Para
ulama ahli ushul fiqh berbeda pandangan tentang bagaimana penyikapan seorang
awam terhadap perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan bahwa
awam mengambil pendapat ulama yang ia pandang paling berilmu dan paling wara'.
Ini adalah satu riwayat yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal, Ibnus-Suraij dari
kalangan Syaafi'iyyah, dan mayoritas ulama ushul rahimahumullah. Ada
yang mengatakan bahwa orang awam bebas memilih ulama siapa saja yang ia pandang
pendapatnya sesuai dengan kebenaran; dan ini adalah pendapat sebagian
Syaafi'iyyah dan Hanaabilah. Ada yang mengatakan hendaknya mengambil pendapat
yang paling berat; ini adalah pendapat yang dihikayatkan dari Dhaahiriyyah.
Sebaliknya, ada yang berpendapat agar mengambil pendapat paling mudah dan
ringan. Dan ada pula yang berpendapat orang awam bertanya kepada setiap
mujtahid/ulama dalil yang mereka pakai, lalu ia berusaha/berijtihad darinya dan
beramal dengan pendapat yang rajih menurut penilaiannya. Ini adalah pendapat
Ibnul-Qayyim dalam I'laamul-Muwaqqi'iin.
Maka,
Pertama, wajib
bagi setiap orang berusaha mencari kebenaran, memohon petunjuk (kepada Allah ﷻ) agar dapat menerima, memahaminya, dan
mengikutinya darimanapun kebenaran tersebut datang. Diriwayatkan dari Mu'aadz
bin Jabal radliyallaahu 'anhu, ia berkata:
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ
بِهِ; وَإِنْ كَانَ كَافِرًا -أَوْ قَالَ فَاجِرًا- وَاحْذَرُوا زَيْغَةَ
اَلْحَكِيمِ، قَالُوا: كَيْفَ نَعْلَمُ أَنَّ اَلْكَافِرَ يَقُولُ كَلِمَةَ
الْحَقِّ؟ قَالَ: إِنَّ عَلَى اَلْحَقِّ نُورًا
"Terimalah
kebenaran dari siapapun yang membawanya, meskipun dirinya orang kafir atau
faajir. Dan waspadalah penyimpangan/kesalahan seorang yang bijak".
Orang-orang bertanya : “Bagaimana kami bisa mengetahui orang kafir mengucapkan
kalimat kebenaran?”. Mu’aadz berkata : “Sesungguhnya di atas kebenaran itu ada
cahaya” [Dibawakan oleh Ibnu Taimiyyah[1]
dalam Majmuu’ Al-Fataawaa 5/102].
Allah
ﷻ berfirman:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” [QS. Al-Baqarah : 213].
Dalam
doa istiftah shalat malam, kita dianjurkan membaca doa agar diberikan petunjuk
dan ditetapkan di atas kebenaran:
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ،
وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ
تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya
Allah, Rabb bagi Jibriil, Mikaaiil dan Israafiil, Pencipta langit dan bumi,
Yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang menetapkan
keputusan diantara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan. Berilah
aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu,
sesungguhnya Engkau itu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau
kehendaki untuk menuju jalan yang lurus” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 770].
Maksud
perkataan ‘Berilah aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang
diperselisihkan dengan izin-Mu’ adalah tetapkanlah aku di atas kebenaran
sebagaimana firman Allah ﷻ:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Berilah
kami petunjuk pada jalan yang lurus” [QS. Al-Faatihah : 6].
Kedua, tidak
ada seorang pun setelah Nabi ﷺ yang kebenaran selalu ikut bersamanya
dalam semua perkataan (fatwa) dan perbuatannya. Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua
anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat
kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Dalam
permasalahan tawanan perang Badr, kebenaran ada pada perkataan ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang memberikan saran untuk membunuh
mereka. Berbeda dengan saran Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa untuk
menerima tebusan. Allah ﷻ
membenarkan perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan menurunkan Surat
Al-Anfaal ayat 67-69.[2]
Di lain waktu, kebenaran berada pada perkataan Abu Bakr daripada ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa dalam permasalahan memerangi orang yang tidak menunaikan zakat.
‘Umar sendiri mengakui dengan perkataannya:
فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ
شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ، أَنَّهُ
الْحَقّ
“Maka
demi Allah, tidaklah hal itu dikatakannya kecuali Allah telah melapangkan dada
Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu aku pun mengetahuinya bahwa apa yang
dikatakannya itu adalah kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1400].
Apabila
Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang dikatakan sebagai manusia terbaik[3]
sepeninggal beliau ﷺ
tidak memegang otoritas kebenaran dalam seluruh ijtihad mereka, tentu manusia
setelahnya lebih layak dikatakan demikian[4].
Mujaahid rahimahullah berkata :
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلا
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ ﷺ
“Tidak
ada seorang pun setelah Nabi ﷺ
dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u
Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih].
