Dalam
sebuah hadits disebutkan:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا:
وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan
berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka
kecuali satu (yang masuk surga)”. Mereka (para shahabat) bertanya :
“Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan
para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no.
2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy
dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam
hadits di atas disebutkan tentang keberadaan 72 golongan/kelompok sesat lagi
celaka sebagai opposite golongan yang selamat (al-firqatun-najiyyah).
Banyak ulama menjelaskan tentang 72 golongan ini. Diantaranya
Asy-Syaathibiy rahimahullah yang berkata:
وهي مسألة - كما قال الطرطوشي - طاشت فيها
أحلام الخلق ، فكثير ممن تقدم وتأخر من العلماء عينوها، لكن في الطوائف التي خالفت
في مسائل العقائد فمنهم من عد أصولها ثمانية ، فقال : كبار الفرق الإسلامية ثمانية
: ( 1 ) المعتزلة و ( 2 ) الشيعة ، و ( 3 ) الخوارج ، و ( 4 ) المرجئة ، و ( 5 )
النجارية ، و ( 6 ) الجبرية و ( 7 ) المشبهة ، و ( 8 ) الناجية
.
“Sebagaimana
dikatakan Ath-Thurthuusyiy, hal itu adalah permasalahan yang banyak orang keliru
padanya. Banyak ulama dahulu maupun sekarang yang telah menentukan golongan/kelompok
tersebut, akan tetapi sebatas kelompok-kelompok yang menyimpang dalam
permasalahan-permasalahan ‘aqidah. Diantara mereka ada yang menghitung pokok golongan/kelompok tersebut berjumlah delapan. Ia katakan : ‘Gembong kelompok-kelompok
Islam (yang menyimpang) berjumlah delapan, yaitu Mu’tazilah, Syii’ah, Khawaarij,
Murji’ah, Najjaariyyah, Jabriyyah, Musyabbihah, dan Naajiyyah” [Al-I’tishaam, 3/185].
Yuusuf
bin Asbath rahimahullah berkata:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ،
وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ
فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ
فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok
kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah.
Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18
golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah
yang disabdakan Nabi ﷺ : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada
dengan hal di atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
الْبِدْعَةُ الَّتِي يُعَدُّ بِهَا
الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ: كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ،
وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
"Bid'ah
yang menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid'ah
yang terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah (secara jelas), seperti bid'ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan Murji'ah"
[Majmuu' Al-Fataawaa, 35/414].
Kembali
Asy-Syaathibiy rahimahullah menjelaskan:
هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة
الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة ، لا في جزئي من الجزئيات ،
إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعا ، وإنما ينشأ
التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية ، لأن الكليات تقتضي عددا من الجزئيات
غير قليل
“Kelompok-kelompok
ini hanyalah menjadi kelompok (yang sesat) dengan sebab penyelisihannya
terhadap al-firqatun-naajiyyah dalam makna yang kulliy dalam (pokok-pokok)
agama dan kaedah-kaedah syari’at. Bukan dalam permasalahan yang juz’iy (parsial).
Karena permasalahan juz’iy dan cabang yang menyimpang tidaklah
menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan perpecahan. Perpecahan hanya timbul
akibat terjadinya menyimpangan dalam perkara-perkara kulliyyah (pokok),
karena perkara kulliyyah mengharuskan adanya perkara-perkara juz’iyyah
yang tidak sedikit” [Al-I’tishaam, 3/177].
Tujuhpuluh
dua golongan/kelompok yang gagal beragama dengan benar (alias sesat) ini adalah
kelompok yang menyimpang dalam perkara pokok dan/atau masuk dalam ranah ‘aqiidah[1].
Oleh karena itu jika kita membaca kitab-kitab para ulama terdahulu yang
membahas manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka yang mereka tetapkan adalah
perkara ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan ‘aqiidah kesepakatan umat. Diantaranya:
1.
Abu Haatim Ar-Raaziy
dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim rahimahumullah:
سَأَلْتُ
أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ،
وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ
مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا
وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ.....
