Ada
satu kisah perdebatan antara Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi'iy dengan Ishaaq
bin Raahuuyah yang disaksikan oleh Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Tiga
pembesar fiqh dan hadits ada dalam satu majelis. Dalam kitab Thabaqaat
Asy-Syaafi'iyyah Al-Kubraa (1/320) disebutkan satu riwayat sebagai berikut:
أن إسحاق ابْن راهويه ناظر الشافعي،
وأَحْمَد بْن حنبل حاضر، فِي جلود الميتة إذا دبغت، فقال الشافعي: دباغها: طهورها.
فقال إسحاق: ما الدليل؟ فقال الشافعي: حَدِيثُ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ، "
أَنَّ النَّبِيَّ، ﷺ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ، فَقَالَ: " هَلا انْتَفَعْتُمْ
بِجِلْدِهَا ". فقال إسحاق: حديث ابْن عكيم: كتب إلينا رَسُول اللَّهِ، ﷺ قبل
موته بشهر: " لا تنتفعوا من الميتة بإهاب، ولا عصب ". أشبه أن يكون
ناسخا لحديث ميمونة ؛ لأنه قبل موته بشهر. فقال الشافعي: هَذَا كتاب، وذاك سماع.
فقال إسحاق: إن النبي، ﷺ كتب إِلَى كسرى، وقيصر، وكان حجة عليهم عند اللَّه. فسكت
الشافعي، فلما سمع ذلك أَحْمَد بْن حنبل ذهب إِلَى حديث ابْن عكيم، وأفتى بِهِ.
ورجع إسحاق إِلَى حديث الشافعي، فأفتى بحديث ميمونة
(Pada
suatu ketika) Ishaaq bin Raahuuyah berdebat dengan Asy-Syaafi'iy tentang
masalah status kulit bangkai apabila telah disamak, yang ketika itu Ahmad bin
Hanbal hadir menyaksikannya. Asy-Syaafi'iy berkata : "Penyamakannya itu
merupakan (sebab) kesuciannya". Ishaaq berkata : "Apa dalilnya
?". Asy-Syaafi'iy menjawab : "(Dalilnya adalah) hadits Az-Zuhriy,
dari 'Ubaidullah bin 'Abdillah, dari Ibnu 'Abbaas, dari Maimuunah : Bahwasannya
Nabi ﷺ pernah melewati bangkai kambing, lalu
beliau ﷺ bersabda : 'Tidakkah kalian memanfaatkan
kulitnya ?"[1].
Ishaaq berkata : "Hadiits Ibnu 'Ukaim : Rasulullah ﷺ
pernah menuliskan surat kepada kami sebulan sebelum wafat beliau : 'Jangan
kalian manfaatkan (sesuatupun) dari bangkai, baik kulit maupun uratnya"[2].
Seakan-akan hadits ini merupakan naasikh (penghapus) hadits Maimuunah, karena
hadits Ibnu 'Ukaim terjadi sebulan sebelum wafatnya beliau ﷺ.
Asy-Syaafi'iy berkata : "Hadits Ibnu 'Ukaim itu berupa kitaab, sedangkan
hadits Maimuunah berupa penyimakan". Ishaaq menjawab : "Sesungguhnya
Nabi ﷺ pernah menulis surat kepada Kisraa dan
Qaishar, dan surat tersebut merupakan hujjah bagi mereka di sisi Allah".
Asy-Syaafi'iy pun terdiam. Ketika mendengar perdebatan tersebut, Ahmad bin
Hanbal mengambil pendapat berdasarkan hadits Ibnu 'Ukaim dan berfatwa dengannya[3],
sedangkan Ishaaq justru rujuk kepada hadits Asy-Syaafi'iy dan berfatwa dengan
hadits Maimuunah"
[selesai].
Subhaanallah,
banyak faedah yang diambil dari riwayat ini. Coba perhatikan bagaimana
kesimpulan akhir perdebatan antara Ishaaq dan Asy-Syaafi'iy rahimahumallah.
