Bahasan
ini adalah salah satu bahasan yang sangat urgent dan esensial dalam
memahami rangkaian bahasan
‘udzur kejahilan. Secara umum, pendapat pertama, mengatakan bahwa
pemahaman terhadap hujjah merupakan syarat dalam iqaamatul-hujjah (penegakan
hujjah). Konsekuensinya mereka mentoleransi ‘udzur kejahilan bagi orang
yang sampai kepadanya hujjah namun tidak/belum memahaminya. Ini adalah
pendapat yang dipegang jumhur ulama. Pendapat kedua menyatakan pemahaman
terhadap hujjah bukan menjadi syarat dalam iqaamatul-hujjah, karena
hujjah berupa Al-Qur’an telah sampai kepada mereka. Ini adalah pendapat sebagian
muta’akhkhiriin dan kemudian dinisbatkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin
‘Abdil-Wahhaab rahimahullah (meski penisbatan ini perlu diteliti kembali).
Pendapat
yang benar, pemahaman
terhadap hujjah merupakan syarat dalam iqaamatul-hujjah. Dalilnya adalah
sebagai berikut:
1.
Firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا
عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali
ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka” [QS. Muhammad : 25].
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Allah ta’ala melalui ayat di atas mencela
orang-orang yang berpaling dari kebenaran setelah adanya kejelasan bagi mereka
tentang kebenaran tersebut.
2.
Firman Allah ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang
musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia
sempat mendengar firman Allah”
[QS. At-Taubah : 6].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
{ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ
اللَّهِ } أي: [القرآن] تقرؤه عليه وتذكر له شيئًا من [أمر] الدين تقيم عليه به
حجة الله
“Firman
Allah : ‘supaya ia sempat mendengar firman Allah’ , yaitu Al-Qur’an,
yang engkau bacakan kepadanya dan engkau sebutkan kepadanya tentang perkara
agama sehingga engkau dapat menegakkan hujjah Allah kepadanya” [Tafsiir Ibni
Katsiir, 4/113].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan ayat
tersebut:
قد علم أن المراد أنه يسمعه
سمعا يتمكن معه من فهم معناه إذ المقصود لا يقوم بمجرد سمع لفظ لا يتمكن معه من
فهم المعنى فلو كان غير عربي وجب أن يترجم له ما يقوم به عليه الحجة
“Dan
telah diketahui bahwa yang dimaksudkan adalah ia mendengarkan Al-Qur’an dengan
pendengaran yang mampu ia pahami maknanya, karena hal itu tidak terwujud hanya
sekedar mendengarkan lafadh yang tidak mampu ia pahami maknanya. Seandainya ia
bukan orang Arab, maka wajib untuk diterjemahkan baginya apa yang dapat
ditegakkan kepadanya hujjah” [Al-Jawaabush-Shahiih, hal. 221].
3.
Firman Allah ta’ala:
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ
إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا
لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ * فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا
وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا
فَاعِلِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu
keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pemahaman kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka
telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami lah yang melakukannya”
[QS. Al-Anbiyaa’ : 78-79].
Firman
Allah ta’ala : ‘maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman
tentang hukum (yang lebih tepat)’ menunjukkan pemahaman merupakan karunia
dari Allah ta’ala. Allah ta’ala memberikan ‘udzur kepada
Daawud karena ketidakpahamannya, padahal ia adalah seorang Nabi yang dipuji
karena keilmuan dan hikmah yang dimilikinya. Oleh karena itu, orang yang
kapasitasnya lebih rendah daripada Daawud lebih layak untuk dimaafkan, karena
ketidakpahamannya terhadap dalil.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap dalil mutlak
diperlukan untuk mengantarkan kepada kebenaran sesuai yang dimaksudkan dalil
itu sendiri.
4.
Firman Allah ta’ala:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا
لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”
[QS. Al-Baqarah : 286].
Allah tidak membebani hamba-Nya melainkan sesuai
dengan kesanggupan dan kemampuannya. Dalam ayat tersebut, Allah ta’ala menceritakan
doa hamba-Nya agar tidak dihukum ketika ia lupa atau tersalah, dan kemudian
Allah pun mengabulkannya[1]. Oleh karena itu, melalui
ayat ini Allah ta’ala memberikan ‘udzur karena ketidakmampuan
memahami dalil sehingga mereka keliru dalam meninggalkan kewajiban atau
mengerjakan larangan.
Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
ومعناه: قولوا:"ربنا لا
تؤاخذنا إن نسينا" شيئا فرضت علينا عمله فلم نعمله،"أو أخطأنا" في
فعل شيء نهيتنا عن فعله ففعلناه، على غير قصد منا إلى معصيتك، ولكن على جهالة منا
به وخطأ،
“Maknanya,
katakanlah : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa’,
yaitu : lupa tentang sesuatu yang Engkau wajibkan kepada kami untuk
melakukannya, namun kami tidak melakukannya. Firman Allah ta’ala : ‘atau
kami tersalah’; yaitu dalam melakukan sesuatu yang Engkau larang kepada
kami untuk melakukannya, namun kami melakukannya tanpa maksud kami untuk
bermaksiat kepada-Mu, akan tetapi karena ketidaktahuan dan kekeliruan kami
terhadapnya” [Jaami’ul-Bayaan, 6/132].
Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata:
ثم قال تعالى مرشدًا عباده
إلى سؤاله، وقد تكفل لهم بالإجابة، كما أرشدهم وعلمهم أن يقولوا: { رَبَّنَا لا
تُؤَاخِذْنَا إِنْ [نَسِينَا] } أي: إن تركنا فرضًا على جهة النسيان، أو فعلنا
حرامًا كذلك، { أَوْ أَخْطَأْنَا } أي: الصوابَ في العمل، جهلا منا بوجهه الشرعي
“Kemudian
Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, bagaimana cara memohon
kepada-Nya dan Dia menjamin akan mengabulkannya, sebagaimana Allah memberi
petunjuk kepada mereka dan mengajarkan kepada mereka untuk berdoa : ‘Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa’ (QS. Al-Baqarah : 286); yaitu : apabila kami meninggalkan
kewajiban atau melakukan keharaman karena lupa. Firman Allah ta’ala : ‘atau
kami tersalah’ ; yaitu :
keliru dari hal yang dibenarkan dalam beramal karena tidak mengetahui
pengamalannya secara syar’iy” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/737].
Ketidakpahaman seseorang jika itu bukan bersumber pada
ketidakpedulian dirinya, termasuk sesuatu di luar kemampuannya.
5.
Hadits:
عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ،
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ
مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ
وَلَمْ أَسْمَعْ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ
وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونِي بِالْبَعْرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ
جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ:
رَبِّ مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعَنَّهُ، فَيُرْسِلُ
إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا
Dari Al-Aswad bin Sarii’, dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda : “Ada empat orang yang
akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang
idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh
Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali’. Orang yang idiot
akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak
melempariku dengan kotoran hewan’. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb,
sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya’. Adapun orang
yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun
utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk
mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka
agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya,
niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan oleh Ishaaq
bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 41; shahih].
Allah ta’ala memberi ‘udzur karena faktor
tidak sampainya dalil (orang yang tuli serta orang yang hidup dan mati di masa
fatrah) dan tidak memahami dalil (orang idiot dan pikun). Oleh karena itu,
sampainya dalil dan pemahaman terhadap dalil merupakan syarat ditegakkannya
hujjah sehingga seorang hamba tidak lagi dapat beralasan di hadapan Allah ta’ala.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
أن قيام الحجة
يختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأشخاص فقد تقوم حجة الله على الكفار فى زمان
دون زمان وفى بقعة وناحية دون أُخرى كما أنها تقوم على شخص دون آخر، إما لعدم عقله
وتمييزه كالصغير والمجنون وإما لعدم فهمه كالذى لا يفهم الخطاب ولم يحضر ترجمان
يترجم له. فهذا بمنزلة الأصم الذى لا يسمع شيئاً ولا يتمكن من الفهم، وهو أحد
الأربعة الذين يدلون على الله بالحجة يوم القيامة كما تقدم فى حديث الأسود وأبى
هريرة وغيرهما
“Bahwasannya penegakan hujjah berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan waktu/jaman, tempat, dan orangnya. Hujjah Allah tegak kepada
orang-orang kafir di satu waktu/jaman, namun tidak di waktu/jaman yang lain;
tegak pada satu tempat, namun tidak di tempat yang lain. Demikian juga, hujjah
Allah tegak pada orang tertentu, namun tidak bagi orang yang lain. Boleh jadi
itu disebabkan karena ketiadaan akalnya dan belum mencapai usia tamyiiz
seperti anak kecil dan orang gila, atau boleh jadi karena ketiadaan
pemahamannya seperti orang yang tidak memahami khithaab (nash) dan tidak
adanya penerjemah yang menerjemahkan dalil kepadanya (bagi orang ‘Ajam). Ini
seperti kedudukan orang tuli yang tidak dapat mendengar sesuatu dan tidak mampu
memahami. Dan ia merupakan salah seorang dari empat orang yang mengajukan
hujjah kepada Allah pada hari kiamat sebagaimana telah berlalu penyebutannya
dalam hadits Al-Aswad, Abu Hurairah, dan yang lainnya” [Thariiqul-Hijratain,
hal. 414].
Ketidakpahaman yang ditunjukkan pada hadits di atas
adalah ketidakpahaman sama sekali terhadap maksud dalil.
6.
Hadits:
عَنْ عَدِيِّ
بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْف حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِق، قَالَ
لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ
وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ
اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ،
وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Dari ‘Adiy bin Haatim radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata : Ketika turun ayat ‘hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar’ (QS. Al-Baqarah : 187); ‘Adiy berkata : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah meletakkan di bawah bantalku dua helai tali
: tali putih dan tali hitam, agar aku mengetahui malam telah berganti siang”.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
bantalmu itu sangat lebar. Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam,
sedangkan (benang) putih adalah siang” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1090].
‘Adiy bin Haatim diberikan ‘udzur atas
ketidakpahamannya, karena ia memahami sesuatu yang tidak dimaksudkan oleh dalil.
7.
Perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
حَدِّثُوا
النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang
mereka ketahui/pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan ?”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 127].
8.
Perkataan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu:
مَا أَنْتَ
بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا، لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ
لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah engkau menyampaikan sebuah hadits kepada
suatu kaum yang belum sampai akal mereka (untuk memahaminya) kecuali akan
menjadi suatu fitnah bagi sebagian mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah
Shahiih-nya no. 5].
Pemahaman
terhadap dalil merupakan sesuatu yang telah disepakati ulama dalam penegakan hujjah,
karena ia merupakan salah satu persyaratan taklif (pembebanan syari’at) sebagaimana
dikatakan Ibnu Lahaam rahimahullah:
شروط التكليف : العقل وفهم الخطاب
“Persyaratan takliif
adalah berakal dan memahami maksud dalil” [Al-Qawaaid wal-Fawaaid
Al-Ushuuliyyah, hal. 33].