Aku
pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah tentang
madzhab Ahlus-Sunnah dalam Ushuuluddiin (pokok-pokok agama),
serta apa yang mereka dapatkan dari para ulama yang mereka jumpai di berbagai
kota dan apa yang mereka yakini tentang hal tersebut. Mereka berdua berkata :
“Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaaz, ‘Iraaq,
Syam, dan Yaman, maka diantara madzhab yang mereka anut adalah …… (lalu disebutkan
permasalahan ushuuludiin yang dimaksud)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad
Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 1/176-180 no. 321-322].
2.
Al-Muzanniy rahimahullah
(w. 264 H) setelah memaparkan ‘aqidah Ahlus-Sunnah berkata:
هذه
مقالات وأفعال اجتمع عليها الماضون الأولون من أئمة الهدى، وبتوفيق الله اعتصم بها
التابعون قدوة ورضى، وجانبوا التكلف فيما كفوا، فَسُدِّدوا بعون الله وَوُفِّقوا،
ولم يرغبوا عن الاتباع فيقصروا، ولم يتجاوزوه تزّيداً فيعتدوا، فنحن بالله واثقون،
وعليه متوكلون، وإليه في اتباع آثارهم راغبون
“Perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan ini merupakan kesepakatan para ulama generasi
awal dulu, dan – dengan taufiq Allah - yang dipegang oleh orang-orang setelahnya
yang menjadi teladan dan diridlai. Mereka meninggalkan sikap takalluf (memperberat
diri) terhadap perkara yang tidak dilakukan (salaf), sehingga mereka dikokohkan dan
diberikan taufiq dengan pertolongan Allah. Mereka juga tidak membenci sikap ittibaa’
hingga mereka mengurang-ngurangi (apa yang seharusnya) dan menambah-nambahi. Hanya
kepada Allah kami percaya dan bertawakkal, dan hanya kepada Allah kami berharap
untuk dapat mengikuti jejak mereka (salaf)” [Syarhus-Sunnah, hal. 88].
3.
Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy
rahimahumallah (w. 280 H) berkata ketika memaparkan madzhab/‘aqidah para
imam Ahlus-Sunnah:
هذا
مذهب أئمة العلم وأصحاب الأثر وأهل السنة المعروفين بها المقتدى بهم فيها: وأدركت
من أدركت من علماء أهل العراق والحجاز والشام وغيرهم عليها، فمن خالف شيئا من هذه
المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج
السنة وسبيل الحق
“Ini
adalah madzhab para imam, ashhaabul-atsar, dan ahlus-sunnah yang dikenal dan diteladani.
Dan aku telah bertemu dengan para ulama penduduk ‘Iraaq, Hijaaz, Syaam, dan
yang lainnya yang mereka itu semua berada di atas (madzhab itu). Barangsiapa yang
menyelisihinya dari madzhab ini atau menghujatnya atau mencela orang yang
mengatakannya; maka ia adalah mubtadi’ keluar dari jama’ah, serta menyimpang
dari manhaj sunnah dan jalan yang benar” [As-Sunnah, hal. 34].
4.
Dan yang lainnya.
Benar,
ada beberapa perkara ‘amaliyyah yang dapat dikatakan sebagai ciri Ahlus-Sunnah,
seperti misal mengusap dua khuff.
Sahl
bin ‘Abdillah At-Tustariy rahimahullah pernah ditanya tentang kapan
seseorang mengetahui dirinya di atas (manhaj) Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah, maka
ia menjawab:
إِذَا عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ عَشْرَ خِصَالٍ:
لا يَتْرُكُ الْجَمَاعَةَ، وَلا يَسُبُّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ ﷺ وَلا يَخْرُجُ عَلَى
هَذِهِ الأُمَّةِ بِالسَّيْفِ، وَلا يُكَذِّبُ بِالْقَدَرِ، وَلا يَشُكُّ فِي الإِيمَانِ،
وَلا يُمَارِي فِي الدِّينِ، وَلا يَتْرُكُ الصَّلاةَ عَلَى مَنْ يَمُوتُ مِنْ أَهْلِ
الْقِبْلَةِ بِالذَّنْبِ، وَلا يَتْرُكُ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلا يَتْرُكُ
الْجَمَاعَةَ خَلْفَ كُلِّ وَالٍ جَارَ أَوْ عَدَلَ
“Apabila
ia mengenal dirinya 10 perkara/karakteristik, yaitu tidak meninggalkan jama’ah,
tidak mencaci shahabat Nabi ﷺ, tidak melakukan pemberontakan terhadap
umat ini dengan senjata/pedang, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam keimanan,
tidak berdebat dalam masalah agama, tidak meninggalkan shalat terhadap seorang muslim
yang mati dengan dosa (besar yang dilakukannya), tidak meninggalkan mengusap
dua khuff, serta tidak meninggalkan (shalat) jama’ah di belakang
pemimpin yang jahat maupun adil” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/182 no.
