Ringkasan poin-poinnya adalah sebagai
berikut:
1.
Asal seorang
muslim adalah selamat dari celaan dan kefasikan
Asy-Syaikh Shaalih
bin 'Abdil-Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah berkata:
الأصل في المسلم السلامة، ليس الأصل في المسلم الشك، ليس الأصل
في المسلم ظن السوء الأصل في المسلم، ولو كان عنده ما لا ينبغي من الأعمال
والأقوال؛ لكن الأصل فيه السلامة
"Asal seorang
muslim adalah selamat. Asal seorang muslim bukan keragu-raguan, bukan pula
prasangka jelek. Meskipun padanya terdapat beberapa perkataan dan perbuatan
yang tak pantas, namun asal dari seorang muslim adalah selamat...." [Transkrip
kaset Al-Wasathiyyah wal-I’tidaal].
Dalilnya diantaranya
adalah sabda Nabi ﷺ:
لاَ
تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ
يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَهُنَا –وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ –
بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Janganlah
kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan
hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang
lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lainnya, (ia) tidak mendhaliminya, tidak
menelantarkannya, tidak mendustakannya, dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini
- beliau berisyarat ke dadanya sebanyak tiga kali - . Cukuplah seorang muslim
dikatakan buruk apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas
muslim yang lain, haram darahnya, hartanya dan kehormatannya"
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
2.
Dikecualikan apabila
nampak dengan jelas sesuatu yang bertentangan dengannya. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah:
أن
الأصل في المسلم إحسان الظن به، إلا إذا عُرف بعناده وإصراره على باطله
"Bahwasannya
asal seorang muslim adalah berbaik sangka kepadanya, kecuali apabila diketahui
dirinya keras kepala dan terus-menerus dalam kebathilannya" [Adz-Dzabbul-Ahmad
hal. 41].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbaad hafidhahullah berkata:
الأصل
في المسلم أنه لا يجرح ولا يعدل إلا بعد وجود ما يقتضي التجريح أو التعديل، ولذلك
لم نقبل حديث المجهول الحال أو العين
“Asal seorang muslim
adalah ia tidak diberikan jarh maupun ta’diil, kecuali setelah
adanya sesuatu yang menuntut adanya tajriih atau ta’diil. Karena
itu, kita tidak menerima hadits orang yang majhuul haal atau majhuul ‘ain”
[Ithaaful-‘Ibaad bi-Fawaaidi Duruus Asy-Syaikh Al-‘Abbaad, hal. 130].
Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzaan hafidhahullah : "Asal seorang muslim adalah mempunyai sifat keadilan (‘adaalah)[1],
selama tidak nampak jelas darinya sesuatu yang menyelisihinya. Berprasangka
baik kepadanya kepada saudara-saudara kita yang muslim selama tidak nampak
jelas darinya sesuatu yang menyelisihinya.....".
Berikut rekaman
singkat penjelasan syaikh:
3.
Perkara takfiir dan tabdii'
seorang muslim adalah penghukuman sesuatu yang KELUAR dari
hukum asalnya.
Dikarenakan asal
seorang muslim adalah selamat, maka dalam takfiir (menghukumi seseorang
sebagai kafir/murtad) dan tabdii' (menghukumi seseorang sebagai ahlul-ahwa'/bida')
harus dengan KEPASTIAN dan sesuai rambu-rambu (kaidah)
yang dijelaskan para ulama kita. Ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah syar’iyyah
seperti:
الأصل
بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal suatu
perkara tetap pada asalnya”.
الرجوع
للأصل عند الشك
“Hukum kembali pada
asalnya ketika ada keraguan”.
Atau perkataan
Ibnul-Mundzir rahimahullah dalam masalah thaharah:
إذا
تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ طهارته
“Apabila seseorang
bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil yang
menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut[2]”
[Al-Ausath, 1/230].
Hukum asal orang yang
melakukan perkara menyelisihi syari'at adalah peniadaan takfiir dan
tabdii' padanya. Takfiir dan tabdii' itu jatuh secara
personal apabila memenuhi syarat-syaratnya.
