Tanya : Beberapa
waktu lalu saya pernah pergi mengiringi jenazah seorang kerabat untuk
dikuburkan. Karena capek berdiri, maka saya duduk di atas sebuah nisan kuburan
sambil menunggu orang-orang selesai menimbun tanah. Tiba-tiba ada orang yang
menegur saya agar saya tidak duduk di atas nisan kuburan. Apakah perkataan
orang tersebut benar ? Mohon penjelasan.
Jawab : Alhamdulillah,…. Islam telah turun dengan syari’atnya yang
sempurna untuk mengatur segala sendi kehidupan. Termasuk dalam hal ini
adab-adab dalam penguburan dan ziarah. Adalah benar apa yang dikatakan oleh orang tersebut bahwa Saudara agar
tidak duduk dan menginjak di atas kuburan. Telah shahih hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pelarangan
tersebut diantaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ
ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Lebih baik salah seorang
di antara kalian
duduk di atas bara api hingga membakar pakaian dan kulitnya, daripada duduk di atas kubur” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 971].
عَنْ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ، وَلَا
تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Dari
Abu Martsad Al-Ghanawiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Jangan duduk di atas kubur
dan jangan pula shalat menghadapnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 972].
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ، أَوْ سَيْفٍ،
أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ
مُسْلِمٍ، وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي، أَوْ وَسْطَ السُّوقِ
Dari
‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh! Berjalan di atas
bara api atau pedang atau aku ikat sandal dengan kakiku lebih aku sukai
daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Sama saja buruknya bagiku,
buang hajat di tengah kubur atau buang hajat di tengah pasar” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Maajah no. 1567; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil
1/102 no. 63].
Asy-Syaukani rahimahullah ketika mengomentari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di atas yang menukil dari jumhur ulama’ :
فيه دليل على أنه لا يجوز
الجلوس على القبر، وقد تقدم النهي عن ذلك، وذهاب الجمهور إلى التحريم؛ والمراد
بالجلوس القعود
“Hadits tersebut terdapat dalil tidak diperbolehkannya duduk di atas kubur, dan telah disebutkan larangan tentang hal tersebut. Jumhur ulama berpendapat hukumnya haram. Dan yang dimaksud dengan kata juluus adalah qu’uud (duduk)” [Nailul-Authaar, 4/136].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata:
وَأَكْرَهُ وَطْءَ الْقَبْرِ
وَالْجُلُوسَ وَالِاتِّكَاءَ عَلَيْهِ، إِلَّا أَنْ لَا يَجِدَ الرَّجُلُ السَّبِيلَ
إِلَى قَبْرِ مَيِّتِهِ، إِلَّا بِأَنْ يَطَأَهُ، فَذَلِكَ مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ، فَأَرْجُو
حِينَئِذٍ أَنْ يَسَعَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
“Aku membenci menginjak
kubur, duduk, atau bersandar di atasnya; kecuali apabila seseorang tidak
menemukan jalan lain ke kubur yang ditujunya melainkan dengan menginjaknya. Kondisi tersebut adalah dlarurat, dan aku harap ia mendapat keluasaan (dispensasi), insya Allahu ta’ala” [Al-‘Umm, 1/277-278].
Keharaman duduk di atas
kuburan dan menginjaknya dikhususkan bagi kuburan orang muslim, karena seorang
muslim itu mempunyai kehormatan baik sewaktu dia masih hidup maupun telah
meninggal. Adapun kuburan
orang kafir, maka ia tidak termasuk cakupan larangan ini.
Apabila seseorang ingin duduk, maka hendaklah ia memilih
tempat selain di atas kubur.
Kesimpulannya : Haram
hukumnya duduk di atas kubur seorang muslim. Allaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas
permai – 22022015 – 22:44].
Comments
Bagaimana pula jika duduk di tepi kubur?
DARI MAS FAHRUL
ASSALAMU`ALAIKUM
ANA MINTA TANGGAPAN USTADZ ABUL-JAUZAA TENTANG BERIKUT(ANA DAPAT DARI FACEBOOK):
Salah satu kontradiktif (ketidak jujuran) Syekh Albani dalam menilai hadis
حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو
الجوزاء أوس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة
فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كووا إلى السماء
حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى نبت العشب
وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق. قال حسين سليم أسد : رجاله
ثقات وهو موقوف على عائشة
Hadis ini di nilai hasan / shahih oleh
Ulama hadis. Tapi di dhaifkan Oleh Syekh Al Bani, dengan alasan Dalam
kitab al-Tawassul, al-Albani melemahkan hadits di atas, karena alasan
Amr bin Malik al-Nukri. Tapi dalam kitab yang lain, al-Albani justru
menilai Amr bin Malik al-Nukri seorang perawi yang tsiqah. Kalau tidak
percaya, Anda cek kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahih juz 5 hal. 608. Di situ al-Albani menganggap Amr bin Malik al-Nukri sebagai perawi tsiqah. Bahkan dalam ta’liq kitab Fadhl al-Shalah ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, hal. 88, al-Albani menilainya tsiqah juga.
