Ada beberapa kaedah dan landasan yang perlu
diperhatikan bagi orang yang berdakwah di jalan Allah ta’ala:
1.
Orang yang berdakwah tidak dituntut untuk merealisasikan hasil akhir
berupa kemenangan agama Islam atau penerimaan dari objek yang didakwahi, karena hal ini adalah urusan dan
kehendak Allah ta’ala. Rasulullah ﷺ dulu
dengan segala kemampuannya menginginkan pamannya Abu Thaalib untuk menerima
Islam, namun ternyata Allah ta’ala berkehendak lain.
عَنْ
الْمُسَيِّبِ، قَالَ: " لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي
أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، فَقَالَ: " أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو
جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ
وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى، قَالَ أَبُو طَالِبٍ: آخِرَ مَا
كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ، يَقُولَ: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " وَاللَّهِ
لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ
اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dari Al-Musayyib, ia berkata : Ketika Abu Thaalib
hampir mati, Rasulullah ﷺ mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl dan
‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughiirah ada di sisi Abu Thaalib. Rasulullah ﷺ bersabda (kepada Abu Thaalib): “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah;
satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di hadapan Allah”.
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu Thaalib, apakah
engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Rasulullah ﷺ tidak
henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut agar Abu Thaalib mengucapkannya,
namun keduanya (Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah) juga mengulang apa yang
telah mereka katakan sebelumnya. Hingga akhir perkataan Abu Thaalib saat
kematiannya adalah di atas agama ‘Abdul-Muthallib dan enggan untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah ﷺ bersabda
: “Demi Allah, sungguh aku akan
memintakan ampun kepadamu selama tidak dilarang”. Maka Allah menurunkan
ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam” (QS.
At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thaalib. Dan Allah
berfirman kepada Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah (lah)
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashshash : 56)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4675 & 4772, Muslim no. 24, Ahmad 5/433,
dan yang lainnya].
Yang dituntut bagi seorang pendakwah berusaha
sesuai dengan kemampuannya untuk berdakwah.
2.
Dakwah tidak diukur oleh banyak-sedikitnya pengikut dan jama’ah, akan
tetapi dakwah diukur dengan kebenaran.
Dakwah bukan sekedar bertujuan untuk mengumpulkan
manusia, akan tetapi menyampaikan kebenaran yang telah Allah perintahkan. Bukan
menjadi sesuatu yang diharuskan dalam dakwah agar semua orang menyambut
dakwahnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ada Nabi yang
mempunyai sedikit pengikut, atau bahkan tidak mempunyai pengikut sama sekali.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ
مَا صُدِّقْتُ، إِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ
إِلا رَجُلٌ وَاحِدٌ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah ﷺ : “Tidak
ada seorangpun Nabi yang dibenarkan seperti aku dibenarkan (oleh umatnya).
Sesungguhnya ada di kalangan para nabi yang tidak dibenarkan oleh umatnya
kecuali hanya satu orang saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/136].
Begitu juga hadits:
عُرِضَتْ
عَلَيَّ الْأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمُ
الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat pernah ditampakkan kepadaku. Lalu nampaklah
seorang nabi dan dua orang nabi lain lewat bersama dengan beberapa orang saja
(= tidak sampai 10 orang), dan seorang nabi lagi yang tidak bersama seorang pun
(pengikut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 5705].
Sebagian ulama salaf berkata:
عَلَيْكَ
بِطَرِيْقِ اْلحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِينَ. وَ إِيَّاكَ وَطَرِيقَ
اْلبَاطِلِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ اْلهَالِكِينَ
“Wajib bagi engkau untuk mengikuti jalan kebenaran
dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang menempuhnya. Waspadailah
jalan kebathilan, dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa (yang
menempuh jalan itu)” [Madaarijus-Saalikiin, 1/22].
Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
الْزَمِ
الْحَقَّ، وَلا تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ أَهْلِهِ
“Berpegang teguhlah kepada kebenaran, dan jangan
engkau terpedaya karena sedikitnya orang yang berada di atasnya” [Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd no. 247].
3.
Pahala yang akan diperoleh dari usahanya untuk berdakwah, tidak terkait
dengan respon (objek dakwah), apakah ia menerima ataukah menolak dakwah yang
disampaikan.
Pahala yang didapat tergantung pada niat, usaha,
dan cara (yang mengikuti sunnah).
Para Nabi dan Rasul berdakwah sama sekali tidak
mengharapkan upah, namun hanya mengharapkan keridlaan dan pahala dari Allah ta’ala,
sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أَسْئَلُكُمْ
عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu
atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”
[QS. Asy Syu’araa’ (26) : 109, 127, 145, 164, 180].
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ
ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat” [QS. Al-An’aam (6) : 90].
Adapun apabila ada orang yang menyambut dakwahnya
dan melakukan kebenaran/kebaikan dari apa yang diserukan, maka baginya tambahan
pahala yang berlipat sebagai satu karunia dari-Nya ta’ala.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ
دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan,
maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1677].
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, baginya pahala
seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa seperti
dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674].
فَوَاللَّهِ
لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ
النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sungguh seandainya Allah melalui
perantaraan dirimu memberikan petunjuk kepada seseorang, maka itu baik bagimu
daripada onta merah (= harta dunia yang paling baik)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3009].
4.
Berupaya mewujudkan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran dan
kalimat tauhid, karena kalimat tauhid
(Laa ilaha illallaah) merupakan pokok
untuk menyatukan barisan (كلمة التوحيد أساس توحيد
الكلمة).
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)" [QS.
Aali ‘Imraan (3) : 64].