324].
Begitu
juga dalam kitab-kitab ‘aqiidah yang lain (termasuk kitab aqidah yang tersebut
sebelumnya). Mengapa ? Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah:
وقد أدخل المسح على الخفين في العقائد ،
لأنَّ بعض المبتدعين أنكره ، وهم الخوارج ، والشيعة بحجة أنه لم يرد في القرآن ،
وهو ثابتٌ عن النبي ﷺ من رواية جماعةٍ من الصحابة ، وصار إنكاره علماً على أهل
البدع ، وأهل السنَّة والجماعة يثبتونه لوجود الأدلة به
"Permasalahan
mengusap dua khuff beliau (Al-Barbahaariy rahimahullah) masukkan dalam
'aqaaid karena sebagian ahli bid'ah/mubtadi' mengingkarinya seperti
Khawaarij dan Syii'ah dengan hujjah bahwa masalah itu tidak ada dalam
Al-Qur'an. Padahal permasalahan itu shahih dari Nabi ﷺ
dari riwayat sekelompok shahabat, sehingga pengingkaran akan hal itu sebagai
satu pertanda atas ahli bid'ah. Adapun Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah menetapkannya
dikarenakan keberadan dalil-dalil yang medasarinya" [selesai - Irsyaadus-Saariy
ilaa Taudliih Syarhis-Sunnah lil-Barbahaariy].
Jadi,
(sebagian) perkara ‘amaliyyah memang ada yang masuk dalam katagori ushuul
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dikarenakan Ahlul-Bid’ah masyhur dengan perkara
kebalikannya.
Dr.
Ahmad An-Najjaar hafidhahullah menjelaskan korelasi hal ini dengan yang
dibahas sebelumnya:
المسائل الاعتقادية أو العملية الجليلة
التي اشتهرت عند أهل العلم بالسنة موافقتها للكتاب والسنةوالإجماع، وهي تعرف
(بالأصول).
فمن خالف أصلاً من الأصول التي اشتهرت
موافقتها للكتاب والسنة والإجماع؛ فقد خرج عن هدي السلف الصالح ونسب إلى غيرهم.
“Permasalahan-permasalahan
‘aqidah atau amaliyyah yang agung lagi terkenal menurut ulama Ahlus-Sunnah yang
berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka itulah yang dikenal
dengan pokok (ushuul).
Barangsiapa
yang menyelisihi suatu pokok (ushuul) dari pokok-pokok (agama) yang
dikenal berkesesuaian dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’, maka dirinya
keluar dari petunjuk as-salafush-shaalih dan dinisbatkan kepada
selainnya (kelompok sesat)” [Tabshiirul-Khalaf bi-Dlaabithil-Ushuuli allatii
Man Khalafaa Kharaja ‘an Manhajis-Salaf, hal. 28].[2]
Dari
sini kita mengetahui mengapa (sebagian) perkara ‘amaliyyah yang agung dimasukkan
para ulama dalam bab ‘aqiidah dan ushuul.
Berdasarkan
keterangan tersebut, apakah jika ada orang yang melafadhkan niat
ketika shalat, dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu
sebagai sebab masuk dalam kelompok sesat gagal beragama (dengan benar) di luar al-firqatun-naajiyyah
?. Tentu jawabannya tidak. Apakah jika ada orang yang melakukan bid’ah berjabat
tangan setelah shalat dapat kita hukumi kesalahan (bid’ah)-nya itu
sebagai sebab keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah ?. Tentu jawabannya tidak.
Mengapa ?. Karena hal itu bukan bagian dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah. Juga bid’ah
‘amaliyyah lain (menurut sebagian ulama) seperti qunut shubuh, zakat
profesi, biji tasbih, yasinan, dan yang lainnya.
Kemudian…..
