Menyikapi Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama



Para ulama ahli ushul fiqh berbeda pandangan tentang bagaimana penyikapan seorang awam terhadap perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan bahwa awam mengambil pendapat ulama yang ia pandang paling berilmu dan paling wara'. Ini adalah satu riwayat yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal, Ibnus-Suraij dari kalangan Syaafi'iyyah, dan mayoritas ulama ushul rahimahumullah. Ada yang mengatakan bahwa orang awam bebas memilih ulama siapa saja yang ia pandang pendapatnya sesuai dengan kebenaran; dan ini adalah pendapat sebagian Syaafi'iyyah dan Hanaabilah. Ada yang mengatakan hendaknya mengambil pendapat yang paling berat; ini adalah pendapat yang dihikayatkan dari Dhaahiriyyah. Sebaliknya, ada yang berpendapat agar mengambil pendapat paling mudah dan ringan. Dan ada pula yang berpendapat orang awam bertanya kepada setiap mujtahid/ulama dalil yang mereka pakai, lalu ia berusaha/berijtihad darinya dan beramal dengan pendapat yang rajih menurut penilaiannya. Ini adalah pendapat Ibnul-Qayyim dalam I'laamul-Muwaqqi'iin.

Maka,
Pertama, wajib bagi setiap orang berusaha mencari kebenaran, memohon petunjuk (kepada Allah ) agar dapat menerima, memahaminya, dan mengikutinya darimanapun kebenaran tersebut datang. Diriwayatkan dari Mu'aadz bin Jabal radliyallaahu 'anhu, ia berkata:
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ; وَإِنْ كَانَ كَافِرًا -أَوْ قَالَ فَاجِرًا- وَاحْذَرُوا زَيْغَةَ اَلْحَكِيمِ، قَالُوا: كَيْفَ نَعْلَمُ أَنَّ اَلْكَافِرَ يَقُولُ كَلِمَةَ الْحَقِّ؟ قَالَ: إِنَّ عَلَى اَلْحَقِّ نُورًا
"Terimalah kebenaran dari siapapun yang membawanya, meskipun dirinya orang kafir atau faajir. Dan waspadalah penyimpangan/kesalahan seorang yang bijak". Orang-orang bertanya : “Bagaimana kami bisa mengetahui orang kafir mengucapkan kalimat kebenaran?”. Mu’aadz berkata : “Sesungguhnya di atas kebenaran itu ada cahaya” [Dibawakan oleh Ibnu Taimiyyah[1] dalam Majmuu’ Al-Fataawaa 5/102].
Allah berfirman:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” [QS. Al-Baqarah : 213].
Dalam doa istiftah shalat malam, kita dianjurkan membaca doa agar diberikan petunjuk dan ditetapkan di atas kebenaran:
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Ya Allah, Rabb bagi Jibriil, Mikaaiil dan Israafiil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang menetapkan keputusan diantara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan. Berilah aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau itu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki untuk menuju jalan yang lurus” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 770].
Maksud perkataan ‘Berilah aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu’ adalah tetapkanlah aku di atas kebenaran sebagaimana firman Allah :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Berilah kami petunjuk pada jalan yang lurus” [QS. Al-Faatihah : 6].
Kedua, tidak ada seorang pun setelah Nabi yang kebenaran selalu ikut bersamanya dalam semua perkataan (fatwa) dan perbuatannya. Nabi bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Dalam permasalahan tawanan perang Badr, kebenaran ada pada perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang memberikan saran untuk membunuh mereka. Berbeda dengan saran Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa untuk menerima tebusan. Allah membenarkan perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan menurunkan Surat Al-Anfaal ayat 67-69.[2] Di lain waktu, kebenaran berada pada perkataan Abu Bakr daripada ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam permasalahan memerangi orang yang tidak menunaikan zakat. ‘Umar sendiri mengakui dengan perkataannya:
فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ، أَنَّهُ الْحَقّ
“Maka demi Allah, tidaklah hal itu dikatakannya kecuali Allah telah melapangkan dada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu aku pun mengetahuinya bahwa apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1400].
Apabila Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang dikatakan sebagai manusia terbaik[3] sepeninggal beliau tidak memegang otoritas kebenaran dalam seluruh ijtihad mereka, tentu manusia setelahnya lebih layak dikatakan demikian[4]. Mujaahid rahimahullah berkata :
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ ﷺ
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih].