5.
Dakwah dimulai dari yang paling penting, kemudian yang penting, dan
seterusnya.
Hal ini seperti pengajaran Rasulullah ﷺ kepada Mu’’adz bin Jabal radliyallaahu
‘anhu saat diutus ke negeri Yaman:
إِنَّكَ
تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ،
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي
فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ،
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ
حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi Ahli Kitaab. Maka
serulah (untuk yang pertama kali) kepada persaksian (syahadat) bahwa tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) kecuali Allah dan aku adalah Rasullullah. Seandainya mereka
mentaatimu dalam perkara tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam. Apabila
mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut, beritahukanlah bahwa Allah
mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan
diberikan kepada orang-orang faqirnya. Jika mereka mentaatimu dalam perkara tersebut,
maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka dan takutlah kamu terhadap doa
orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada hijab antara dia dengan
Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 19].
Hadits ini juga memberikan faedah kepada kita
bahwa metode dakwah Rasulullah ﷺ dilakukan secara bertahap, tidak
sekaligus.
6.
Dakwah mengajak loyal kepada agama (syari’at Islam), bukan untuk para
tokoh, karena kebenaran akan kekal sedangkan tokoh akan wafat.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اْلحَقَّ
لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal melalui orang-orangnya.
Tetapi kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan tahu siapa orang-orang yang
berada di atas kebenaran” [Talbiis Ibliis oleh Ibnul-Jauziy].
Dakwah hanyalah untuk mengajak orang lain kepada agama/jalan
Allah sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik" [QS. Yuusuf
(12) : 108].
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan
berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [QS. Fushshilat
(41) : 33].
7.
Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik.
Allah ta’ala berfirman:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik”
[QS. An-Nahl (16) : 125].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
“Allah ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya
Muhammad ﷺ agar
menyeru manusia kepada Allah ta’ala dengan ‘hikmah’. Ibnu Jariir berkata
bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah apa yang diturunkan Allah kepada Nabi ﷺ berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
(وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ) ‘pelajaran yang baik’ maksudnya adalah berupa
larangan-larangan dan berbagai kejadian yang menimpa manusia yang disebutkan di
dalamnya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), agar dijadikan peringatan bagi mereka akan
hukuman Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala : ‘dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik’, maksudnya adalah : barangsiapa yang
membutuhkan perdebatan dan perbantahan, hendaknya dilakukan dengan cara yang
baik, yaitu dengan kelemahlembutan, keramahan, dan tutur kata yang baik;
sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu berdebat dengan
Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
lalim di antara mereka’ (QS. Al-Ankabuut : 46). Maka, (dengan ayat ini)
Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk
berlemah-lembut sebagaimana Allah telah memerintahkan Muusaa dan Haaruun ‘alaihimas-salaam
ketika memerintahkan keduanya datang (berdakwah) kepada Fir’aun sebagaimana
dalam firman-Nya : ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut’ (QS. Thaha (20) :
44)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ
الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ
إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada ada pada
sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu
melainkan akan membuatnya jelek” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2594].
مَنْ
يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Barangsiapa dijauhkan dari sifat lemah-lembut,
maka ia dijauhkan dari kebaikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2592].
8.
Menghindari perdebatan.
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah
menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yang tercela, yaitu:
a.
Berdebat dengan kebathilan untuk melenyapkan kebenaran.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَادَلُوا
بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang bathil untuk
melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu” [QS. Al-Mukmin (40) : 5].
b.
Berdebat tentang kebenaran setelah jelas kebenaran
tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
يُجَادِلُونَكَ
فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas
kebenaran itu” [QS. Al-Anfaal (8) : 6].
c.
Berdebat tentang perkara yang tidak diketahui oleh pihak
yang berdebat.
Allah ta’ala berfirman:
هَا
أَنْتُمْ هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ
فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal
yang tidak kamu ketahui?” [QS. Aali ‘Imraan : 66].
[Ar-Radd ’alal-Mukhaalif,
hal. 51-52].
Sebagai tambahan, perdebatan
tercela:
d.
Perdebatan dengan
orang yang susah diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku
bid’ah dan orang-orang yang menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap
sombong terhadap kebenaran, permusuhannya yang keras terhadap orang-orang yang
benar, dan kukuhnya dalam membela kebathilan.
e.
Perdebatan pada perkara yang telah jelas dan tidak ada
kesamaran padanya, baik bagi yang mendebat maupun yang didebat.
f.
Perdebatan yang tidak diniatkan ikhlash untuk menggapai
keridlaan Allah ta’ala.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَا
زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ
مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ
كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
"
“Aku menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan
meskipun ia benar, (menjamin)
rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya sekedar
bergurau, serta (menjamin)
rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800; hasan].
Tidak dapat dipungkiri menahan untuk tidak
mendebat dengan orang lain saat ia memandang orang lain salah dan dirinya benar
adalah sangat sulit. Suka berdebat itu adalah tabiat, sehingga seringkali
seseorang melakukannya mempunyai sangkaan bahwa apa yang dilakukannya benar dan
mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya sebagai penolong agama Allah melalui
debatnya. Tentu saja, tidak seperti itu keadaannya.
9.
Menghindari sikap dari tasyaddud
(mempersulit/keras) serta mengutamakan sikap mudah dan lapang selama
diperbolehkan syari’at.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah
seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan
dikalahkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 39].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Balideli – 14 Sya’ban 1437 H/21-05-2016].
Comments
Apakah termasuk ikhtilat postingan di media sosial kemudian di like atau di komen kawan jenis.
Tidak
Ijin share ustad
Posting Komentar