Pertanyaan :
"Sesungguhnya kebiasaan di negeri kami adalah para wanita pergi berbelanja
memenuhi kebutuhan di pasar tanpa mengenakan hijab. Dan kami tahu bahwa
perbuatan tersebut diharamkan. Akan tetapi kami tidak sanggup untuk mengupah
pembantu untuk pergi berbelanja memenuhi kebutuhan dikarenakan kefakiran kami.
Dan kami - para laki-laki - pun tidak mampu berbelanja untuk memenuhi
kebutuhan. Kami khawatir terhadap para wanita kami apabila mereka keluar dengan
hijab islamiy, orang-orang kafir akan mengganggu mereka dengan berbagai
fitnah dan kedhaliman. Karena kami adalah kaum muslimin yang senantiasa sangat
sedikit jumlahnya dan sangat lemah".
Jawab:
ليس ما ذكرته عذرا في خروج المرأة إلى
الأسواق بدون حجاب، وعليها إذا دعت الحاجة للخروج ألا تخرج إلا متحجبة، وإذا أمكن
عدم خروجها أو خروج محرمها معها فهو أولى.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد
وآله وصحبه وسلم
"Apa
yang engkau sebut itu bukan udzur bolehnya wanita keluar ke pasar tanpa
mengenakan hijab. (Tetap) wajib bagi mereka apabila memang ada kebutuhan untuk
keluar (rumah), untuk mengenakan hijab. Apabila memungkinkan bagi wanita itu
untuk tidak keluar rumah atau mereka (wanita) keluar bersama mahramnya, maka
itu lebih utama.
Wabillaahit-taufiiq,
wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Fataawaa
Al-Lajnah Ad-Daaimah, 17/276-277 - https://goo.gl/mPQwbr].
Atau
dengan bahasa mudah sesuai dengan konteks yang ditanyakan, tidak ada udzur bagi
si penanya untuk membiarkan wanita mereka keluar tanpa hijab meski dengan
alasan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tetap wajib mengenakan hijab, karena
mereka telah mengetahui hukumnya.
Dan
begitulah keumuman jawaban yang diberikan ulama Lajnah Daaimah seputar ruang
membuka hijab/jilbab, tidak ada dispensasi bagi si penanya.
Senada
dengannya adalah fatwa yang tertulis di situs islamweb ketika menanggapi (salah
satu) pertanyaan apakah boleh melepaskan hijab dengan alasan si suami suka
wanita cantik, sedangkan wanita yang mengenakan hijab (dianggap) tidak cantik.
Dijawab:
وأما خلعه من أجل الزواج فلا يجوز ولا يعد
ذلك عذراً، فإن الحجاب ليس نافلة أو تطوعا يمكن تركه لأي سبب، بل هو واجب وفرض على
المسلمة أن تحافظ عليه كمحافظتها على باقي فروض وواجبات دينها
"Adapun
melepaskan hijab dengan sebab pernikahan, tidak terhitung sebagai udzur, karena
hijab bukan perkara nafilah atau tathawwu' yang memungkinkan
untuk meninggalkannya dengan sebab apapun. Bahkan itu merupakan kewajiban dan
fardlu bagi seorang muslimah untuk menjaganya sebagaimana penjagaannya terhadap
kewajiban-kewajiban agama yang lain......" [Islamweb].
Begitu
pula ketika kita menasihati istri dan anak perempuan kita yang telah baligh
agar mereka berhijab, maka kita boleh untuk mengatakan katakan : "Tidak
ada udzur bagimu untuk tidak berhijab". Ini dalam rangka menekankan dengan
sangat agar mereka melaksanakan perintah ini. Sama seperti nasihat Ustadz Yazid
Jawwas hafidhahullah dalam jeda Rodja di bawah:
Konteks
pembicaraan Ustadz Yazid di atas – ketika mengatakan ‘Setiap wanita tidak
ada udzur untuk tidak memakai busana muslimah’ – adalah peringatan tidak
boleh bagi wanita muslimah tidak berbusana muslimah. Haram hukumnya membuka
aurat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengenakan busana muslimah
karena Allah lah – Rabb yang menciptakan kita – yang memerintahkannya.
Cukup
mudah untuk dipahami.
Namun
tiba-tiba datanglah orang-orang antah berantah yang menyambungkan
perkataan Ustadz Yazid Jawas di atas dengan permasalahan udzur kejahilan. Apa lagi kalau bukan produk lawakan dari Ustadz Jafar Shalih, semoga Allah memberikan
petunjuk bagi kita dan dirinya. Kawanan beliau ini membikin video dengan framing:
Meninggalkan Jilbab
: Tidak ada udzur
Meninggalkan Tauhid
(Kesyirikan) : Diberi Udzur
Hawken-yududet
bro ? Apakah Anda kehabisan bahan banyolan untuk acara standup comedy pekanan
Anda ?.
