Abu
‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah membawakan riwayat :
وسمعت الحاكم أبا عبد الله الحافظ : سمعت
أبا بكر محمد بن أحمد بن بالويه الجلاب يقول: سمعت أبا بكر محمد بن إسحاق ابن
خزيمة يقول: سمعت أحمد بن سعيد الرباطي يقول: قال لي عبد الله بن طاهر : يا أحمد
إنكم تبغضون هؤلاء القوم جهلاً وأنا أبغضهم عن معرفة. أولاً إنهم لا يرون للسلطان
طاعة. والثاني : إنه ليس للإيمان عندهم قدر. والله لا أستجيز أن أقول : إيماني
كإيمان يحيى بن يحيى ولا كإيمان أحمد بن
حنبل. وهم يقولون: إيماننا كإيمان جبريل وميكائيل
Dan
aku mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah Al-Haafidh (ia berkata) : Aku mendengar
Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baaluyah Al-Jalaab berkata : Aku mendengar Abu
Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : Aku mendengar Ahmad bin Sa’iid
Ar-Rabaathiy berkata : ‘Abdullah bin Thaahir pernah berkata kepadaku : “Wahai
Ahmad, sesungguhnya engkau membenci kaum itu (Murji’ah) dengan kebodohan,
sedangkan aku membenci mereka berdasarkan pengetahuan. Pertama, mereka adalah mereka
tidak memandang adanya ketaatan terhadap penguasa. Dan kedua, mereka memandang
tidak adanya kadar/tingkatan bagi keimanan. Demi Allah, aku tidak membolehkan diriku untuk
mengatakan keimananku seperti Yahyaa bin Yahyaa, tidak pula seperti keimanan
Ahmad bin Hanbal. Adapun mereka mengatakan : keimanan kita seperti keimanan
Jibriil dan Mikaaiil” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 64
no. 64; sanadnya shahih].
Asy-Syaikh
Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql hafidhahullah menjelaskan point di
atas sebagai berikut:
والأصول المشتركة عند جميع أهل الأهواء
أنهم كلهم لا يرون للسلطان طاعة، كالمرجئة، والقدرية، والجهمية، والمعتزلة، وأهل
الكلام المتأخرين، وخاصة أهل الكلام بالذات، أما من انتسب للكلام كبعض الأشاعرة
والماتريدية فقد يقولون بقول السلف في مسألة السلطان، لكن من أصول مذاهبهم أنهم يرون
الخروج على السلطان وعدم طاعة السلطان، كذلك من قبلهم الخوارج والسبئية الرافضة
ومن سلك سبيلهم كلهم لا يرون للسلطان طاعة، وهذا مبدأ عام عند جميع الفرق إلا
النادر، والنادر لا حكم له
“Dan
perkara ushuul yang bersifat kolektif ada pada kelompok pengikut hawa nafsu,
bahwasannya mereka semua berpandangan tidak adanya ketaatan terhadap penguasa,
seperti Murji’ah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan ahlul-kalam
belakangan, khususnya ahlul-kalam terhadap Dzat (Allah). Adapun orang yang
dinisbatkan pada ilmu kalam seperti sebagian kelompok Asyaa’irah dan
Maaturidiyyah, maka mereka berpendapat dengan pendapat salaf dalam permasalahan
(ketaatan terhadap) penguasa. Akan tetapi termasuk ushul/pokok madzhab mereka
bahwa mereka berpandangan bolehnya keluar/memberontak terhadap penguasa dan
meniadakan ketaatan terhadapnya. Begitu pula kelompok sebelum mereka seperti Khawaarij,
Sabaiyyah Raafidlah, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka; semuanya
berpandangan tidak adanya ketaatan terhadap penguasa. Ini adalah prinsip umum
yang ada pada seluruh kelompok (ahlul-bid’ah/hawa nafsu) kecuali sedikit
sekali, sedangkan yang sedikit ini tidak ada hukum padanya” [sumber : transkrip
rekaman audio.islamweb].