Oleh karena itu, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
فالذي عليه الأئمة الأربعة وسائر أئمة العلم أنه ليس على أحد ولا شرع له التزام قول شخص معين في كل ما يوجبه ويحرمه ويبيحه إلا رسول الله ﷺ
“Dan pendapat/manhaj yang dipegang para imam yang empat dan seluruh ulama (yang diakui) bahwa tidak wajib dan tidak pula disyari’atkan bagi seseorang untuk menetapi pendapat ulama tertentu dalam semua yang diwajibkan, diharamkan, dan dibolehkannya; selain daripada Rasulullah …” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 3/328].
فإن أهل الحق والسنة لا يكون متبوعهم إلا رسول الله ﷺ الذي لا ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى فهو الذي يجب تصديقه في كل ما أخبر وطاعته في كل ما أمر وليست هذه المنزلة لغيره من الأئمة بل كل أحد من الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله فمن جعل شخصا من الأشخاص غير رسول الله من أحبه ووافقه كان من أهل السنة والجماعة ومن خالفه كان من أهل البدعة والفرقة كما يوجد ذلك في الطوائف من اتباع أئمة في الكلام في الدين وغير ذلك كان من أهل البدع والضلال والتفرق
“Sesungguhnya para pembela kebenaran dan sunnah (ahlul-haq was-sunnah) tidak mengikuti seseorang kecuali Rasulullah yang : ‘beliau tidak berkata-kata dengan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’ (QS. An-Najm : 3-4). Beliau adalah orang yang wajib dibenarkan setiap perkataannya dan wajib ditaati setiap perintahnya. Kedudukan ini tidaklah dimiliki oleh orang selain beliau dari kalangan para imam. Bahkan setiap orang dapat diambil dan dibuang perkataannya kecuali Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah dari kalangan orang yang mencintainya dan menyepakatinya sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul-Bida’ wal-Furqah sebagaimana  fenomena itu ditemui pada sebagian kelompok yang yang mengikuti para imam dalam fatwa-fatwa agama dan selainnya; maka ia lah yang justru termasuk Ahlul-Bida’ wadl-Dlalaal wal-Furqah (penyeru kebid’ahan, kesesatan, dan perpecahan)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/346-347].
Ketiga, hendaknya seseorang berusaha mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui dalil dan pendalilannya semampunya. Allah  berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].
Sikap mengikuti pendapat ulama dengan dalilnya merupakan ittibaa’ sebagaimana didefinisikan oleh sebagian ulama. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وقد فرق أحمد بين التقليد والاتباع، فقال أبو داود: سمعته يقول: الاتباع أن يتبع الرجلُ ما جاء عن النبي ﷺ وعن أصحابه، ثم هو مِن بعدُ في التابعين مخيَّر
"Ahmad (bin Hanbal) membedakan antara taqlid dan ittibaa'. Abu Daawud berkata : 'Ittibaa' adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya. Kemudian pendapat setelahnya dari kalangan taabi'iin boleh dipilih" [I'laamul-Muwaqqi'iin, 3/469. Lihat juga Masaailu Abi Daawud, hal. 276].
Ittibaa' menjadi tingkatan kedua antara taqliid dan ijtihaad[5]. Adapun taqlid didefinisikan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh oleh Asy-Syinqiithiy].
Seandainya kita bukan tergolong ulama – dan memang demikianlah keadaannya - , maka jadilah awam berkualitas yang senantiasa mengedepankan prinsip ittibaa’, mengikuti pendapat ulama dengan dalilnya.
Ibnu ‘Aun rahimahullah berkata:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلا لَزِمَ هَذَا الأَثَرَ، وَرَضِيَ بِهِ، وَإِنِ اسْتَثْقَلَهُ وَاسْتَبْطَأَهُ
“Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang tetap berpegang/berkomitmen pada atsar ini dan ridla terhadapnya, meskipun terasa berat dan menghambatnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 291; sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وقد نهى الأئمة الأربعة عن تقليدهم ، وذموا من أخذ أقوالهم بغير حجة
“Dan sungguh para imam empat melarang taqlid kepada mereka[6] dan mencela orang yang mengambil pendapat mereka tanpa hujjah” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/79].
Sehingga dikatakan para ulama,
 أقوال العلماء يُستدل لها ولا يستدل بها
“Perkataan ulama dipakai untuk penyokong dalil, bukan untuk berdalil itu sendiri”[7].
