Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: " إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَسْخَطُ لَكُمْ
ثَلَاثًا، يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا،
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ
اللَّهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ،
وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya
Allah ridla untuk kalian tiga perkara dan benci bagi kalian tiga perkara. Allah
ridla untuk kalian (1) agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, (2) agar kalian seluruhnya berpegang
teguh dengan tali (agama) Allah; serta
(3) hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang
mengurusi urusan kalian (yaitu : ulil-amri, penguasa kaum muslimin). Dan Allah
benci untuk kalian (1) qiila wa qaala (dikatakan dan katanya), (2)
menyia-nyiakan harta, dan (3) banyak pertanyaan”.
Diriwayatkan oleh Malik 4/519-520 no. 2011,
Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 442, Muslim no. 1715, Ahmad
2/327 & 360 & 367, Ibnu Hibbaan no. 3388 & 4560 & 5720, dan
yang lainnya.
Perawi :
Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy. Para ulama berselisih pendapat tentang namanya
dan nama bapaknya. Ada yang mengatakan ‘Abdurrahman bin Shakhr. Ada yang
mengatakan : ‘Abdurrahmaan bin Ghanam. Ada yang mengatakan : ‘Abdullah bin
‘Aaidz. Ada yang mengatakan : ‘Abdullah bin ‘Aamir. Ada yang mengatakan :
‘Abdullah bin ‘Amru. Ada yang mengatakan Sukain bin Wadzamah. Ada yang
mengatakan : Sukain bin Haani’, dan yang lainnya.
Yang masyhur namanya adalah ‘Abdurrahmaan bin
Shakhr.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata : “Aku
diberikan kunyah Abu Hurairah karena dulu aku pernah menemukan anak kucing,
lalu aku bawa dengan lenganku. Dikatakan : ‘Apa ini ?’. Maka aku jawab : ‘Ini
adalah anak kucing (hirrah)”. Dikatakan : “Maka engkau adalah Abu
Hurairah” [Tahdziibul-Kamaal, 34/366-367 no. 7681].
Meninggal tahun 57 H di
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu termasuk
shahabat Nabi ﷺ yang
paling banyak periwayatan haditsnya dari beliau.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " مَا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ
مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ
"
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Tidak ada seorang
pun dari kalangan shahabat Nabi ﷺ yang lebih banyak dariku dalam
meriwayatkan hadits dari beliau ﷺ, kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr. Ia menulis,
sedangkan aku tidak menulis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 113, Ahmad
2/248-249, At-Tirmidziy no. 2668, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قُلْتُ: " يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ، قَالَ:
ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ، قَالَ: فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ:
ضُمَّهُ، فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Aku berkata :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar banyak hadits darimu, namun (saat
ini) aku lupa”. Beliau ﷺ
bersabda : ‘Bentangkanlah selendangmu !’. Akupun kemudian membentangkan
kain selendangku. Lalu beliau menggerakkan tangannya seakan-akan menciduk
sesuatu, kemudian bersabda : ‘Tangkupkanlah ia’. Aku pun
menangkupkannya. Semenjak itu aku tidak pernah melupakan sesuatu” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhariy no. 119].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
:
وَفِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ فَضِيلَة ظَاهِرَة
لِأَبِي هُرَيْرَة وَمُعْجِزَة وَاضِحَة مِنْ عَلَامَات النُّبُوَّة ؛ لِأَنَّ
النِّسْيَان مِنْ لَوَازِم الْإِنْسَان ، وَقَدْ اِعْتَرَفَ أَبُو هُرَيْرَة
بِأَنَّهُ كَانَ يُكْثِر مِنْهُ ثُمَّ تَخَلَّفَ عَنْهُ بِبَرَكَةِ النَّبِيّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dalam dua hadits ini terdapat keutamaan nyata
yang ada pada diri Abu Hurairah, serta mu’jizat yang jelas dari tanda-tanda
kenabian. Hal itu dikarenakan, sifat lupa adalah sesuatu yang biasa terjadi
pada diri manusia. Abu Hurairah sendiri mengakui bahwa dirinya dulu mempunyai
banyak sifat lupa, kemudian hal ini hilang dikarenakan barakah Nabi ﷺ” [Fathul-Baariy, 1/215].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
حماد بن زيد: حدثني عمرو بن عبيد الانصاري: حدثني
أبو الزعيزعة كاتب مروان: أن مروان أرسل إلى أبي هريرة، فجعل يسأله، وأجلسني خلف
السرير، وأنا أكتب، حتى إذا كان رأس الحول، دعا به، فأقعده من وراء الحجاب، فجعل
يسأله عن ذلك الكتاب، فما زاد ولا نقض، ولا قدم ولا أخر.