Diriwayatkan
dari Sufyaan Ats-Tsauriy rahimahullah, ia berkata:
اتَّقُوا هَذِهِ الأَهْوَاءَ الْمُضِلَّةَ
" قِيلَ لَهُ: بَيِّنْ لَنَا، رَحِمَكَ اللَّهُ. قَالَ سُفْيَانُ: "
أَمَّا الْمُرْجِئَةُ فَيَقُولُونَ: الإِيمَانُ كَلامٌ بِلا عَمَلٍ، مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ
أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَهُوَ
مُؤْمِنٌ مُسْتَكْمِلُ الإِيمَانِ، عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَالْمَلائِكَةِ،
وَإِنْ قَتَلَ كَذَا وَكَذَا مُؤْمِنٍ، وَإِنْ تَرَكَ الْغُسْلَ مِنَ
الْجَنَابَةِ، وَإِنْ تَرَكَ الصَّلاةَ، وَهُمْ يَرَوْنَ السَّيْفَ عَلَى أَهْلِ
الْقِبْلَةِ
“Berhati-hatilah
kalian terhadap hawa nafsu yang menyesatkan”. Dikatakan kepadanya :
“Terangkanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu”. Sufyaan berkata : “Adapun
Murji’ah, mereka berkata : iman adalah perkataan tanpa amal. Barangsiapa yang
mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa
rasuuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), maka
ia mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibriil dan para malaikat.
Meskipun ia membunuh demikian dan demikian, maka ia (tetap) mukmin. Meskipun ia
meninggalkan mandi janabah dan meninggalkan shalat. Dan mereka berpendapat
bolehnya mengangkat pedang terhadap ahlul-kiblat (kaum muslimin)”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/583-584 no. 2116, Al-Laalikaa’iy
dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 1834, dan Ibnu Syaahiin dalam Syarh
Madzaahib Ahlis-Sunnah hal. 27 no. 15].
Ada
seseorang yang bertanya kepada ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahumallah,
apakah ia berpemikiran irjaa’ ?. Maka ia (Ibnul-Mubaarak) menjawab:
كَيْفَ أَكُونُ مُرْجِئًا، فَأَنَا لا أَرَى
رَأْيَ السَّيْفِ؟ وَكَيْفَ أَكُونُ مُرْجِئًا، وَأَنَا أَقُولُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ
وَعَمَلٌ؟
“Bagaimana
bisa aku menjadi seorang Murji’ah, sedangkan aku tidak berpendapat bolehnya
mengangkat pedang ? Bagaimana bisa aku menjadi seorang Murji’ah, sedangkan
aku mengatakan : ‘iman adalah perkataan dan perbuatan’ ?” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahib Ahlis-Sunnah hal. 28 no. 17].
Sufyaan
bin ‘Uyainah dan Al-Auzaa’iy rahimahumullah berkata:
إِنَّ قَوْلَ الْمُرْجِئَةِ يَخْرُجُ إِلَى
السَّيْفِ
“Sesungguhnya
perkataan Murji’ah keluar menuju penghalalan pedang” [Diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 363; shahih].
Qataadah
rahimahullah berkata:
إِنَّمَا حَدَثَ هَذَا الإِرْجَاءُ بَعْدَ هَزِيمَةِ
ابْنِ الأَشْعَثِ
“Paham
irja’ itu hanya muncul pertama kali setelah terjadinya fitnah
Ibnul-Asy’ats” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnad-nya hal.
527 no. 1091, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal. 319 no. 644, dan
Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1252].
Fitnah
Ibnul-Asy’ats adalah peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnul-Asy’ats
melawan Al-Hajjaaj bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy, yang berakhir dengan kekalahan dan
eksekusi Ibnul-Asy’ats pada tahun 82 H.
Dari
perkataan salaf di atas, nampak kesamaan antara Khawaarij dan Murji’ah dari
sisi muamalah mereka terhadap penguasa. Mereka sama-sama membolehkan
pemberontakan dan mengangkat pedang melawan mereka. Inilah perkara ushul yang
ada pada setiap ahli-bid’ah sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Naashir bin
‘Abdil-Kariim Al-‘Aql di atas. Dan inilah pula yang dikatakan oleh sebagian
salaf, diantaranya Abu Qilaabah rahimahullah :
مَا ابْتَدَعَ رَجُلٌ بِدْعَةً إِلا
اسْتَحَلَّ السَّيْفَ
“Tidaklah
seseorang berbuat kebid’ahan kecuali ia akan menghalalkan pedang” [Diriwayatkan
oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/580 no. 2106 & 2109; shahih].
مَثَلُ أَهْلِ الأَهْوَاءِ مَثَلُ الْمُنَافِقِينَ،
فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ الْمُنَافِقِينَ بِقَوْلٍ مُخْتَلِفٍ وَعَمِلٍ مُخْتَلِفٍ،
وَجِمَاعُ ذَلِكَ الضُّلالُ، وَإِنَّ أَهْلَ الأَهْوَاءِ اخْتَلَفُوا فِي الأَهْوَاءِ
وَاجْتَمَعُوا عَلَى السَّيْفِ
“Permisalan
pengikut hawa nafsu seperti permisalan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah ta’ala
menyebutkan orang-orang munafik dengan perkataan yang berbeda-beda dan
perbuatan yang berbeda-beda, namun semua itu adalah kesesatan. Dan pengikut
hawa nafsu berbeda-beda dalam hawa nafsu (yang mereka ikuti), dan mereka semua
berkumpul di atas (mengangkat) pedang” [Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 2/287-288].