Ini yang dikatakan: timpang tindih akibat tidak menguasai hadis
KOK SYAIKH ALBANI DI SATU SISI MENGATAKAN PERAWI NAMANYA AMR BIN MALIK AL-NUKRI
PERAWIH DHAIF DALAM KITAB AT-TAWASUL,TAPI DI KITAB LAIN SILSILAH AL HADITS AS-SHAHIHAH DIKATAKAN PEPAWI TSIQAH,LAH KOK BISA GINI YA??? MOHON PENJELASANNYA
Seorang perawi yang shaduuq yang mempunyai beberapa kekeliruan dalam beberapa hal haditsnya tidak diterima secara mutlak. Kadang haditsnya diterima karena ada mutaba'ahnya atau ada qarinah yang menguatkannya, dan kadang ditolak karena ia bersendirian dalam periwayatan atau ada nakarah. Intinya, hadits perawi shaduuq itu bisa jadi maqbuul di satu tempat dan mardud (ditolak) di lain tempat.
Hadits itu ada pembahasannya di sini : Analisis Hadits Tabarruk : Berkah Kubur Nabi SAW.
wallaahu a'lam.
DARI FAHRUL
ASSALAMU`ALAIKUM USTADZ ABUL JAUZAA TERNYATA SAAT ANA MENAMPILKAN PENJELASAN ANTUM,MAKA ADA TANGGAPAN BALIK BERIKUT BANTAHANNYA
KEBODOHAN ITU BERAWAL DARI KOMENTAR (Seorang perawi yang shaduuq yang mempunyai beberapa kekeliruan dalam beberapa hal haditsnya tidak diterima secara mutlak.)
TANGGAPAN: jika sudah dikatakan Mutlak, maka secara pasti tidak ada satu hal pun yang terkecuali, apalagi dalam masalah yang sangat prinsipil. terlebih lagi kebodohan itu ama sekali didasari ketidak punyaan ilmu yang mendasr tentang hadis, sehingga plin-plan dalam mentakhrij hadis.
KEBODOHAN KEDUA, KOMENTAR (Kadang haditsnya diterima karena ada mutaba'ahnya atau ada qarinah yang menguatkannya, dan kadang ditolak karena ia bersendirian dalam periwayatan atau ada nakarah.) Amr bin Malik al-Nukri bukalah satu-satunya pearwi hadis tentang tawashul, begitu juga dalam banyak periwayatn hadis, lalu atas dasar apa Syekh al-Albani justru menilai Amr bin Malik al-Nukri seorang perawi yang tsiqah dalam masalah selain Bab tawashul. ini didasari kebodohan juga atas dasar kebencian terhadap hukum tawashul.
KEBODOHAN YANG TERPARAH ADALAH PADA KOMENTAR (Intinya, hadits perawi shaduuq itu bisa jadi maqbuul di satu tempat dan mardud (ditolak) di lain tempat." .) INTI atau kesimpulan yang terlalu dipaksakan demi menutupi borok-borok kedustaan yang lebih besar.
MOHON TANGGAPAN USTADZ ATAS INI(AFWAN ANA JUGA SEKALIGUS BELAJAR)
Saya sarankan Anda belajar ilmu hadits.
Perkataan Anda:
"TANGGAPAN: jika sudah dikatakan Mutlak, maka secara pasti tidak ada satu hal pun yang terkecuali, apalagi dalam masalah yang sangat prinsipil. terlebih lagi kebodohan itu ama sekali didasari ketidak punyaan ilmu yang mendasr tentang hadis, sehingga plin-plan dalam mentakhrij hadis.