Keempat, setelah melihat dalil dan pendalilan perkataan ulama, maka ia berusaha untuk mentarjihnya sesuai dengan kemampuannya, manakah yang lebih kuat menurutnya dan lebih menentramkan hatinya untuk diikuti. Dalam hal ini, seorang muslim dengan ilmu[8] yang ia miliki (berapapun kadarnya), harus ia pergunakan untuk mengetahui kebenaran semampunya.
Atau jika tidak mampu, ia mentarjihnya dengan cara memilih ulama yang menurutnya paling berilmu, paling bertaqwa, dan paling wara’ dalam agamanya – dan kemudian mengambil pendapatnya untuk diamalkan/diikuti. Dan dalam permasalahan agama secara umum, ia boleh mencukupkan diri untuk bertanya/meminta fatwa kepada orang tersebut (yang paling ia percayai keilmuannya, amanahnya, taqwanya, dan kewaraannya) dan kemudian beramal dengan fatwanya; sebagai pengamalan firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
Asy-Syaathibiy rahimahullah mengatakan:
أما اختلافُ العلماء بالنسبة إلى المقلِّدين، فكذلك أيضًا، لا فرق بين مصادفة المجتهدِ الدليلَ، ومصادفة العاميِّ المفتيَ؛ فتعارُضُ الفتويَيْنِ عليه كتعارض الدليلينِ على المجتهد، فكما أن المجتهد لا يجوز في حقه اتباعُ الدليلين معًا، ولا اتباع أحدهما من غير اجتهاد ولا ترجيح، كذلك لا يجوز للعاميِّ اتباع المفتيَيْنِ معًا ولا أحدهما مِن غيرِ اجتهادٍ ولا ترجيح
"Adapun ikhtilaaf ulama yang dinisbatkan kepada para muqallid, maka demikian juga, tidak ada perbedaan antara pertemuan mujtahid dengan dalil dan pertemuan orang awam dengan mufti. Pertentangan dua fatwa bagi orang awam seperti halnya pertentangan dua dalil bagi seorang mujtahid. Sebagaimana seorang mujtahid tidak boleh mengikuti dua dalil (yang bertentangan) sekaligus dan tidak mengikuti salah satunya tanpa ijtihad dan tarjih; begitu pula tidak diperbolehkan bagi orang awam mengikuti (fatwa) dua orang mufti sekaligus dan tidak memilih satu diantaranya tanpa ijtihad dan tarjih" [Al-Muwafaqaat, 5/77].
Al-Khathiib Al-Baghdaadiy rahimahullah membawakan riwayat:
أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلَفِ بْنُ بُخَيْتٍ الْعُكْبَرِيُّ، أَخْبَرَنَا جَدِّي، قَالَ: قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرُ بْنُ أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ تَقُولُ فِي الْمُسْتَفْتِي مِنَ الْعَامَّةِ إِذَا أَفْتَاهُ الرَّجُلانِ وَاخْتَلَفَا فَهَلْ لَهُ التَّقْلِيدُ؟ قِيلَ لَهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ هَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِذَا كَانَ الْعَامِّيُّ يَتَّسِعُ عَقْلُهُ، وَيَكْمُلُ فَهْمُهُ إِذَا عَقَلَ أَنْ يَعْقِلَ، وَإِذَا فَهِمَ أَنْ يَفْهَمَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ الْمُخْتَلِفِينَ عَنْ مَذَاهِبِهِمْ عَنْ حُجَجِهِمْ، فَيَأْخُذُ بِأَرْجَحِهِمَا عِنْدَهُ،
فَإِنْ كَانَ عَقْلُهُ لَمْ يَنْقُصْ عَنْ هَذَا، وَفَهْمُهُ لا يَكْمُلُ لَهُ، وَسِعَهُ التَّقْلِيدُ لأَفْضَلِهِمَا عِنْدَهُ وَقِيلَ: يَأْخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُفْتِينَ، وَهُوَ الْقَوْلُ الصَّحِيحُ ؛ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الاجْتِهَادِ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْلِ عَالِمٍ ثِقَةٍ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ، فَوَجَبَ أَنْ يكفيه
Telah menceritakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Khalaf bin Bukhait Al-‘Ukbariy : Telah mengkhabarkan kepada kami kakekku, ia berkata : Telah berkata Abu ‘Abdillah Az-Zubair bin Ahmad Az-Zubairiy : Apabila ada orang berkata : “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang meminta fatwa dari masyarakat awam, apabila ada dua orang ulama memberikan fatwa kepadanya yang ternyata fatwa masing-masing berbeda. Apakah boleh baginya taqlid ?”. Maka katakan kepadanya : InsyaAllah, dalam permasalahan ini ada 2 kondisi:
Pertama, jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna pemahamannya, yang seandainya ia berpikir (sesuatu) akan mengetahui, dan seandainya ia memahami (sesuatu) akan paham; maka dirinya wajib untuk bertanya kepada orang lain pendapat mereka dan hujjah mereka (tentang jawaban dua mufti tersebut), lalu ia mengambil yang paling kuat (rajih) di antara keduanya.