Apabila kita melihat
seorang muslim melakukan kekufuran, apakah kita boleh langsung menghukuminya
dengan kekafiran (murtad)?. Jawabnya tidak, kecuali jika terpenuhi
syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Jika tidak atau belum
terpenuhi syarat dan hilang penghalangnya, maka dikembalikan pada hukum asalnya sebagai muslim. Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر
أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت
إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi
seorangpun mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan
keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan
alasan[3].
Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang
darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah
ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 12/466].
Bahkan ketika
dihadapkan 99 kemungkinan untuk menghukumi seseorang sebagai kafir sementara masih tersisa satu kemungkinan untuk
menafikkannya; maka ia tetap dikembalikan pada hukum asalnya sebagai muslim. ‘Aliy
Al-Qaariy rahimahullah berkata:
ذكروا أنّ المسألة
المتعلقة بالكفر إذا كان لها تسعة وتسعون احتمالاً للكفر واحتمال واحد في نفيه،
فالأولى للمفتي والقاضي أن يعمل بالاحتمال النافي، لأنً الخطأ في إبقاء ألف كافر
أهون من الخطأ في إفناء مسلم واحد
“Para ulama
menyebutkan bahwa permasalahan yang terkait dengan kekafiran apabila ia
memiliki 99 kemungkinan kekafiran dan 1 kemungkinan yang menafikkannya, maka
yang lebih utama bagi seorang mufti atau qadli (hakim) untuk mengambil
kemungkinan penafikkan (yaitu tidak kafir – Abul-Jauzaa’). Karena
keliru dalam membiarkan seribu orang kafir lebih ringan daripada keliru dalam
membunuh satu orang muslim” [Syarh Al-Fiqhil-Akbar, hal. 162].
Semisalnya adalah perkataan
Muhammad bin ‘Abdil-‘Adhiim Az-Zarqaaniy rahimahullah:
ولقد قرَّر علـماؤنا
أن الكلـمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجهاً، ثم احتملت الإيمان من وجه
واحد، حُملت علـى أحسن الـمـحامل، وهو الإيمان، وهذا موضوع مفروغٌ منه، ومن
التدلـيل علـيه
“Para para ulama kita
telah menetapkan bahwa sebuah kalimat apabila mempunyai kemungkinan kekufuran dari 99
sisi, lalu ada kemungkinan keimanan dari satu sisi; maka dibawa kepada
sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah permasalahan yang pasti dan
tidak perlu ditanyakan lagi serta memiliki dalil yang kuat” [Manaahilul-‘Irfaan,
2/31].
Inilah manhaj Ahlus-Sunnah.
Btw, ada kaidah yang
lucu, tapi nyata ada yang mempraktekkan. Secara ringkas begini:
Seorang muslim
yang melakukan kekufuran dihukumi kafir (murtad). Sesuai dengan yang
nampak. Ia tidak kafir (murtad) apabila tidak terpenuhi syaratnya dan terdapat penghalangnya.
Konsekuensi penerapannya, jika kita melihat seorang muslim yang melakukan
kekufuran, kita langsung menghukumi dirinya dengan kafir/murtad. Kita tidak menghukumi kafir
jika kita mendapat informasi bahwa dirinya (misalnya saja) keliru, jahil, atau
terpaksa. Hukum kafir jatuh dulu, pemastian belakangan….
Ini kan jadi kacau
dan kebalik-balik.
Begitu pula dengan tabdii'.
Kita tidak mengatakan secara serampangan setiap muslim yang melakukan kebid'ahan – apapun jenis/bentuknya
– adalah ahli bid'ah. Para ulama telah menjelaskan bahwa bid’ah yang
menyebabkan seseorang dapat divonis sebagai ahlul-bid’ah keluar dari lingkup
Ahlis-Sunnah adalah bid’ah-bid’ah besar yang jelas menyelisihi Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijmaa’.