Oleh
karena itu, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
فالذي عليه الأئمة الأربعة وسائر أئمة
العلم أنه ليس على أحد ولا شرع له التزام قول شخص معين في كل ما يوجبه ويحرمه
ويبيحه إلا رسول الله ﷺ
“Dan
pendapat/manhaj yang dipegang para imam yang empat dan seluruh ulama (yang
diakui) bahwa tidak wajib dan tidak pula disyari’atkan bagi seseorang untuk
menetapi pendapat ulama tertentu dalam semua yang diwajibkan,
diharamkan, dan dibolehkannya; selain daripada Rasulullah ﷺ…” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 3/328].
فإن أهل الحق والسنة لا يكون متبوعهم إلا
رسول الله ﷺ الذي لا ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى فهو الذي يجب تصديقه في كل
ما أخبر وطاعته في كل ما أمر وليست هذه المنزلة لغيره من الأئمة بل كل أحد من
الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله فمن جعل شخصا من الأشخاص غير رسول الله من
أحبه ووافقه كان من أهل السنة والجماعة ومن خالفه كان من أهل البدعة والفرقة كما
يوجد ذلك في الطوائف من اتباع أئمة في الكلام في الدين وغير ذلك كان من أهل البدع
والضلال والتفرق
“Sesungguhnya
para pembela kebenaran dan sunnah (ahlul-haq was-sunnah) tidak mengikuti
seseorang kecuali Rasulullah ﷺ
yang : ‘beliau tidak berkata-kata dengan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’ (QS. An-Najm : 3-4).
Beliau ﷺ adalah orang yang wajib dibenarkan setiap
perkataannya dan wajib ditaati setiap perintahnya. Kedudukan ini tidaklah
dimiliki oleh orang selain beliau dari kalangan para imam. Bahkan setiap orang
dapat diambil dan dibuang perkataannya kecuali Rasulullah ﷺ. Barangsiapa yang menjadikan seseorang
selain Rasulullah ﷺ
dari kalangan orang yang mencintainya dan menyepakatinya sebagai Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, dan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul-Bida’ wal-Furqah
sebagaimana fenomena itu ditemui pada
sebagian kelompok yang yang mengikuti para imam dalam fatwa-fatwa agama dan
selainnya; maka ia lah yang justru termasuk Ahlul-Bida’ wadl-Dlalaal
wal-Furqah (penyeru kebid’ahan, kesesatan, dan perpecahan)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 3/346-347].
Ketiga,
hendaknya seseorang berusaha mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui dalil dan
pendalilannya semampunya. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta
ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”
[QS. At-Taghaabun : 16].
Sikap mengikuti
pendapat ulama dengan dalilnya merupakan ittibaa’ sebagaimana
didefinisikan oleh sebagian ulama. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وقد فرق أحمد بين التقليد والاتباع، فقال
أبو داود: سمعته يقول: الاتباع أن يتبع الرجلُ ما جاء عن النبي ﷺ وعن أصحابه، ثم
هو مِن بعدُ في التابعين مخيَّر
"Ahmad
(bin Hanbal) membedakan antara taqlid dan ittibaa'. Abu Daawud berkata :
'Ittibaa' adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Kemudian pendapat
setelahnya dari kalangan taabi'iin boleh dipilih" [I'laamul-Muwaqqi'iin,
3/469. Lihat juga Masaailu Abi Daawud, hal. 276].
Ittibaa'
menjadi tingkatan kedua antara taqliid dan ijtihaad[5].
Adapun taqlid didefinisikan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
dalilnya [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh oleh Asy-Syinqiithiy].
Seandainya
kita bukan tergolong ulama – dan memang demikianlah keadaannya - , maka jadilah
awam berkualitas yang senantiasa mengedepankan prinsip ittibaa’, mengikuti
pendapat ulama dengan dalilnya.
Ibnu
‘Aun rahimahullah berkata:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلا لَزِمَ هَذَا
الأَثَرَ، وَرَضِيَ بِهِ، وَإِنِ اسْتَثْقَلَهُ وَاسْتَبْطَأَهُ
“Semoga
Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang tetap berpegang/berkomitmen pada
atsar ini dan ridla terhadapnya, meskipun terasa berat dan menghambatnya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 291; sanadnya
shahih sesuai syarat syaikhain].
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata:
وقد نهى الأئمة الأربعة عن تقليدهم ، وذموا
من أخذ أقوالهم بغير حجة
“Dan
sungguh para imam empat melarang taqlid kepada mereka[6]
dan mencela orang yang mengambil pendapat mereka tanpa hujjah” [I’laamul-Muwaqqi’iin,
1/79].
Sehingga
dikatakan para ulama,
أقوال العلماء يُستدل لها
ولا يستدل بها
“Perkataan
ulama dipakai untuk penyokong dalil, bukan untuk berdalil itu sendiri”[7].