(Kedua) apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang lebih utama diantara dua mufti tersebut (menurutnya). Dikatakan : orang tersebut bebas mengambil/memilih fatwa dua orang mufti itu. Ini (pun) pendapat yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang 'alim yang terpercaya (menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih no. 1220].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لكن منهم من يقول على المستفتى ان يقلد الأعلم الأروع ممن يمكنه إستفاؤه ومن هم من يقول بل يخير بين المفتين واذا كان له نوع تمييز فقد قيل يتبع أى القولين أرجح عنده بحسب تمييزه فان هذا أولى من التخيير المطلق وقيل لا يجتهد الا اذا صار من أهل الإجتهاد والأول اشبه فاذا ترجح عند المستفتى أحد القولين إما لرجحان دليله بحسب تمييزه وأما لكون قائله أعلم وأروع فله ذلك وان خالف قوله المذهب
“Akan tetapi diantara ulama ada yang berpendapat bahwa bagi orang yang meminta fatwa agar bertaqlid kepada ulama yang dianggap paling berilmu dan wara' yang paling memungkinkan ia mintai fatwanya. Diantara mereka ada yang berpendapat, boleh baginya untuk memilih manapun pendapat dari dua mufti/ulama tersebut. Namun apabila orang tersebut memiliki kemampuan/kapasitas, maka dikatakan dirinya mengikuti pendapat manapun yang paling rajih menurutnya sesuai dengan kemampuannya, karena ini lebih baik daripada (pendapat yang menyatakan) memilih secara mutlak. Dikatakan : seseorang tidak boleh berijtihad kecuali dirinya telah menjadi ahli ijtihad. Namun pendapat pertama yang lebih benar. Maka apabila orang yang meminta fatwa merajihkan salah satu diantara dua pendapat yang ada, baik karena kekuatan dalilnya sesuai dengan yang ia pahami, atau karena ulama yang menyatakannya ia anggap lebih berilmu dan lebih wara'; maka ia ambil pendapat itu meskipun menyelisihi madzhab (yang ia pegang)" [Majmuu' Al-Fataawaa, 33/168].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mempertimbangkan agar mengambil perkataan ulama yang paling berilmu sebagai pendapat kelima, mengambil perkataan ulama yang paling wara’ sebagai pendapat keenam, dan menambahkan pendapat ketujuh bahwa wajib bagi orang awam untuk mempelajari dan membahas mana yang paling kuat sesuai kemampuannya; dan selanjutnya beliau (Ibnul-Qayyim) rahimahullah merajihkan pendapat terakhir ini dengan perkataannya:
فيعمل، كما يعمل عند اختلاف الطريقين، أو الطبيبين، أو المشيرين
“Maka ia beramal sebagaimana ia beramal ketika terdapat perbedaan dua jalan, dua dokter, atau dua penunjuk” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 6/205].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
إذا كان المسلم عنده من العلم ما يستطيع به أن يقارن بين أقوال العلماء بالأدلة ، والترجيح بينها ، ومعرفة الأصح والأرجح وجب عليه ذلك ، لأن الله تعالى أمر برد المسائل المتنازع فيها إلى الكتاب والسنة ، فقال : (فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) النساء/59. فيرد المسائل المختلف فيها للكتاب والسنة ، فما ظهر له رجحانه بالدليل أخذ به ، لأن الواجب هو اتباع الدليل ، وأقوال العلماء يستعان بها على فهم الأدلة
وأما إذا كان المسلم ليس عنده من العلم ما يستطيع به الترجيح بين أقوال العلماء ، فهذا عليه أن يسأل أهل العلم الذين يوثق بعلمهم ودينهم ويعمل بما يفتونه به ، قال الله تعالى : ( فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء/43 . وقد نص العلماء على أن مذهب العامي مذهب مفتيه
“Apabila seorang muslim memiliki ilmu untuk membandingkan pendapat para ulama dengan dalil-dalilnya, mentarjihnya, serta mengetahui mana yang lebih shahih dan lebih kuat, wajib baginya untuk melakukannya. Karena Allah ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman : ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisaa’ : 59). Maka ia mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang nampak baginya lebih kuat berdasarkan dalil, ia ambil pendapat tersebut. Karena wajib baginya untuk mengikuti dalil, sedangkan pendapat ulama dipergunakan untuk memahami dalil.