Jika
tauhid yang dibicarakan dalam konteks pembicaraan seperti di atas, tentu kita akan
katakan ‘tidak diberi udzur’. Maksudnya, wajib semua orang untuk bertauhid. Tidak
boleh bagi seorang pun yang hidup di permukaan bumi ini untuk tidak bertauhid. Masak ada orang ngaji akan mengatakan 'boleh tidak bertauhid'. Ya harus bertauhid dong !!
Tapi
lihatlah skenario drama Anda bro,… Setelah Anda bawakan masalah jilbab, Anda lalu cuplik video Ustadz Yazid ketika
membacakan pertanyaan jama’ah : “Bagaimana tentang orang yang melakukan
kesyirikan, apakah dia dikatakan kafir keluar dari iman ?” - berikut jawabannya.
Apakah
pembandingan konteks pembicaraan ini apple to apple dengan sebelumnya ?.
Hanya sebegitukah dirimu mengajarkan pemahaman pada anak buahmu bro ?.
Ya Allah, betapa besar musibah yang menimpa murid-muridmu jika pemahamanmu
parkir di level itu.[1]
Kemudian
Ustadz Yazid hafidhahullah menjawab (saya cuplik sebagiannya saja) :
“Ya
dilihat… Orang yang melakukan kesyirikan ada yang memang karena kebodohan,
kejahilan. Maka harus ada iqaamatul-hujjah. Tegakkan hujjah. Karena dijelaskan
para ulama, bahwa syarat seseorang dikatakan kafir atau dia musyrik atau dia
keluar dari Islam, itu ada syuruth (syarat-syarat)-nya, dan intifaaul-mawaani’.
Ada syaratnya, dan ada penghalangnya. Bisa jadi dia melakukannya karena
kebodohan. Bisa jadi dilakukan karena terpaksa. Atau karena ikut-ikutan. Atau
yang lainnya. Maka yang seperti ini tidak langsung dikafirkan menurut para
ulama…….”.
Kemudian
beliau (Ustadz Yazid hafidhahullah) menyebutkan contoh dan dalilnya.
Setelah
itu dibacakan pertanyaan kedua :
“Ada
juga pertanyaan yang hampir sama. Bagaimana kalau seseorang mengucapkan kalimat
kekufuran atau kesyirikan karena kejahilan, karena tidak sadar. Ya masuk kepada
tadi… Jadi tidak (langsung) dikafirkan. Jadi omongan kufur atau perbuatan kufur
tidak langsung dikatakan orangnya kafir…….dst.”.
Drama
Ustadz Ja’far Shalih dan rekan-rekannya – semoga Allah memberikan hidayah bagi
kita dan mereka – dilanjutkan dengan skenario editan videonya yang menampilkan caption:
Pertanyaan
mengganjal :
Apakah posisi jilbab
sudah lebih penting dari tauhid ?
sehingga pelanggaran
dalam tidak memakai busana muslimah tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan
sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Lalu hadits shahabat
yang sujud kepada Nabi tapi tidak dikafirkan bagaimana ?
Silakan minta
ustadz-ustadz antum untuk membacakan kitab
: “Subulus-Salam Syarah Nawaqidhul-Islam” karya Syaikh Bin Baaz
Kemudian
skenario editing video beralih kepada fatwa Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah
yang terpilih untuk ditampilkan menguatkan konsensus yang dipegang
jama’ah Ustadz Ja’far Shalih.
Sedikit
tanggapan:
1.
Ustadz Ja’far Shalih
bersama tim editing videonya kurang lihai dalam penyamaan dua kasus yang
berbeda. Fallacy.
Saya
kira terlalu jelas konteks masalah jilbab.[2]
Seandainya konteks bahasan jilbab disesuaikan dengan alur skenario yang
diinginkan Ustadz Ja’far dan krunya, pertanyaan yang mungkin muncul adalah : “Apakah
berdosa orang yang tidak mengenakan jilbab karena ketidaktahuan/kejahilannya
?”. Insya Allah jawaban Ustadz Yazid hafidhahullah sama dengan Ustadz Ja’far,
karena saya pikir Ustadz Yazid tidak lebih bodoh daripada Ustadz Ja’far dan
krunya. Terlebih melihat kasus ini, saya menjadi semakin yakin.
2.