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
فمن استقرأ ما جاء به الكتاب والسنة تبين له أن التكليف مشروط بالقدرة على
العلم والعمل فمن كان عاجزا عن أحدهما سقط عنه ما يعجزه ولا يكلف الله نفسا إلا
وسعها
“Barangsiapa
yang melakukan penelitian terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Kitaab dan
As-Sunnah akan jelas baginya bahwa takliif (pembebanan syari’at) dipersyaratkan
dengan adanya kemampuan ilmu dan amal. Barangsiapa yang lemah/tidak mampu
terhadap salah satu di antara keduanya, maka gugur darinya apa yang tidak
disanggupinya itu. Dan ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286)” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
21/634].
Ilmu di sini
adalah pemahaman.
Asy-Syaikh
‘Abdullah bin Bulaihid rahimahullah[2] berkata saat
membantah pendapat yang mengatakan hujjah tegak dengan sampainya Al-Qur’an
meskipun orang yang menerima tidak memahaminya:
هذا لا يُعقل ولا يتفق مع قوله تعالى وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى [النساء : ١١٥] الذي بنى عليه المحققون قولهم (إن فهم
الدعوة بدليلها شرط لقيام الحجة)
“Ini tidak
masuk akal dan tidak sesuai dengan firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin’ (QS. An-Nisaa’ : 115), yang menjadi dasar
perkataan para muhaqqiq : ‘pemahaman terhadap dakwah dengan dalilnya
merupakan syarat penegakan hujjah” [Majmuu’atur-Rasaail An-Najdiyyah, 5/638].
Asy-Syaikh
Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
أما اشتراط العقل في التكليف فلا خلاف فيه بين العلماء إذ لا معنى لتكليف من
لا يفهم الخطاب
“Adapun
persyaratan akal dalam takliif, maka tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam hal tersebut, karena takliif tidak ada maknanya
bagi orang yang tidak memahami khithaab” [Mudzakkirah Ushuulil-Fiqh,
hal. 30].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
والقول الوسط هو أن نقول: من لم تبلغه فهو معذور، ومن بلغته ولم يفهمها فهو
معذور؛ لأن عدم الفهم كعدم العلم، لو أتى إليك إنسان أعجمي وقام يتكلم بأعجميته في
شيء، هل تدري ما يقول؟ لا تدري ما يقول، هذا معذور، فالفهم شرط، يعني مجرد البلاغ لا
يكفي، وأما قوله تعالى: {{لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ}} [الأنعام: 19] ، فهل
المعنى ومن وصل إليه وإن لم يفهمه، أو من بلغه فأدركه؟ الثاني هو المراد
“Pendapat
pertengahan adalah bahwa kita katakan : barangsiapa yang tidak sampai kepadanya
hujjah, maka ia diberikan ‘udzur. Barangsiapa yang sampai kepadanya
hujjah namun ia tidak dapat memahaminya, maka ia pun diberikan ‘udzur,
karena ketiadaan pemahaman seperti ketiadaan ilmu. Seandainya datang kepadamu
orang ‘Ajam (non ‘Arab) lalu ia berbicara dengan bahasa ‘Ajam tentang sesuatu,
apakah engkau mengetahui apa yang ia katakan ?. Engkau tidak mengetahui apa yang ia
katakan. Yang seperti ini diberikan ‘udzur. Maka pemahaman merupakan
syarat, yaitu hanya sekedar sampainya hujjah, tidak mencukupi. Adapun firman
Allah ta’ala : ‘Supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19);
apakah maknanya adalah barangsiapa sampai kepadanya meskipun ia tidak memahami,
ataukah barangsiapa yang sampai kepadanya lalu ia memahaminya ?. Yang kedualah
yang dimaksudkan” [Tafsiir Surat Al-Maaidah].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
وهكذا الأقوال التى يكفر قائلها قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة
لمعرفة الحق وقد تكون عنده ولم تثبت عنده أو لم يتمكن من فهمها وقد يكون قد عرضت
له شبهات يعذره الله بها
“Dan
begitu juga perkataan-perkataan yang dapat mengkafirkan orang yang mengucapkannya. Kadang seseorang tidak
sampai kepadanya nash-nash yang dapat mengantarkannya mengetahui kebenaran, atau
nash-nash itu tidak shahih di sisinya, atau nash-nash itu tidak dapat ia pahami,
atau kadang dihadapkan kepadanya beberapa syubhat yang Allah memaafkannya” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 23/346].
Kemudian, ada
beberapa dalil yang dikatakan sebagian orang yang menunjukkan tidak adanya
persyaratan pemahaman dalam iqaamatul-hujjah, diantaranya:
1.
Firman Allah ta’ala:
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ
أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ سَبِيلا
“Atau apakah kamu mengira
bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain,
hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari
binatang ternak itu)”
[QS. Al-Furqaan : 44].
Ayat ini menunjukkan orang-orang kafir tidak memahami
dalil yang sampai kepada mereka, akan hujjah tetap tegak atas mereka sehingga
mereka diadzab.
Khusus untuk ayat ini, orang yang berpegang pendapat
ini membawakan teks Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah sebagai
berikut:
ما ذكرتموه من قول الشيخ: كل
من جحد كذا وكذا، وأنكم شاكون في هؤلاء الطواغيت وأتباعهم، هل قامت عليهم الحجة أم
لا؟ فهذا من العجب العجاب. كيف تشكون في هذا وقد وضحته لكم مرارًا؟ فإن الذي لم
تقم عليه الحجة هو الذي حديث عهد بالإسلام، والذي نشأ ببادية، أو يكون ذلك في
مسألة خفية، مثل الصرف والعطف، فلا يكفر حتى يعرّف. وأما أصول الدين التي أوضحها
الله في كتابه، فإن حجة الله هي القرآن؛
فمن بلغه فقد بلغته الحجة.