Ketika
Syaikhul-Islaam membahas permasalahan mana yang lebih utama antara ‘Utsmaan dan
‘Aliy[3],
beliau rahimahullah berkata:
هذه المسألة - مسألة عثمان وعلي - ليست من
الأصول التي يضلل المخالف فيها عند جمهور أهل السنة لكن التي يضلل فيها مسألة الخلافة
"Permasalahan ini – yaitu permasalahan
‘Utsmaan dan ‘Aliy - bukanlah permasalahan pokok (ushuul)
dimana orang yang menyelisihinya boleh untuk disesatkan menurut jumhur ulama.
Akan tetapi yang disesatkan padanya adalah permasalahan khilaafah" [Majmuu'
Al-Fatawaa, 3/153].
Orang
yang mengutamakan 'Aliy dibandingkan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa
adalah keliru. Namun dalam masalah ini tidak boleh dikatakan sesat, karena
bukan termasuk pokok (ushuul) agama yang membolehkan seseorang menyesatkan oposannya
dan keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Perkara kemudian masalah ini diboncengi masalah khilaafah – dan biasanya ini sepaket dilakukan oleh orang Syi’ah –
, lain perkara. Jika tafdliil tersebut diikuti dengan pembatalan
kekhalifahan ‘Utsmaan, maka orang tersebut lebih sesat daripada keledai
peliharaannya. Namun jika murni masalah tafdliil saja, tidak boleh
saling menyesatkan dan mengandangkan dalam 72 golongan.
Kasus
lain tentang perayaan maulid Nabi ﷺ. Ini adalah bid’ah amaliyyah menurut
jumhur ulama. Bid’ah ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Ahlus-Sunnah – meski
kita katakan dia salah dan berdosa atas bid’ah yang dilakukannya. Pelakunya tidak kita sebut sebagai Ahli Bid'ah. Asy-Syaikh ‘Abdullah
bin ‘Abdirrahmaan Al-Jibriin rahimahullah berkata:
وأما البدع العملية فإنه لا يقال لصاحبها
مبتدع علي الإطلاق. ولكن يقال: فيه بدعة كالذين يحيون ليلة المعراج أو المولد أو
ليلة النصف من شعبان أو يصلون صلاة الرغائب و ما أشبهها من البدع العملية.
فهناك فرق بين البدع الاعتقادية فيقال لصاحبها
مبتدع و البدع العملية و يقال لصاحبها فيه بدعة ولا يصدق عليه أنه مبتدع بدعة
كلية. هذا هو المتبادر. والله أعلم.
“Sedangkan bid’ah dalam masalah ibadah, pelakunya sama sekali
tidak bisa disebut sebagai ahli bid’ah. Akan tetapi pelakunya kita katakan bahwa
pada dirinya ada kebid’ahan. Semisal orang-orang yang memperingati malam Isra’
Mi’raj, Maulid Nabi, beribadah pada malam Nishfu Sya’ban, melakukan shalat
Raghaib, dan bid’ah-bid’ah yang lain dalam masalah ibadah.
Jadi
ada perbedaan antara bid’ah dalam masalah akidah- itulah bid’ah yang pelakunya
disebut sebagai ahli bid’ah- dengan bid’ah dalam masalah ibadah. Pelaku bid’ah
dalam masalah ibadah mendapat sebutan ‘ada bid’ah pada dirinya’. Pelaku bid’ah
semacam ini tidak tepat jika disebut sebagai ahli bid’ah. Demikian jawaban
instan yang bisa diberikan. Wallahu a’lam” [Ijabah al Sa-il ‘an
Ahammi al Masa-il Ajwibah al ‘Allamah al Jibrin ‘ala As-ilah al Imarat, hal
13-14 – dikutip dari website ustadzaris.com].
Apakah
maulid termasuk bagian dari pokok ushuul dalam agama ? Termasuk syi’ar-syi’ar
yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah yang tercantum dalam kitab
para ulama dulu ?. Jawabnya : Tidak.[4]
Bukankah
banyak orang yang merayakan maulid disertai dengan banyak kemunkaran seperti
istighatsah, doa kepada Nabi, ikhtilaath, dan perbuatan ghulluw lainnya ?.
Kalau
begitu, ini namanya perayaan maulid plus. Kalau sudah plus-plus, hukumnya lain.
Sama seperti kasus tafdliil sebelumnya.
Lajnah
Daaimah ketika membahas rincian kemunkaran maulid, tetap membedakan antara
hanya sekedar merayakannya saja dan yang merayakan plus ibadah yang lain yang
isinya kesyirikan. Saya highlight khusus kalimat/perkataan yang ini:
إذا كان مجرد احتفال ، على الأكل والشرب ،
والقهوة والشاي ، وليس فيه دعاء ولا استغاثة بالنبي ، فهذه بدعة منكرة
"Apabila
hanya sekedar perayaan saja dengan makan, minum, ngopi dan ngeteh; namun tidak
ada padanya doa dan istighatsah kepada Nabi; maka ini bid'ah munkarah (saja,
bukan syirik)" [alifta.net].
Maka,
penghukuman maulid pun harus hati-hati dan dirinci, antara sekedar perayaannya saja (sebagaimana
perkataan fuqahaa yang membolehkan) atau yang paket plus-plus. Paket
plus-plus dapat menyebabkan seseorang keluar dari lingkup al-firqatun-naajiyyah.
Bukan karena maulidnya, tapi karena plus-plusnya.
Terakhir,
kalaupun ada bantahan, silakan. Tak perlu kasih judul bombastis “Ultraman Membantah
Upin dan Ipin”. Nanti dikira cari perhatian dan malah bikin gaduh. Saya
tahu ada perkataan ulama kontemporer yang berbeda dengan hal di atas. No problemo.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya. Silakan baca juga artikel : Kapan Keluar dari Ahlus-Sunnah.
[abul-jauzaa’
– one thousand km from home – 30 Dzulqa’dah 1438 H].
[2] Buku ini diberikan taqdiim oleh
Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Sa’d As-Suhaimiy dan Asy-Syaikh Dr. Sulaimaan
Ar-Ruhailiy hafidhahumallah. Sangat direkomendasikan untuk dibaca dalam masalah
keluar-masuk pintu Ahlus-Sunnah.
[3] Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘Utsmaan lebih
utama daripada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
[4] Diantara ulama madzhab yang membolehkan maulid
adalah Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Ibnul-Jazariy, Ibnu Hajar
Al-Haitamiy, Ibnush-Shalah, Abu Syammaah Al-Maqdisiy, Ibnul-Hajj Al-Malikiy, As-Suyuuthiy,
dan yang lainnya rahimahumullah.
Mereka
membolehkan maulid dengan melakukan amal-amal kebaikan, menampakkan
kegembiraan, bershadaqah, bersyukur, dan yang lainnya di hari itu.
(-) :
Ente kok malah nyebutin khilaf ulama segala. Khilaf itu
bukan dalil !! Dalil itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’ !!!
(+) :
Saya sepakat dengan Anda bahwa maulid itu bid’ah yang terlarang dalam agama. Clear
bagi saya. Di sini saya hanya ingin mendudukkan realitas saja, apakah
maulid itu merupakan perkara ijmaa' atau bukan ijmaa', pokok ataukah cabang, perkara kulliy ataukah
juz’iy, sehingga kita dapat menghukuminya dengan akurat.
Comments
Syukron penjelasannya Ustadz..semoga antum dan kita semua diberi keteguhan dalam beragama sesuai tuntunan Rasul sallahualahiwassalam
Bagaimana dengan asyairoh ustadz -yang katanya banyak dianut di negeri kita tercinta ini- apakah penyelisihan mereka dalam masalah sifat dan alquran mengeluarkan mereka dari ahlussunnah atau mereka masih ahlussunnah? syukron
Semoga Allah membalas kebaikan antum ya ustadz
Jazaakallah khair, penjelasan yg lugas dan mudah dicerna... Semoga awam yg lain spt ana bisa tercerahkan... Krn ana dulu sempat menduga duga, apabila qunut subuh termasuk bid'ah dan pelakunya disebut ahlul bid'ah mutlak, apa iya imam nawawi rahimahullah yg membolehkan qunut subuh adalah ahlul bid'ah? Padahal kitab beliau banyak dikaji di majlis taklim sunnah...
Semakin memahami sekarang, hanya Allah ta'aala yg memberi petunjuk dan bergantungnya semua makhluk..
Jazaakallah khoiro
mau bid'ah aqidah, bid'ah amaliah semua tetaplah bid'ah..dan setiap bid'ah adl sesasat.. dan setiap kesesatan tempatnya di neraka..!
Bagaimana dengan ini ustadz??
FATWA SYAIKH AL-'UTSAIMIN -rahimahullaah- TENTANG: SIAPA YANG DISEBUT MUBTADI'?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:
“Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau perkataan, atau PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah MUBTADI’.
(1)- Setiap orang yang beribadah dengan ‘aqidah; (seperti:) Jahmiyyah yang beribdah dengan ‘aqidah mereka; maka mereka meyaikini bahwa mereka mensucikan Allah, dan bahwa (‘aqidah mereka) adalah pengagungan dan Tauhid. Mu’tazilah juga demikian, Asy’ariyyah juga demikian; mereka beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah mereka.
(2)- Kemudian, orang-orang yang membuat-buat dzikir-dzikir tertentu: seratus, atau dua ratus, atau seribu; apakah mereka beribadah dengan hal itu atau tidak? Ya, mereka beribadah kepada Allah dengan itu, mereka meyakini bahwa mereka diberi pahala atas hal ini.
(3)- Kemudian, orang-oang yang membuat-buat perbuatan yang mereka beribadah kepada Allah dengannya; (seperti orang yang shalat) seribu raka’at dan lainnya; maka mereka juga beribadah kepada Allah dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
Tiga golongan ini -yang berbuat BID'AH dalam ‘aqidah, perkataan, atau perbuatan-; setiap bid’ah dari bida’h-bid’ah mereka; maka SESAT.”
https://youtu.be/3drz7oVfBe0
Kapan rodja tv live maulidan??
Wa'alaikumus-salaam warahmatulaahi wabakatuh
@Anonim 24 Agustus 2017 07.07,..... Asyaa'irah termasuk bid'ah dalam 'aqiidah dan merupakan derivat dari Mu'tazilah. Namun dibandingkan Mu'tazilah atau Jahmiyyah, Asyaa'irah lebih dekat kepada Ahlus-Sunnah.
------------
@Ryudhi dan @Atrian Rahadi,.... setiap bid'ah memang sesat. Haditsnya kan memang berbunyi seperti itu. Bukan hanya bid'ah, namun menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya pun juga termasuk kesesatan sebagaimana firman Allah ta'ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [QS. Al-Ahzaab : 36].
Mengikuti hawa nafsu juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun" [QS. Al-Qashshaash : 50].
Berbuat maksiat juga sesat sebagaimana firman Allah ta'ala:
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
"Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" [QS. Al-An'aam : 140].
Permasalahannya adalah, siapakah orang yang dimutlakkan padanya sebagai orang yang tersesat ?. Apakah satu per satu orang yang melakukan perbuatan dosa kita cap orang yang sesat ?. Siapakah nanti yang tersisa jika begitu ?. Antum sendiri mungkin tak selamat darinya.
Perkataan syaikh "Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ‘aqidah, atau perkataan, atau PERBUATAN yang bukan termasuk syari’at Allah; maka dia adalah MUBTADI" adalah umum. Barangsiapa yang membuat-buat syari'at Allah, maka mubtadi'.
Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
أقول المبتدع هو أولا الذي من عادته الابتداع في الدين وليس الذي يبتدع بدعة واحدة ولو كان هو فعلا ليس عن اجتهاد وإنما عن هوى مع ذلك هذا لا يسمى مبتدعا وأوضح مثال لتقريب هذا المثال أن الحاكم الظالم قد يعدل في بعض أحكامه فلا يقال فيه عادل كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال فيه ظالم وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب عليه من خير أو شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع فيشترط إذًا في المبتدع شرطان الأول ألا يكون مجتهدًا وإنما يكون متبعًا للهوى الثانية أو الثاني يكون ذلك من عادته ومن ديدنه
"Aku katakan bahwa mubtadi' adalah - pertama - orang yang biasa mengada-adakan perkara dalam agama. (Mubtadi') bukan orang yang (hanya) mengadakan satu bid'ah, meskipun yang ia lakukan bukan berasal dari ijtihad, namun hanya dari hawa nafsu semata. Dirinya tidak dinamakan mubtadi. Akan aku jelaskan satu permisalan yang mirip dengan permisalan ini. Seorang hakim yang dhalim kadang berlaku adil dalam sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya tidak dikatakan seorang yang adil. Sebagaimana orang yang adil kadang berlaku dhalim dalam sebagian hukum-hukumnya, maka dirinya juga tidak dapat disebut seorang yang dhalim. Ini memperkuat sebuah kaedah islamiyyah fiqhiyyah bahwasannya seseorang dihukumi dengan kebaikan atau keburukan yang mendominasi pada dirinya. Apabila kita mengenal hakekat ini, maka kita akan mengenal siapa itu mubtadi'. Oleh karena itu, dipersyaratkan pada diri seorang mubtadi' dua persyaratan : (1) dirinya bukan seorang mujtahid, namun hanyalah seorang yang mengikuti hawa nafsu; (2) perkara (bid'ah) itu sudah menjadi kebiasaannya dan masuk dalam bagian agamanya" [http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=16733].