Begitu pula yang dikatakan Al-Barbahaariy
rahimahullah:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأَهْوَاءَ كَلُّهَا
رَدِيَّةٌ تَدْعُوْ كُلُّهَا إِلَى السَّيْفِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya hawa nafsu (pemahaman sesat/bid’ah) seluruhnya jelek. Seluruhnya
mengajak pada (penghalalan mengangkat) pedang” [Syarhus-Sunnah, hal. 120
no. 136].
Sebagian
salaf bahkan menyebut setiap ahli bid’ah yang menghalalkan mengangkat
pedang/senjata kepada penguasa dan kaum muslimin sebagai Khawaarij (meskipun
punya platform berbeda seperti Murji’ah, Jahmiyyah, atau yang lainnya).
Dari
Salaam bin Abi Muthii’, ia berkata:
رَأَى أَيُّوبُ رَجُلا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ،
فَقَالَ: " إِنِّي لأَعْرِفُ الذِّلَّةَ فِي وَجْهِهِ، ثُمَّ قَرَأَ: إِنَّ الَّذِينَ
اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ لِكُلِّ مُفْتَرٍ،
قَالَ: فَكَانَ أَيُّوبُ يُسَمِّي أَصْحَابَ الأَهْوَاءِ خَوَارِجًا، وَيَقُولُ: إِنَّ
الْخَوَارِجَ اخْتَلَفُوا فِي الاسْمِ وَاجْتَمَعُوا عَلَى السَّيْفِ "
“Ayyuub
(As-Sikhtiyaaniy) pernah melihat seorang laki-laki dari pengikut hawa nafsu
(ahli bid’ah), lalu ia berkata : ‘Sesungguhnya aku mengetahui kehinaan di
wajahnya’. Lalu ia membaca ayat : ‘Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan
anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari
Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan” (QS. Al-A’raaf :
152). Kemudian ia berkata : ‘Ini diperuntukkan bagi setiap orang yang
melakukan kedustaan’. Ayyuub menamakan para pengikut hawa nafsu sebagai
Khawaarij. Ia berkata : ‘Sesungguhnya Khawaarij berbeda-beda dalam nama, namun
berkumpul di atas (penghalalan mengangkat) pedang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d
dalam Musnad-nya hal. 575 no. 1275, Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar
hal. 215 no. 375, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/581 no. 2111;
shahih].
Ketika
orang Khawaarij menuduh Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah – dan ini adalah tuduhan
jaman purba - , maka Harb Al-Kirmaaniy[1]
dalam ushul ‘aqiidah yang dihimpunnya mengatakan:
وأما (الخوارج) : فإنهم يسمون أهل السنة
والجماعة : (مرجئة) ، وكذبت الخوارج [في قولهم] ؛ بل هم المرجئة يزعمون
أنهم على إيمان [وحق] دون الناس ومن خالفهم كفار
“Adapun
Khawaarij, mereka menamakan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sebagai Murji’ah.
Khawaarij telah berdusta dalam perkataan mereka. Bahkan merekalah Murji’ah
yang menyangka diri mereka di atas keimanan dan kebenaran sedangkan orang lain
tidak. Siapa saja yang menyelisihi mereka adalah orang-orang kafir” [As-Sunnah
min Masaaili Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy hal. 72 no. 117. Lihat juga
perkataan yang sama dalam Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Abu Ya’laa, 1/73].[2]
Mungkin
inilah makna istilah kontemporer yang menjadi trend di lisan sebagian orang
bodoh yang jago membeo : ‘Murji’ah ma’al-hukkaam’.[3]
Yaitu, tidak memandang adanya ketaatan terhadap penguasa dan/atau membolehkan
keluar ketaatan/memberontak dengan mengangkat senjata[4].
