب الْأَعْمَال ،
فَيَنْبَغِي أَلَّا يَتَّكِل عَلَى شَرَف النَّسَب ، وَفَضِيلَة الْآبَاء ،
وَيُقَصِّر فِي الْعَمَل
“Maknanya
: Barangsiapa amalannya kurang, maka (nasabnya) tidak akan menyampaikannya pada
kedudukan orang-orang yang rajin beramal (shalih). Maka seseorang tidak boleh
bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek-moyang, sementara amalannya defisit”
[Syarh Shahiih Muslim, 17/22-23].
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.[6]
[abul-jauzaa’
– 14 Rajab 1441]
[1] Seperti pendahulunya dari kalangan Bani
Faathimiyyah yang mendirikan Daulah Faathimiyyah di Mesir, penganut sekte Syi’ah
Ismaa’iiliyyah. Pendirinya, Abu Muhammad ‘Ubaidullah Al-Mahdiy mengklaim
keturunan ahli bait dari jalur Ismaa’iil bin Ja’far Ash-Shaadiq. ‘Ubaidullah
dan keturunannya dari Daulah Faathimiyyah. Daulah Faathimiyyah merupakan
bencana bagi kaum muslimin. Banyak ulama yang mengkafirkan Syi’ah Ismaa’iiliyyah.
Klaim keturunan tidak mengkonsekuensikan agamanya mesti benar. Bahkan, ‘Ubaidullah
dan keturunannya menggunakan faktor nasab sebagai legalisasi meraih
kekuasaan dan membuat aliran yang merusak Islam dari dalam.
[2] Silakan baca artikel : Gak Level......
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 206.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/203; shahih.
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah
no. 1011 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 20/120-121 no. 241;
shahih.
[6] Sebagai pengaya bacaan, silakan simak artikel
lain di Blog ini berjudul :
Manhaj Ahlussunnah adalah manhaj pertengahan. Tdk meremehkan dan tidak ghuluw.. Jazakallohu khoiron ustadz atas pencerahannya..
BalasHapus