Keempat,
setelah melihat dalil dan pendalilan perkataan ulama, maka ia berusaha untuk mentarjihnya
sesuai dengan kemampuannya, manakah yang lebih kuat menurutnya dan lebih
menentramkan hatinya untuk diikuti. Dalam hal ini, seorang muslim dengan ilmu[8]
yang ia miliki (berapapun kadarnya), harus ia pergunakan untuk mengetahui
kebenaran semampunya.
Atau
jika tidak mampu, ia mentarjihnya dengan cara memilih ulama yang
menurutnya paling berilmu, paling bertaqwa, dan paling wara’ dalam
agamanya – dan kemudian mengambil pendapatnya untuk diamalkan/diikuti. Dan
dalam permasalahan agama secara umum, ia boleh mencukupkan diri untuk bertanya/meminta
fatwa kepada orang tersebut (yang paling ia percayai keilmuannya, amanahnya,
taqwanya, dan kewaraannya) dan kemudian beramal dengan fatwanya; sebagai
pengamalan firman Allah ﷻ
:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"
[QS. An-Nahl : 43].
Asy-Syaathibiy
rahimahullah mengatakan:
أما اختلافُ العلماء بالنسبة إلى
المقلِّدين، فكذلك أيضًا، لا فرق بين مصادفة المجتهدِ الدليلَ، ومصادفة العاميِّ
المفتيَ؛ فتعارُضُ الفتويَيْنِ عليه كتعارض الدليلينِ على المجتهد، فكما أن
المجتهد لا يجوز في حقه اتباعُ الدليلين معًا، ولا اتباع أحدهما من غير اجتهاد ولا
ترجيح، كذلك لا يجوز للعاميِّ اتباع المفتيَيْنِ معًا ولا أحدهما مِن غيرِ اجتهادٍ
ولا ترجيح
"Adapun
ikhtilaaf ulama yang dinisbatkan kepada para muqallid, maka demikian
juga, tidak ada perbedaan antara pertemuan mujtahid dengan dalil dan pertemuan
orang awam dengan mufti. Pertentangan dua fatwa bagi orang awam seperti halnya
pertentangan dua dalil bagi seorang mujtahid. Sebagaimana seorang mujtahid
tidak boleh mengikuti dua dalil (yang bertentangan) sekaligus dan tidak
mengikuti salah satunya tanpa ijtihad dan tarjih; begitu pula tidak
diperbolehkan bagi orang awam mengikuti (fatwa) dua orang mufti sekaligus dan
tidak memilih satu diantaranya tanpa ijtihad dan tarjih" [Al-Muwafaqaat,
5/77].
Al-Khathiib
Al-Baghdaadiy rahimahullah membawakan riwayat:
أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ
الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلَفِ بْنُ بُخَيْتٍ
الْعُكْبَرِيُّ، أَخْبَرَنَا جَدِّي، قَالَ: قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الزُّبَيْرُ بْنُ أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ تَقُولُ
فِي الْمُسْتَفْتِي مِنَ الْعَامَّةِ إِذَا أَفْتَاهُ الرَّجُلانِ وَاخْتَلَفَا
فَهَلْ لَهُ التَّقْلِيدُ؟ قِيلَ لَهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ هَذَا عَلَى
وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِذَا كَانَ الْعَامِّيُّ
يَتَّسِعُ عَقْلُهُ، وَيَكْمُلُ فَهْمُهُ إِذَا عَقَلَ أَنْ يَعْقِلَ، وَإِذَا
فَهِمَ أَنْ يَفْهَمَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ الْمُخْتَلِفِينَ عَنْ
مَذَاهِبِهِمْ عَنْ حُجَجِهِمْ، فَيَأْخُذُ بِأَرْجَحِهِمَا عِنْدَهُ،
فَإِنْ كَانَ عَقْلُهُ لَمْ يَنْقُصْ عَنْ
هَذَا، وَفَهْمُهُ لا يَكْمُلُ لَهُ، وَسِعَهُ التَّقْلِيدُ لأَفْضَلِهِمَا
عِنْدَهُ وَقِيلَ: يَأْخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُفْتِينَ، وَهُوَ
الْقَوْلُ الصَّحِيحُ ؛ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الاجْتِهَادِ وَإِنَّمَا
عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْلِ عَالِمٍ ثِقَةٍ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ،
فَوَجَبَ أَنْ يكفيه
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad bin
‘Abdillah bin Khalaf bin Bukhait Al-‘Ukbariy : Telah mengkhabarkan kepada kami
kakekku, ia berkata : Telah berkata Abu ‘Abdillah Az-Zubair bin Ahmad
Az-Zubairiy : Apabila ada orang berkata : “Bagaimana pendapatmu tentang orang
yang meminta fatwa dari masyarakat awam, apabila ada dua orang ulama memberikan
fatwa kepadanya yang ternyata fatwa masing-masing berbeda. Apakah boleh baginya
taqlid ?”. Maka katakan kepadanya : InsyaAllah, dalam permasalahan ini ada 2
kondisi:
Pertama,
jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna pemahamannya, yang
seandainya ia berpikir (sesuatu) akan mengetahui, dan seandainya ia memahami
(sesuatu) akan paham; maka dirinya wajib untuk bertanya kepada orang lain
pendapat mereka dan hujjah mereka (tentang jawaban dua mufti tersebut), lalu ia
mengambil yang paling kuat (rajih) di antara keduanya.