قلت: هكذا فليكن الحفظ.
قلت: هكذا فليكن الحفظ.
“(Berkata) Hammad bin Zaid : Telah menceritakan
kepadaku ‘Amr bin ‘Ubaid Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepadaku
Abuz-Zu’aizi’ah, sekretaris Marwaan : Bahwasannya Marwaan pernah mengutus
seseorang kepada Abu Hurairah untuk menanyakan sesuatu. Ia (Marwaan) menyuruhku
duduk di belakang pembaringan, dan aku menulis (apa yang ia tanyakan kepada Abu
Hurairah). Hingga datang awal tahun berikutnya, Marwaan memanggil Abu Hurairah
dan menyuruhnya duduk di balik hijab. Lalu ia (Marwaan) bertanya kepada Abu
Hurairah tentang isi tulisan (yang dulu pernah ia tanyakan kepadanya). Tidaklah
Abu Hurairah menambahkan, mengurangi, dan mengakhirkan isi tulisan tersebut.
Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Begitulah yang
seharusnya (yang dilakukan dalam) menghapal” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/598].
Kandungan Umum
1. Hadits ini menunjukkan perhatian Nabi ﷺ terhadap umat untuk memberikan peringatan
kepada umatnya untuk menetapi segala sesuatu yang membawa keridlaan Allah ta’ala
sehingga membawa mereka masuk ke dalam jannah-Nya; dan memberi peringatan
kepada umatnya untuk menjauhi segala apa yang dibenci Allah ta’ala yang dapat
menjerumuskan ke dalam siksa-Nya di neraka, wal-‘iyadzubillah…
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ
رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin” [QS.
At-Taubah : 128].
2. Ridlaa adalah lawan kata dari as-sukhth (benci,
tidak puas, kemarahan), sehingga orang yang ridlaa tidak mungkin akan marah,
jengkel, atau semacamnya.
Kata An-Nawaawiy, makna ‘aku ridlaa terhadap sesuatu’ adalah:
قَنَعْتُ بِهِ
وَاكْتَفَيْتُ بِهِ وَلَمْ أَطْلُبْ مَعَهُ غَيْرَهُ
“Aku merasa puas dan merasa cukup dengannya, dan tidak menginginkan
selainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 1/51].
Ini seperti perkataan dalam Nabi ﷺ dalam hadits:
مَنْ رَضِيَ
بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ
الْجَنَّةُ
“Barangsiapa yang ridla kepada Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai
agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya, maka wajib baginya surga”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1884].
Dan ini merupakan lafadh dzikir yang disunnahkan untuk diucapkan setiap
pagi dan petang:
رَضِيتُ بِاللَّهِ
رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ ﷺ نَبِيًّا
TAUHID
Sabda beliau ﷺ : ‘agar kalian beribadah kepada-Nya dan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun’ (أَنْ تَعْبُدُوهُ،
وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا).
Perkataan beliau ﷺ ini adalah perkataan yang paling penting
karena menyangkut pondasi keimanan kita kepada Allah agar beribadah kepada
Allah ﷺ semata
tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Inilah tauhid. Inilah misi dakwah
utama semua Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ
إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" [QS. Al-Anbiyaa’ (21) : 25].
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah)" [QS. An-Nahl (16) : 36].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa
tegaknya langit dan bumi, diciptakannya semua makhluk, diturunkannya
kitab-kitab Allah dan diutusnya para Rasul, terbaginya manusia menjadi mukmin
dan kafir, ada yang baik ada yang buruk; tertumpahkannya darah para syuhada’,
dan perseteruan antara yang haq dan yang batil; maka semua ini karena tauhid
[lihat Zaadul-Ma’aad, 1/35].
Dikarenakan menegakkan dakwah tauhid, Nabi
Ibraahiim ‘alaihis-salaam dilemparkan ke dalam api oleh Namrud. Allah ta’ala
berfirman:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ * وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ * قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوهُ فِي
الْجَحِيمِ
“Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah
patung-patung yang kamu pahat itu?. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan
apa yang kamu perbuat itu". Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan
untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala
itu" [QS. Ash-Shaaffaat (37) :
95-97].
Dikarenakan menegakkan dakwah tauhid, para Nabi
dan Rasul harus berkonfrontasi dengan kaum dan sanak kerabatnya sendiri,
sehingga mereka dikucilkan dan mengalami gangguan, ujian, dan tantangan.