Apakah salah yang
dikatakan Ustadz Yazid Jawas bahwa orang yang melakukan kesyirikan dikarenakan ketidaktahuan/kebodohan/kejahilannya
harus iqaamatul-hujjah terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan para ulama
?.
Bukankah
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata:
فإن نصوص الوعيد التى
فى الكتاب والسنة ونصوص الأئمة بالتكفير والتفسيق ونحو ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها
فى حق المعين الا اذا وجدت الشروط وانتفت الموانع
“Sesungguhnya
nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah, serta nash-nash
para imam tentang pengkafiran, pemfasikan, dan yang lainnya, tidak melazimkan
konsekuensinya pada individu tertentu kecuali setelah terpenuhi
syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 10/372].
ذه المقالات هي كفر
لكن ثبوت التكفير في حق الشخص المعين موقوف على قيام الحجة التي يكفر تاركها وإن
أطلق القول بتكفير من يقول ذلك فهو مثل إطلاق القول بنصوص الوعيد مع أن ثبوت حكم
الوعيد في حق الشخص المعين موقوف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه ولهذا أطلق الأئمة
القول بالتكفير مع أنهم لم يحكموا في عين كل قائل بحكم الكفار
“Perkataan-perkataan
ini adalah kufur, akan tetapi penetapan kekafiran pada orang tertentu
tergantung pada tegaknya hujjah yang mengkafirkan orang yang
meninggalkannya. Seandainya perkataan pengkafiran itu dimutlakkan terhadap
orang yang mengatakannya, maka hal itu seperti pemutlakkan perkataan melalui
nash-nash ancaman. Sementara penetapan hukum ancaman terhadap individu tertentu
tergantung pada terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya
penghalang-penghalangnya. Oleh karena itu, para imam memutlakkan perkataan
pengkafiran tanpa menghukumi setiap individu yang mengatakkannya sebagai orang
kafir” [Bughyatul-Murtaad fir-Radd ‘alal-Mutafalsifah wal-Qaraamithah
wal-Baathiniyyah, hal. 353-354].
Ibnul-‘Arabiy rahimahullah
berkata :
فالجاهل والمخطئ من
هذه الأمة ولو عمل من الكفر والشرك ما يكون صاحبه مشركاً أو كافراً، فإنه يعذر
بالجهل والخطأ حتى يتبين له الحجة التي يكفر تاركها بياناً واضحاً ما يلتبس على
مثله، وينكر ما هو معلوم بالضرورة من دين الإسلام، مما أجمعوا عليه إجماعاً
قطعياً، يعرفه من المسلمين من غير نظر وتأمل
“Orang yang jaahil
dan keliru dari umat ini, meskipun ia melakukan kekufuran dan kesyirikan, maka
pelakunya tidaklah menjadi kafir atau musyrik, karena ia diberikan ‘udzur atas
kejahilan dan kekeliruannya tersebut. Hal ini berlaku hingga jelas baginya
hujjah secara gamblang yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya tanpa
ada kesamaran bagi orang (lain) yang semisal dengan ia. Atau ia mengingkari
sesuatu yang maklum lagi aksiomatik dalam agama Islam, telah disepakati secara pasti (oleh para ulama), dan diketahui
oleh kaum muslimin tanpa melalui proses penelitian dan perenungan” [Tafsiir
Al-Qaasimiy, 5/1307-1308].
Apakah secara
substansi yang dikatakan Ustadz Yazid hafidhahullah berbeda dengan yang
dikatakan ulama di atas ?. Semoga saya tidak salah baca.
Bahkan, itulah
madzhab Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dhahir
terpahami:
كذلك من دعا غير الله
وحج إلى غير الله هو أيضا مشرك والذي فعله كفر لكن قد لا يكون عالما بأن هذا شرك
محرم
كما أن كثيرا من
الناس دخلوا في الاسلام من التتار وغيرهم وعندهم أصنام لهم صغار من لبد وغيره وهم
يتقربون اليها ويعظمونها ولا يعلمون أن ذلك محرم في دين الاسلام ويتقربون إلى
النار أيضا ولا يعلمون أن ذلك محرم فكثير من أنواع الشرك قد يخفى على بعض من دخل
في الإسلام ولا يعلم أنه شرك فهذا ضال وعمله الذي أشرك فيه باطل لكن لا يستحق
العقوبة حتى تقوم عليه الحجة قال تعالى : فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Begitu pula orang
yang berdoa kepada selain Allah dan berhaji kepada selain Allah, maka ia juga
termasuk orang musyrik. Orang yang melakukannya kafir. Namun demikian,
kadang pelakunya tidak mengetahui bahwasannya perbuatan tersebut kesyirikan
yang diharamkan.