(Kedua)
apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia
belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang
lebih utama diantara dua mufti tersebut (menurutnya). Dikatakan : orang
tersebut bebas mengambil/memilih fatwa dua orang mufti itu. Ini (pun) pendapat
yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya
hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang 'alim yang terpercaya
(menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi” [Al-Faqiih
wal-Mutafaqqih no. 1220].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لكن منهم من يقول على المستفتى ان يقلد
الأعلم الأروع ممن يمكنه إستفاؤه ومن هم من يقول بل يخير بين المفتين واذا كان له
نوع تمييز فقد قيل يتبع أى القولين أرجح عنده بحسب تمييزه فان هذا أولى من التخيير
المطلق وقيل لا يجتهد الا اذا صار من أهل الإجتهاد والأول اشبه فاذا ترجح عند
المستفتى أحد القولين إما لرجحان دليله بحسب تمييزه وأما لكون قائله أعلم وأروع
فله ذلك وان خالف قوله المذهب
“Akan
tetapi diantara ulama ada yang berpendapat bahwa bagi orang yang meminta fatwa
agar bertaqlid kepada ulama yang dianggap paling berilmu dan wara' yang paling
memungkinkan ia mintai fatwanya. Diantara mereka ada yang berpendapat, boleh
baginya untuk memilih manapun pendapat dari dua mufti/ulama tersebut. Namun
apabila orang tersebut memiliki kemampuan/kapasitas, maka dikatakan dirinya mengikuti
pendapat manapun yang paling rajih menurutnya sesuai dengan kemampuannya,
karena ini lebih baik daripada (pendapat yang menyatakan) memilih secara
mutlak. Dikatakan : seseorang tidak boleh berijtihad kecuali dirinya telah menjadi
ahli ijtihad. Namun pendapat pertama yang lebih benar. Maka apabila orang yang
meminta fatwa merajihkan salah satu diantara dua pendapat yang ada, baik karena
kekuatan dalilnya sesuai dengan yang ia pahami, atau karena ulama yang
menyatakannya ia anggap lebih berilmu dan lebih wara'; maka ia ambil pendapat
itu meskipun menyelisihi madzhab (yang ia pegang)" [Majmuu' Al-Fataawaa,
33/168].
Ibnul-Qayyim
rahimahullah mempertimbangkan agar mengambil perkataan ulama yang paling
berilmu sebagai pendapat kelima, mengambil perkataan ulama yang paling wara’ sebagai
pendapat keenam, dan menambahkan pendapat ketujuh bahwa wajib bagi orang awam
untuk mempelajari dan membahas mana yang paling kuat sesuai kemampuannya; dan selanjutnya
beliau (Ibnul-Qayyim) rahimahullah merajihkan pendapat terakhir ini
dengan perkataannya:
فيعمل، كما يعمل عند اختلاف الطريقين، أو
الطبيبين، أو المشيرين
“Maka
ia beramal sebagaimana ia beramal ketika terdapat perbedaan dua jalan, dua
dokter, atau dua penunjuk” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 6/205].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
إذا كان المسلم عنده من العلم ما يستطيع به
أن يقارن بين أقوال العلماء بالأدلة ، والترجيح بينها ، ومعرفة الأصح والأرجح وجب
عليه ذلك ، لأن الله تعالى أمر برد المسائل المتنازع فيها إلى الكتاب والسنة ،
فقال : (فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) النساء/59. فيرد
المسائل المختلف فيها للكتاب والسنة ، فما ظهر له رجحانه بالدليل أخذ به ، لأن
الواجب هو اتباع الدليل ، وأقوال العلماء يستعان بها على فهم الأدلة
وأما إذا كان المسلم ليس عنده من العلم ما
يستطيع به الترجيح بين أقوال العلماء ، فهذا عليه أن يسأل أهل العلم الذين يوثق
بعلمهم ودينهم ويعمل بما يفتونه به ، قال الله تعالى : ( فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء/43 . وقد نص العلماء على أن
مذهب العامي مذهب مفتيه
“Apabila
seorang muslim memiliki ilmu untuk membandingkan pendapat para ulama dengan
dalil-dalilnya, mentarjihnya, serta mengetahui mana yang lebih shahih dan lebih
kuat, wajib baginya untuk melakukannya. Karena Allah ta’ala memerintahkan
untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Allah ﷻ
berfirman : ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisaa’ : 59). Maka
ia mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Apa yang nampak baginya lebih kuat berdasarkan dalil, ia ambil
pendapat tersebut. Karena wajib baginya untuk mengikuti dalil, sedangkan
pendapat ulama dipergunakan untuk memahami dalil.
