Buluughul-Maraam Hadits No. 650-651 : Larangan Mendahului Berpuasa Menjelang Ramadlaan


٦٥٠ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ))  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
650. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali bagi orang yang biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa”. Muttafaqun ‘alaih.
Penjelasan ringkas:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914 dan Muslim no. 1082, dan ini adalah lafadh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 2335, At-Tirmidziy no. 684-685, An-Nasaa’iy no. 2172 & 2190, Ibnu Maajah no. 1650, Ahmad 2/234 & 347 & 408 & 438 & 477 & 497 & 513 & 521, dan yang lainnya.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan mendahului puasa Ramadlaan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama ada yang menghukumi haram berdasarkan dhahir larangan, karena asal dari sebuah larangan menunjukkan keharaman. Adapun sebagian ulama lain ada yang menghukumi makruh berdasarkan istitsnaa’ (pengecualian) dalam hadits tersebut. Maksudnya, istitsnaa’ adalah bagi orang yang biasa puasa sunnah sehingga seandainya larangan tersebut bermakna haram, maka ia mesti didahulukan daripada puasa sunnah. Oleh karena itu. Larangan di sini bermakna makruuh.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ
“Para ulama mengamalkan hadits ini, dan mereka memakruhkan orang yang mempercepat/mendahulukan puasa sebelum masuknya bulan Ramadlaan karena makna Ramadlaan. Namun apabila seseorang biasa berpuasa lalu puasanya itu bertepatan dengan hari tersebut, maka tidak mengapa menurut mereka” [Al-Jaami’ul-Kabiir, 2/64].
2.     Diperbolehkan berpuasa sunnah bagi orang yang terbiasa puasa meskipun kebetulan bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadlaan, seperti puasa Daawud, Senin-Kamis, dan yang lainnya. Kebolehan ini merupakan ijmaa’ ulama.
Adapun orang yang berpuasa wajib seperti puasa qadla’ dan puasa nadzar, maka lebih utama untuk diperbolehkan karena itu merupakan ‘aziimah baginya.
3.     Anjuran melaksanakan amal ibadah dan amal kebaikan yang biasa dilakukan seseorang secara berkesinambungan.
Amal kebaikan yang konsisten dilakukan meski sedikit mempunyai keutamaan yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1970 & 5862 & 6465 dan Muslim no. 782].
4.     Diantara hikmah larangan tersebut adalah untuk membedakan antara ibadah fardlu dengan ibadah sunnah, serta untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadlaan sehingga puasa di bulan tersebut menjadi syi’ar tersendiri.
Hal yang semisal adalah seperti larangan menyambung shalat fardlu dan shalat sunnah tanpa ada pemisah. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau keluar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 883].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم" دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم
“Padanya terdapat dalil tentang apa yang dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yang lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardlu ke tempat yang lainnya. Berpindah yang paling utama adalah di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid atau yang lainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardlu. Dan perkataan Mu’aawiyyah : ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dengan shalat fardlu) dapat dilakukan dengan berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim, 6/170-171].
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ، فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَرَآهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ: اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَاب أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَحْسَنَ ابنُ الْخَطَّاب "
Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat ‘Ashar, berdirilah seorang laki-laki untuk melanjutkan shalatnya. Lalu ‘Umar melihat orang tersebut dan berkata kepadanya : “Duduklah ! Ahlul-Kitab telah binasa hanyalah dikarenakan mereka tidak membuat pemisah untuk shalat-shalat mereka”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh baik apa yang dikatakan Ibnul-Khaththaab” [Al-Musnad, 5/368; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 6/105-106 no. 2549].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
و الحديث نص صريح في تحريم المبادرة إلى صلاة السنة بعد الفريضة دون تكلم أو خروج
“Dan hadits tersebut merupakan nash yang jelas tentang pengharaman untuk langsung melanjutkan shalat sunnah setelah shalat fardlu tanpa berbicara atau keluar” [Silsilah Ash-Shahiihah, 6/105].
5.     Banyak ulama Syaafi’iyyah berpendapat bahwa larangan berpuasa tersebut dimulai dari tanggal 16 Sya’baan berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadlan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2337, At-Tirmidziy no. 738, Ibnu Maajah no. 1651, Ahmad 2/442, ‘Abdurrazzaaq no. 7325, dan yang lainnya; shahih].
Sebagian ulama ada yang mendla’ifkan hadits ini dan sebagian yang lain menshahihkannya; dan pendapat yang menshahihkannya itu menurut kami yang lebih kuat, wallaahu a’lam. At-Tirmidziy mengatakan : "Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih". Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/392.
At-Tirmidziy rahimahullah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut :
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ
“Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adalah : Jika seseorang tidak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pada pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadlaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yang semisal makna yang diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadlaan dengan puasa, kecuali jika bertepatan hari yang kalian biasa berpuasa’. Hadits ini menunjukan larangan bagi orang yang sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadlan” [Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy].