ولكن أصل الإشكال: أنكم لم
تفرقوا بين قيام الحجة وفهم الحجة؛ فإن أكثر الكفار والمنافقين لم يفهموا حجة
الله، مع قيامها عليهم، كما قال تعالى:{ أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلاً} .وقيام الحجة وبلوغها نوع، وفهمهم إياها نوع آخر، وكفرهم ببلوغها إياهم
وإن لم يفهموها
“Apa
yang kalian sebutkan tentang perkataan syaikh (yaitu : Ibnu Taimiyyah) : ‘setiap
orang yang mengingkari ini dan itu, dan telah tegak padanya hujjah’,
sehingga kalian ragau-ragu tentang para thaaghuut dan para pengikutnya,
apakah telah tegak hujjah pada mereka ?. Ini satu hal yang sangat mengherankan.
Bagaimana kalian dapat
ragu-ragu dalam hal ini, padahal aku telah menjelaskan kepada kalian
berulang-ulang ?!. Sesungguhnya orang yang belum tegak padanya hujjah adalah
orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup di daerah pedalaman, orang yang
belum memahami perkara yang samar seperti sharf dan ‘athf; maka
mereka tidak dikafirkan hingga mereka mengetahuinya. Adapun ushuuluddiin
dan hukum-hukumnya yang telah dijelaskan Allah dalam kitab-Nya, maka hujjah
Allah adalah Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah sampai kepadanya Al-Qur’an, maka
artinya telah sampai hujjah kepadanya.
Akan tetapi pokok permasalahannya adalah bahwa kalian
tidak membedakan antara tegaknya hujjah (qiyaamul-hujjah) dan
pemahaman hujjah (fahmul-hujjah). Sesungguhnya kebanyakan orang-orang
kafir dan orang-orang munafik tidak memahami hujjah Allah, sedangkan hujjah itu
sendiri dianggap telah tegak terhadap mereka; sebagaimana firman Allah ta’ala
: ‘Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)’ (QS. Al-Furqaan : 44). Tegak dan sampainya hujjah
itu satu hal, dan pemahaman hujjah itu hal yang lain. Kekafiran mereka itu
dengan sampainya hujjah kepada mereka, meskipun mereka tidak memahaminya”
[Fataawaa wa Rasaail, hal. 12-13].
2.
Firman Allah ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ
إِلَيْكَ وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي
آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لا يُؤْمِنُوا بِهَا حَتَّى إِذَا
جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا أَسَاطِيرُ
الأوَّلِينَ
“Dan
di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan) mu, padahal Kami telah
meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan
(Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran),
mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu
untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al Qur'an ini tidak
lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [QS. Al-An’aam : 25].
Sisi pendalilannya sama dengan nomor 1.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Buthain
rahimahullah berkata:
فمن بلغته رسالة محمد صلى الله
عليه وسلم وبلغه القرآن فقد قامت عليه الحجة فلا يعذر بعدم الإيمان بالله وملائكته
وكتبه ورسله واليوم الآخر، فلا عذر له بعد ذلك بالجهل، وقد أخبر الله سبحانه بجهل كثير
من الكفار مع تصريحه بكفرهم ووصف النصارى بالجهل،مع أنه لا يشك مسلم في كفرهم، ونقطع
أن أكثر اليهود والنصارى اليوم جهال مقلدون، ونعتقد كفرهم وكفر من شك في كفرهم..............
ولا عذر لمن كان حاله هكذا بكونه
لم يفهم حجج الله وبيناته لأنه لا عذر له بعد بلوغها له وإن لم يفهمها، وقد أخبر الله
عن الكفار إنهم لم يفهموا فقال: (وجعلنا على قلوبهم أكنة أن يفقهوه وفي آذانهم وقرا)،
وقال: (انهم اتخذوا الشياطين أولياء من دون الله ويحسبون أنهم مهتدون).
فبين سبحانه أنهم لم يفقهوا،
فلم يعذرهم لكونهم لم يفهموا،.......
“Barangsiapa
yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan sampai pula kepadanya Al-Qur’an, sungguh telah tegak hujjah kepadanya. Tidak ada ‘udzur atas ketiadaan iman terhadap
Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Dan
tidak ada ‘udzur kebodohan/ketidaktahuan baginya setelah itu. Allah subhaanahu
wa ta’ala telah mengkhabarkan kejahilan kebanyakan orang-orang kafir
bersamaan dengan penetapan akan kekafiran mereka. Allah pun menyifati orang
Nashara dengan kebodohan, bersamaan dengan tidak adanya keraguan bagi seorang
muslim akan kekafiran mereka. Dan kita menyatakan dengan pasti bahwa kebanyakan
orang-orang Yahudi dan Nashara dewasa ini merupakan orang-orang bodoh lagi suka
bertaqlid, dan kita berkeyakinan akan kekufuran mereka dan mengkafirkan siapa
saja yang tidak mengkafirkan mereka……..
Dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang berada
dalam keraguan dan ketidakpahaman mereka terhadap hujjah-hujjah Allah dan
penjelasannya, karena tidak diberikan ‘udzur padanya setelah sampainya
hujjah meskipun ia tidak memahaminya. Allah ta’ala telah mengkhabarkan
tentang orang kafir bahwasannya mereka tidak memahami, dengan firman-Nya : ‘Dan
Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak)
memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya’ (QS. Al-An’aam :
25). Allah juga berfirman : ‘Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan
pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat
petunjuk’ (QS. Al-A’raaf : 30).
Maka Allah subhaanahu wa ta’ala menjelaskan
bahwa mereka tidak memahami, namun mereka tidak diberikan ‘udzur atas
ketidakpahaman mereka tersebut…..” [Hukmut-Takfiir Al-Mu’ayyan].
