Jika
dikatakan mayoritas penduduk Indonesia adalah Syaafi'iyyah, maka itu benar
(meskipun di lapangan banyak juga yang melakoni 'lintas madzhab' dalam sebagian
perkara - contoh : zakat fithri dengan uang, musik, cadar, dan yang lainnya).
Tak semua penduduk bermadzhab Syaafi'iyyah. Tak ada pula dalil yang mewajibkan
kita bermadzhab Syaafi'iyyah dalam semua perkara hanya karena mayoritas
penduduk negeri kita Syaafi'iyyah. Seandainya kaedah itu dibenarkan, secara
lebih luas, pendapat jumhur ulama menjadi lebih wajib kita ambil dalam setiap
permasalahan. Misalnya saja dalam masalah kaffarat sumpah palsu. Jumhur
mengatakan tidak ada kaffarat, sedangkan Syaafi'iyyah menetapkannya (https://goo.gl/ecUChX). Toh saya tidak
yakin beliau mengambil pendapat jumhur karena pulennya – jika tidak mau dikata fanatik
– kecintaan pada madzhab Syaafi'iyyah. Contoh yang lain banyak.
Allah
ta'ala hanya memerintahkan kita mengikuti dalil. Adapun madzhab, itu
hanyalah perantara/wasilah dalam memahami dalil. Barangsiapa yang dimudahkan
Allah ta'ala memahami dalil dari kesimpulan yang diberikan madzhab
Syaafi'iyyah dalam satu permasalahan dan kemudian ia yakini kebenarannya, maka
itulah yang wajib ia ambil. Tak peduli ia hidup di Saudi yang mayoritasnya
Hanabilah atau Maroko yang Maalikiyyah. Begitu juga seandainya dalam
permasalahan lain ia condong pada pendalilan dan kesimpulan madzhab Hanafiyyah.
Ia mengambil pendapat yang ia yakini kuat, dan meletakkan yang lemah.
Allah
ta’ala berfirman:
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً
وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
“Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” [QS.
Az-Zumar : 55].
Dalam
ayat ini terdapat dalil untuk mengikuti pendapat yang kuat (raajih),
karena itu lebih baik daripada lemah (marjuuh) [Al-Mustashfaa
oleh Abu Haamid Al-Ghazaaliy, hal. 72].
Justru
jika menyelisihi apa yang ia yakini kebenarannya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah (perkara
halal-haram) hanya karena perkataan manusia/madzhab, maka ia masuk dalam
larangan dan ancaman pada firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" [QS. Al-Hujuraat : 1].
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata" [QS. Al-Ahzaab : 36].
Inilah
tugas kita, terlebih para dai.
Al-Qaffaal
Asy-Syaafi’iy rahimahullah pernah berkata:
لو أدى اجتهادي إلى مذهب أبي حنيفة قلت :
مذهب الشافعي كذا ، لكني أقول بمذهب أبي حنيفة ; لأن السائل إنما يسألني عن مذهب
الشافعي ; فلا بد أن أعرفه أن الذي أفتيته به غير مذهبه
“Seandainya
ijtihadku ada pada madzhab Abu Haniifah, maka aku katakan (saat ditanya
seseorang) : '(Pendapat) madzhab Asy-Syaafi'iy begini, akan tetapi aku berpegang
pada madzhab Abu Haniifah'. Karena orang yang bertanya itu bertanya kepadaku
tentang madzhab Asy-Syaaafi'iy (sehingga aku harus menjawab sesuai pertanyaannya).
Maka dalam hal ini aku harus memberitahunya juga bahwa yang aku fatwakan dalam
masalah tersebut bukan mengikuti madzhabnya” [I’laamul-Muwaqqi’iin,
4/183].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فسألت شيخنا قدس الله روحه عن ذلك ، فقال :
أكثر المستفتين لا يخطر بقلبه مذهب معين عند الواقعة التي سأل عنها ، وإنما سؤاله
عن حكمها وما يعمل به فيها ، فلا يسع المفتي أن يفتيه بما يعتقد الصواب في خلافه
“Kebanyakan
orang yang meminta fatwa tidak terlintas dalam hatinya madzhab tertentu tentang
permasalahan yang ia tanya. Pertanyaan orang itu hanyalah tentang status
hukumnya dan apa yang mesti dilakukan. Maka, tidak ada keluasan bagi seorang
mufti untuk memberikan fatwa dengan apa yang ia yakini menyelisihi kebenaran” [idem].