Maka, jika seseorang berniat untuk puasa bulan Sya’ban dan ia telah memulainya sebelum pertengahan Sya’ban, maka tidak mengapa ia berpuasa hingga pada pertengahan kedua bulan Sya’ban. Namun ketika sampai sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadlaan, hendaklah ia berhenti karena ada larangan yang tercantum pada hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam bab ini.
**********
٦٥١ - وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ [قَالَ]: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : ((مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)).
وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ.
651. Dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa di hari yang diragukan padanya, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, dan disambungkan sanadnya oleh imam yang lima serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.
Penjelasan ringkas:
Al-Bukhaariy menyebutkannya secara mu’allaq (4/119 - Fathul-Baariy) dengan shighah jazm (pasti). Disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud no. 2334, At-Tirmidziy no. 686, An-Nasaa’iy no. 2188, Ibnu Maajah no. 1645, Ad-Daarimiy no. 1724, oleh Ibnu Abi Syaibah 3/73, Ibnu Khuzaimah no. 1914, Ibnu Hibbaan 8/351 no. 3585 & 8/360-361 no. 3595 dan dalam Al-Mawaarid 3/179 no. 878, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1394, Ad-Daaraquthniy no. 2150, Al-Haakim 1/423-424, dan Al-Baihaqiy 4/208 (350) no. 7952.
Selain Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan, hadits ini juga dishahihkan para imam yang lain.
At-Tirmidziy berkata : “Hadits ‘Ammaar adalah hadits hasan shahih”. Ad-Daaraquthniy berkata : “Sanad hadits ini hasan shahih, para perawinya tsiqaat”. Al-Haakim berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai persyaratan Shahihain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 3/353 berkata : “Hadits ini sanadnya shahih”.
Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1.     Larangan berpuasa di hari syakk (meragukan).
Para ulama berbeda perkataan dalam mendefinisikan hari syakk. Sebagian ulama berkata bahwa ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.
[Catatan : semua pendapat itu bersatu dalam definisi : hari ke-30 bulan Sya’ban dan hilaal di malam harinya tidak tampak; karena jika hilaal telah tampak maka tidak ada keraguan bahwa telah masuk bulan Ramadlaan].
Hadits ini sebagai sanggahan terhadap pendapat Hanaabilah[1] yang mengatakan wajib berpuasa dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).
2.     Hadits ini menunjukkan kaedah syar’iyyah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal suatu perkara tetap pada asalnya”.
الرجوع للأصل عند الشك
“Hukum kembali pada asalnya ketika ada keraguan”.
Maksudnya, jika ada keraguan pada hari ke-30 bulan Sya’ban apakah ia telah masuk bulan Ramadlaan ataukah belum, maka hari itu tetap dihukumi sebagai bulan Sya’baan.
Sama halnya seperti ketika seorang shahabat ragu dalam shalatnya apakah ia telah batal ataukah belum dikarenakan sesuatu di dalam perutnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Tidak (batal), hingga ia mendengar suaranya (kentut) atau mencium baunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 137 & 177 & 2056 dan Muslim no. 361].
Secara umum, ini dapat diqiyaskan dalam hal-hal yang lainnya.
3.     Puasa Ramadlaan tidak dimulai kecuali dengan satu keyakinan akan masuknya bulan Ramadlaan, yaitu dengan terlihatnya hilaal atau setelah menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari.
4.     Masyru’-nya menggunakan kun-yah bagi laki-laki maupun wanita
Sudah menjadi kebiasaan semenjak pra-Islam hingga kemudian ditetapkan oleh syari’at Islam, orang-orang menggunakan kun-yah bagi dirinya. Nama kun-yah ini dapat dinisbatkan kepada anaknya seperti yang digunakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Abul-Qaasim), kepada ayahnya seperti ‘Abdullah bin ‘Umar yang berkunyah Ibnu ‘Umar, atau yang lainnya seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib yang ber-kun-yah Abu Turaab[2].
Bahkan anak-anak pun boleh memakai nama kun-yah[3].
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai kun-yah Abul-Qaasim bagi selain diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yang raajihwallaahu a’lam – adalah pendapat ulama yang mengatakan kun-yah Abul-Qaasim dilarang khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kun-yah Abul-Qaasim. Hal ini berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَجْمَعُوا بَيْنَ اسْمِي وَكُنْيَتِي، فَإِنِّي أَنَا أَبُو الْقَاسِمِ، اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي، وَأَنَا أَقْسِمُ
Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah yang membagi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/433 no. 9596, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1275, Ibnu Hibbaan no. 5814 & 5817, dan yang lainnya; shahih].
Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama dan kunyah adalah diperbolehkan.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah.
[abul-jauzaa’ – perumahan bukit asri ciomas indah, sabtu, 06062015 – Buluughul-Maraam dengan penomoran sesuai tahqiq Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy].




[1]      Lihat : Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq & takhrij & ta’liq : Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy, Cet. 1/1425, Kuwait.
[2]      Turaab artinya tanah. Abu Turaab adalah kun-yah yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ "
Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].
[3]      Seperti salah seorang shahabat kecil yang ber-kun-yah Abu ‘Umair.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ، قَالَ: أَحْسِبُهُ، قَالَ: كَانَ فَطِيمًا، قَالَ: فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآهُ، قَالَ أَبَا عُمَيْرٍ: مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ؟، قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya : “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” [Diriwayatkanb oleh Al-Bukhaariy no. 6129 & 6203, Muslim no. 2150, Abu Daawud no. 4969, At-Tirmidziy no. 333 & 1989, dan yang lainnya].

Comments