Yuusuf bin Asbath rahimahullah
berkata:
أُصُولُ
الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ،
وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً،
فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ
الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok
kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah.
Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18
golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah
yang disabdakan Nabi ﷺ : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada dengan hal di
atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
الْبِدْعَةُ
الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ
أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ:
كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah yang
menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah yang
terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan
Murji'ah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 35/414].
4.
Perlu dibedakan
antara takfir nau' (mutlak) dan 'ain.
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
والتحقيق فى هذا أن
القول قد يكون كفرا كمقالات الجهمية الذين قالوا إن الله لا يتكلم ولا يرى فى
الآخرة ولكن قد يخفى على بعض الناس أنه كفر فيطلق القول بتكفير القائل كما قال
السلف من قال القرآن مخلوق فهو كافر ومن قال ان الله لا يرى فى الآخرة فهو كافر
ولا يكفر الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة
“Dan yang tepat
/benar dalam masalah ini, bahwa kadangkala suatu perkataan merupakan kekufuran,
sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang Jahmiyyah yang
mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak
diakhirat’. Akan tetapi kadangkala hal itu tersembunyi/samar bagi sebagian
orang bahwasannya hal itu termasuk kekufuran, sehingga dimutlakkan ucapan
pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya. Hal itu sebagaimana dikatakan
oleh salaf : ‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia
kafir. Dan barangsiapa yang mengatakan Allah tidak dapat dilihat di akhirat,
maka ia kafir’. Dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak padanya
hujjah” [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/619].
والأصل الثاني ان
التكفير العام كالوعيد العام يجب القول باطلاقه وعمومه
واما الحكم على
المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف
على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
“Dan pokok yang kedua
: Sesungguhnya takfir secara umum adalah seperti ancaman secara umum, wajib
untuk mengatakannya dengan kemutlakan dan keumumannya.
Adapun hukum terhadap
individu bahwasannya ia kafir atau memastikannya masuk neraka, maka hal ini
tegak berdasarkan dalil mu’ayyan, karena hukum (takfir mu’ayyan) tegak
berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalangnya[4]”
[idem, 12/498].
هذا مع أنى دائما ومن
جالسنى يعلم ذلك منى انى من أعظم الناس نهيا عن أن ينسب معين الى تكفير وتفسيق
ومعصية إلا اذا علم أنه قد قامت عليه الحجة الرسالية التى من خالفها كان كافرا
تارة وفاسقا أخرى وعاصيا أخرى وانى أقرر أن الله قد غفر لهذه الأمة خطأها وذلك يعم
الخطأ فى المسائل الخبرية القولية والمسائل العملية. وما زال السلف يتنازعون فى
كثير من هذه المسائل ولم يشهد أحد منهم على أحد لا بكفر ولا بفسق ولا معصية
“Demikianlah,
sementara aku senantiasa (memperingatkan) - dan orang-orang yang bermajelis
denganku mengetahui hal tersebut - bahwa aku termasuk orang yang paling keras
melarang menisbatkan individu tertentu kepada kekufuran, kefasiqan dan maksiat,
kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan hujjah risaaliyyah
kepadanya, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau
terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan aku
tegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini
mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan/’aqidah)
maupun masalah ‘amaliyyah. Dan kaum salaf senantiasa saling berbeda pendapat
dalam banyak permasalahan tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang
bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan…” [idem,
3/229].
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– 1 Sya’ban 1441 H].
[1] Perkataan beliau bahwa asal seorang muslim
adalah adil mungkin perlu diteliti kembali. Ibnu Haajib Al-Maalikiy rahimahullah
menjelaskan tentang makna keadilan (’adalah) secara istilah:
وهي محافظة دينية تحمل على ملازمة التقوى
والمروءة،ليس معها بدعة ،وتتحقق باجتناب الكبائر وترك الإصرار على الصغائر وبعض
المباح
“Yaitu
penjagaan agama yang membawa pada sikap komitmen melaksanaan ketaqwaan dan
menjaga muru’ah (kehormatan diri), tidak berbuat kebid’ahan, serta menjauhi
dosa dosa-dosa besar dan meninggalkan kebiasaan melakukan dosa kecil dan
sebagian perkara mubah” [Syarh Mukhtashar Al-Muntahaa Al-Ushuuliy, 2/440].
