Al-Imaam
Muslim rahimahullah berkata dalam Shahih-nya:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى
مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: " اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا
فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي،
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka
berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, dari
Yaziid bin Kaisaan, dari Abu Haazim, dari Abu Hurairah, ia berkata : “(pada
suatu waktu) Nabi ﷺ berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau
menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda : “Sesungguhnya aku telah
memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku.
Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah
kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [No. 976].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
فِيهِ
جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛
لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ،
وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا }
وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض
رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا
أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ،
وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : (
فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam
hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi
orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah
meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka
setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah ta’ala
telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’
(QS. Luqmaan : 15).
Dalam
hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk memintakan
ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata
: ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi ﷺ ke kubur ibunya yaitu karena beliau ﷺ ingin menguatkan nasihat dan peringatan
dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau ﷺ yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah
kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh
Shahih Muslim, 7/45].
Ketika beliau rahimahullah mengatakan kebolehan menziarahi orang musyrik yang masih hidup dan yang telah meninggal dengan berdalil hadits di atas, artinya beliau memahami bahwa ibunda Nabi meninggal dalam keadaan musyrik. Sama seperti penjelasan Syamsul-Haq ’Adhim
’Abadi rahimahullah yang berkata :
( فَلَمْ
يَأْذَن لِي )
: لِأَنَّهَا كَافِرَة
وَالِاسْتِغْفَار لِلْكَافِرِينَ لَا يَجُوز
”Sabda beliau ﷺ : ”Dan Ia
(Allah) tidak mengizinkanku” ,
karena Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap
orang yang kafir tidak diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 7/220]
Ada
syahid dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yaitu hadits
Buraidah radliyallaahu ‘anhu berikut:
حَدَّثَنَا
حَسَنُ بنُ مُوسَى، وَأَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ، قَالَا: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ،
قَالَ أَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ فِي حَدِيثِهِ: حَدَّثَنَا زُبيْدُ بنُ
الْحَارِثِ الْيَامِيُّ، عَنْ مُحَارِب بنِ دِثَارٍ، عَنِ ابنِ برَيْدَةَ، عَنْ
أَبيهِ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبيِّ ﷺ فَنَزَلَ بنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيب
مِنْ أَلْفِ رَاكِب، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبلَ عَلَيْنَا بوَجْهِهِ
وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بنُ الْخَطَّاب، فَفَدَاهُ
بالْأَب وَالْأُمِّ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَكَ؟ قَالَ: " إِنِّي
سَأَلْتُ رَبي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي،
فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ ثَلَاثٍ: عَنْ زِيَارَةِ الْقُبورِ، فَزُورُوهَا لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا
خَيْرًا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ بعْدَ ثَلَاثٍ، فَكُلُوا
وَأَمْسِكُوا مَا شِئْتُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ الْأَشْرِبةِ فِي الْأَوْعِيَةِ،
فَاشْرَبوا فِي أَيِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ، وَلَا تَشْرَبوا مُسْكِرًا "
Telah
menceritakan kepada kami Hasan bin Muusaa dan Ahmad bin ‘Abdil-Maalik, mereka
berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Zuhair – Ahmad bin ‘Abdil-Malik
berkata dalam haditsnya : ‘Telah menceritakan kepada kami Zubaid bin Al-Haarits
Al-Yaamiy - , dari Muhaarib bin Diitsaar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia
berkata : “Kami bersama Nabi ﷺ, dan beliau ﷺ singgah
bersama kami dimana saat itu beliau bersama sekitar 1.000 pengendara kuda. Beliau
ﷺ
melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian setelah itu beliau menghadapkan wajah
beliau ke arah kami dengan kedua air mata yang bercucuran. Kemudian 'Umar bin
Al-Khaththaab berdiri menghampiri beliau dan mengatakan ayah dan ibunya sebagai
tebusannya, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, apa yang terjadi denganmu?”. Beliau
ﷺ
bersabda : "Aku memohon kepada Rabbku agar dapat memintakan ampunan untuk
ibuku, namun Ia tidak mengizinkanku. Maka air mataku pun bercucuran sebagai
bentuk belas kasihan untuknya dari adzab neraka. Dan dulu aku melarang kalian
dari tiga perkara, yaitu (1) ziarah kubur, namun sekarang berziarah kuburlah
kalian untuk mengingatkan kalian terhadap kebaikan (kematian/akhirat); (2) dulu
aku melarang kalian untuk makan daging kurban setelah tiga hari, namun sekarang
makan dan simpanlah sekehandak kalian; serta (3) dulu aku melarang kalian minum
minuman dari bejana, namun sekarang minumlah kalian dari bejana manapun yang
kalian suka. Jangan kalian minum minuman yang memabukkan” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 5/355; dishahihkan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Musnad Ahmad 38/111].
