Tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa adzan merupakan salah satu syi’ar
Islam yang paling besar dan penunjuk eksistensi Islam yang paling masyhur. Adzan
dikumandangkan sebagai pemberitahuan kepada manusia (kaum muslimin) bahwa waktu
shalat telah masuk. Bahkan, dikumandangkannya adzan menjadi sebab sebuah negeri
tidak diserang oleh pasukan kaum muslimin sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Anas radliyallaahu ‘anhu berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ
أَذَانًا، أَمْسَكَ، وَإِلَّا أَغَارَ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ،
اللَّهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى
الْفِطْرَةِ.....
Dari
Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah ﷺ pernah hendak menyerang satu daerah ketika
terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan
maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau
menyerang. Lalu beliau ﷺ pun mendengar seorang laki-laki berkata (mengumandangkan
adzan) : Allaahu akbar Allaahu akbar. Rasulullah ﷺ bersabda : “Di atas fithrah....”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 382].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata :
وَفِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّ الْأَذَان
يَمْنَع الْإِغَارَة عَلَى أَهْل ذَلِكَ الْمَوْضِع ، فَإِنَّهُ دَلِيل عَلَى إِسْلَامهمْ
“Dalam
hadits ini terdapat dalil yang menujukkan bahwa adzan menahan serangan terhadap
penduduk daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman
mereka” [Syarh Shahiih Muslim, 4/84].
Namun
demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengumandangkan adzan,
apakah wajib ataukah hanya sunnah muakkadah saja. Yang raajih dalam
hal ini – wallaahu a’lam – adalah wajib/fardlu kifayah. Apabila salah
seorang telah mengumandangkan adzan, maka telah mencukupi bagi orang-orang yang
tinggal di negeri/tempatnya. Dalilnya antara lain sabda Nabi ﷺ:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَا يُؤَذَّنُ
وَلَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ
“Tidaklah
tiga orang yang tinggal di satu desa yang tidak dikumandangkan adzan dan tidak pula
ditegakkan shalat padanya, kecuali setan akan menguasai mereka”
Dalam
lafadh lain:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ
لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ
“Tidaklah
tiga orang yang tinggal di satu desa atau pedalaman yang tidak ditegakkan
shalat padanya, kecuali setan akan menguasai mereka” [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 547, An-Nasaa’iy no. 847, Ahmad 5/196 & 6/446, Al-Haakim 1/330
& 2/524, dan yang lainnya; hasan].
Hadits
di atas secara jelas menunjukkan wajibnya adzan di suatu tempat/negeri, karena
meninggalkan adzan dan shalat menjadi sebab berkuasanya setan. Selain itu, yang
menjadi dalil adalah hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu yang
disebutkan di awal.
Pendapat
inilah yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana
perkataannya:
الصحيح أن الأذان فرض على الكفاية
“Yang benar dalam permasalahan ini, adzan hukumnya fardlu kifaayah”
[Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/64].
Begitu
juga Al-Mardawiy Al-Hanbaliy rahimahullah:
فإن فعلهما في الحضر فالصحيح من المذهب :
أنهما فرض كفاية في القرى والأمصار وغيرهما وعليه الجمهور
“Apabila
keduanya (adzan dan iqamat) dilakukan ketika menetap (tidak safar – Abul-Jauzaa),
maka yang shahih dalam madzhab (Hanabilah) bahwa keduanya hukumnya fardlu kifayah
di desa, kota, dan tempat yang lainnya. Inilah pendapat yang dipegang jumhur” [Al-Inshaaf,
1/407].
Apabila
seseorang shalat sendirian (munfarid), ia pun tetap disyari’atkan untuk
mengumandangkan adzan (dan iqamat). Dalilnya antara lain adalah:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ
شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:
انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ، يَخَافُ مِنِّي قَدْ
غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ "
Dari
‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Rabb kalian ridlaa pada
seorang penggembala kambing yang berada di pucuk gunung, yang mengumandangkan adzan
dan shalat. Maka Allah ‘azza wa jallla berfirman : ‘Lihatlah kepada hamba-Ku
yang mengumandangkan adzan dan menegakkan shalat karena semata-mata takut
kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan akan Aku masukkan ia
ke dalam surga” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1203, An-Nasaa’iy no.
666, Ahmad 4/145 & 4/157, dan yang lainnya; shahih].