Jawaban atas dalil nomor 1 dan 2 (dan ayat lain yang
semisal) adalah:
a.
Dua ayat di atas – dan juga ayat-ayat lain yang
semisal – tidak menunjukkan orang kafir kehilangan alat-alat pemahaman mereka,
yaitu pendengaran dan akal sehingga mereka tidak memahami hujjah dan khithaab.
Yang dinafikkan Allah ta’ala hanyalah pendengaran dan akal yang
bermanfaat – meski Allah ta’ala menciptakan pendengaran dan akal bagi
mereka – yang tidak mereka pergunakan untuk menerima petunjuk/kebenaran.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah ketika menjelaskan
QS. Al-Furqaan ayat 44 berkata:
فقال : { إِنْ هُمْ إِلاَّ كالأنعام } أي : ما هم في الانتفاع بما
يسمعونه إلاّ كالبهائم التي هي مسلوبة الفهم والعقل فلا تطمع فيهم ، فإن فائدة
السمع والعقل مفقودة ، وإن كانوا يسمعون ما يقال لهم ويعقلون ما يتلى عليهم ،
ولكنهم لما لم ينتفعوا بذلك كانوا كالفاقد له
“Lalu
Allah berfiman : ‘Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak’,
yaitu mereka tidak memanfaatkan apa yang mereka dengar seperti binatang ternak
yang tidak memiliki pemahaman dan akal, sehingga engkau jangan terlalu berharap
pada mereka. Hal itu dikarenakan
faedah pendengaran dan akal mereka hilang, mesipun mereka mendengar apa yang
dikatakan kepada mereka dan memahami apa yang dibacakan kepada mereka. Akan
tetapi ketika mereka tidak memanfaatkannya, maka mereka seperti orang yang
kehilangan pendengaran dan akal” [Fathul-Qaadir, 4/78].
Penjelasan Asy-Syaukaaniy di atas kongruen dengan
perkataan Ath-Thabariy rahimahumallah saat menjelaskan QS. Al-A’raaf[3] ayat : 179:
وأما قوله:(لهم قلوبٌ لا يفقهون بها)، فإن معناه: لهؤلاء الذين ذرأهم
الله لجهنم من خلقه قلوب لا يتفكرون بها في آيات الله، ولا يتدبرون بها أدلته على
وحدانيته، ولا يعتبرون بها حُجَجه لرسله، فيعلموا توحيد ربِّهم، ويعرفوا حقيقة
نبوّة أنبيائهم. فوصفهم ربُّنا جل ثناؤه بأنهم: "لا يفقهون بها"،
لإعراضهم عن الحق وتركهم تدبُّر صحة [نبوّة] الرسل، وبُطُول الكفر. وكذلك
قوله:(ولهم أعين لا يبصرون بها)، معناه: ولهم أعين لا ينظرون بها إلى آيات الله
وأدلته، فيتأملوها ويتفكروا فيها، فيعلموا بها صحة ما تدعوهم إليه رسلهم، وفسادِ
ما هم عليه مقيمون، من الشرك بالله، وتكذيب رسله; فوصفهم الله بتركهم إعمالها في
الحقّ، بأنهم لا يبصرون بها.
وكذلك قوله:(ولهم آذان لا يسمعون بها)، آيات كتاب الله، فيعتبروها
ويتفكروا فيها، ولكنهم يعرضون عنها، ويقولون:( لا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ
وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ )
“Adapun firman-Nya : ‘mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)’; maknanya adalah mereka yang telah Allah jadikan
penghuni Jahannam mempunyai hati yang tidak digunakan untuk memikirkan
ayat-ayat Allah, tidak mentadaburi dalil-dalil yang menunjukkan ke-Esa-an-Nya,
dan tidak mengambil pelajaran dengannya dari hujjah-hujjah Rasul sehingga
mereka mengetahui tauhid Rabb mereka dan mengetahui hakekat kenabian nabi-nabi
mereka. Maka Rabb kita ‘azza wa jalla mensifati mereka dengan : ‘tidak
dipergunakan hatinya
untuk memahami (ayat-ayat Allah)’, dikarenakan berpalingnya mereka dari kebenaran dan meninggalkan mentadaburi
kebenaran kenabian para Rasul., serta karena lamanya mereka berada dalam
kekafiran. Begitu juga dengan firman-Nya ‘dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihatnya’,
yaitu : mereka mempunyai mata yang tidak dipergunakan untuk melihat ayat-ayat
Allah dan dalil-dalil-Nya, sehingga mereka dapat merenungkan dan memikirkannya
(ayat-ayat Allah dan dalil-dalil-Nya), mengetahui kebenaran dakwah para Rasul
kepada mereka, rusaknya perbuatan mereka berupa kesyirikan kepada Allah dan
pendustaan terhadap rasul-rasul-Nya. Maka Allah mensifati mereka tidak dapat
melihat, karena mereka tidak mempergunakan mata mereka untuk melihat kebenaran.
Begitu juga dengan firman-Nya : ‘dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar’, yaitu : mendengar ayat-ayat Kitabullah, sehingga
mereka dapat mengambil pelajaran darinya dan memikirkannya. Akan tetapi mereka
berpaling darinya dan berkata : ‘Janganlah kamu mendengar
dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya,
supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’ (QS. Fushshilat : 26)” [Jaami’ul-Bayaan, 13/278-279].
Intinya, ayat-ayat di atas justru menunjukkan bahwa
orang-orang kafir mendengar dan memahami apa yang mereka dengar dari dalil yang
sampai kepada mereka, namun mereka malah berpaling sehingga Allah sifati mereka
sebagai orang yang tuli, bisu, dan buta seperti binatang ternak yang tidak
mempunyai pemahaman.
وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأسْمَعَهُمْ وَلَوْ
أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Kalau kiranya Allah mengetahui
kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan
jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling
juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)” [QS. Al-Anfaal : 23].
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا
يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang
kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar
selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab
itu) mereka tidak mengerti” [QS. Al-Baqarah : 171].
Akhirnya, ketika mereka berpaling dan enggan menerima
kebenaran yang datang kepada mereka, maka Allah menghukum mereka karena
kekafirannya dengan mengunci hati mereka sehingga mereka tidak lagi mengerti.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
اخبر سبحانه ان كفرهم بالحق بعد ان علموه كان سببا لطبع الله على
قلوبهم بل طبع الله عليها بكفرهم.....
انهم لما ردوا الحق ورغبوا عنه عوقبوا بالطبع والرين وسلب العقل
والفهم كما قال تعالى عن المنافقين ذلك بانهم آمنوا ثم كفروا فطبع على قلوبهم فهم
لا يفقهون
“Allah
subhaanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan bahwa kekufuran mereka terhadap
kebenaran setelah mereka mengetahuinya (= memahaminya) merupakan sebab Allah
mengunci hati-hati mereka. Allah
ta’ala berfirman : ‘Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati
mereka karena kekafirannya’ (QS. An-Nisaa’ : 155)…….
Sesungguhnya mereka ketika menolak kebenaran dan
berpaling darinya, mereka dihukum dengan dikuncinya hati mereka, serta
dicabutnya akal dan pemahaman mereka sebagaimana firman Allah ta’ala
tentang orang-orang munafik : ‘Yang demikian itu adalah karena bahwa
sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati
mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti’ (QS.
Al-Munaafiquun : 3)” [Miftah Daaris-Sa’aadah, 1/99, 101].
b.
Pemahaman yang dinafikkan atas mereka (orang-orang
kafir) dalam ayat di atas bukan pemahaman terhadap khithaab, karena Al-Qur’an
turun dengan bahasa mereka. Salah satu buktinya adalah saat mereka diajak untuk
mengatakan Laa ilaha illallaah, mereka berkata:
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu
Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan” [QS.
Fushsilat : 3].
Ini menunjukkan mereka paham terhadap khithaab
nash dan konsekuensi hukum yang dituntut dari nash.
Jika demikian, pemahaman apa yang dinafikkan ?
Jawabannya, pemahaman yang dinafikkan dalam nash-nash tersebut
adalah pemahaman fiqh yang berpengaruh pada tingkah laku dan melahirkan
ketaatan dan ketundukan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa
yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Ia akan memahamkan agama
kepadanya” [Muttafaqun ‘alaihi].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mengomentari hadits
di atas dengan perkataannya:
وهذا يدل على أن من لم يفقهه في دينه لم يرد به خيرا كما أن من أراد به
خير افقهه في دينه ومن فقهه في دينه فقد أراد به خيرا إذا أريد بالفقه العلم المستلزم
للعمل وأما أن أريد به مجرد العلم فلا يدل على أن من فقه في الدين فقد أريد به خيرا
فإن الفقه حينئذ يكون شرطا لإرادة الخير وعلى الأول يكون موجبا والله اعلم
“Hadits
ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak dipahamkan dalam agama, maka ia
bukan termasuk orang yang Allah kehendaki kebaikan, sebagaimana orang yang
dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Ia akan memberikan pemahaman kepada
agamanya. Dan barangsiapa
yang diberikan pemahaman dalam agamanya, maka Allah menghendaki kebaikan
kepadanya. Hal ini jika yang dimaksudkan dengan pemahaman (fiqh) adalah
ilmu yang mengkonsekuensikan kepada amal. Adapun jika yang dikehendaki hanyalah
sekedar ilmu semata, maka tidak menunjukkan bahwa orang yang diberikan
pemahaman dalam agama, maka Allah menghendaki kebaikan kepadanya. Sesungguhnya pemahaman
(fiqh) menjadi syarat dicapainya kebaikan, yang menunjukkan bahwa
pemahaman terhadap agama merupakan faktor yang mengharuskan tercapainya
kebaikan. Wallaahu a’lam” [Miftah Daaris-Sa’aadah, 1/60].
وفي الترمذي وغيره عنه صلى الله عليه و سلم خصلتان لا يجتمعان في
منافق حسن سمت وفقه في الدين فجعل الفقه في الدين منافيا للنفاق بل لم يكن السلف
يطلقون اسم الفقه الا على العلم الذي يصحبه العمل
“Dalam
Sunan At-Tirmidziy dan yang lainnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda : ‘Ada dua sifat yang tidak bertemu dalam
diri seorang munafik, yaitu baiknya akhlaq/perilaku dan pemahaman dalam agama’[4].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan pemahaman agama sebagai
peniadaan kemunafikan. Bahkan salaf tidak memutlakkan kata fiqh kecuali atas
ilmu yang diiringi dengan amal” [idem, 1/89].
Pemahaman fiqh inilah yang dinafikkan dari orang-orang
kafir, karena mereka tidak mau tunduk dan beramal dengan apa yang telah ia
ketahui.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah
berkata:
فإذا كان المعين يكفر إذا قامت عليه الحجة، فمن المعلوم أن قيامها
ليس معناه أن يفهم كلام الله ورسوله مثل فهم أبي بكر رضي الله عنه، بل إذا بلغه
كلام الله ورسوله، وخلا من شيء يعذر به، فهو كافر، كما كان الكفار كلهم تقوم عليهم
الحجة بالقرآن مع قول الله:{ وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ }
“Apabila
seorang individu tertentu dikafirkan ketika hujjah telah ditegakkan kepadanya,
maka sebagaimana telah diketahui dalam penegakan hujjah tersebut tidaklah
bermakna bahwa firman Allah dan sabda Rasul-Nya mesti dipahami sebagaimana
pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Bahkan apabila telah sampai kepadanya firman Allah dan
sabda Rasul-Nya, sedangkan ia tidak mempunyai alasan apapun untuk meninggalkannya,
maka ia kafir. Hal itu sebagaimana hujjah telah ditegakkan kepada semua orang dengan
Al-Qur’an melalui firman Allah : ‘Dan Kami telah meletakkan
tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya (fiqh)” [Ar-Rasaail Asy-Syakhshiyyah, hal. 220].