Adapun
jika seorang muslim tidak memiliki ilmu yang dengannya ia mampu melakukan
tarjih diantara pendapat para ulama, dalam hal ini wajib baginya bertanya
kepada ulama yang ia percayai keilmuannya dan agamanya, lalu ia mengamalkan
fatwanya. Allah ta’ala berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl :
43]. Dan ulama telah menegaskan bahwa madzhab orang awam adalah madzhab
orang/mufti yang memberikan fatwa kepadanya” [Al-Ikhtilaafu bainal-'Ulamaa, Asbaabuhu
wa Mauqifuna minhu, hal. 23].
Asy-Syaikh
Sulaimaan Maajid hafidhahullah berkata saat menyimpulan permasalahan
sikap orang awam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
وبكل حال، فالأرجح ما ذهب إليه شيخ الإسلام
ابن تيمية، وتلميذه ابن القيم، وهو أن العامي إذا اختلفت عليه الفتوى، فإنه يجتهد
حسب تمييزه، ويتقي الله حسب استطاعته، فإن ترجح له قول أحد المفتين لكونه الأعلم
الأورع، أخذ بفتواه. فإن استويا في العلم والورع، أو شق عليه معرفة الأعلم منهما،
ولكن ما استدل به أحدهما أقوى في الحجة وظهور الدليل مما استدل به الآخر، أخذ به،
أو كانت نفسه تسكن لفتيا أحدهما، ويطمئن لها قلبه، دون فتيا الآخر، أخذ بهذا
المرجح، وكذا لو ترجح له قول أحدهما، لكثرة من أفتى به من أهل العلم، أخذ به
“Maka,
yang rajih adalah pendapat yang dipegang Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan
muridnya, Ibnul-Qayyim. Yaitu, orang awam apabila menghadapi perselisihan dua
fatwa, maka ia berusaha (memilih pendapat yang paling kuat) sesuai kapasitasnya
dan bertaqwa kepada Allah sesuai kemampuannya pula. Apabila ia merajihkan
pendapat salah seorang mufti/ulama berdasarkan pertimbangan ulama tersebut
dianggap paling berilmu dan paling wara’, maka ia ambil fatwanya. Namun apabila
keduanya sama dalam ilmu dan kewara’annya; atau dirinya merasa kesulitan untuk
mengetahui mana yang lebih berilmu dari keduanya, namun hujjah dan penampakan
dalil salah satu mufti/ulama lebih kuat daripada yang lain, maka ia ambil
pendapat tersebut. Atau dirinya lebih mantap dan hatinya lebih tenang dengan
salah satu fatwa mufti tersebut, maka ia ambil pendapat yang dianggapnya lebih
kuat tersebut. Begitu juga seandainya ia merajihkan pendapat salah satu
diantara mufti dikarenakan banyaknya ulama yang berfatwa serupa, ia ambil pendapat
tersebut” [sumber : https://www.salmajed.com/node/11092].
Inti
perkataan para ulama di atas satu, tarjih seseorang akan berbeda-beda sesuai
dengan kemampuannya[9],
dan banyak faktor yang melatarbelakangi. Sebagai penuntut ilmu – atau orang
awam - , tentu kita dapat merasakannya. Kadang penuntut ilmu melakukan penelaahan dalam sebagian permasalahan dengan dalilnya, namun tidak pada permasalahan yang lain
sehingga ia langsung mengambil pendapat ulama yang paling ia percayai dalam hal
tersebut. Ada juga orang yang benar-benar awam tidak memiliki ilmu sehingga ia
hanya mengambil fatwa orang yang ia mintai fatwa dan beramal dengannya.
Kelima,
haram hukumnya apabila seseorang telah mengetahui kebenaran ada pada diri
seorang ulama karena hujjah/dalil yang dibawakannya, namun ia meninggalkannya dengan
mengambil pendapat ulama lain yang lebih ia idolai. Ini adalah fanatik yang
sangat tercela[10].