An-Nasaa’iy
rahimahullah memasukkan hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu ‘anhu di
atas dalam bab (الْأَذَانُ لِمَنْ يُصَلِّي وَحْدَهُ)
“Adzan bagi orang yang shalat sendirian diri” [Sunan An-Nasaa’iy, hal.
111].
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
وفي الحديث من الفقه استحباب الأذان لمن يصلي
وحده , وبذلك ترجم له النسائي.
وقد جاء الأمر به وبالإقامة أيضاً في بعض
طرق حديث المسيء صلاته , فلا ينبغي التساهل بهما.
“Kandungan
dalam hadits ini merupakan fiqh disunnahkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian.
Oleh sebab itu, An-Nasaa’iy telah menjelaskan hadits itu (pada bab dalam Sunan-nya).
Dan telah ada hadits lain yang memerintahkan iqamat pada sebagian jalan
hadits orang yang jelek shalatnya, sehingga tidak boleh untuk bermudah-mudah untuk
meninggalkan adzan dan iqamat” [Silsilah Ash-Shahiihah, 1/102].
Juga
hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَة الْأَنْصَارِيِّ ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ
الْخُدْرِيَّ، قَالَ لَهُ: " إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ
وَالْبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ
بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى
صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ "، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Dari
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Sha’sha’ah Al-Anshaariy Al-Maaziniy,
bahwasannya Abu Sa’iid Al-Khudriy pernah berkata kepadanya : “Aku melihatmu
menyukai kambing dan daerah pedalaman/sahara. Apabila engkau sedang bersama
kambingmu atau ketika berada di daerah pedalaman/sahara, lalu engkau
mengumandangkan adzan untuk shalat, maka angkatlah (keraskanlah) suaramu.
Karena tidaklah suara muadzin terdengar oleh jin, manusia, atau yang lainnya,
kecuali mereka akan menjadi saksi bagimu di hari kiamat”. Abu Sa’iid melanjutkan
: “Aku mendengarnya dari Rasulullah ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 609].
Ibnul-Mundzir
rahimahullah berkata:
أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُؤَذِّنَ وَيُقِيمَ
إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ، وَيُجْزِيهِ إِنْ أَقَامَ وَإِنْ لَمْ يُؤَذِّنْ، وَلَوْ صَلَّى
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلا إِقَامَةٍ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الإِعَادَةُ، وَإِنَّمَا أَحْبَبْتُ
الأَذَانَ وَالإِقَامَةَ لِلْمُصَلِّي وَحْدَهُ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
“Aku
menyukai untuk dikumandangkan adzan dan iqamat apabila shalat sendirian, dan
tetap mencukupi (sah) apabila hanya iqamat saja tanpa adzan. Meskipun ia mengerjakan
shalat tanpa adzan dan iqamat, tidak wajib baginya untuk mengulangi. Aku
menyukai dikumandangkan adzan dan iqamat bagi orang yang shalat sendirian berdasarkan
hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy” [Al-Ausath, no. 1233].
Juga
hadits Salmaan Al-Farisiy radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ ﷺ: " إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضِ قِيٍّ فَحَانَتِ الصَّلاةُ فَلْيَتَوَضَّأْ،
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ،
وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُودِ اللَّهِ مَا لا يُرَى طَرَفَاهُ
"
Dari
Salmaan Al-Faarisiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Apabila seseorang berada di tanah
tandus tak berpenghuni, lalu tiba waktu shalat, hendaklah ia berwudlu. Apabila
ia tidak mendapatkan air, hendaklah bertayammum. Apabila ia mengumandangkan iqamat,
maka akan shalat bersamanya dua orang malaikat. Apabila ia mengumandangkan
adzan dan iqamat, maka akan shalat di belakangnya tentara-tentara Allah yang
tidak terlihat dua ujungnya (yaitu sangat banyak – Abul-Jauzaa’)”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq 1/510-511 no. 1955; dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib no. 249].[1]
Apabila
seseorang shalat qadla, atau shalat di masjid setelah shalat berjama’ah pertama usai yang sebelumnya telah dikumandangkan adzan dan iqamat; maka hendaknya
adzan yang dikumandangkannya tidak keras.