Ada
segolongan orang yang hendak menakwil-nakwil dengan pemahaman yang tidak benar
tentang alasan Nabi ﷺ dilarang Allah ta’ala memintakan
ampun ibunya. Mereka pura-pura tidak tahu akan penjelasan para ulama di atas. Nabi ﷺ dilarang Allah ta’ala memintakan
ampunan kepada ibunya karena ibunya meninggal dalam keadaan kafir.
Tidaklah
Allah ta’ala melarang untuk memintakan ampun kepada seseorang setelah
meninggalnya kecuali orang tersebut meninggal dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu,
adalah penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Inilah
yang dipahami para shahabat, diantaranya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu:
عَنْ
عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا يَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْهِ وَهُمَا مُشْرِكَانِ،
فَقُلْتُ لَهُ: أَتَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْكَ وَهُمَا مُشْرِكَانِ؟ فَقَالَ:
أَوَلَيْسَ اسْتَغْفَرَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَهُوَ مُشْرِكٌ؟ فَذَكَرْتُ
ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ "
Dari
‘Aliy, ia berkata : Aku pernah mendengar seseorang mendoakan kedua orang tuanya
yang meninggal dalam status musyrik. Aku katakana kepadanya: “Mengapa engkau
memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu padahal keduanya musyrik?”. Ia
menjawab: “Bukankah Ibrahim juga memintakan ampunan untuk bapaknya yang
musyrik?[1]”.
Lalu aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka turunlah ayat : "Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik" (At Taubah: 113) [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 3101, An-Nasaa’iy no. 2036, 1/99, dan yang lainnya; dihasankan
oleh At-Tirmidziy dan dishahihkan oleh Abu Ja’far bin Nahhaas, Al-Haakim, dan Al-Albaaniy].
Juga
Ibnu ‘Abbaas :
عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: إِنَّ
أَبِي مَاتَ نَصْرَانِيًّا، فَقَالَ: " اغْسِلْهُ، وَكَفِّنْهِ، وَحَنِّطْهُ،
ثُمَّ ادْفِنْهُ "، قَالَ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى الآيَةَ "
Dari
Sa’d bin Jubair, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Abbaas,
lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku meninggal sebagai seorang bragama
Nashrani”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Mandikanlah, kafanilah, tahnith-kanlah,
dan kuburkanlah”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbaas) melanjutkan membaca ayat : “Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik" (At Taubah: 113)” [Diriwayatkan oleh Sa’d
bin Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 1037 dan Al-Baihaqiy 3/398 dengan
sanad shahih].
Inilah
yang dipahami Al-Baihaqiy rahimahullah bahwa kedua orang tua meninggal
dalam keadaan kafir:
قَالَ
الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَأَبَوَاهُ كَانَا مُشْرِكَيْنِ بِدَلِيلِ مَا
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، ثنا مُوسَى
بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ.ح قَالَ وَأنا أَبُو بَكْرِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّفْظُ لَهُ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثنا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا عَفَّانُ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ،
عَنْ أَنَسٍ، " أَنَّ رَجُلا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ، قَالَ: فَلَمَّا قَفَّا دَعَاهُ،
فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي
الصَّحِيحِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ
Berkata
Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy – Abul-Jauzaa’) rahimahullah : “Dan
kedua orang tua Nabi ﷺ adalah musyrik dengan dalil hadits yang telah dikhabarkan kepada
kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah
memberitakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ‘Abduus : Telah
menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy : Telah menceritakan
kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin
Salamah ia berkata (ح). Dan
telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Abdillah – dan lafadh hadits ini
adalah miliknya - : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari
Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ : “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku ?”.
Beliau menjawab : “Di neraka”.[2]
Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari kisah
hubungan kekerabatan antara Nuuh dengan istri dan anaknya, Ibraahiim dengan
ayahnya, Luuth dengan istrinya ?. Dekatnya hubungan kekerabatan tidak
memastikan seseorang mendapat hidayah selamat di dunia dan akhirat.
So,….
saya heran dengan satu kiriman video berikut yang dikatakan membantah Wahabi karena mengatakan kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan kafir:
Apa
isi bantahannya ?. Hampir tidak ada, kalau tidak boleh dikatakan
‘sama sekali tidak ada’. Para hadirin diajak menangis karena cerita yang dibawakan.
Kalau tangisan itu adalah seperti tangisan Nabi ﷺ, yaitu tangisan belas kasihan, serta
pengambilan pelajaran tentang akhirat dan bahwa keimanan tidak diwariskan
melalui hubungan kekerabatan; maka ini masyru’. Namun jika tangisan itu
hanya menjadi motif untuk memprovokasi umat menolak dalil, ini tidak masyru’.
Agama tidak disandarkan dari tangisan. Tentu repot jadinya jika ‘perasaan’
dijadikan metode beragama.