Hal itu sebagaimana
kebanyakan orang yang masuk Islam dari bangsa Tataar dan yang lainnya dimana di
sisi mereka terdapat berhala kecil yang terbuat dari bulu dan yang lainnya yang
mereka bertaqarrub kepadanya dan mengangunggkannya tanpa mengetahui hal
tersebut diharamkan dalam agama Islam. Mereka juga bertaqarrub kepada api tanpa
mengetahui hal tersebut diharamkan. Banyak macam kesyirikan tersembunyi
bagi mereka yang (baru) masuk Islam tanpa mengetahuinya sebagai kesyirikan.
Orang seperti ini sesat dan amalan kesyirikannya bathil. Akan tetapi ia tidak
berhak mendapatkan hukuman hingga tegak padanya hujjah. Allah ta’ala berfirman
: ‘karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui’ (QS. Al-Baqarah : 22)” [Ar-Radd ‘alal-Ikhnaaiy,
hal. 206].
Setelah menjelaskan
perbuatan kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan orang-orang di kuburan, beliau rahimahullah
berkata:
وهذا الشرك إذا قامت
على الإنسان الحجة فيه ولم ينته وجب قتله كقتل أمثاله من المشركين ولم يدفن في
مقابر المسلمين ولم يصلَّ عليه وأما إذا كان جاهلا لم يبلغه العلم ولم يعرف حقيقة
الشرك الذي قاتل عليه النبي صلى الله عليه وسلم المشركين فإنه لا يحكم بكفره ولا
سيما وقد كثر هذا الشرك في المنتسبين إلى الإسلام ومن اعتقد مثل هذا قربة وطاعة
فإنه ضال باتفاق المسلمين وهو بعد قيام الحجة كافر
“Ini adalah
kesyirikan. Apabila telah tegak hujjah pada seseorang padanya namun ia tidak
berhenti (dari perbuatan syirik tersebut), maka wajib untuk membunuhnya
seperti pembunuhan terhadap orang yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang
musyrik. Ia tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak pula
dishalati. Namun apabila ia seorang yang jaahil yang belum sampai kepadanya
ilmu yang membuatnya mengetahui hakekat kesyirikan yang membuat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang musyrik, maka ia tidak dihukumi
kafir. Khususnya, banyak kesyirikan ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan
dirinya kepada Islam. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini dengan alasan
mendekatkan diri kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka ia sesat berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Setelah adanya penegakan hujjah, maka ia
dikafirkan” [Jaami’ Al-Masaail, 3/151].
Jangan karena Anda
tidak suka dengan perkataan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah[3],
Ustadz Yazid yang menjadi sasaran celaan Anda dan pengikut Anda…..
3.
Tentang penggunaan
hujjah Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu yang disebutkan Ustadz
Yazid hafidhahullah, apakah memang beliau sedang mengarang pendalilan ?.
Bahkan hujjah itu disebutkan para ulama. Setelah menyebutkan hadits sujudnya
Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu, Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث دليل
على أن من سجد جاهلا لغير الله لم يكفر
“Dalam
hadits ini terkandung dalil bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena
kejahilannya, tidak dikafirkan” [Nailul-Authaar, 4/323].
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah ketika ditanya tentang orang yang (sujud) mencium
bumi/tanah terus-menerus atau orang yang melakukannya dengan sebab untuk
mendapatkan rizki (upah) sedangkan dirinya benci untuk melakukannya; maka
beliau menjawab:
أما تقبيل الأرض ورفع
الرأس ونحو ذلك مما فيه السجود مما يفعل قدام بعض الشيوخ وبعض الملوك فلا يجوز بل
لا يجوز الإنحناء كالركوع أيضا كما قالوا للنبى صلى الله عليه و سلم الرجل منا
يلقى أخاه أينحنى له قال لا ولما رجع معاذ من الشام سجد للنبى فقال ما هذا يا معاذ.....
“Adapun
mencium bumi/tanah, mengangkat kepala, dan semisalnya yang ada padanya sujud
(seperti) yang dilakukan di hadapan sebagian syuyuukh/tokoh dan raja
adalah tidak diperbolehkan. Bahkan tidak diperbolehkan pula membungkuk seperti
rukuk sebagaimana yang dikatakan sebagian shahabat kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Seseorang diantara kami bertemu dengan saudaranya,
apakah dirinya perlu membungkuk kepadanya?’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab : ‘Tidak boleh’. Begitu juga ketika Mu’aadz kembali
dari negeri Syaam, dirinya sujud kepada Nabi. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa ini wahai Mu’aadz…..”.