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata:
وَالْأَفْضَلُ لِكُلِّ مُصَلٍّ أَنْ
يُؤَذِّنَ وَيُقِيمَ إلَّا أَنَّهُ إنْ كَانَ يُصَلِّي قَضَاءً أَوْ فِي غَيْرِ
وَقْتِ الْأَذَانِ ، لَمْ يَجْهَرْ بِهِ .
وَإِنْ كَانَ فِي الْوَقْتِ ، فِي
بَادِيَةٍ أَوْ نَحْوِهَا ، اُسْتُحِبَّ لَهُ الْجَهْرُ بِالْأَذَانِ ؛ لِقَوْلِ
أَبِي سَعِيدٍ
“Dan
yang afdlal untuk setiap orang yang akan melakukan shalat untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat. Hanya saja, apabila ia shalat qadla
atau pada selain waktu adzan, maka tidak dikeraskan. Namun apabila ia berada
pada waktu adzan, di daerah pedalaman/sahara, atau yang semisalnya, disunnahkan
untuk mengeraskan adzan, berdasarkan perkataan Abu Sa’iid….” [Al-Mughniy,
2/231].
وَإِذَا أَذَّنَ فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ
يُخْفِيَ ذَلِكَ وَلَا يَجْهَرَ بِهِ ؛ لِيَغُرَّ النَّاسَ بِالْأَذَانِ فِي
غَيْرِ مَحِلِّهِ .
“Apabila
ia hendak adzan (di masjid yang telah dikumandangkan adzan sebelumnya), maka
disunnahkan untuk melirihkannya dan tidak mengeraskannya, karena orang-orang
dapat terkecoh dengan adzan yang dikumandangkan bukan pada tempatnya (waktunya)”
[idem, 2/238].
Sebagai
tambahan, adzan dan iqamat bagi orang yang shalat sendirian di masjid seperti itu tidaklah wajib tanpa ada perselisihan sebagaimana dikatakan Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
وَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا فِي أَنَّهُ إِذَا
جَاءَ الْمَسْجِدَ، وَقَدْ خَرَجَ الْإِمَامُ مِنَ الصَّلَاةِ، كَانَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ
بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku
tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi apabila ada seseorang yang datang
ke masjid sedangkan imam telah keluar (selesai) dari shalatnya, maka boleh
baginya shalat tanpa adzan dan iqamat” [Al-Umm, 1/101].
Ini
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam.
Somewhere,
21 Dzulqa’dah 1437
[1] Namun tashhiih ini mendapatkan
kritikan, karena dalam jalan yang lain diriwayatkan secara mauquuf.
Semoga lain waktu dapat membahasnya di Blog ini.
Comments
Bismillah
Afwan ,bagaimana dengan shalatnya seorang wanita dalam keadaan sendirian apakah adzan dan iqomah juga dilakukan ustadz?
Bagaimana pula kalau wanita sholat berjamaah dengan wanita yang lain, apakah hal tersebut juga disunnahkan?
Mohin penjelasannya syukran jazakallahu khaeran
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما النساء شقائق الرجال
“Wanita itu hanyalah saudara kandung laki-laki”
Maksudnya di sini, segala perintah dan larangan yang ada di dalam syari'at yang ditujukan kepada laki-laki, juga berlaku bagi wanita; kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang mengkhususkan pensyari'atan tersebut.
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ ؟ فَغَضِبَ، قَالَ: أَنَا أَنْهَى عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
Ibnu 'Umar pernah ditanya apakah wanita juga diperbolehkan adzan ?. Maka ia pun marah dan berkata : "Apakah aku melarang dari dzikir kepada Allah ?" [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, sanadnya shahih].
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
الأَذَانُ ذِكْرٌ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ، فَلا بَأْسَ أَنْ تُؤَذِّنَ الْمَرْأَةُ وَتُقِيمَ
"Adzan termasuk dzikir kepada Allah. Maka tidak mengapa wanita mengumandangkan adzan dan iqamat" [Al-Ausath no. 1222].
Adzan dan iqamatnya wanita hendaknya perlu melihat sikon. Tidak harus dilakukan keras-keras seperti adzan laki-laki karena dapat menimbulkan fitnah, wallaahu a'lam.
NB : Ulama Lajnah berpendapat tidak disyari'atkan adzan dan iqamat bagi wanita (lihat artikel ini).
Posting Komentar