Taajuddiin
As-Subkiy rahimahullah berkata:
هي ملكة تمنع عن اقتراف الكبائر وصغائر
الخمسة كسرقة لقمة، والرذائل المباحة كالبول في الطريق
“(Keadilan) yaitu
pembawaan/sikap yang mencegah untuk melakukan dosa-dosa besar dan dosa kecil yang
lima seperti mencuri sesuatu yang sedikit, serta perkara-perkara rendah/buruk
yang (asalnya) mubah seperti kecing di jalan” [Jam’ul-Jawaami’ ma’a Syarh
Al-Mahalliy bi-Haasyiyah Al-Banaaniy, 2/148].
As-Sakhawiy
rahimahullah berkata:
ملكة تحمل على ملازمة التقوى والمروءة، والمراد
بالتقوى: اجتناب الأعمال السيئة من شرك أوفسق أو بدعة
“Pembawaan/sikap
yang membawa seseorang komitmen melaksanakan ketaqwaan dan menjaga muru’ah (kehormatan
diri). Dan yang dimaksudkan dengan taqwa adalah menjauhi perbuatan-perbuatan
yang buruk berupa kesyirikan, kefasikan, ataupun bid’ah” [Fathul-Mughiits,
1/315].
Keadilan pada diri seseorang merupakan perkara tambahan dari hukum asalnya. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
إذا شك في الشاهد هل هو عدل أم لا ؟ لم
يحكم بشهادته، لأن الغالب في الناس عدم العدالة، وقول من قال: الأصل في الناس
العدالة، كلام مستدرك بل العدالة طارئة متجددة، والأصل عدمها
“Apabila
timbul keraguan atas seorang saksi apakah dirinya adil ataukah tidak, maka ia
tidak diambil persaksiannya. Karena pada umumnya manusia tidak memiliki
keadilan. Tentang pendapat orang yang mengatakan ‘manusia pada asalnya mempunyai keadilan (‘adalah)’, maka perlu dikoreksi. Akan tetapi,
keadilan merupakan kondisi yang diperbaharui yang sebelumnya tidak ada. Asalnya
adalah peniadaannya” [Badaai’ul-Fawaaid hal. 1280].
Keterangan
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah saya bawakan karena secara
substansi sejalan dengan keterangan para ulama lainnya dalam hal selamat dari
celaan dan tidak boleh berprasangka buruk padanya kecuali jika nampak jelas
darinya sesuatu yang menyelisihi (hukum asal)-nya.
[2] Dalilnya adalah:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا، فَلَا
يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Apabila salah seorang diantara kalian mendapatkan sesuatu
dalam perutnya, lalu timbul keraguan terhadapnya : ‘Apakah ada sesuatu (angin)
yang keluar darinya atau tidak?’, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk
membatalkan shalatnya) hingga mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 362].
عَنْ
عبد الله بن زيد الأنصاري، أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الرَّجُلُ
الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ:
لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari
‘Abdullah bin Zaid Al-Anshaariy : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang
mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa dirinya seakan-akan mendapatkan sesuatu (dalam dirinya)
ketika shalat. Maka beliau ﷺ bersabda : “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar
suara (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
137].
وَلَا
أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ
الْمُبَشِّرِينَ وَالْمُنْذِرِينَ
“Tidaklah
seorang lebih menyukai ‘udzur yang diberikan Allah ﷻ. Oleh
karena itulah Alah ﷻ mengutus para Rasul yang memberikan
kabar gembira dan peringatan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7416
dan Muslim no. 1499].