Kemudian
Syaikhul-Islaam rahimahullah menyebutkan hadits sebagaimana yang
disebutkan Ustadz Yaziid hafidhahullah. Setelah itu, Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما فعل ذلك تدينا
وتقربا فهذا من أعظم المنكرات ومن اعتقد مثل هذا قربة وتدينا فهو ضال مفتر بل يبين
له وأن هذا ليس بدين ولا قربة فإن أصر على ذلك استتيب فإن تاب وإلا قتل
“Adapun orang yang
melakukannya dengan alasan agama dan taqarrub (mendekatkan diri kepada
Allah), maka perbuatan ini termasuk sebesar-besar kemunkaran. Barangsiapa yang
berkeyakinan taqarrub dan faktor/alasan agama seperti ini, maka ia sesat
lagi dusta. Bahkan, harus dijelaskan kepadanya bahwa perbuatan ini bukan
termasuk bagian dari agama dan bukan pula perbuatan taqarrub. Apabila
dirinya nekad terus melakukannya, ia diminta bertaubat. Apabila bertaubat, maka
taubatnya diterima. Jika tidak, dibunuh” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/372].
Fatwa
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ini cukup terang menunjukkan
bahwa orang yang sujud (kepada selain Allah) dengan alasan agama dan
mendekatkan diri kepada Allah[4],
maka harus ditegakkan hujjah terlebih dahulu. Jika ia terus melakukannya
setelah ditegakkannya hujjah, maka ia kafir dan diminta untuk bertaubat. Jika
tidak mau, baru ia dibunuh[5].
Saya juga
mendengarkan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy hafidhahullah
tentang hadits Mu’aadz ini, beliau mengatakan bahwa Mu’aadz tidak mengetahui (jahil) perbuatannya itu dlarang dan termasuk syirik. Ketika Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarangnya, maka Mu’aadz berhenti dan tidak
mengulanginya.
Sumber-sumber
yang lain masih banyak, tapi saya cukupkan yang di atas saja.
Jika kita ikuti
gaya retorika Ustadz Ja’far dan kru : Silakan minta
ustadz-ustadz antum untuk membacakan kitab …..; sangat mudah. Hanya saja di bagian ini, saya lagi malas mencontek gaya
bahasa mereka…..
NB : Saya tahu
beberapa ulama mengkritik keshahihan hadits Mu’aadz ini. Namun yang saya tekankan
di sini adalah istidlaal beberapa ulama Ahlus-Sunnah dengan hadits
sujudnya Mu’aadz dalam penetapan udzur kejahilan. So, jangan kementhus
lah dengan mengesankan istidlaal dengan hadits Mu’aadz itu tidak ada
wujudnya di kalangan ulama Ahlus-Sunnah, selain Yaziid Jawas dan Rodja-eers.
4.
Tentang Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah…..
Perhatikan juga video berikut ini:
“Pertanyaan:
“Orang yang melakukan kesyirikan, seperti berdoa
kepada selain Allah misalnya, untuk memberikan kesembuhan terhadap penyakit;
apakah kita mengatakan : ‘Ia musyrik’, ataukah kita mengatakan ; ‘Perbuatannya
syirik’ – dalam keadaan kita mengetahui ia mengucapkan Laa ilaha illallaah,
mengerjakan puasa dan berhaji ?”.
Jawab:
“Apabila ia tidak memiliki ‘udzur dalam perbuatan
syiriknya, maka ia seorang musyrik. Namun apabila ia jahil/bodoh, seorang
muqallid, atau ia mempunyai ta’wiil yang ia anggap benar, maka perlu
dijelaskan kepadanya. Apabila ia menolaknya, maka penghukuman kesyirikan ada
padanya karena kejahilannya telah hilang”.
Juga video beliau hafidhahullah yang ini:
Beberapa point penting yang dapat diambil dari
beliau di atas (video ke-2):
- Beliau hafidhahullah
memberikan penjelasan bahwa istighatsah kepada orang yang telah
meninggal dan orang yang tidak ada di tempat (ghaib) adalah kufur akbar.
- Wajib
memberikan penjelasan dan peringatan kepada pelaku syirik akbar akan perbuatan
tersebut (termasuk dosa besar dan syirik akbar yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam).