Ideologi trademark kelompok Khawaarij. Bedanya,
Khawaarij mengiringi dengan pengkafiran, sedangkan Murji’ah tidak. Kemaksiatan perlawanan,
pemberontakan, dan menumpahkan darah tidak dipandang Murji’ah sebagai faktor yang
dapat mengurangi keimanan mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin
rahimahullah setelah menyebutkan pandangan Khawaarij dalam perkara
kemaksiatan berkata:
وعلى العكس المرجئة، قالوا: إذا فعل المؤمن
كبيرة فهو مؤمن كامل الإيمان وإيمانه كإيمان جبريل وأبي بكر
“Dan
sebaliknya, yaitu Murji’ah. Mereka katakan : Apabila seorang mukmin melakukan
dosa besar, maka statusnya mukmin yang sempurna keimanannya. Imannya seperti
iman Jibriil dan Abu Bakr” [Asy-Syarhul-Mumtii’, 4/293].
Oleh
karenanya, mereka sangat ringan berbuat kemaksiatan.
Dari
sisi ini, maka tepatlah jika dikatakan kepada Khawaarij : “Engkaulah yang
justru Murji’ah”.
Semoga
ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– ba’da ashar, somewhere, 18071438 - baca juga artikel : Khawaarij 'alad-Du'aat].
[2] Ada lagi tuduhan orang Khawaarij terhadap
Ahlus-Sunnah sebagai Murji’ah hanya karena tidak mengkafirkan orang yang
meninggalkan shalat. Maka, Abul-Fadhl ‘Abbaas bin Manshuur As-Saksakiy
Al-Hanbaliy rahimahullah telah menyinggungnya semenjak ratusan tahun
yang lalu:
و
تُسَمِّيها المنصوريةُ – و هم أتباع عبد الله بن زيد – مرجئةً , لقولها : إن تارك
الصلاة إذا لم يكن جاحدا لوجوبها مسلم على الصحيح من المذهب , و يقولون : هذا يؤدي
إلى أن الإيمان عندهم قول بلا عمل
“Dan
kelompok Manshuuriyyah – mereka adalah pengikut ‘Abdullah bin Zaid (salah satu
pecahan Khawaarij – Abul-Jauzaa’) – menamakan Ahlus-Sunnah sebagai
Murji’ah berdasarkan pendapat mereka (Ahlus-Sunnah)
: Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat apabila ia tidak mengingkari
(kewajibannya) statusnya muslim berdasarkan yang shahih dari madzhab (Ahmad). Dan
mereka (Manshuuriyyah) berkata : ‘Pendapat ini mengkonsekuensikan bahwa iman
menurut mereka hanyalah perkataan saja tanpa amal” [Al-Burhaan fii Ma’rifati
‘Aqaaidi Ahlil-Adyaan, hal. 95-96].
[3] Secara tidak sadar, mereka sedang
membicarakan diri mereka sendiri. Namanya juga burung beo, tentu hanya pandai
menirukan suara radio.
[4] Ini satu sisi ekstrim kelompok Murji’ah dalam
muamalah mereka terhadap penguasa. Sisi ekstrim yang lain adalah mereka
berpandangan ketaatan mutlak terhadap penguasa meskipun penguasa tersebut bukan
orang yang shalih. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذه
طريقة خيار هذه الأمة قديما وحديثا وهى واجبة على كل مكلف وهى متوسطة بين طريق
الحرورية وأمثالهم ممن يسلك مسلك الورع الفاسد الناشىء عن قلة العلم وبين طريقة
المرجئة وأمثالهم ممن يسلك ملك طاعة الأمراء مطلقا وأن لم يكونوا أبرارا
“Dan inilah
jalan terbaik umat ini, baik dahulu maupun sekarang, yang wajib bagi setiap mukallaf
(untuk menempuhnya). Jalan ini adalah pertengahan antara (1) jalan yang
ditempuh Haruuriyyah (Khawaarij) dan semisal mereka yang menempuh jalan wara’
yang rusak yang timbul dari minimnya ilmu; dengan (2) jalan yang ditempuh
Murji’ah dan semisal mereka yang menempuh jalan ketaatan terhadap para
penguasa secara mutlak, meskipun mereka (penguasa) bukan orang yang
baik/shalih” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/508].
Ini
jelas keliru, karena ketaatan terhadap penguasa itu hanya pada yang ma’ruuf
(sesuai dengan syari’at), sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
لَا
طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam
maksiat. Ketaatan hanya pada yang ma’ruuf (sesuai syari’at)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7257 dan Muslim no. 1840].
Comments
Assalamu'alaykum Warahmatullah
.
Mumtaz Ustadz -barakallahufik-.
#Salam Ikhwah Makassar
Ana mohon ijin untuk menyalin kontent tulisannya sebagai tambahan referensi
-jazakallahu khairan-
Assalaamu'alaikum ustadz.
Maa syaa Allah.
Dari mana ilmu yg luas ini?
Barokallohu .... Jazakallhu khoir ustadz atas syarh nya.....
Posting Komentar