Syirik ada dua:
1.
Syirik Akbar
Yaitu memalingkan peribadahan kepada selain Allah ta’ala. Syirik
jenis ini dapat menghapuskan amalan kebaikan secara keseluruhan, sebagaimana
firman Allah ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا
لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” [QS. Al-An’aam (6) : 88].
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi” [QS. Az-Zumar (39) : 65].
Allah pun akan mengharamkan dirinya (pelaku syirik akbar) untuk masuk
ke dalam surga.
إِنَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun” [QS. Al-Maaidah (5) : 72].
Kekal di dalam adzab neraka.
وَالَّذِينَ لا
يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا *
يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang
lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni)
akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal
dalam azab itu, dalam keadaan terhina” [QS. Al-Furqaan (25) : 68-69].
Keadaan yang mengherankan adalah bahwa pelaku kesyirikan (musyrik) di
jaman sekarang lebih parah keadaannya daripada sebagian pelaku kesyirikan di jaman
dahulu. Dahulu, orang berbuat syirik hanya di waktu lapang. Ketika datang
kesempitan, mereka pun beribadah mengikhlashkan diri kepada Allah. Hal ini
sebagaimana difirmankan Allah ta’ala:
فَإِذَا رَكِبُوا
فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ
إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka
naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya;
maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah)” [QS. Al-Ankabuut (29) : 65].
وَإِذَا مَسَّكُمُ
الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ
إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di
lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia
menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak
berterima kasih”
[QS. Israa’ (17) : 67].
Adapun jaman sekarang, orang berbuat syirik baik di waktu lapang maupun
sempit.
Dulu sebagian orang berbuat syirik dalam Uluhiyyah Allah saja,
tidak dalam Rububiyyah-Nya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
"Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” [QS. Az-Zukhruf (43) : 87].
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ
الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui"
[QS. Az-Zukhruf (43) : 9].
Adapun jaman sekarang, orang berbuat syirik dalam segala hal (Rububiyyah,
Uluhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat).
2.
Syirik Ashghar (Kecil)
Syirik ashghar (kecil) tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama
Islam, tetapi ia mengurangi (kesempurnaan) tauhid dan merupakan jalan/perantara
yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar.
Syirik ashghar dibagi menjadi 2, yaitu:
a.
Syirik Dhahir (nyata, jelas)
Syirik dhahir (nyata) dapat berupa keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Dalam
bentuk keyakinan seperti tathayyur, yaitu merasa sial karena sesuatu[1].
Nabi ﷺ
bersabda:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ
بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik – beliau mengatakannya
3 kali - . Dan kita pasti juga pernah merasakannya, namun kemudian Allah
menghilangkannya dengan tawakkal” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3910,
Ibnu Maajah no. 3538, Ahmad 1/389, dan yang lainnya; shahih].
Dalam bentuk ucapan seperti misal bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala.
Nabi ﷺ
bersabda:
مَنْ حَلَفَ
بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah
berbuat kufur atau syirik” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1535 dan Abu
Dawud no. 3251].
Juga, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang.
عَنْ زَيْدِ بْنِ
خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَاةَ
الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ،
فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: " هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا
قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ
عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ
وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ
بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
Dari Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, ia berkata : Rasulullah ﷺ shalat Shubuh mengimami kami di
Hudaibiyyah yang waktu itu masih ada bekas air hujan yang turun tadi malam.
Ketika telah selesai shalat, beliau ﷺ menghadap kami dan bersabda: “Apakah
kalian tahu yang telah difirmankan oleh Rabb kalian ?”. Para shahabat
menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau ﷺ bersabda : “(Allah telah berfirman : )
‘Pagi hari ini ada di antara hambaku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang
kafir. Adapun yang berkata : ‘Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat
Allah’ ; maka ia telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang.
Adapun yang berkata : ‘Kita diberi hujan karena bintang ini dan itu’ ; maka ia
telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 846].
Dalam bentuk perbuatan misalnya menggantungkan tamimah (jimat). Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ عَلَّقَ
تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamiimah, sungguh ia telah berbuat
kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/156; Al-Arna’uth berkata :
“Sanadnya kuat”].
b.
Syirik Khafiy (tersembunyi)
Syirik khafiy (tersembunyi) adalah syirik dalam hal keinginan
dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin
didengar orang), dan semisalnya.