An-Nawawiy
rahimahullah menjelaskan:
فالعذر
هنا بِمَعْنَى الْإِعْذَارِ وَالْإِنْذَارِ قَبْلَ أَخْذِهِمْ بِالْعُقُوبَةِ
وَلِهَذَا بَعَثَ الْمُرْسَلِينَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَمَا كنا
معذبين حتى نبعث رسولا
“’Udzur di sini maksudnya adalah alasan dan
peringatan sebelum memberikan mereka hukuman. Oleh karenanya, Allah mengutus
para Rasul sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala : ‘Dan Kami
tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ :
15)” [Syarh Shahiih Muslim, 10/132].
Hal ini
sesuai dengan firman Allah ﷻ :
رُسُلًا
مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ
ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا
“Rasul-rasul
itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak
ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.
Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” [QS. An-Nisaa’ : 165].
[4] Sungguh mengherankan keadaan hari ini ketika
ada yang bertanya tentang kaidah takfir mu’ayyan yang telah disepakati
Ahlus-Sunnah, yaitu jatuh setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang
penghalang-penghalangnya; maka dijawab justru dengan pengingkaran:
“Siapakah
yang mengatakan ini ?! Barangsiapa siapa yang nampak darinya kekufuran baik
perkataan, perbuatan, keyakinan, atau keraguan, maka ia dihukumi dengan
kekafiran. Adapun perkara yang ada di dalam hatinya, maka ini tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Kami tidak diserahi urusan hati, akan tetapi kami diserahi
urusan yang nampak. Barangsiapa yang menampakkan kekufuran, kami menghukuminya
dengan kekufuran dan kami perlakukan seperti perlakuan terhadap orang kafir. Adapun
perkara yang ada dalam hatinya, maka ini kami serahkan kepada Allah subhaanahu
wa ta’ala. Allah tidak menugaskan kepada kita tentang perkara-perkara hati, na’am”
[selesai].
Allaahumma, …..
yang mengatakannya adalah Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
sosok yang tidak diragukan keilmuannya. Begitu juga ulama-ulama lainnya seperti
Ibnu Baaz, Al-Albaaniy, dan Ibnul-‘Utsaimiin rahimahumullah.
Anehnya
lagi, fatwa ini kemudian dibawa untuk memerangi orang-orang yang memegang
kaidah Ahlus-Sunnah dalam takfir mu’ayyan dan menuduhnya dengan tuduhan irjaa’ karena tidak sesuai dengan prinsip (salah) mereka.
عَنْ
زِيَادِ بْنِ حُدَيْرٍ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ
الْإِسْلَامَ؟، قُلْتُ: لَا، قَالَ: " يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ،
وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ، وَحُكْمُ الْأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ "
Dari
Ziyaad bin Hudair, ia berkata : ‘Umar pernah bertanya kepadaku : “Apakah engkau
tahu apa yang menghancurkan Islam?”. Aku berkata : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Islam
dihancurkan oleh ketergelinciran ulama, perdebatan orang munafik tentang Al-Qur’an,
dan hukum para pemimpin yang menyesatkan” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 220;
shahih].
Ibnu ‘Abdil-Barr
rahimahullah menjelaskan bahwa ketergelinciran ulama diibaratkan seperti
tenggelamnya sebuah perahu yang mengakibatkan tenggelamnya semua penumpang yang
ada di dalam/atasnya [lihat Al-Jaami’, 2/982].
Sungguh
malang orang-orang bodoh itu….
Adapun
kita, Ahlus-Sunnah, memberi ‘udzur kepada ‘ulama, menakwilkannya dengan
penakwilan yang paling baik, memuliakannya, serta tidak menuduhnya dengan
tuduhan keji. Tidak seorangpun setelah Nabi ﷺ yang
bebas dari kekeliruan dan selalu benar dalam semua ijtihadnya. Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّ
ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua
anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat
kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Mujaahid
rahimahullah berkata :
لَيْسَ
أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا
النَّبِيَّ ﷺ
“Tidak
ada seorang pun setelah Nabi ﷺ dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali
Nabi ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain,
hal. 153 no. 179; shahih].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar