4. Asy’ariy ?
Saat membawakan
hadits nuzuul dalam video berjudul Selesai Shalat Tahajud, Apa
yang Dicontohkan Rasulullah Hingga Salat Fajar?[1]
(durasi 01:25:14), Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah berkata (mulai menit
57:41):
Yanzilu rabbuna tabaaraka wa ta’ala – ini
hadits qudsi - . Kata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah
subhaanahu wa ta’ala. Kalimatnya menggunakan Rabb. Yanzilu Rabbunaa… saya agak
pelan-pelan ya… Ada nazala, ada habatha. Ada nazala, ada habatha, itu lain.
Baca Al-Baqarah ayat 36, eh 38 maaf. Al-Baqarah 38. Dimana Qur’annya ini ?...
Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Qulna-hbithuu, ihbithu. Jadi turun itu ada
habatha, ada nazala. Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Faimmaa ya’tiyannakum minnii
hudaa dan seterusnya ayat. Perhatikan di sini.. Kenapa Adam ketika diturunkan oleh
Allah ke bumi, kalimatnya bukan menggunakan nazala, tapi menggunakan habatha.
Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Perhatikan. Kalau habatha, turun dengan niat
bermukim, dengan niat tinggal. Adam diturunkan ke bumi memang untuk tinggal di
bumi. Menjadi khalifah di sana, memperbaiki keadaan bumi. Karena itu kalimat
Qur’annya menggunakan habatha. Ini hebatnya bahasa Al-Qur’an. Setiap kalimatnya
ada makna, bahkan hurufnya. Tapi subhaanallah, ketika menerangkan Allah yang
turun ke langit dunia, tidak menggunakan kata habatha, tapi menggunakan kata
nazala. Yanzilu Rabbunaa. Yanzilu. Nazala itu turun umumnya dengan tidak
niat mukim. Cuma turun saja. Jangan digambarkan di kepala kita Allah turun.
Bukan. Maksudnya Allah menurunkan rahmat-Nya. Sudah ada
kebahagiaan yang akan diberikan. Allah tidak segambar, tidak
terbayang oleh kita, dan tidak serupa dengan apa yang kita gambarkan. Artinya apa
? Kalimat ini mengandung mukjizat yang ingin disampaikan oleh Nabi, tidak
menggambarkan, kalau Nabi berkata yahbithu Rabbuna, ini salah kalimat Nabinya,
karena Allah tidak menempat, tidak mewaktu. Artinya apa, mohon maaf, tidak
disifati dengan tempat dan sifat yang seperti kita menggunakannya. Kalimat
nazala artinya, tidak turun untuk menempat, menggunakan isyarat ini, ada kesan
dalam kalimat ini, gunakan manfaatnya, itu maksudnya, gunakan peluangnya. …….” (01:00:16).
[selesai].
Fokus
pada kalimat yang dibold dan diwarnai merah. Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah
‘menafsirkan’ turunnya Allah ke langit dunia dengan turunnya rahmat, bukan turun dengan makna hakiki.
Ini jelas menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah, dan ta’wil semacam ini
merupakan ciri khas penakwilan kelompok Asyaa’irah. Bahasanya pun, ‘aswaja’
banget…
Al-Waliid
bin Muslim rahimahumallah berkata:
سَأَلْتُ الأَوْزَاعِيَّ، وَالثَّوْرِيَّ،
وَمَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، وَاللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ عَنِ الأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا
الصِّفَاتُ؟ فَكُلُّهُمْ قَالَ: أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلا تَفْسِيرٍ
“Aku
pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, Al-Laits bin
Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat (Allah). Mereka semua
berkata : ‘Perlakukanlah (ayat-ayat tentang sifat Allah) sebagaimana datangnya
tanpa tafsir”
Dalam
riwayat lain:
أمروها كما جاءت بلا كيف
“Perlakukanlah
sebagaimana datangnya tanpa menanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyah-nya)” [Diriwayatkan
oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/104-105, Ibnu Abi Haatim dalam Al-‘Ilal
5/468 no. 2118, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/377, Al-Laalikaa’iy
dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 930, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
7/149].
Perkataan
tersebut merupakan penetapan terhadap hakekat sifat-sifat Allah ta’ala
dan penafikan pengetahuan kita tentang kaifiyat-nya. Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan salaf
di atas:
فقولهم رضى الله عنهم أمروها كما جاءت رد
على المعطلة وقولهم بلا كيف رد على الممثلة
“Perkataan
mereka radliyallaahu ‘anhum : ‘perlakukanlah sebagaimana datangnya’
adalah bantahan terhadap sekte Mu’aththilah (= yang menafikkan sifat-sifat
Allah), dan perkataan mereka : ‘tanpa menanyakan bagaimana’ adalah bantahan
terhadap sekte Mumatstsilah (= yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat
makhluk)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/39].
Inilah
prinsip Ahlus-Sunnah dalam permasalahan sifat-sifat Allah ta’ala.
Al-Haafidh
Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah menjelaskan lebih lanjut prinsip
Ahlus-Sunnah tersebut dengan perkataannya:
أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات
الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا
شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا
على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود
“Ahlus-Sunah
bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam
Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada
makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) terhadap
sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij;
mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna
hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap
orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka (yang mengingkari
sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah merupakan golongan orang yang
meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh
Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39].
Begitu
juga dengan Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahumallah. Setelah membawakan
perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahumalla[2],
ia berkata:
وعلى هذا دَرَجَ السَّلَفُ وأَئِمَّةُ
الخَلَفِ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ على الإقْرارِ، والإمْرارِ والإثْباتِ لما
وَرَدَ مِن الصِّفاتِ في كتابِ اللهِ وسُنَّةِ رسولِهِ، مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ
لتأْوِيلِهِ
“Dan
di atas dasar inilah, para salaf dan imam generasi khalaf setelahnya berjalan.
Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan
sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an)
maupun Sunnah Rasul-Nya, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Lum’atul-I’tiqad
dengan syarh : Shaalih Al-Fauzaan, hal. 57-58].
Di
bawah akan sedikit saya bawakan nukilan/riwayat para imam Ahlus-Sunnah dalam memahami
hadits nuzuul.
Ibnu
Abi Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
وأخبرني وهب [عن] ابن وضاح عن زهير بن عباد
قال : كل من أدركت من المشايخ : مالك وسفيان وفضيل بن عياض وعيسى وابن المبارك
ووكيع كانوا يقولون : [النزول] حق
Telah
mengkhabarkan kepadaku Wahb, dari Ibnu Wadldlaah, dari Zuhair bin ‘Abbaad, ia
berkata : “Setiap orang yang aku temui dari kalangan masyayikh seperti Maalik,
Sufyaan (Ats-Tsauriy), Fudlail bin ‘Iyaadl, ‘Iisaa, Ibnul-Mubaarak, dan Wakii’;
mereka mengatakan ‘an-nuzuul’ (turunnya Allah) adalah benar” [Ushuulus-Sunnah,
hal. 113].
Abu
Nashr As-Sijziy dalam kitab Al-Ibaanah berkata:
وأئمَّتنا كسفيان ومالكٍ والحمَّادَيْن
وابن عيينة والفضيل وابن المبارك وأحمد بن حنبلٍ وإسحاق متَّفقون على أنَّ الله
سبحانه فوق العرش وعلمُه بكلِّ مكانٍ، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا وأنه يغضب
ويرضى ويتكلَّم بما شاء
“Dan
para imam kita seperti Sufyaan (Ats-Tsauriy), Maalik (bin Anas), Hammaad bin
Zaid dan Hammaad bin Salamah, Ibnu ‘Uyainah, Al-Fudlail (bin ‘Iyaadl),
Ibnul-Mubaarak, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaaq (bin Rahawaih) bersepakat
tentang perkara bahwasannya : Allah subhaanahu wa ta’ala di atas
‘Arsy-Nya sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat; turun ke langit dunia;
serta marah, ridla, dan berbicara sebagaimana yang Ia kehendaki” [Al-Aatsaarul-Waaridah
‘an Aimmatis-Sunnah fii Abwaabil-I’tiqaad min Kitaab Siyari A’laamin-Nubalaa’,
hal. 209].
Catatan
: Riwayat yang mengatakan Maalik bin Anas menta’wilkan sifat nuzuul dengan
turunnya perintah Allah sebagaimana disebutkan oleh ‘Iyaadl dalam Al-Madaarik
(2/44), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (7/143), dan Adz-Dzahabiy
dalam As-Siyar (8/105) adalah lemah, karena ia berasal dari riwayat Habiib bin Abi
Habiib, seorang yang matruuk, bahkan dituduh melakukan dusta [‘Aqiidah
Al-Imaam Maalik As-Salafiyyah, hal. 33 atau silakan baca pembahasannya di sini].
Abu
Haniifah An-Nu’man bin Tsaabit rahimahullah ketika ditanya tentang
turunnya Allah, ia menjawab:
ينزل بلا كيف
“Allah
turun tanpa ditanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyat-nya)” [‘Aqiidatus-Salaf
wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 44].
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata dalam ‘Aqiidah-nya dan wasiatnya:
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت أهل
الحديث عليها: أن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء
الدنيا كيف شاء.
“Pendapat
dalam sunnah yang aku berada di atasnya dan aku juga melihat ahli-hadits berada
di atasnya : Bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, mendekat
kepada makhluk-Nya sebagaimana yang Ia kehendaki dan turun ke langit dunia
sebagaimana yang Ia kehendaki” [Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin
oleh Adz-Dzahabiy no. 15].
Abu
‘Aliy Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah berkata:
قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ يَنْزِلُ
اللَّهُ تَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: نُزُولُهُ
بِعِلْمِهِ أَمْ بِمَاذَا ؟ قَالَ: فَقَالَ لِي: اسْكُتْ عَنْ هَذَا، وَغَضِبَ
غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: مَا لَكَ وَلِهَذَا؟ أَمْضِ الْحَدِيثَ كَمَا رُوِيَ
بِلا كَيْفٍ
“Aku
bertanya kepada Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) : ‘Allah ta'ala
turun ke langit dunia ?’. Ia menjawab : "Benar". Aku
berkata : "Turun-Nya itu dengan ilmu-Nya atau dengan apa ?". Ia
berkata kepadaku : "Diamlah engkau dari hal ini". Ia sangat marah
(akibat pertanyaanku itu). Ia berkata : "Apa urusanmu tentang hal itu ?.
Tetapkanlah hadits itu sebagaimana yang diriwayatkan tanpa menanyakan
bagaimana" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah. Dibawakan
juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 777 dan Abu
Ya’laa dalam Ibthaalut-Ta’wiilaat 2/260 no. 260].
Ad-Daaraquthniy
rahimahullah menulis kitab khusus berjudul An-Nuzuul yang diawali
dengan perkataannya:
ذِكْرُ الرِّوَايَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا
فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيُعْطِي السَّائِلِينَ.
“Penyebutan
riwayat dari Nabi ﷺ bahwasannya Allah tabaraka wa ta’ala
turun setiap malam ke langit dunia, mengampuni orang-orang yang memohon ampunan
(kepada-Nya) dan memberi orang-orang yang meminta (kepada-Nya)” [An-Nuzuul hal.
87-88 – yang dicetak bersama kitab Ash-Shifaat].
Ad-Daaraquthniy
rahimahullah menetapkan sifat nuzuul dan tidak menta’wilkannya
dengan ‘rahmat’ atau yang lainnya.
Muhammad
bin Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata:
الإيمان بهذا واجب، ولا يسع المسلم العاقل
أن يقول: كيف ينزل؟ ولا يرد هذا إلا المعتزلة وأما أهل الحق فيقولون: الإيمان به
واجب بلا كيف، لأن الأخبار قد صحت عن رسول الله ﷺ: أن الله عَزَّ وَجَلَّ ينزل إلى
السماء الدنيا كل ليلة والذين نقلوا إلينا هذه الأخبار هم الذين نقلوا إلينا
الأحكام من الحلال والحرام، وعلم الصلاة، والزكاة، والصيام، والحج، والجهاد، فكما
قبل العلماء عنهم ذلك كذلك قبلوا منهم هذه السنن، وقالوا: من ردها فهو ضال خبيث،
يحذرونه ويحذرون منه
“Beriman
terhadap hal ini (turunnya Allah ke langit dunia) adalah wajib, dan tidak boleh
bagi muslim yang berakal untuk mengatakan : bagaimana Allah turun ?. Tidak ada
yang menolak ini kecuali Mu’tazilah. Adapun ahlul-haq (Ahlus-Sunnah)
mengatakan : Beriman kepada wajib tanpa menanyakan bagaimana (kaifiyah-nya),
karena telah shahih khabar-khabar dari Nabi ﷺ bahwasannya Allah ‘azza wa jalla
turun ke langit dunia setiap malam. Dan orang-orang yang meriwayatkan
khabar-khabar ini kepada kita adalah orang-orang yang meriwayatkan hukum-hukum
halal dan haram, serta ilmu tentang shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Maka
sebagaimana para ulama menerima dari mereka hal tersebut, begitu para ulama
juga menerima dari mereka Sunnah-sunnah ini. Mereka (ulama) berkata :
‘Barangsiapa yang menolaknya, maka ia sesat lagi busuk’. Mereka mentahdzir
mereka dan pemikiran mereka” [Asy-Syarii’ah, 2/93].
Ma’mar
bin Ahmad bin Ziyaad Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
وينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا كيف شاء بلا
كيف ولا تأويل، فمن أنكر النزول أو تأول فهو ضال مبتدع
“Dan
Allah turun pada setiap malam ke langit dunia tanpa ditanyakan ‘bagaimana’
(kaifiyatnya) dan tanpa ta’wiil, sebagaimana yang Ia kehendaki. Barangsiapa
yang mengingkari turunnya Allah atau mena’wilkannya, maka ia sesat lagi mubtadi’”
[Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabiy 2/349].
Asy-Syaikh
‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata:
والصواب ما قاله السلف الصالح من الإيمان
بالنزول وإمرار النصوص كما وردت من إثبات النزول لله سبحانه على الوجه الذي يليق
به، من غير تكييف ولا تمثيل، كسائر صفاته. وهذا هو الطريق الأسلم، والأقوم،
والأعلم، والأحكم، فتمسك به، وعض عليه بالنواجذ، واحذر ما خالفه تفز بالسلامة،
والله أعلم.
“Dan
yang benar adalah apa yang dikatakan as-salafush-shaalih yang mengimani an-nuzuul
(turunnya Allah ke langit dunia), memperlakukan nash-nash sebagaimana
datangnya yang menetapkan sifat turun (an-nuzuul) bagi Allah subhaanahu
wa ta’ala dengan cara yang layak bagi-Nya : tanpa takyiif dan tamtsiil,
seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah jalan yang paling selamat, paling
lurus, paling sesuai, dan paling hikmah/bijaksana. Berpegang-teguhlah
dengannya, gigitlah ia dengan gigi geraham, dan tahdzirlah orang yang
menyelisihinya. Semoga engkau memperoleh keselamatan, wallaahu a’lam” [Manhaju
Al-Haafidh Ibni Hajar Al-‘Asqalaaniy fil-‘Aqiidah, hal. 792].
Dan
masih banyak lagi…
Seandainya
berdasarkan penilaian ‘beberapa tokoh’ apa yang disampaikan Ustadz Adi adalah
benar dan tidak ada kesalahan/penyimpangan, mungkin statement para imam di atas
lah yang salah. Tapi secara pribadi, saya sangat berat dan keberatan untuk
mengatakannya. Mohon dimaafkan.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[bersambung, insya Allah –
abul-jauzaa’ – 09071438/06042017 - baca juga tulisan ustadzunaa Dr. Firanda Andirja : Masukan ke 4 untuk al-Ustadz AH (Menolak Allah turun di sepertiga malam terakhir) dan Hadits "Habatha" (Allah Turun ke Langit Dunia)].
[1] Jika belum dihapus, karena beberapa link
video yang menjadi referensi pada bahasan qadar telah dihapus (tapi saya sudah
save filenya). Alhamdulillah, jika itu merupakan wujud dari sikap rujuk
beliau atas masukan dan kritikan yang diberikan, meskipun beliau hafidhahullah
tidak menyatakannya secara tegas. Itulah yang sangat kami harapkan. Baarakallaahu
fiik.
[2] Perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah
yang dimaksud:
آمنت بالله وبما جاء عن الله، على مراد
الله. وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله
“Aku
beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan yang
diinginkan/dimaksudkan Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah ﷺ dan apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ, sesuai dengan yang diinginkan/dimaksudkan Rasulullah ﷺ” [Lum’atul I’tiqaad dengan syarh Shaalih Al-Fauzaan, hal.