عَنْ مَحْمُودِ
بْنِ لَبِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
Dari Mahmuud bin Labiib : Bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda : “Sesungguhnya yang paling
aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat)
bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau ﷺ menjawab: “Riya” [Diriwayatkan oleh Ahmad
5/428; hasan].
BERPEGANG KEPADA TALI ALLAH
Sabda Nabi ﷺ :
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا
“agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan
tali (agama) Allah”
sama dengan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا
تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [QS. Aali ‘Imraan (3) : 103].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ
الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ "
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para setan yang
menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah
Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317; shahih].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan yang ada
dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ:
" خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِﷺ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ
اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ
قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو
إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
"
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata :
Rasulullah ﷺ
membuatkan kami satu garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan
Allah” Kemudian beliau menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan
sebelah kirinya, lalu beliau ﷺ
bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada
setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa
(yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153)
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/435, Ad-Daarimiy no. 208, dll.; Al-Arna’uth berkata
: “Sanadnya hasan”].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini memberikan
faedah bagi kita bahwa:
1.
Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada
Kitabullah (Al-Qur’an).
2.
Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim).
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
الصِّرَاطُ
الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِﷺ
“Maksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ kepada kami” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy
10/245; shahih].
Dan jalan yang ditinggalkan beliau ﷺ kepada para shahabat adalah berpegang
teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana riwayat yang masyhur:
تَرَكْتُ فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ، وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ
“Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu dua perkara yang kalian tidak
akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya : Kitabullah dan
sunnah nabi-Nya”.
أَلا إِنِّي أُوتِيتُ
الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ....
“Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan
yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah
diturunkan kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya…..”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12, Al-Marwaziy dalam
As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih].
3.
Ketika menapaki jalan yang lurus tersebut, pasti ada gangguan dari para
penyeru kebatilan agar kita berpecah dan menyimpang darinya. Allah ta’ala berfirman:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ
الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : ...... فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ
ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟، قَالَ: نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ
مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ
بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي
ذَلِكَ؟، قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ:
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟، قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ
الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ
الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ "
Dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “….
Aku berkata : ‘Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan ?’. Beliau
ﷺ
bersabda : ‘Ya, yaitu kemunculan para dai yang menyeru kepada pintu-pintu
Jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka mereka akan
menjerumuskan ke dalamnya (Jahannam)’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah,
sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami ?’. Beliau ﷺ menjawab
: ‘Ya, mereka adalah kaum yang berasal dari golongan kita dan berbicara
dengan bahasa kita’. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apa nasihatmu apabila
kami menemui keadaan itu?’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Berpegangteguhlah pada jama’ah
kaum muslimin dan imam mereka’. Aku berkata : ‘Apabila tidak ada imam dan
jama’ah kaum muslimin (apa yang harus aku perbuat)?’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Tinggalkan semua
kelompok-kelompok yang ada, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian
mendatangimu sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1848].
4.
Berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebabkan persatuan,
dan menyimpang darinya menyebabkan perpecahan.
MEMBERIKAN NASIHAT KEPADA PARA PEMIMPIN
Sabda beliau ﷺ:
وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ
أَمْرَكُمْ
“Hendaklah kalian saling memberikan nasehat
kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yaitu : ulil-amri, penguasa
kaum muslimin)”
Dalam hal ini Nabi ﷺ juga bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat”. Kami berkata :
“Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”. Beliau ﷺ bersabda : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya,
imam/pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 55, At-Tirmidziy no. 1926, dan yang lainnya].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan makna
‘nasihat untuk imam/pemimpin kaum muslimin’:
وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ،
وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا
عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج
عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Adapun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin,
adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan
mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut,
memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin
yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan
hati manusia dengan mentaati mereka” [Syarh Shahih Muslim, 2/38].
Lantas bagaimana cara menasihati para pemimpin ?
Ini kembali kepada hukum umum adab menasihati,
yaitu secara sembunyi-sembunyi. Inilah adab nasihat yang diterima setiap jiwa.
Sulaiman Al-Khawwaash rahimahullah berkata:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ
فَهِيَ نَصِيحَةٌ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ فَإِنَّمَا فَضَحَهُ
“Barangsiapa menasihati saudaranya secara empat
mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di hadapan manusia,
sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa
dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf no. 62].
Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy
rahimahullah:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ
وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَخَانَهُ
“Barangsiapa yang menasihat saudaranya secara
sembunyi-sembunyi, sungguh ia telah menasihatinya sekaligus mempercantiknya.
Namun, barangsiapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan (di
hadapan orang banyak), sungguh ia telah membuka aibnya dan juga
mengkhianatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’,
9/140].