Adapun jika seorang muslim tidak memiliki ilmu yang dengannya ia mampu melakukan tarjih diantara pendapat para ulama, dalam hal ini wajib baginya bertanya kepada ulama yang ia percayai keilmuannya dan agamanya, lalu ia mengamalkan fatwanya. Allah ta’ala berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43]. Dan ulama telah menegaskan bahwa madzhab orang awam adalah madzhab orang/mufti yang memberikan fatwa kepadanya” [Al-Ikhtilaafu bainal-'Ulamaa, Asbaabuhu wa Mauqifuna minhu, hal. 23].
Asy-Syaikh Sulaimaan Maajid hafidhahullah berkata saat menyimpulan permasalahan sikap orang awam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
وبكل حال، فالأرجح ما ذهب إليه شيخ الإسلام ابن تيمية، وتلميذه ابن القيم، وهو أن العامي إذا اختلفت عليه الفتوى، فإنه يجتهد حسب تمييزه، ويتقي الله حسب استطاعته، فإن ترجح له قول أحد المفتين لكونه الأعلم الأورع، أخذ بفتواه. فإن استويا في العلم والورع، أو شق عليه معرفة الأعلم منهما، ولكن ما استدل به أحدهما أقوى في الحجة وظهور الدليل مما استدل به الآخر، أخذ به، أو كانت نفسه تسكن لفتيا أحدهما، ويطمئن لها قلبه، دون فتيا الآخر، أخذ بهذا المرجح، وكذا لو ترجح له قول أحدهما، لكثرة من أفتى به من أهل العلم، أخذ به
“Maka, yang rajih adalah pendapat yang dipegang Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul-Qayyim. Yaitu, orang awam apabila menghadapi perselisihan dua fatwa, maka ia berusaha (memilih pendapat yang paling kuat) sesuai kapasitasnya dan bertaqwa kepada Allah sesuai kemampuannya pula. Apabila ia merajihkan pendapat salah seorang mufti/ulama berdasarkan pertimbangan ulama tersebut dianggap paling berilmu dan paling wara’, maka ia ambil fatwanya. Namun apabila keduanya sama dalam ilmu dan kewara’annya; atau dirinya merasa kesulitan untuk mengetahui mana yang lebih berilmu dari keduanya, namun hujjah dan penampakan dalil salah satu mufti/ulama lebih kuat daripada yang lain, maka ia ambil pendapat tersebut. Atau dirinya lebih mantap dan hatinya lebih tenang dengan salah satu fatwa mufti tersebut, maka ia ambil pendapat yang dianggapnya lebih kuat tersebut. Begitu juga seandainya ia merajihkan pendapat salah satu diantara mufti dikarenakan banyaknya ulama yang berfatwa serupa, ia ambil pendapat tersebut” [sumber : https://www.salmajed.com/node/11092].
Inti perkataan para ulama di atas satu, tarjih seseorang akan berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya[9], dan banyak faktor yang melatarbelakangi. Sebagai penuntut ilmu – atau orang awam - , tentu kita dapat merasakannya. Kadang penuntut ilmu melakukan penelaahan dalam sebagian permasalahan dengan dalilnya, namun tidak pada permasalahan yang lain sehingga ia langsung mengambil pendapat ulama yang paling ia percayai dalam hal tersebut. Ada juga orang yang benar-benar awam tidak memiliki ilmu sehingga ia hanya mengambil fatwa orang yang ia mintai fatwa dan beramal dengannya.
Kelima, haram hukumnya apabila seseorang telah mengetahui kebenaran ada pada diri seorang ulama karena hujjah/dalil yang dibawakannya, namun ia meninggalkannya dengan mengambil pendapat ulama lain yang lebih ia idolai. Ini adalah fanatik yang sangat tercela[10].