56].
Comments
Na'am Ustd subhanallahu hanya mereka yg mengetahui kenapa ust Adi di tahdzir , semoga beliau mau merujuk kepada keyakinan Ahlus Sunnah
Dan sepertinya videonya sudah di hapus Ustd
Jazākumullāhu khairan Ustādz. Tulisan yang -inysā Allāh- bermanfaat.
Semoga Allāh memberi kita dan beliau taufīq pada apa-apa yang dicintai & diridhai-Nya, serta senantiasa memberikan petunjuk di atas Islām & Sunnah.
Ahsanallāhu ilaikum.
Baarakallaahu fiika
Kasus pertama :
Tentang bahwa ustadz Adi berpemahaman Qodariyah
Sebenarnya ini kesalahfahaman yg terjadi diantara penuduh dan tertuduh akibat konteks yg dipake keduanya berbeda.
Ustadz yg tertuduh tadi dituduh sebagai pemahaman Qadariyah hanya karena beda konteks yg dipake antara tertuduh dan penuduh. Konteks yg dipake ustadz tertuduh sedang menjelaskan Taqdir Ikhtiar yg sifatnya depend on ikhtiar makhluq, sementara penuduh pake konteks Taqlid Mutlaq.
Kesalahfahaman lain adalah tentang istilah mutlaq yg digunakan ustadz tertuduh dalam redaksinya :
"kehendak Allah tidak mutlaq disitu, kehendak Allah bergantung ikhtiar yang kita kerjakan..."
Kalau kita faham konteksnya, ustadz tertuduh menggunakan kata mutlaq bukan mutlaq dalam hal kepastian terjadinya, tetapi mutlaq dalam hal ketiadaan opsi yg diberikan kepada makhluk.
Jadi dalil2 yg digunakan penuduh tidak munasib dg konteks yg dipakai ustadz tertuduh.
Jadi problemnya adalah gagal memehami narasi dan redaksi yg digunakan Ustadz Adi.
Ditunggu lanjutanya ust... Mantap
Ustadz...cuma kasih saran aja. coba dibahas tentang metode para ulama dalam menjelaskan penyimpangan seseorang secara terbuka.
soalnya banyak orang jahil yang menolak tulisan antum, tulisan Ustadz Firanda dll dari sisi metodenya, bukan substansinya.
@Anonim 6 April 2017 12.00,..... insya Allah saya paham bagaimana kedudukan ikhtiyaar hamba dalam konteks takdir (perincian lanjutannya : Kebaikan dan Kejelekan Terjadi atas Takdir (Qadar) Allah. Saya pun telah menyimak beberapa rekaman tertuduh (meminjam istilah antum) baik yang durasi pendek ataupun panjang. Tentu tidak saya transkripkan semua, memakan waktu. Setidaknya, apa yang tertulis saya anggap mewakili pembicaraannya.
Tapi tetap tidak apa-apa juga seandainya antum anggap saya gagal paham. Peace... v
Mantap ust, d tunggu edisi selanjutnya
Masya Allah | Ibarat sebuah cake yang manis dan enak, tetapi didalamnya ada sedikit racun, maka engkau tidak memakannya, | yang diusahakan oleh tulisan ini, adalah membuang racun dalam cake tersbut
baca juga kritiksalafi.blogspot.co.id utk perbandingan
Nyari duit jgn dsini bro!
Blog ra mutu kok buat bandingan lek lek...
Didi PW
blog ra mutu itu bilang : "terdapat juga dalil yang mengindikasikan bahwa sahabat lain juga punya pemahaman yang berbeda dengan Ibnu Umar, yaitu ALLAH TIDAK TAHU KECUALI SETELAH TERJADINYA SESUATU,..."
Rata2 pengikutny ust AH tdk bisa membuktikan secara ilmiah,kalo dikritik langsung ngambek.mulutny kotor2 bgt liat aja komen2nya diyoutube gak jauh beda sm pengikut habaib yg gembar gembor sanad.tp alhamdulillah tmn sy pernah ngaji sunnah akhirny angkat kaki dr majlisny ust AH.
Jazakallahukhoir, insyaAllah kita terjaga dari pembelokan dari sunnah Rasulullah Salallahu'alaihiwasallam
Posting Komentar