Mutlak yang mana ?. Bukankah saya katakan dalam komentar sebelumnya 'Amru bin Maalik An-Nukriy itu perawi shaduuq yang mempunyai beberapa kekeliruan; dan kemudian saya menunjukkan link pembahasannya di Analisis Hadits Tabarruk : Berkah Kubur Nabi SAW. Sudah baca belum ?. Siapa yang mengatakan dia perawi shaduuq yang mempunyai beberapa kekeliruan ?. Jawabnya : Ibnu Hajar sebagaimana ada dalam kitab At-Taqriib, hal. 744 no. 5139. Dalam artikel yang saya link-kan sudah saya sebutkan qarinah adanya kelemahan yang ada pada diri 'Amru, yaitu saat ia membawakan hadits shalat tasbih.
Perkataan Anda :
KEBODOHAN KEDUA, KOMENTAR (Kadang haditsnya diterima karena ada mutaba'ahnya atau ada qarinah yang menguatkannya, dan kadang ditolak karena ia bersendirian dalam periwayatan atau ada nakarah.) Amr bin Malik al-Nukri bukalah satu-satunya pearwi hadis tentang tawashul, begitu juga dalam banyak periwayatn hadis, lalu atas dasar apa Syekh al-Albani justru menilai Amr bin Malik al-Nukri seorang perawi yang tsiqah dalam masalah selain Bab tawashul. ini didasari kebodohan juga atas dasar kebencian terhadap hukum tawashul.
Inilah yang justru menujukkan kebodohan Anda. Mengapa / Karena Anda tidak paham studi takhrij hadits. Di situ 'Amru bin Maalik dalam membawakan riwayatnya tidak mempunyai mutaba'ah.
Makanya, komentar Anda di atas tidak relevan dan tidak ada nilainya sama sekali. Kalau memang ada mutaba'ah, silakan tunjukkan kepada saya.
[jangan-jangan Anda juga tidak paham apa itu mutaba'ah].
Tentang penghukuman Syaikh Al-Albaaniy terhadap 'Amru bin Maalik An-Nukriy, memang ternukil hal yang berbeda. Saya nukil deh lebih lengkapnya kepada Anda sebagai berikut:
1. Irwaa'ul-Ghaliil (3/250), beliau rahimahullah mengatakan:
"Dibawakan oleh Ibnu Abi Haatim (3/1/259) tanpa menyebutkan padanya jarh maupun ta'dil. Adapun Ibnu Hibbaan, maka ia menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (2/212), akan tetapia ia berkata : "Haditsnya dijadikan i'tibar".
2. Silsilah Adl-Dla'iifah (1/211), beliau mengatakan:
"Ia tidak ditautsiq selain Ibnu Hibbaan (7/228 & 487) sedangkan ia adalah seorang yang mutasaahil dalam pentautsiqan, hingga ia para perawi yang dinilai majhuul oleh para imam naqd.
3. Silsilah Adl-Dla''ifah (5/449), beliau menukil penghukuman Ibnu Hajar dalam At-Taqriib : "Shaduuq lahu auhaam (shaduuq, namun mempunyai beberapa kekeliruan/keraguan).
4. Silsilah Ash-Shahiihah (2/658 & 3/132), beliau juga menukila penghukuman Ibnu Hajar seperti di atas (shaduuq lahu auhaam).
5. Silsilah Ash-Shahiihah (3/325), beliau rahimahullah berkata : "Ia diperbincangkan (para ulama)".
6. Silsilah Ash-Shahiihah (5/608) : "Tsiqah, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan".
7. Tamaamul-Minnah (hal. 138) setelah menyebutkan penghukuman Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat (yaitu : 'sering membawakan riwayat ghariib dan sering keliru'), beliau berkata : "Semua ini memberikan faedah bahwa ia tidak dijadikan hujjah apabila menyendiri (dalam periwayatan)".
Kira-kira begitu....
Nah, kenapa Anda hanya 'memilih' perkataan 'tsiqah' yang ada dalam Silsilah Ash-Shahiihah (5/608) tanpa memperhatikan yang lain ?. O iya, saya lupa, karena.... penghukuman ini memang yang Anda kehendaki. Oleh karena itu, Anda mempertentangkannya dengan penghukuman beliau (Al-Albaaniy) dalam kitab At-Tawassul. Padahal, beliau sudah menjelaskan dalam perkataan lain di atas dari nukilan Ibnu Hajar, Ibnu Hibbaan, Ibnu Abi Haatim, sehingga dalam Tamaamul-Minnah di-state : "Ia tidak dijadikan hujjah apabila menyendiri/bersendirian".
Bukankah ini jelas ?.
Mungkin Anda akan mati-matian menganggap penghukuman Al-Albaaniy dalam kitab At-Tawassul yang mendla'ifkan riwayatnya adalah salah dengan alasan di lain tempat beliau mentsiqahkannya. Kenapa logikanya nggak dibalik dengan melihat fakta di atas bahwa tautsiq beliau terhadap 'Amru bin Maalik An-Nukriy dalam Ash-Shahiihah (6/508) adalah keliru ?. O iya,... karena dengan berpikir terbalik, ini akan merugikan Anda. Percuma Anda komentar di sini.
Adapun jika kita kembalikan tautsiq Al-Albaaniy yang menisbatkannya pada Adz-Dzahabiy dalam Miizaanul-I'tidaal, maka pernahkah Anda punya usaha mengecek ke kitab Adz-Dzahabiy ?. Sependek yang saya tahu, dalam Miizaanul-I'tidaal, Adz-Dzahabiy hanya mengatakan :
عمرو بن مالك [ عو ] النكرى، عن أبي الجوزاء
'Amru bin Maalik An-Nukriy, dari Abul-Jauzaa'
[Al-miizaan, 3/286 no. 6436].
Tidak ada penghukuman 'tsiqah' di situ. Kalau Anda menemukannya, silakan membawakannya di sini.
Sedanngkan dalam Al-Kaasyif, Adz-Dzahabiy mengatakan : "Telah ditsiqahkan (wutsiqa)" - dimana umumnya maksud lafadh ini dari Adz-Dzahabiy adalah merujuk tautsiq dari Ibnu Hibbaan. Dan Anda pun tahu - semoga - bahwa Ibnu Hibbaan saat menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat berkata (sebagaimana dinukil oleh Al-Albaaniy di atas) : "Haditsnya dijadikan i'tibar" atau di lain tempat "Sering membawakan riwayat ghariib dan sering keliru".
Maka di sini menjadi jelas permasalahannya. Kalaupun dianggap keliru, maka kekeliruan itu hanya ada pada nukilan dimana Al-Albaaniy menisbatkan tautsiq Adz-Dzahabiy itu pada Al-Miizaan yang seharusnya dalam Al-Kaasyif. Tautsiq Adz-Dzahabiy yang merujuk pada tautsiq Ibnu Hibbaan pun telah ditunjukkan kedudukannya.
So, masalahnya tidak sebesar yang Anda duga. Kalau pun penghukuman Al-Albaaniy itu keliru, maka bukan pendla'ifannya yang keliru, namun justru tautsiq beliau yang keliru dengan melihat penjelasan beliau di tempat-tempat yang lain. Sekali lagi, itu kalau kita anggap keliru.
Perkataan Anda :
"KEBODOHAN YANG TERPARAH ADALAH PADA KOMENTAR (Intinya, hadits perawi shaduuq itu bisa jadi maqbuul di satu tempat dan mardud (ditolak) di lain tempat." .) INTI atau kesimpulan yang terlalu dipaksakan demi menutupi borok-borok kedustaan yang lebih besar"
Idem dengan di atas.
Perkataan Anda :
MOHON TANGGAPAN USTADZ ATAS INI(AFWAN ANA JUGA SEKALIGUS BELAJAR)
Ya, semoga Anda ke depan dapat belajar dengan rajin.
DARI FAHRUL
ASSALAMU`ALAIKUM
USATDZ ABUL JAUZA,JAZAKALLAH KHAIR ATAS TANGGAPANNYA.
OH YA ANA MAU SEDIKIT MEMBERITAHUKAN ANTUM MENGIRA YANG BERKOMENTAR ADALAH ANA (FAHRUL) PRIBADI PADAHAL ANA PADA AWALNYA TELAH MENULIS:
"DARI FAHRUL
ASSALAMU`ALAIKUM USTADZ ABUL JAUZAA TERNYATA SAAT ANA MENAMPILKAN PENJELASAN ANTUM,MAKA ADA TANGGAPAN BALIK BERIKUT BANTAHANNYA"
KESIMPULANNYA USTADZ SALAH MENDUGA,SEBENARNYA MALAH ANA PRIBADI(FAHRUL) MINTA TANGGAPAN ATAS BANTAHAN TERSEBUT,YANG SEBENARNYA DITULIS ORANG LAIN.
TAPI TERLEPAS DARI ITU SEMUA ATAS SEMUA,ANA UCAPKAN JAZAKALLAH KHAIR.
terimakasih infonya,,
sangat menarik dan bermanfaat,,
Posting Komentar