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Al-Ma'shuumiy menukil perkataan Asy-Syaafi'iy rahimahumallah:
من قلَّد معيَّنًا في تحريم شيء أو تحليله، وقد ثبت الحديث على خلافه، ومنعه التقليد عن العمل بالسنة، فقد اتخذ من قلَّده ربًّا من دون الله تعالى، يحل له ما حرم الله، ويحرم عليه ما أحل الله
“Barangsiapa yang bertaqlid kepada seseorang dalam pengharaman atau penghalalan sesuatu, dimana ia mengetahui ada hadits menyelisihinya, sehingga sikap taqlid itu menghalanginya untuk beramal sesuai dengan sunnah; sungguh ia telah mengambil orang yang ditaqlidinya itu sebagai Rabb selain Allah ta’ala, yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah” [Hadiyyatu Sulthaan, hal. 69 - https://al-maktaba.org/book/33062/45].
Allah berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" [QS. At-Taubah : 31].
Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah mereka (orang-orang Nashara) menyembah (shalat) kepada mereka (para pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah menjawab:
لا، وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
Tidak, akan tetapi mereka (para pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan mereka (para pendeta/rahib) mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab itu para pendeta/rahib itu seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya no. 1073, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal no. 258-259; shahih].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
لو خالف العبد جميع الخلق و اتبع الرسول ما سأله الله عن مخالفة أحد فإن من يطيع أو يطاع إنما يطاع تبعا للرسول
“Seandainya seorang hamba menyelisihi seluruh manusia (di muka bumi) namun ia mengikuti Rasul , maka Allah tidak akan bertanya tentang penyelisihannya terhadap seseorang. Karena sesungguhnya siapa saja yang mentaati atau ditaati, maka orang tersebut ditaati karena mengikuti Rasul " [Majmuu' Al-Fataawaa, 16/529].
Wallaahu a'lam.
[abul-jauzaa’ – 27012020].


[1]    Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakannya secara makna dan ringkas. Abu Daawud membawakan riwayat tersebut sebagai berikut:
عَنْ يَزِيْدِ بْنِ عُمَيْرَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: " كَانَ لَا يَجْلِسُ مَجْلِسًا لِلذِّكْرِ حِينَ يَجْلِسُ، إِلَّا قَالَ: اللَّهُ حَكَمٌ قِسْطٌ هَلَكَ الْمُرْتَابُونَ، فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يَوْمًا إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا يَكْثُرُ فِيهَا الْمَالُ وَيُفْتَحُ فِيهَا الْقُرْآنُ حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ: مَا لِلنَّاسِ لَا يَتَّبِعُونِي وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ، فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ، وَأُحَذِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيمِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيمِ، وَقَدْ يَقُولُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ، قَالَ: قُلْتُ لِمُعَاذٍ: مَا يُدْرِينِي رَحِمَكَ اللَّهُ؟ أَنَّ الْحَكِيمَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ وَأَنَّ الْمُنَافِقَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الْحَقِّ، قَالَ: بَلَى اجْتَنِبْ مِنْ كَلَامِ الْحَكِيمِ الْمُشْتَهِرَاتِ الَّتِي يُقَالُ لَهَا مَا هَذِهِ، وَلَا يُثْنِيَنَّكَ ذَلِكَ عَنْهُ فَإِنَّهُ لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ، وَتَلَقَّ الْحَقَّ إِذَا سَمِعْتَهُ فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُورًا "
Dari Yaziid bin ‘Umairah – dan ia adalah salah seorang sahabat Mu’aadz bin Jabal - , ia berkata : Mu'aadz bin Jabal tidak pernah duduk dalam sebuah majlis kecuali selalu mengucapkan : “Allah Maha Bijak, Allah Maha Adil, dan celakalah orang-orang yang merasa ragu”. Suatu hari Mu'aadz berkata : “Di belakang kalian akan terjadi fitnah, harta semakin melimpah, Al-Qur’an akan muda dibaca oleh siapa saja, baik orang mukmin, munafik, laki-laki, wanita, anak kecil, orang dewasa, budak, maupun orang merdeka. Hingga ada seseorang berkata : ‘Mengapa orang-orang tidak mengikutiku, padahal aku telah membaca Al-Qur'an! Sungguh, mereka tidak akan mengikuti kecuali jika aku melakukan kebid'ahan’. Maka berhati-hatilah kalian dari bid'ah, sesungguhnya bi'dah itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian agar berhati-hati dari penyimpangan orang yang bijak, sebab setan kadang mengucapkan kalimat kesesatan (kebathilan) melalui lisan orang bijak tersebut. Dan sungguh, kadang orang munafik mengucapkan kalimat yang benar”. Yazid berkata : Aku bertanya kepada Mu'aadz : "Bagaimana aku bisa tahu - semoga Allah merahmatimu – bahwa kadang seorang bijak mengatakan kalimat kesesatan sedangkan orang munafik mengatakan kalimat yang benar””. Ia (Mu’aadz) menjawab : "Tentu. Maka jauhilah perkataan orang bijak yang masyhur akan kebatilannya sehingga orang-orang bertanya : ‘apa ini-apa ini’. Janganlah hal itu memalingkanmu dari jalan yang lurus. Karena mungkin orang bijak tersebut rujuk dari perkataannya. Dan terimalah kebenaran apabila engkau mendengarnya, karena sesungguhnya di atas kebenaran ada cahaya”.