Allah
ﷻ berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Al-Ma'shuumiy
menukil perkataan Asy-Syaafi'iy rahimahumallah:
من قلَّد معيَّنًا في تحريم شيء أو تحليله،
وقد ثبت الحديث على خلافه، ومنعه التقليد عن العمل بالسنة، فقد اتخذ من قلَّده
ربًّا من دون الله تعالى، يحل له ما حرم الله، ويحرم عليه ما أحل الله
“Barangsiapa
yang bertaqlid kepada seseorang dalam pengharaman atau penghalalan sesuatu,
dimana ia mengetahui ada hadits menyelisihinya, sehingga sikap taqlid itu
menghalanginya untuk beramal sesuai dengan sunnah; sungguh ia telah mengambil
orang yang ditaqlidinya itu sebagai Rabb selain Allah ta’ala, yang menghalalkan
apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah” [Hadiyyatu
Sulthaan, hal. 69 - https://al-maktaba.org/book/33062/45].
Allah
ﷻ berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain
Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang
berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan"
[QS. At-Taubah : 31].
Hudzaifah
bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah
mereka (orang-orang Nashara) menyembah (shalat) kepada mereka (para
pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah menjawab:
لا، وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا يُحِلُّونَ
لَهُمْ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ
مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
“Tidak,
akan tetapi mereka (para pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah
atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan
mereka (para pendeta/rahib) mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka,
dan kemudian orang-orang Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab
itu para pendeta/rahib itu seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan
oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya
no. 1073, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal
no. 258-259; shahih].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لو خالف العبد جميع الخلق و اتبع الرسول ما
سأله الله عن مخالفة أحد فإن من يطيع أو يطاع إنما يطاع تبعا للرسول
“Seandainya
seorang hamba menyelisihi seluruh manusia (di muka bumi) namun ia mengikuti
Rasul ﷺ, maka Allah tidak akan bertanya tentang penyelisihannya
terhadap seseorang. Karena sesungguhnya siapa saja yang mentaati atau ditaati,
maka orang tersebut ditaati karena mengikuti Rasul ﷺ" [Majmuu' Al-Fataawaa,
16/529].
Wallaahu
a'lam.
[abul-jauzaa’
– 27012020].
[1] Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
membawakannya secara makna dan ringkas. Abu Daawud membawakan riwayat
tersebut sebagai berikut:
عَنْ
يَزِيْدِ بْنِ عُمَيْرَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ:
" كَانَ لَا يَجْلِسُ مَجْلِسًا لِلذِّكْرِ حِينَ يَجْلِسُ، إِلَّا قَالَ:
اللَّهُ حَكَمٌ قِسْطٌ هَلَكَ الْمُرْتَابُونَ، فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ
يَوْمًا إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا يَكْثُرُ فِيهَا الْمَالُ وَيُفْتَحُ
فِيهَا الْقُرْآنُ حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ وَالرَّجُلُ
وَالْمَرْأَةُ وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوشِكُ
قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ: مَا لِلنَّاسِ لَا يَتَّبِعُونِي وَقَدْ قَرَأْتُ
الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ،
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ، وَأُحَذِّرُكُمْ
زَيْغَةَ الْحَكِيمِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ
عَلَى لِسَانِ الْحَكِيمِ، وَقَدْ يَقُولُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ، قَالَ:
قُلْتُ لِمُعَاذٍ: مَا يُدْرِينِي رَحِمَكَ اللَّهُ؟ أَنَّ الْحَكِيمَ قَدْ
يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ وَأَنَّ الْمُنَافِقَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ
الْحَقِّ، قَالَ: بَلَى اجْتَنِبْ مِنْ كَلَامِ الْحَكِيمِ الْمُشْتَهِرَاتِ
الَّتِي يُقَالُ لَهَا مَا هَذِهِ، وَلَا يُثْنِيَنَّكَ ذَلِكَ عَنْهُ فَإِنَّهُ لَعَلَّهُ
أَنْ يُرَاجِعَ، وَتَلَقَّ الْحَقَّ إِذَا سَمِعْتَهُ فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ
نُورًا "
Dari
Yaziid bin ‘Umairah – dan ia adalah salah seorang sahabat Mu’aadz bin Jabal - ,
ia berkata : Mu'aadz bin Jabal tidak pernah duduk dalam sebuah majlis kecuali
selalu mengucapkan : “Allah Maha Bijak, Allah Maha Adil, dan celakalah
orang-orang yang merasa ragu”. Suatu hari Mu'aadz berkata : “Di belakang kalian
akan terjadi fitnah, harta semakin melimpah, Al-Qur’an akan muda dibaca oleh
siapa saja, baik orang mukmin, munafik, laki-laki, wanita, anak kecil, orang
dewasa, budak, maupun orang merdeka. Hingga ada seseorang berkata : ‘Mengapa orang-orang
tidak mengikutiku, padahal aku telah membaca Al-Qur'an! Sungguh, mereka tidak akan
mengikuti kecuali jika aku melakukan kebid'ahan’. Maka berhati-hatilah kalian
dari bid'ah, sesungguhnya bi'dah itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan
kalian agar berhati-hati dari penyimpangan orang yang bijak, sebab setan kadang
mengucapkan kalimat kesesatan (kebathilan) melalui lisan orang bijak tersebut.