Ini ditinjau dari pelakunya. Kemudian ditinjau dari jenis bid'ahnya. Apakah setiap jenis bid'ah menyebabkan pelakunya disebut mubtadi'/ahlul-bid'ah ?. Kalau Anda jawab iya, maka di sini saya harus mengecap semua orang yang qunut Shubuh sebagai mubtadi'/ahlul-bid'ah. Atau, saya harus mengecap semua orang yang mengucapkan niat ketika akan shalat sebagai Ahlul-Bid'ah. Saya kain, Anda tidak setuju. Maka, jenis bid'ah yang menyebabkan pelakunya disebut Ahli Bid'ah dan mengeluarkan pelakunya dari Al-Fiqatun-Naajiyyah menuju 72 firqah yang sesat adalah sebagaimana dikatakan dalam artikel di atas. Bid'ah dalam perkara ushuul, baik dalam 'aqiidah maupun amaliyyah/perbuatan.
wallaahu a'lam bish-shawwaab.
------
@Aco Pancoco,..... nanti kalau Anda jadi produsernya, harap saya dikasih tahu ya.
Maap ustad,
apakah berarti jika ustad ikut maulid atau tahlilan itu ngga apa-apa ?
@Nikko W,... kok bisa disimpulkan 'nggak apa-apa' itu bagaimana ya...
dari tulisan Ustad yg menyatakan bahwa yg jadi masalah dari maulid adalah "plus-plus"nya dan bahwa maulid ini bukan masalah usul (pokok).
jadi, saya menangkapnya jika maulid tanpa plus plus itu boleh,
dan juga karena bukan masalah pokok berarti boleh juga.
sangat jelas , makasih tadz
Selama ini yang saya tahu memang orang yang melakukan amalan bid'ah karena ikut kebiasaan tidak bisa disebut mubtadi. Karena pada kenyataannya jika diterangkan beserta bahayanya banyak yang meninggalkan amalan tersebut baik langsung atau bertahap.
Tapi kalau sudah jelas namun tetap menolak apa juga bukan kesesatan selama masih dalam perkara ibadah? FAKTANYA (hampir) semua orang yang menolak di satu hal juga menolak di hal lainnya. Bukankah ini karena cara pikirnya?
Mohon ditinjau lagi tulisannya Akh. Tanpa sengaja kita sama saja memisahkan antara iman dan amal.
Ustadz, mohon penjelasan dari hadits berikut, dan bagaimana status haditsnya. ALI radhiyallahu 'anhu berkata, 'barangsiapa membuat satu saja perkara yg baru (dlm agama) disitu, maka ia mendapat laknat Allah, para Malaikat-Nya serta umat manusia seluruhnya, Allah tidak menerima darinya sharf (amalan wajib) dan adl (amalan sunnah)' HR.Muslim.
Jazaakallahu khaiyran.
@Nikko W,.... yang saya heran, kenapa bisa tertangkap jadi boleh ya. Benar-benar heran...
----
@Iyas,... Untuk sementara gak ada yang perlu ditinjau. Coba antum kaitkan apa yang antum tulis dengan tulisan di atas.
----
@noviarman ahmad,... untuk sementara belum bisa meresponnya ya.
Ustadz bagaimana jika maulidan nya plus plus tapi tanpa istigosah dan berdoa kpd nabi hanya plus plusnya itu ada musik nyanyian dan tarian tarian + ikhtilat, apakah yg seperti ini bisa dikatakan sebagai ahlul bid'ah
Posting Komentar