- Apabila
si pelaku tidak menerima penjelasan tersebut dan malah terus melakukan
perbuatan syiriknya, maka dirinya tidak diberikan ‘udzur (lagi). Apabila
ia meninggal dalam keadaan seperti itu, maka statusnya adalah musyrik yang
kekal di dalam neraka karena menolak kebenaran setelah diberi tahu.
- Adapun
seseorang yang melakukan kesyirikan dan ia mengira perbuatannya itu benar,
sementara itu tidak ada seorang pun yang memberitahu dan memperingatkannya;
maka perkaranya ada di sisi Allah. Allah lah yang mengetahui keadaannya
dirinya.
- Terkait
dengan point sebelumnya, Syaikh menekankan : “Akan tetapi jangan kita
populerkan/sebarkan kepada manusia bahwa dirinya diberikan udzur kejahilan. Hal
itu dikarenakan apabila perkataan itu disebarkan di tengah-tengah manusia, maka
itu akan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dan (berusaha) mencari
kebenaran”.[6]
- Beliau
juga berpesan agar tidak masuk pada masalah udzur kejahilan, karena di situ
adalah tempatnya ijmaal dan keraguan. Jangan membuka pintu ‘udzur bagi
manusia dan yang serupa dengannya. Tetap peringatkan mereka dari kesyirikan,
kekufuran, dan bid’ah tanpa menyebarkan udzur kejahilan.
---
Terkait dengan fatwa syaikh di atas, ini selaras dengan penjelasan Ustadz
Dzulqarnain yang katanya bertanya langsung kepada Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan
hafidhahullah terkait masalah ini. Intinya, ada memang perkataan beliau hafidhahullah
yang menetapkan udzur kejahilan dan yang lain menafikkannya. Penafikan beliau hafidhahullah
tersebut dibangun di atas kaedah saddudz-dzarii’ah dalam fatwa agar
manusia tidak menggampangkan dan menghindari masalah kesyirikan. Bahkan di ditanyakan
pula kepada Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah tentang adanya seorang
pemain fesbuk domestik yang punya hobi membicarakan udzur kejahilan (tidak menutup kemungkinan yang dimaksud adalah Ustadz Jafar Shalih dan
krunya), yang mudah berfatwa kafir. Silakan simak di
sini videonya : https://youtu.be/n0xCToskxEo.
Saya tahu Ustadz Ja’far Shalih bersama para rekan dan pembantunya banting
tulang berusaha keras menakwilkannya perkataan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah
untuk menghasilkan kesimpulan : Tidak ada udzur kejahilan.[7]
Karena katanya dalam perkataan beliau yang lain begini dan begitu…..
Lah kalau demikian, kenapa pikiran Anda tidak nyangkut kepada Ustadz
Yaziid ? Apakah memang beliau hafidhahullah meyakini sebagaimana konstruksi caption-caption
dalam drama video yang Anda buat ?. Anda pintar bikin video, tapi tak pintar mengisi
substansi, sama seperti sutradara sinetron.
Terakhir, saya kira, sudahilah aksi-aksi teatrikal
Anda dalam memframming para asatidzah yang kebetulan beda pendapat dengan Anda
dalam masalah udzur kejahilan.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – dps – 27-12018].
[1] Bahkan anak ABG yang merepost tulisan anjuran
berjilbab pun paham bagaimana menggunakan ‘tidak ada udzur’ dalam konteks yang
sesuai sebagaimana contoh berikut:
"...........Ini
bisa kita analogikan sebagai berikut: Ketika kita mengajak seseorang untuk
sholat wajib lima waktu, kemudian orang itu menolak dengan alasan: “Aku belum
mau sholat lima waktu karena belum siap.” Padahal kewajiban memakai hijab lebih
mudah daripada sholat, yang kamu butuhkan hanya hijab yang cukup hingga menutup
dada, rok panjang dan lebar, dan baju yang agak panjang dan tidak ketat. Kalau
mau yang lebih efektif bisa memakai pakaian sejenis daster dimana baju dan
roknya menyatu. Memakai hijab tidak seperti orang naik haji, atau membayar
zakat, atau menyembelih kambing yang dibutuhkan kemampuan, sehingga alasan:
“Aku belum siap” BUKANLAH UDZUR DAN TIDAK ADA KERINGANAN.
Kita
tanyakan kepada wanita yang beralasan “Aku belum siap”: “Kapankah kamu siap?
Bisa jadi kamu mati dalam keadaan belum siap berhijab.” Terkadang di antara
mereka ada yang meyakini kalau mereka siap berhijab kalau sudah menikah. Apakah
mereka yakin mereka akan hidup di saat itu?..........."
[SELESAI
KUTIPAN - https://blog.uad.ac.id/.../07/26/kewajiban-menutup-aurat/].