Dan sungguh, kadang orang munafik mengucapkan kalimat yang benar”. Yazid
berkata : Aku bertanya kepada Mu'aadz : "Bagaimana aku bisa tahu - semoga
Allah merahmatimu – bahwa kadang seorang bijak mengatakan kalimat kesesatan sedangkan
orang munafik mengatakan kalimat yang benar””. Ia (Mu’aadz) menjawab : "Tentu.
Maka jauhilah perkataan orang bijak yang masyhur akan kebatilannya sehingga
orang-orang bertanya : ‘apa ini-apa ini’. Janganlah hal itu memalingkanmu dari
jalan yang lurus. Karena mungkin orang bijak tersebut rujuk dari perkataannya.
Dan terimalah kebenaran apabila engkau mendengarnya, karena sesungguhnya di
atas kebenaran ada cahaya”.
Az-Zuhriy
berkata dalam riwayat lain tentang jawaban Mu’aadz :
بَلَى
مَا تَشَابَهَ عَلَيْكَ مِنْ قَوْلِ الْحَكِيمِ حَتَّى تَقُولَ مَا أَرَادَ
بِهَذِهِ الْكَلِمَة
“Tentu.
Perkara yang tersamar olehmu dari perkataan orang bijak tersebut, hingga engkau
berkata : ‘Apa yang dimaksudkan dengan perkataan ini ?” [Sunan Abi Daawud
no. 3998; shahih].
[2] Sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam Shahiih-nya
no. 1763.
[3] Sebagaimana hadits:
حَدَّثَنَا
مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ
خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو
بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ
ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ
عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Telah
menceritakan kepada kami Mua’llaa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata : Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’
dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Nabi ﷺ mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku
('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau
cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku kembali bertanya :
"Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya
(yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa
lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab". Selanjutnya
beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan Al-Bukhaariy
no. 3662].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ
سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا
نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ
ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah : Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : “Kami memilih-milih orang terbaik di antara manusia
pada jaman Nabi ﷺ. Dan kami pun memilih (yang terbaik tersebut) adalah Abu Bakr,
kemudian 'Umar bin Al-Khaththaab, kemudian 'Utsmaan bin 'Affaan radliyallaahu
'anhum" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3655].
[4] Ya benar, apalagi saya, ustadz saya, dan
ulama kontemporer yang sering saya nukil pendapatnya.
NB :
Catatan kaki no. 4 ini ditulis sebelum terlontar kalimat sinis : “Apalagi
ente dan guru ente”. Dianggapnya (atau halusinasinya ?), dengan mengatakan
kalimat tersebut di atas sama dengan melecehkan para ulama kita terdahulu. Allaahul-musta’aan.
Njur
terus piye jal kudu ngomonge ambek dheweke ?.
[5] Ulama lain menyamakan antara taqlid dan ittibaa’.
Perbedaan pembagian ini tidak terlalu esensial karena bagaimanapun juga, orang
yang mengikuti pendapat ulama dengan dalilnya tentu lebih baik daripada sekedar
tahu teks pendapatnya saja. Dalil adalah ilmu yang mendasari sebuah pendapat,
sehingga apabila seseorang mengambil sebuah pendapat ulama beserta
dalil/pendalilannya, dapat menghasilkan keyakinan yang lebih kuat daripada
sekedar mengamalkan pendapat saja (tanpa tahu dalilnya).
[6] Taqlidnya orang awam kepada ulama
diperbolehkan berdasarkan ijmaa’. Akan tetapi maksud perkataan ini adalah dorongan
agar setiap orang mengambil pendapat dengan dalilnya, wallaahu a’lam.
[7] Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dalil secara dzaatiyyah. Oleh karena itu ketika seseorang ditanya : ‘Apa dalilmu tentang hal tersebut?’, maka ia tidak boleh menjawab : “Dalilku adalah perkataan ulama Fulaan dan ‘Alaan”. Perkataan ulama tidak
boleh dijadikan dalil independent secara dzatnya. Pendapat mereka hanyalah
hujjah yang bersifat taba’iyyah, sehingga pendapat mereka tidak menjadi hujjah dengan sendirinya kecuali apabila Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.
Silakan
simak muhaadlarah Asy-Syaikh Waliid bin Raasyid As-Sa’iidaan hafidhahullah
berikut:
Juga muhaadlarah
Asy-Syaikh Muhammad bin Ramzaan Al-Haajiriy hafidhahullah:
[8] Maksudnya, ilmu yang tergolong maqshuudun
li-ghairihi seperti ushul-fiqh, mushthalah hadits, ushul tafsir,
nahwu-sharaf, balaaghah, dan semisalnya. Ilmu yang digunakan sebagai sarana
untuk menggapai tujuan, yaitu hakikat kebenaran dan menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan kepada hamba-Nya.