Az-Zuhriy berkata dalam riwayat lain tentang jawaban Mu’aadz :
بَلَى مَا تَشَابَهَ عَلَيْكَ مِنْ قَوْلِ الْحَكِيمِ حَتَّى تَقُولَ مَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْكَلِمَة
“Tentu. Perkara yang tersamar olehmu dari perkataan orang bijak tersebut, hingga engkau berkata : ‘Apa yang dimaksudkan dengan perkataan ini ?” [Sunan Abi Daawud no. 3998; shahih].
[2]    Sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam Shahiih-nya no. 1763.
[3]    Sebagaimana hadits:
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Telah menceritakan kepada kami Mua’llaa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata : Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’ dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 3662].
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Kami memilih-milih orang terbaik di antara manusia pada jaman Nabi . Dan kami pun memilih (yang terbaik tersebut) adalah Abu Bakr, kemudian 'Umar bin Al-Khaththaab, kemudian 'Utsmaan bin 'Affaan radliyallaahu 'anhum" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3655].
[4]    Ya benar, apalagi saya, ustadz saya, dan ulama kontemporer yang sering saya nukil pendapatnya.
NB : Catatan kaki no. 4 ini ditulis sebelum terlontar kalimat sinis : “Apalagi ente dan guru ente”. Dianggapnya (atau halusinasinya ?), dengan mengatakan kalimat tersebut di atas sama dengan melecehkan para ulama kita terdahulu. Allaahul-musta’aan.
Njur terus piye jal kudu ngomonge ambek dheweke ?.
[5]    Ulama lain menyamakan antara taqlid dan ittibaa’. Perbedaan pembagian ini tidak terlalu esensial karena bagaimanapun juga, orang yang mengikuti pendapat ulama dengan dalilnya tentu lebih baik daripada sekedar tahu teks pendapatnya saja. Dalil adalah ilmu yang mendasari sebuah pendapat, sehingga apabila seseorang mengambil sebuah pendapat ulama beserta dalil/pendalilannya, dapat menghasilkan keyakinan yang lebih kuat daripada sekedar mengamalkan pendapat saja (tanpa tahu dalilnya).
[6]    Taqlidnya orang awam kepada ulama diperbolehkan berdasarkan ijmaa’. Akan tetapi maksud perkataan ini adalah dorongan agar setiap orang mengambil pendapat dengan dalilnya, wallaahu a’lam.
[7]    Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dalil secara dzaatiyyah. Oleh karena itu ketika seseorang ditanya : ‘Apa dalilmu tentang hal tersebut?’, maka ia tidak boleh menjawab : “Dalilku adalah perkataan ulama Fulaan dan ‘Alaan”. Perkataan ulama tidak boleh dijadikan dalil independent secara dzatnya. Pendapat mereka hanyalah hujjah yang bersifat taba’iyyah, sehingga pendapat mereka tidak menjadi hujjah  dengan sendirinya kecuali apabila Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.
Silakan simak muhaadlarah Asy-Syaikh Waliid bin Raasyid As-Sa’iidaan hafidhahullah berikut:

Juga muhaadlarah Asy-Syaikh Muhammad bin Ramzaan Al-Haajiriy hafidhahullah:

[8]    Maksudnya, ilmu yang tergolong maqshuudun li-ghairihi seperti ushul-fiqh, mushthalah hadits, ushul tafsir, nahwu-sharaf, balaaghah, dan semisalnya. Ilmu yang digunakan sebagai sarana untuk menggapai tujuan, yaitu hakikat kebenaran dan menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan kepada hamba-Nya.