Ibnu
Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata saat menjelaskan norma umum syari’at
Islam dalam menasihati kaum muslimin:
وكان
السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه
فيما بينه وبينَه فهي نصيحة، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه
“Adalah
generasi salaf jika ingin menasihat seseorang, mereka menasihatinya secara rahasia,
hingga salah seorang dari mereka berkata : ‘Barangsiapa menasihati saudaranya
secara empat mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di depan
manusia, sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam,
1/236].
Jika menasihati kaum muslimin secara umum saja ditekankan
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka terhadap pemimpin yang padanya memegang
urusan kaum muslimin lebih ditekankan lagi. Al-Imaam Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah
(w. 287 H) membuat satu bab khusus dalam kitabnya As-Sunnah dengan
judul:
بَابُ: كَيْفَ نَصِيحَةُ الرَّعِيَّةِ لِلْوُلاةِ؟
“Bab : Bagaimana nasihat rakyat yang dilakukan
kepada pemimpin?”
Lalu beliau membawakan hadits berikut:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلا
يُبْدِهِ عَلانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang hendak menasehati
sulthan/penguasa, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi
ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika diterima, memang itulah yang
diharapkan; namun jika tidak, maka ia telah melaksakan kewajibannya” [As-Sunnah no. 1096; shahih].
'Abdullah bin Abi Aufaa (salah seorang shahabat,
wafat tahun 87 H) pernah berkata kepada Sa’iid bin Jumhaan saat terjadi fitnah
Azaariqah (Khawaarij) dan terjadi kedhaliman dari penguasa:
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى قَالَ :
.....وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ
بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي
بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ
فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
"Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan.
Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama
As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu,
maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga
ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu
daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].
Nasihat pun harus disampaikan dengan lemah-lembut,
sebagaimana jika kita ingin menasihati orang tua kita, guru kita, dan orang
lain yang mempunyai kedudukan. Itulah yang Allah perintahkan kepada Nabi Musa
dan Harun untuk menasihati Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaha
(20) : 44].
Jika Nabi Musa dan Harun berlemah-lembut dalam
nasihat, tentu kita lebih pantas untuk mengamalkan kelembutan itu. Hal itu
dikarenakan kedudukan kita tidaklah lebih tinggi daripada Musa dan Harun ‘alahimas-salaam,
serta orang yang hendak kita nasihati tidaklah sedhalim dan sejahat Fir’aun.
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا
زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada
sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah ia tercabut dari sesuatu
kecuali akan memburukkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim].
MENJAUHI QIILA WA QAALA
Malik bin Anas rahimahullah berkata:
الْإِكْثَارُ مِنْ الْكَلَامِ وَالْإِرْجَافُ
نَحْوُ قَوْلِ النَّاسِ قَالَ فُلَانٌ وَفَعَلَ فُلَانٌ وَالْخَوْضُ فِيمَا لَا
يَنْبَغِي
“Memperbanyak ucapan dan menyebar berita yang
menimbulkan fitnah dan kekhawatiran, seperti halnya perkataan seseorang : ‘Fulaan
berkata begini dan berbuat begitu’, serta menceburkan diri pada perkara yang
tidak seharusnya” [Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’, 4/458].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَالْمُرَاد أَنَّهُ نَهَى عَنْ الْإِكْثَار بِمَا
لَا فَائِدَة فِيهِ مِنْ الْكَلَام
“Yang dimaksud adalah bahwa beliau ﷺ melarang memperbanyak (perkataan) yang
tidak ada faedahnya” [Fathul-Bariy, 11/306].
Sabda beliau ﷺ tersebut sejalan dengan sabda beliau ﷺ yang lain:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 6018 & 6136 & 6138 dan Muslim no. 47].
Diantara bencana yang banyak melanda kita adalah
sifat mudah berbicara apa saja yang didengar dan menyampaikannya kepada orang,
senang berbicara apa yang bukan urusannya, yang pada akhirnya menjerumuskan
pada dosa dan permusuhan. Termasuk dalam hal ini adalah bencana ‘broadcast’,
obrolan WA, facebook, dan yang lainnya.
Kadang atau bahkan sering pembicaraan itu memuat content
dusta, padahal Nabi ﷺ telah memperingatkan:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
“Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena
dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang
ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka
akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2607].
كَفَى بِالْمَرْء كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ
مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila
menceritakan segala hal yang ia dengar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 5].