Beberapa
ulama menegaskan adanya ijmaa’ tentang keharusan mengamalkan perkara/pendapat
yang raajih yang ia yakini kebenarannya sesuai nash.
Abul-‘Abbaas
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata ketika membahas tentang hadits
memotong khuff:
إعمال المرجوح وإسقاط الرَّاجح ، وهو فاسد
بالإجماع
“Mengamalkan
pendapat yang lemah (marjuuh) dan meninggalkan yang kuat (raajih)
adalah rusak berdasarkan ijmaa’ ulama” [Al-Mufhim, 3/257].
Al-Qarraafiy
rahimahullah berkata:
أما الحكم أو الفتيا بما هو مرجوح فخلاف
الإجماع
“Adapun
masalah hukum dan fatwa dengan pendapat yang lemah, maka itu menyelisihi ijmaa’”
[Al-Ihkaam fii Tamyiizil-Fataawaa, hal. 93].
‘Abdul-‘Aziiz
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وذهب الجمهور إلى صحة الترجيح ووجوب العمل
بالراجح متمسكين في ذلك بإجماع الصحابة والسلف
“Jumhur
ulama berpendapat pada benarnya tarjiih dan wajibnya mengamalkan
pendapat yang raajih lagi bepergang teguh dalam hal itu berdasarkan ijmaa’
shahabat dan salaf” [Kasyful-Asraar, 4/110].
Masalah
najisnya kencing unta, memang pendapat jumhur Syaafi'iyyah [Al-Majmuu'
2/547, Mughnil-Muhtaaj 1/79, dan Nihaayatul-Muhtaaj 1/224 -
melalui Ahkaamuth-Thahaarah, 13/141]. Mereka mengecualikan untuk tujuan
pengobatan jika tidak ditemukan obat lain selainnya, maka boleh menggunakannya
( = meminumnya). Namun tak semua ulama Syaafi'iyyah seperti itu. Diantara ulama
Syaafi'iyyah yang menyatakan kencing unta tidak najis/suci adalah Ibnu
Khuzaimah, Ibnul-Mundzir, Ibnu Hibbaan, Al-Istakhriy, dan Ar-Ruuyaaniy rahimahumullah[1]
[Fathul-Baariy, 1/338 (1/576 – ta’liiq : ‘Abdurrahmaan bin
Naashir Al-Barraak].
Saya
terus terang ragu dengan klaim ‘keterusikan’ akibat – katanya – ada yang ‘show-off’
minum air kencing unta di Saudi; karena DNA madzhab masyarakat kita adalah
Syaafi’iyyah. Mereka yang merasa terusik (baca : berisik) di media sosial kebanyakan
justru tak paham soal madzhab-madzhaban. Tak paham pula dalil dan metode istinbath.
Mereka terusik (baca : berisik) karena minum air kencing unta dianggap jorok,
tak masuk akal, atau faktor sentimen personal/golongan (kontra). Anehnya, sebagian
mereka malah tak begitu terusik (baca : berisik) ada orang yang minum air bekas
cuci kaki Megawati[2].
Tidak
najisnya air kencing unta, bagi saya adalah pendapat yang kuat (raajih).
Seandainya ada yang condong dan tenteram dengan pendapat yang lain (yang
menyatakan kenajisannya sehingga tidak boleh diminum), silakan. Ini termasuk
diantara perkara yang terdapat keluasan padanya.
Yang
paling penting, kita ikat diri kita untuk mengikuti dalil : Al-Qur'an dan As-Sunnah. Inilah yang wajib menjadi DNA kita. Adapun para ulama/madzhab adalah wasilah/sarana
untuk dapat memahami dalil.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– dps – 17012018].
Comments
baguss tadz , jangan berhenti menulis ya
semoga Allah melimpahkan pahala kebaikan ke antum karena dakwah antum ini
Posting Komentar