[9]    Seandainya pembagian orang disimplifikasi menjadi dua, mujtahid dan awam, pembagian ini hanya memudahkan dalam penggambaran/pemahaman. Padahal, orang awam yang statusnya bukan mujtahid bertingkat-tingkat, sebagaimana bertingkatnya mujtahid. Ada yang sama sekali tidak memiliki ilmu, ada yang sedikit ilmu, ada yang lebih banyak, ada yang di atasnya, dan seterusnya hingga level penuntut ilmu yang belum mencapai tingkatan mujtahid. Awam non-mujtahid lulusan pesantren tentu berbeda dengan anak ABG yang tidak tahu apa-apa. Jika kita buat skala yang paling tinggi adalah 100 (seratus) untuk ulama dan 0 (nol) untuk orang awam yang paling bodoh, maka ada orang-orang yang berada diantara skala 0 sampai 100. Masing-masing mereka mempunyai kemampuan dan tanggung jawab berbeda-beda. Tidak boleh disamakan asal gebyah uyah, yang bukan mujtahid maka statusnya awam wajib taqlid total nggak boleh mikir seperti anak ABG tadi.
Gunanya orang yang belajar/menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Diantara esensi belajar ilmu ushul-fiqh adalah agar seseorang mampu memilih yang terbaik bagi dirinya untuk diamalkan. Dalam Syarh Al-Waraqaat oleh Asy-Syaikh Ahmad bin 'Abdillah bin Humaid hafidhahullah, beliau menyampaikan:
الحقيقة دراسة علم الأصول ليست خاصة بالمجتهد، بل يستفيد منها طالب العلم في الترجيح وإدراك القول الراجح بناء على ما عرف من قواعد أصولية فليست خاصة بالمجتهد
“Hakikatnya, pelajaran ilmu ushul bukan kekhususan bagi seorang mujtahid. Akan tetapi itu juga bermanfaat bagi penuntut ilmu dalam rangka mentarjih dan mendapatkan perkataan/pendapat yang rajih yang didasarkan atas apa yang diketahuinya dari kaidah-kaidah ushuliyyah. Maka itu bukan kekhususan seorang mujtahid…”.
[10]   Beberapa atsar kefanatikan madzhab banyak ternukil dari beberapa ulama kita sebelumnya. Seperti misal perkataan Al-Juwainiy Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
نحن ندعي أنه يجب على كافة العاقلين وعامَّة المسلمين شرقًا وغربًا بعدًا وقربًا انتحال مذهب الشافعي، ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضًا انتحال مذهبه، بحيث لا يبغون عنه حِوَلًا، ولا يريدون به بدَلًا
“Kami mengajak bahwa wajib bagi seluruh orang-orang yang berakal dan kebanyakan kaum muslimin, baik di timur dan di barat, jauh dan dekat, untuk menganut madzhab Asy-Syaafi’iy. Dan wajib bagi orang-orang awam biasa dan orang-orang yang bodoh untuk menganut madzhabnya (Asy-Syaafi’iy), dan sekiranya mereka tidak mencari yang lain” [Mughiitsul-Khalq, hal. 16].
Fakhrur-Raaziy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
القول بأن قول الشافعي أخطأ في مسألة كذا إهانة للشافعي القرشي وإهانة قريش غير جائزة فوجب ألا يجوز القول بتخطئته في شيء من المسائل
“Perkataan bahwasannya perkataan Asy-Syaafi’iy dalam satu permasalahan keliru merupakan penghinaan terhadap Asy-Syaafi’iy Al-Qurasyiy, sedangkan penghinaan terhadap Quraisy tidak boleh. Maka wajib untuk tidak membolehkan perkataan yang menyalahkan beliau dalam permasalahan-permasalahan sedikitpun” [Al-Imaam Asy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu, hal. 219].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl Al-Maalikiy rahimahullah menukil:
فقد قال بعض المشائخ: إن الإمام لمن التزم تقليد مذهبه كالنبي عليه السلام مع أمته، ولا يحل له مخالفته
“Sebagian masyayikh berkata : ‘Sesungguhnya Al-Imaشm (Maalik) bagi orang yang berkomitmen taqlid kepada madzhabnya seperti Nabi ‘alaihis-salaam terhadap umatnya. Tidak halal baginya untuk menyelisihinya” [Tartiibul-Madaarik, 1/16. Disebutkan juga oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar, 8/90].
Dan yang lainnya…. Ini hanya contoh. Rahimhumullah…..

Comments