Apalagi
tempo hari ada demonstrasi dari kelompok orang yang ‘main perasaan’ ini untuk menolak
kedatangan seorang ustadz dengan alasan si ustadz ‘memponis[3]’
kedua orang tua Nabi ﷺ meninggal dalam keadaan kafir.
Kalau
misalnya Nabi ﷺ sendiri yang 'memponis' kedua orang tuanya
meninggal dalam keadaan kafir, apakah akan Anda demo juga ?. Begitu juga Anda
akan demo Al-Baihaqiy, An-Nawawiy, dan yang lainnya karena perkataan mereka
tentang kedua orang tua Nabi ﷺ Anda anggap meresahkan ?. Masyarakat Anda
ajak untuk ikut resah bersama Anda. Resah yang tidak mencerdaskan. Ini
sebagaimana dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, KH Zaini
Naim, menyikapi provokasi kelompok yang ‘main perasaan’ ini:
“Saya
dari MUI menyayangkan sekali, itu cerminan masyarakat yang tidak cerdas”.
[kutipan
dari : Radar
Kaltim].
Sebagai
penutup, mari kita berdoa agar Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita
semua.
اللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
للَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Semoga
ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’
- Somewhere, 26 Syawal 1437.
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya
Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin
pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [QS Ibraahiim : 41].
Namun
setelah Ibraahiim mengetahui hal itu dilarang Allah ta’ala karena
ayahnya meninggal dalam keadaan musyrik, ia pun berlepas diri darinya
sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ
لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ
أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan
permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas
diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
[2] Silakan baca artikel Kafirkah
Kedua Orang Tua Nabi ? (sebuah ringkasan) dan Shahih
Hadits : “Ayahku dan Ayahmu di Neraka”.
[3] Mungkin orang yang mengatakan adalah orang
Sunda yang bertransmigrasi ke Kalimantan Timur.
Comments
mantaabbbb bantahannya.....alhamdulillah
Ustadz, bagaimana pandangan ustadz terhadap 'pendemo'? apakah dihukum mati? (barusan tersebar fatwa salah seorang ustadz akan hal tersebut) mohon pencerahannya.
Fatwa yang menyatakan orang berdemo halal darahnya untuk ditumpahkan, maka itu TIDAK BENAR. Allah ta'ala telah memerintahkan kita untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu ulama. Tidak semua orang berhak untuk berfatwa, apalagi masalah darah. Allah ta'ala berfirman:
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl: 43].
kalo saya lihat maksud dari Ustadz yang berkata halalkan darah pendemo adalah demonstrasi menentang pemerintah sampai membuat kerusakan dan gangguan umum. diberi peringatan sampai 3x, jika tidak mau berhenti, maka baru dibunuh, karena mereka adalah Khawarij.
kurang lebih saya menangkapnya seperti itu.
Kita tetap tidak diperbolehkan bermudah-mudahan berfatwa dalam masalah darah. Silakan baca artikel ini
Prtnyaannya yg blng orang tua Nabi itu kafir berdasarkan hadist, apakah sudah mengerti bahasa arab dan budaya zaman Nabi? Bisa saja yg orng2 pahami aorang tua Nabi itu adalah pamannya? Zamn Nabi dan zaman sekarang trlalu jauh dan pastilh bnyk perbdaan tata bahasa. Trlalu kurang ajar ada orang vonis orang tua Nabi kafir namun pake dalil hadist berdasarkan pemahamannya sendiri, lebih2 orang yg cma bsa baca terjemahan saja sudh brani memvonis. Baru brhak memvonis kalau sudah bljar ilmu tafsir hadist dan tau seluk beluk hadist.
Orang kafir saja menghina Nabi karena menikahi yg menurut zaman skrng ank dibawah umur,skrng lhir masalah orang berani fatwa orang tua Nabi kafir, secara terang2an, bnar kurang ajar. jdi jngan coba2 main vonis kalau blum tau budaya dan tata bahasa zaman Nabi. Pastilah tata bhsa dan budaya arab sekarang itu jauh beda dengan zaman Nabi. Kalau anda punya bhasa daerah, pastilah ada bhsa daerah yg jika di Indonesiakan mnjadi kacau. Itu baru bhsa kita, apa lagi bhasa zaman Rasul yg sudah ribyan Tahun? Jdi stop jd orang sok tau mengenai dalil Al quran dan hadist. Orang yg ngga bljr tafsir dan ilmunya cm bokeh ikut ulama. ALLAH lebih tau seseorang itu kafir atau bukan.
@Dark Warrior
di atas kan sudah disebutkan perkataan Imam Al-Baihaqi, Imam An-Nawawi dan Syamsul Haq 'Adhim 'Abadi. apa beliau-beliau itu gak paham bahasa arab?
Posting Komentar