Allah
ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman” [QS. Al-Maaidah : 57].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ
أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
Dua
ayat ini – dan juga beberapa ayat lain yang semisal – melarang kita mengambil
pemimpin (bagi kaum muslimin) dari kalangan orang kafir dan orang-orang yang
buruk agamanya. Kita mesti mengambil/memilih – sesuai batas kemampuan kita –
pemimpin yang baik dan shalih dari kaum muslimin. Jika tidak ada yang mendekati
sempurna, maka di bawahnya, atau di bawahnya dan seterusnya sesuai kondisi.
Mengapa
? Pemimpin yang jelek dapat mempengaruhi orang yang dipimpin untuk mengikuti
kejelekannya, sebagaimana Allah ﷻ
berfirman tentang Fir’aun:
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ
كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Maka
Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya.
Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik” [QS. Az-Zukhruf : 54].
Ath-Thabariy
rahimahullah menjelaskan:
فاستخفّ فرعون خلقا من قومه من القبط،
بقوله الذي أخبر الله تبارك وتعالى عنه أنه قال لهم، فقبلوا ذلك منه فأطاعوه،
وكذّبوا موسى
“Maka
Fir’aun mempengaruhi sebagian kaumnya dari suku Qibthi dengan perkataannya -
sebagaimana yang difirmankan Allah tabaraka wa ta’ala tentangnnya bahwa ia
(Fir’aun) berkata kepada kaumnya (yaitu : ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi’
– Pent.) - , lalu mereka pun menerima perkataan
Fir’aun tersebut serta mentaatinya, dan kemudian mendustakan Musa” [Tafsiir
Ath-Thabariy, 21/621].
Oleh
karena itu, seorang wanita ketika hendak menikah harus memilih calon suami yang
shalih, karena ia akan menjadi pemimpin yang menahkodai biduk rumah tangganya
kelak.
عَنْ سَلَمَة بْن سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ
رَجُلٌ لِلْحَسَنِ: إِنَّ عِنْدِي ابْنَةً لِي وَقَدْ خُطِبَتْ إِلَيَّ فَمَنْ
أُزَوِّجُهَا؟ قَالَ: زَوِّجْهَا مَنْ يَخَافُ اللَّهَ، فَإِنْ أَحَبَّهَا أَكْرَمَهَا،
وَإِنْ أَبْغَضَهَا لَمْ يَظْلِمْهَا
Dari
Salamah bin Sa’iid, ia berkata : Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan :
“Sesungguhnya aku memiliki seorang anak perempuan dan ia telah dipinang (oleh
beberapa orang). Siapakah orang yang layak aku nikahkan dengannya ?”. Al-Hasan
menjawab : “Nikahkanlah anak perempuanmu dengan orang yang takut kepada Allah.
Jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Dan jika ia membencinya, maka
ia tidak akan mendhaliminya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-‘Iyaal
no. 125].
Begitu
pula dengan memilih pemimpin yang lain, dipilih yang baik atau paling baik.
Itulah
esensi perkataan Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah:
لو كانت لي دعوة مستجابة ما جعلتها إلا في
السلطان. قيل له: يا أبا عليٍّ: فسِّر لنا هذا؟. قال: إذا جعلتها في نفسي لم
تَعْدُني، وإذا جعلتها في السلطان صَلُح، فصَلُحَ بصلاحه العباد والبلاد
“Seandainya
aku mempunyai doa mustajab (dikabulkan oleh Allah), tidak akan aku tujukan doa
itu kecuali untuk penguasa/sulthaan”. Dikatakan kepadanya : “Wahai Abu ‘Aliy,
jelaskankan hal ini kepada kami”. Ia (Fudlail) berkata : “Apabila aku tujukan
doa itu hanya untuk diriku, maka tidak akan melampauiku (hanya untukku –
Pent.). Namun apabila aku tujukan doa itu kepada sulthan lalu ia menjadi baik,
maka manusia dan negeri akan menjadi baik dengan kebaikan yang ada padanya”
[Diriwayatkan oleh Al-Barbahaariy dalam Syarhus-Sunnah no. 136 hal.
116-117; shahih. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad, 1/176].
Pemimpin
yang baik dapat menjadi sebab rakyat yang dipimpin menjadi baik, sebagaimana
sebaliknya, pemimpin yang buruk dapat menjadi sebab rakyat yang dipimpin
menjadi buruk seperti Fir’aun dalam ayat yang telah dikutip di atas.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– 17 Rabi’uts-Tsani 1441].
Comments
Posting Komentar