Perkataan
di atas lebih jelas tanpa tambahan komentar. Dan saya yakin Anda pun
memahaminya bro…
[2] Saya contohkan dalam kasus lain, yaitu
sebagaimana pertanyaan yang diajukan kepada pengasuh islamweb tentang wanita
yang sering shalat hingga keluar waktunya karena aktivitas pekerjaannya. Lalu
dijawab, yang diantara jawabannya adalah perkataan:
الواجب
عليها التوبة إلى الله تعالى من تأخير الصلاة عن وقتها ، وليس العمل عذراً شرعياً
في تأخير الصلاة إلى خروج وقتها
“Wajib
baginya untuk bertaubat kepada Allah ta’ala atas perbuatannya
mengakhirkan shalat dari waktu yang ditentukan. Pekerjaan bukanlah udzur
syar’iy untuk mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya……” [islamweb].
Atau
dengan kata lain, tidak ada udzur baginya untuk mengakhirkan waktu shalat hanya
karena alasan pekerjaan. Kemudian, apakah tepat kiranya kita bikin skenario
edit video ala Ustadz Ja’far dan krunya dengan caption:
Pertanyaan
mengganjal :
Apakah posisi shalat
sudah lebih penting dari tauhid ?
sehingga pelanggaran
dalam tidak shalat pada waktunya tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan
sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Apakah
nyambung skenario seperti ini ?
Atau
dalam kasus fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-Munjid tentang keinginan
seorang suami untuk merekam istrinya dalam keadaan telanjang untuk dapat
diputar/dilihat ketika si suami safar di tempat yang jauh atau sedang tidak
bersama istrinya. Diantara jawabannya adalah perkataan:
..............
ولا
يُعذر الزوج بتصوير زوجته وهي عارية لكونه زوجاً ، فهذا لا يبيح له ذلك الفعل
القبيح ، ولا يعد غيابه عن زوجته عُذراً له ؛ لحرمة تصوير النساء ابتداءً – وقد
ذكرنا فتاوى العلماء في ذلك - ؛ ولما يمكن أن يترتب على ذلك من مفاسد
...............
"Dan
tidak ada udzur bagi suami untuk mengambil gambar istrinya yang telanjang hanya
dikarenakan dirinya adalah suaminya. Tidak diperbolehkan baginya untuk
melakukan perbuatan menjijikkan tersebut. Dan ketiadaan dirinya dari istrinya
tidak terhitung sebagai UDZUR baginya dikarenakan : pertama : keharaman
memotret wanita - dan kami telah menyebutkan fatwa para ulama mengenai hal itu
- , dan kedua : kerusakan yang mungkin diakibatkan oleh perbuatan
tersebut...... [https://islamqa.info/ar/97495].
Tepatkah
kiranya kita bikin skenario edit video ala Ustadz Ja’far dan krunya
dengan caption:
Pertanyaan
mengganjal :
Apakah posisi mengambil
gambar (memotret/memvideokan) istri sendiri yang telanjang sudah lebih penting
dari tauhid ?
sehingga pelanggaran
dalam melakukan kemaksiatan mengambil gambar (memotret/memvideokan) istri
sendiri yang telanjang tidak diudzur ?.
sedangkan kesyirikan
sebagai pelanggaran terbesar dalam Islam diudzur ?.
Apakah
nyambung skenario seperti ini ?
Tidak
lain ini hanyalah kekonyolan yang nyata. Tak ada faedah didapat kecuali hanya
unjuk kelemahan akal semata. Setiap tempat ada perkataan yang sesuai. Akal yang
sempurna dapat menangkap apa yang diucapkan dan sekaligus apa yang dimaksudkan.
Sayangnya,
Anda mengalami gagal paham kronis dalam memahami perkataan orang…
[3] Tentang fatwa Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
saya telah menuliskannya pada artikel : Ibnu
Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan (1) dan Ibnu
Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan (2).
[4] Dan ini adalah syirik akbar.
[5] Tentang masalah sujud, saya telah menuliskan
bahasannya di artikel Sujud
kepada Manusia dalam Rangka Penghormatan.