Atau ghibah:
وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati?” [QS. Al-Hujuraat (49) : 12].
Atau adu domba (namimah):
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu
domba” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105].
Fenomena sekarang,….. banyak orang lebih asik berbicara
masalah-masalah besar (seperti masalah politik, keamanan, dan yang lainnya),
menyebarkannya, yang kemudian membuat orang merasa takut, khawatir, dan
geram…., yang akhirnya timbullah amarah dan permusuhan. Tidak ada solusi yang
didapat kecuali hanya luapan kekesalan. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ
الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي
الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu)” [QS. An-Nisaa’ (4) : 83].
Semoga kita bukan termasuk ruwaibidlah,
golongan yang akan muncul sepeninggal beliau ﷺ. Apa itu Ruwaibidlah ?. Nabi ﷺ menjawab:
السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang
banyak (umat)” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Maajah no. 4036, Ahmad 2/291, dll; hasan].
MENYIA-NYIAKAN HARTA
Yang dimaksud dengan ‘menyia-nyiakan harta’ (إِضَاعَةَ الْمَالِ) adalah menyalurkan harta bukan pada jalan
yang syar’i dan bertujuan memusnahkan harta [Syarh Shahih Muslim,
4/318].
Harta adalah karunia dari Allah ta’ala yang
harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syari’at. Harta bisa
digunakan untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, jihad fi
sabiilillaah, membantu orang lain, memberi nafkah kepada orang yang berada
di bawah tanggungannya, dan yang lainnya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ مَعَ الرَّجُلِ
الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang baik adalah bersama hamba
yang shalih" [Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibbaan no. 3210].
Harta yang kita dapat tidak boleh disia-siakan
karena kelak kita akan ditanya darimana harta itu didapat dan keana harta itu
dibelanjakan.
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ
فِيمَا أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang
hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang
umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya,
tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta
tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2417].
Sebagai tambahan, boleh hukumnya memanfaatkan harta (selain sembelihan)
yang dipergunakan untuk sesajan terhadap berhala dan telah ditinggalkan
pemiliknya, karena dulu Rasulullah ﷺ pernah mengambil harta yang dipersembahkan
orang-orang musyrik di perbendaharaan Laata untuk melunasi hutan
shahabat ‘Urwah bin Mas’uud Ats-Tsaqafiy [Penjelasan Ibnu Baaz dalam catatan
kaki kitab Fathul-Majiid, hal 174-175].
BANYAK PERTANYAAN
Sabda Nabi ﷺ : ‘dan banyak pertanyaan’ (وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ).
Dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda:
فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum
kalian hanyalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan
mereka kepada para nabi mereka”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1337].
Larangan banyak pertanyaan ini adalah pertanyaan
yang tidak bermanfaat, tidak dibutuhkan, bahkan diharamkan. Misalnya pertanyaan
tentang sesuatu yang mustahil, pertanyaan yang hanya bertujuan untuk
menjatuhkan seseorang, pertanyaan untuk mencari-cari kesalahan, dan pertanyaan
tentang ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala seperti
pertanyaan tentang bagaimana istiwaa’ Allah di langit, bagaimana tangan
Allah, dan semisalnya.
Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang
agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah,
maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya
shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena
merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat
syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ
”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS.
Al-Anbiyaa’ (21) : 7].
Rasulullah ﷺ bersabda :
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا
شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.
”Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti
? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 336].
Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan katsratas-suaal adalah banyak/sering meminta-minta harta,
sehingga dipahami dari sabda Nabi ﷺ di sini adalah larangan meminta-minta.
عن حُبْشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ
الْجَمْرَ "
Dari Hubsyiy bin Junaadah, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah ﷺ : “Barangsiapa
yang meminta-minta tanpa ada kebutuhan, maka seakan-akan ia memakan bara api”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ath-Thabaraniy dan yang lainnya].
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ،
إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا، أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
"
Dari Samurah bin Jundub, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah ﷺ : “Meminta-minta
adalah satu cakaran, yang seseorang mencakar dengannya wajahnya; kecuali
seseorang yang meminta kepada penguasa atau meminta sesuatu hal/perkara yang sangat
perlu/darurat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, Ahmad, dan yang
lainnya].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya…..
Somewhere, 17 Dzulqa’dah 1437.
[1] Misalnya, keyakinan adanya kesialan pada
angka 13, penyelenggaraan pernikahan pada bulan Suro (Muharram), datangnya
kupu-kupu di waktu malam, dan yang lainnya.
Comments
Posting Komentar