Perkataan ini sekaligus sebagai penjelas makna perkataan
beliau sebelumnya. Pemahaman yang dinafikkan adalah pemahaman yang mendalam/detail
atau pemahaman yang menyampaikannya kepada taufiq dan petunjuk sebagaimana
misal ia memiliki pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu [Manhaj
Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fii Mas-alatit-Takfiir, hal. 69].
Ini diperjelas lagi oleh penjelasan murid beliau,
Asy-Syaikh Hamd bin Mu’ammar rahimahullah:
وليس المراد بقيام الحجة أن يفهمها الإنسان فهما جليا كما يفهمها من هداه
الله ووفقه وانقياد لأمره
“Yang
dimaksudkan dengan ditegakkannya hujjah bukanlah seseorang mesti memahaminya
dengan pemahaman yang jelas sebagaimana yang dipahami orang yang diberikan
petunjuk dan taufik oleh Allah, serta tunduk/patuh melaksanakan perintah-Nya” [An-Nubdzatusy-Syarii’ah,
hal. 116].
Begitu juga dengan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-Lathiif
bin ‘Abdirrahmaan Aalusy-Syaikh rahimahullah:
ولا يشترط في قيام الحجة أن يفهم عن الله ورسوله ما يفهمه أهل الإيمان
والقبول والانقياد لما جاء به الرسول
“Dan
tidak dipersyaratkan dalam penegakan hujjah agar seseorang memahami dari (firman)
Allah dan (sabda) Rasul-Nya seperti yang dipahami oleh orang-orang beriman,
yang menerima dan tunduk (melaksanakan) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam” [Minhaajut-Ta’siis, hal. 252].
Dari
sini jelaslah kekeliruan sebagian orang muta’akhkhiriin yang memahami
bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah menafikkan
pemahaman secara mutlak dalam proses iqaamatul-hujjah, wallaahul-musta’aan.
3.
Firman Allah ta’ala:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا
الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan
Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya)"
[QS. Al-An’aam : 19].
Allah ta’ala menggantungkan perintah dengan
sampainya hujjah, bukan dengan pemahaman.
Jawaban:
Telah disampaikan penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin
Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah tentang maksud ayat, yaitu sampai
dengan disertai pemahaman (yang benar).
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskanayat
tersebut dengan perkataannya:
والإنذار إنما يكون بما
يفهمونه من لسانهم، فيقرأ أهل كل لغة بلسانهم؛ حتى يقع لهم الإنذار به، وإذا فسر
لهم بلسانهم فقد بلغهم
“Peringatan hanyalah terwujud dengan apa yang dipahami
oleh lisan-lisan mereka, sehingga semua orang yang mempunyai bahasa
berbeda-beda membacakannya kepada mereka dengan lisan-lisan mereka hingga peringatan itu
terwujud pada mereka dengannya. Dan apabila telah dijelaskan kepada mereka
dengan lisan-lisan mereka, sungguh peringatan itu telah sampai kepada mereka” [Syarh
Ibnu Baththaal, 20/219].
Sangat tidak masuk akal hujjah dikatakan tegak
hanya sekedar sampai tanpa ada pemahaman terhadap makna dan konsekuensi hukum
yang dituntut darinya.
Perlu juga diperhatikan bahwa sampainya Al-Qur’an dan
As-Sunnah (= dakwah Islam) kepada seseorang dan kemudian dengannnya dikatakan hujjah
telah tegak, maka itu harus benar-benar sesuai dengan yang diturunkan Allah ta’ala
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan kata lain,
harus sesuai dengan pemahaman salaf, bukan dengan pemahaman yang menyimpang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ،
لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ
يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat, yang
jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, Yahudi atau
Nasrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati dalam keadaan tidak beriman
dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti ia termasuk penduduk neraka”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menjelaskan:
(mulai menit : 06.04)
“…….Jadi, barangsiapa yang sampai kepadanya dakwah
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kemurnian dan
hakekatnya, maka sampailah kepadanya hujjah. Tidak ada ‘udzur atas
kejahilan berdasarkan apa yang aku jelaskan barusan.
Dari sini, aku telah mengatakan berulang kali bahwa
kebanyakan orang-orang Eropa dan Amerika telah duji dengan dakwah orang-orang
yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan kami contohkan akan hal itu
adalah kelompok Qadiyaniyyah, karena mereka itu termasuk kelompok yang sangat
aktif menyerukan dakwah kepada apa yang mereka yakini dari agama mereka. Oleh
karena itu, mereka mampu mempengaruhi ribuan orang di Inggris, Amerika, Jerman,
dan yang lainnya.
Engkau dapat lihat, dan disitulah pointnya, mereka
yang mengikuti dakwah Qaadiyaniyyah, apakah (dengannya) hujjah Islam telah
sampai kepada mereka?. Jawabnya : Belum. Yang sampai kepada mereka adalah
dakwah Qaadiyaniyyah, dan itu bukan merupakan hujjah Islam. Dan Allah
mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat (QS. Al-An’aam : 149), yaitu manaath
at-takliif (penentu dalam pembebanan syari’at) baik positif maupun negatif.