[9] Seandainya pembagian orang disimplifikasi
menjadi dua, mujtahid dan awam, pembagian ini hanya memudahkan dalam
penggambaran/pemahaman. Padahal, orang awam yang statusnya bukan mujtahid
bertingkat-tingkat, sebagaimana bertingkatnya mujtahid. Ada yang sama sekali tidak memiliki ilmu, ada yang sedikit
ilmu, ada yang lebih banyak, ada yang di atasnya, dan seterusnya hingga level
penuntut ilmu yang belum mencapai tingkatan mujtahid. Awam non-mujtahid lulusan
pesantren tentu berbeda dengan anak ABG yang tidak tahu apa-apa. Jika kita buat
skala yang paling tinggi adalah 100 (seratus) untuk ulama dan 0 (nol) untuk
orang awam yang paling bodoh, maka ada orang-orang yang berada diantara skala 0
sampai 100. Masing-masing mereka mempunyai kemampuan dan tanggung jawab
berbeda-beda. Tidak boleh disamakan asal gebyah uyah, yang bukan mujtahid
maka statusnya awam wajib taqlid total nggak boleh mikir seperti anak ABG tadi.
Gunanya
orang yang belajar/menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Diantara esensi
belajar ilmu ushul-fiqh adalah agar seseorang mampu memilih yang terbaik bagi dirinya
untuk diamalkan. Dalam Syarh Al-Waraqaat oleh Asy-Syaikh Ahmad bin
'Abdillah bin Humaid hafidhahullah, beliau menyampaikan:
الحقيقة
دراسة علم الأصول ليست خاصة بالمجتهد، بل يستفيد منها طالب العلم في الترجيح
وإدراك القول الراجح بناء على ما عرف من قواعد أصولية فليست خاصة بالمجتهد
“Hakikatnya,
pelajaran ilmu ushul bukan kekhususan bagi seorang mujtahid. Akan tetapi itu
juga bermanfaat bagi penuntut ilmu dalam rangka mentarjih dan mendapatkan perkataan/pendapat
yang rajih yang didasarkan atas apa yang diketahuinya dari kaidah-kaidah
ushuliyyah. Maka itu bukan kekhususan seorang mujtahid…”.
[10] Beberapa atsar kefanatikan madzhab
banyak ternukil dari beberapa ulama kita sebelumnya. Seperti misal perkataan Al-Juwainiy
Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
نحن
ندعي أنه يجب على كافة العاقلين وعامَّة المسلمين شرقًا وغربًا بعدًا وقربًا
انتحال مذهب الشافعي، ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضًا انتحال مذهبه،
بحيث لا يبغون عنه حِوَلًا، ولا يريدون به بدَلًا
“Kami mengajak bahwa wajib
bagi seluruh orang-orang yang berakal dan kebanyakan kaum muslimin, baik
di timur dan di barat, jauh dan dekat, untuk menganut madzhab Asy-Syaafi’iy.
Dan wajib bagi orang-orang awam biasa dan orang-orang yang bodoh untuk
menganut madzhabnya (Asy-Syaafi’iy), dan sekiranya mereka tidak mencari yang
lain” [Mughiitsul-Khalq, hal. 16].
Fakhrur-Raaziy
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
القول
بأن قول الشافعي أخطأ في مسألة كذا إهانة للشافعي القرشي وإهانة قريش غير جائزة
فوجب ألا يجوز القول بتخطئته في شيء من المسائل
“Perkataan bahwasannya
perkataan Asy-Syaafi’iy dalam satu permasalahan keliru merupakan penghinaan
terhadap Asy-Syaafi’iy Al-Qurasyiy, sedangkan penghinaan terhadap Quraisy tidak
boleh. Maka wajib untuk tidak membolehkan perkataan yang menyalahkan beliau
dalam permasalahan-permasalahan sedikitpun” [Al-Imaam Asy-Syaafi’iy wa
Manaaqibuhu, hal. 219].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl
Al-Maalikiy rahimahullah menukil:
فقد
قال بعض المشائخ: إن الإمام لمن التزم تقليد مذهبه كالنبي عليه السلام مع أمته،
ولا يحل له مخالفته
“Sebagian masyayikh berkata : ‘Sesungguhnya Al-Imaشm (Maalik) bagi orang yang berkomitmen taqlid kepada
madzhabnya seperti Nabi ‘alaihis-salaam terhadap umatnya. Tidak halal
baginya untuk menyelisihinya” [Tartiibul-Madaarik, 1/16. Disebutkan juga
oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar, 8/90].
Dan yang lainnya…. Ini
hanya contoh. Rahimhumullah…..
Comments
Posting Komentar