Keduanya
saling menyanggah. Asy-Syaafi'iy terdiam oleh hujjah yang dibawakan Ishaaq,
sedangkan Ishaaq sendiri akhirnya - setelah berpikir ulang - justru rujuk
kepada hadits yang dibawakan Asy-Syaafi'iy. Di sisi lain, Ahmad bin Hanbal yang
hadir menyaksikan perdebatan mengambil faedah dari 'adu argumen' tersebut tanpa
turut terjun dalam pedebatan mereka berdua.
Satu
hal lagi yang penting digarisbawahi. Perdebatan dalam agama yang disyari'atkan
adalah dalam rangka mencari kebenaran, ikhlash karena Allah ta’ala.[4]
Perdebatan yang sarat dengan dalil dan adab. Tidak ada ego untuk sekedar
mempertahankan pendapat, karena yang dicari adalah cahaya yang dapat menunjuki
masing-masing pelaku jalan menuju jannah.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– rnn – 15102017].
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1492, Muslim
no. 363, An-Nasaa’iy no. 4235, dan yang lainnya.
[2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1729, Abu
Daawud no. 4127-4128, An-Nasaa’iy no. 4249-4251, Maajah no. 3613, Ahmad 4/310, dan
yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/270.
[3] Namun setelah itu Ahmad bin Hanbal meninggalkan
hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh At-Tirmidziy rahimahullah :
هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَيُرْوَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ، عَنْ أَشْيَاخٍ
لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ، وَلَيْسَ الْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ
الْعِلْمِ، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ،
أَنَّهُ قَالَ: أَتَانَا كِتَابُ النَّبِيِّ ﷺ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرَيْنِ،
قَالَ: وسَمِعْت أَحْمَدَ بْنَ الْحَسَنِ، يَقُولُ: كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
يَذْهَبُ إِلَى هَذَا الْحَدِيثِ لِمَا ذُكِرَ فِيهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ
بِشَهْرَيْنِ، وَكَانَ يَقُولُ: كَانَ هَذَا آخِرَ أَمْرِ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ
تَرَكَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ هَذَا الْحَدِيثَ لَمَّا اضْطَرَبُوا فِي
إِسْنَادِهِ، حَيْثُ رَوَى بَعْضُهُمْ فَقَالَ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُكَيْمٍ، عَنْ أَشْيَاخٍ لَهُمْ مِنْ جُهَيْنَةَ
“Hadits
ini hasan. Dan hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, dari
para syaikh mereka. Hadits ini tidak diamalkan oleh mayoritas ulama. Hadits ini
diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, ia berkata : ‘Datang kepada kami surat
Nabi ﷺ dua bulan sebelum wafat beliau ﷺ”. At-Tirmidziy berkata : “Dan aku mendengar Ahmad bin Al-Hasan
berkata : ‘Dulu Ahmad bin Hanbal berpegang pada hadits ini karena adanya
penyebutan padanya dua bulan sebelum wafat beliau ﷺ. Waktu itu ia (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Ini adalah perintah
terakhir Nabi ﷺ’.
Kemudian Ahmad bin Hanbal meninggalkan hadits ini karena adanya idlthiraab
dalam sanadnya, dimana sebagian mereka meriwayatkan, perawi berkata : Dari ‘Abdullah
bin ‘Ukaim, dari para syaikh mereka dari Juhainah” [Sunan At-Tirmidziy, 3/344].
[4] Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah berkata:
ينبغي
للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا
وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ).
ويُخْلِصُ
النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق،
وتثبيته دون المغالبة للخصم.
قال
الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه
رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على
لساني أو لسانه.
ويبني
أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع
أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين.
“Menjadi satu
keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’ala
dalam perdebatannya, sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala)
: ‘Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu’ (QS.
At-Taghaabun : 16). Dan juga firman-Nya : ‘Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan’ (QS.
An-Nahl : 128).
Orang yang berdebat
harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya
mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah
untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan
lawan debatnya.
Telah berkata
Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku
berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan
pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku
tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan
kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain.’
Dan
agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan
kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya
seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus
ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin” [Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 1/360-363
dengan peringkasan].
Comments
Mengenai kulit bangkai, jadi yang rojih bagaimana?
Di footnote nomor 3 ada idhtirob di sanadnya kok terjemahannya idola tadz?
Posting Komentar