Jadi, yang menjadi kaedah adalah sampainya dakwah yang
benar kepada seseorang. Barangsiapa yang telah sampai padanya hal tersebut,
maka telah tegak padanya hujjah. Jika belum, maka belum tegak padanya hujjah……”
[selesai].
Perkataan semisal dari Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah
dinukil juga oleh Asy-Syaikh Shaalih Aalusy-Syaikh dalam kaset Syarh
Masaailil-Jaahiliyyah.
Jika demikian, perkataan
sebagian orang bahwa hujjah telah tegak dengan diturunkannya Al-Qur’an
sehingga tidak perlu lagi iqaamatul-hujjah secara khusus dalam
pengkafiran individu (takfir mu’ayyan), maka ini tidak valid. Diturunkannya
Al-Qur’an merupakan bentuk penegakan hujjah secara umum. Betapa banyak kaum
muslimin di berbagai negeri yang diliputi kebodohan (karena sedikitnya ilmu dan
ulama yang mendakwahkan Islam yang benar) yang tidak dapat membaca Al-Qur’an ? Betapa
banyak diantara yang dapat membaca Al-Qur’an tersebut, orang yang tidak paham
artinya ? Betapa banyak di antara yang dapat membaca Al-Qur’an dan paham
artinya, orang yang tidak paham kandungan hukum yang ada padanya (baik perintah
maupun larangan) ?. Ini adalah fakta di lapangan.[5]
Maka point yang dapat diringkas
dari artikel ini bahwa syarat iqaamatul-hujjah dalam pengkafiran
individu (takfir mu’ayyan) yaitu adanya pemahaman terhadap nash/dalil dari individu tersebut, baik maknanya maupun hukum yang terkandung
di dalamnya secara benar sesuai dengan yang diturunkan Allah ta’ala kepada
Rasul-Nya (baca : pemahaman salaf). Pemahaman yang dituntut di sini bukan pemahaman
yang mendalam/detail atau pemahaman yang menyampaikannya kepada taufiq dan petunjuk
sebagaimana misal ia memiliki pemahaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Bahan bacaan :
1.
Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah.
2.
Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad
Ma’aasy, isyraaf : Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak[6] hafidhahumallah.
3.
Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fi Mas-alatit-Takfiir (tesis) oleh Ahmad bin Jazaa’ Ar-Radliimaan,
pembimbing : Asy-Syaikh Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql[7], pembahas : Asy-Syaikh
Shaalih Al-‘Abuud[8]
dan Asy-Syaikh ‘Aliy Ad-Dakhiil[9] hafidhahumullah.
5.
Dan yang lainnya.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 16122014 – 03:35].
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ
الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا
الْقَوْمُ ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ
بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ
رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ " لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا
أَوْ أَخْطَأْنَا، قَالَ: نَعَمْ،
Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah kalian
ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami
dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami ya Tuhan
kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya,
maka lisan-lisan mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya:
'Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika mereka melakukan hal
tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah
menjawab : ‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
[2] Beliau
adalah ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Su’uud bin Muhammad yang terkenal dengan
Ibnu Bulaihid. Termasuk kibaar ulama negeri Najd yang mempunyai pengetahuan
luas dalam masalah-masalah syar’iyyah. Beliau wafat tahun 1359 H di Thaaif
[lihat : ‘Ulamaa Najd oleh ‘Abdullah Al-Bassaam, 3/542].
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai”
[QS. Al-A’raaf : 179].
[5] Banyak
masyarakat kita yang tidak memahami makna kalimat tauhid : Laa ilaha
illallaah. Mereka banyak menghapal artinya : ‘Tidak ada tuhan selain Allah’.
Padahal pengartian ini tidaklah benar sesuai makna yang dituntut darinya, yaitu
: laa ma’buuda bi-haqq illallaah (tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah). Mereka juga tidak paham apa konsekuensi dari kalimat
ini. Ini disebabkan karena kebodohan mereka dan keberadaan para da’i dan ulama suu’.
Akibatnya, banyak di antara kaum muslimin yang terperosok kepada amalan yang
merusak ketauhidan mereka tanpa mereka sadari.
Silakan baca fenomena masyarakat di jaman Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dalam artikel : Ibnu
Taimiyyah dan ‘Udzur Kejahilan.
[6] Beliau
adalah salah seorang ulama senior di Saudi ‘Arabia. Keterangan singkat tentang
beliau dapat di baca di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=130559.
[7] Beliau
adalah guru besar ilmu ‘aqiidah Univ. Muhammad bin Su’uud, Saudi ‘Arabia. Keterangan
singkat tentang beliau dapat di baca di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=108150.
[8] Beliau
adalah rektor Univ. Islam Madiinah. Keterangan singkat tentang beliau dapat di
baca di http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=19015.
[10] Beliau adalah
guru besar ilmu ‘aqidah Univ. Islam Madiinah. Keterangan singkat tentang beliau
dapat di baca di http://majles.alukah.net/t18542/.
Comments
Mereka terus mencari-cari alasan untuk tak salah dalam memuaskan emosi mereka dengan bermudah-mudahan menggelari orang lain dengan sebutan "si kafir" & "si ahlul-bid'ah".
Bahkan Ulama seukuran Imam Ahmad & Ibnu Taimiyyah pun tak semudah itu mengkafirkan orang-orang yang menyimpang, bahkan Pemimpin menyimpang yang jelas-jelas memerangi mereka pun tak mereka kafirkan karena kehati-hatian mereka.
Assalamualaikum...
Ustadz apakah sholat dibelakang pelaku kesyirikan karena kejahilannya, harus ada iqomatul hujjah terlebih dahulu ataukah tidak baru dikatakan sholat tsb tidak sah?
Posting Komentar