[6] Transkripnya adalah ini:
السؤال
الأول: يقول السائل من استغاث بالأموات أو الغائبين هل يحكم عليه بالكفر عينًا
وبالخلود في نار جهنم إن مات على ذلك، علماً أن هذا الرجل في بلاد المسلمين، وهنا
سؤال مشابه له يقول: من استغاث بالأموات والغائبين وهو جاهل ولبّس عليه الصوفية أن
هذا جائز ، فهل يحكم بكفره كذلك؟
[السائل أعاد السؤال الثاني لأن الشيخ لم يسمعه]
الشيخ:
نعم نعم نعم، يكفي يا أخي، من استغاث بالأموات والغائبين هذا شرك أكبر لأن
الاستغاثة من أعظم أنواع العبادة، فهذا شرك أكبر ، يجب عليك أن تنبهه وأن تحذره من
ذلك، فإذا لم يقبل واستمر على ما هو عليه فليس بمعذور وإن مات عليه فهو مشرك ومخلد
في النار، لأنه ترك الحق بعدما عرفه تقليداً للأباء والأجداد ورغبة عن الحق، أما
الإنسان الذي ما عنده أحد يعلمه ونشأ في هذا الشيء ويظنه حقاً والناس عليه ولا
بيّن له أحد، هذا أمره إلى الله، الله هو الذي يعلم حاله سبحانه وتعالى، لكن ما
ننشر في الناس أن هؤلاء معذورون بالجهل وأنهم وأنهم..ما ننشر هذا في الناس من أجل
أنهم .. إذا نشر فيهم هذا: ثبطهم ذلك عن طلب العلم وطلب الحق، ما ننشر هذا في
الناس، هذا ما أحذر منه من الدخول في العذر بالجهل=لا تدخلون فيه، لأنه محل إجمال
ومحل اشتباه، لا تفتحون للناس باب الأعذار وما أشبه ذلك ، حذروا حذروا من الشرك
ومن الكفر ومن البدع، ولا تشيعوا العذر بالجهل، نعم.
[من الدورة العلمية الصيفية الثامنة عشرة بجامع الملك عبدالعزيز
بمكة 9-8-1433هـ]
[7] Lebih konyol lagi, Ustadz Jafar Shalih berhalusinasi
bahwa madzhab yang dianutnya merupakan konsensus Ahlus-Sunnah, dan yang
menyelisihinya adalah Murji’ah. Allaahummaa…..
Tidakkah
mereka melihat fakta bahwa penetapan udzur kejahilan merupakan madzhab kelompok
besar ulama Ahlus-Sunnah dulu dan sekarang, termasuk diantaranya
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahumallah
?. Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimiy hafidhahullah menjelaskan permasalahan
udzur kejahilan diperselisihkan para ulama sebagai berikut :
Syaikh Muqbil rahimahullah - guru ustadz Ja'far - memberikan pujian yang khusus terhadap buku Asy-Syaikh Ahmad bin Ibraahiim bin Abil-'Ainain yang berjudul I'laanun-Nakiir 'alaa Ghulaatit-Takfiir. Pujian beliau ada di halaman 3 - 4 [Maktabah Ibni 'Abbaas dan Daarul-Atsar, Cet. 1/1425]. Dalam kitab tersebut ada satu bab khusus yang membahas udzur kejahilan (hal. 70 - 108) dengan membantah pemikiran madzhab yang dianut Ustadz Ja'far Shaalih. Jadi, please deh, jangan bawa nama Syaikh untuk membenarkan madzhab Anda.
Silakan baca artikel:
Silakan baca artikel:
Comments
Dalam penegakan hujjah, apakah harus dari orang yg dipercaya oleh orang yg akan ditegakkan hujjah?
Misal si B berbuat syirik. Lalu ditegur oleh Ustadz C bahwa itu perbuatan syirik. Lalu si B bertanya kepada gurunya. Kata gurunya itu bukan syirik.
Nabi sebelum diutus jadi Nabi, digelari Al-Amin. Ketika diutus menjadi Nabi, mendakwahkan tauhid, maka dakwahnya ditolak oleh mayoritas penduduk Mekkah.
jangan lah bertanya kepada orang jahil macam abul jauzaa ini, dia ga ngerti masalah beginian, dia pikir dia baca buku dan terjemahin buku bisa langsung ngerti hukum agama, inilah bedanya antara orang yang berguru pada ulama dan berguru pada buku.
@anonim, kalau ada tulisan yg keliru bantah dgn hujjah, jangan koar koar mengatakan orang lain jahil, dan menuduh orang lain hanya berguru kepada buku,
justru guru kau dan orang orang semacam kau sendiri itu berguru kepada Buku, dia menela'ah dari buku tapi tidak menanyakan kepada ulama dan membuat interpretasi sendiri, mencomot perkataan syaikh sholeh fauzan, dengan membawa kepada pemahamannya sendiri.
syaikh sholeh fauzan masih hidup dan masih banyak juga ulama lain yg bisa ditanya.
Posting Komentar