Sebelumnya, telah lewat bahasan ringkas tentang al-ma’luum mind-diin bidl-dlaruurah di Blog ini. Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah perkara agama yang jelas lagi mutawatir, diketahui oleh semua orang, dan disepakati para ulama secara pasti seperti rukun Islam yang lima, pengharaman perkara-perkara yang keharamannya jelas lagi mutawatir seperti zina, riba, dan yang lainnya [Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 199].
Kejahilan dalam perkara ini tidak dapat ditoleransi (diberikan ‘udzur) berdasarkan ijmaa’.
Ibnul-Waziir rahimahullah berkata:
لا خلاف في كفر من جحد ذلك المعلوم
بالضرورة للجميع، وتستر باسم التأويل فيما لا يمكن تأويله، كالملاحدة في تأويل
جميع الأسماء الحسنى، بل جميع القرآن والشرائع والمعاد الأخروي من البعث والقيامة
والجنة والنار
“Tidak
ada perbedaan pendapat atas kekufuran orang yang mengingkari perkara-perkara
yang telah diketahui secara pasti oleh semua orang, dan menutupinya dengan nama
ta’wil pada hal yang tidak diperbolehkan untuk dita’wilkan, seperti orang-orang
mulhid yang mena’wilkan seluruh al-asmaa’ul-husnaa. Bahkan
mena’wilkan seluruh Al-Qur’an, syari’at Islam, dan sesuatu yang berhubungan
dengan akhirat seperti kebangkitan, kiamat, surga, dan neraka” [Iitsaarul-Haqq
‘alal-Khalq, 2/268].
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata:
العلم عِلْمان:
(1) علمُ عامَّةٍ، لا يَسَعُ بالِغاً غيرَ مغلوب
على عقْلِه جَهْلُهُ...... مثلُ الصَّلَوَاتِ الخمس، وأن لله على الناس صومَ شهْر رمضانَ،
وحجَّ البيت إذا استطاعوه، وزكاةً في أموالهم، وأنه حرَّمَ عليهم الزِّنا والقتْل والسَّرِقة
والخمْر، وما كان في معنى هذا، مِمَّا كُلِّفَ العِبادُ أنْ يَعْقِلوه ويعْملوه ويُعْطُوه
مِن أنفسهم وأموالهم، وأن يَكُفُّوا عنه ما حرَّمَ عليهم منه.
وهذا الصِّنْف كلُّه مِن العلم موجود نَصًّا
في كتاب الله، وموْجوداً عامًّا عنْد أهلِ الإسلام، ينقله عَوَامُّهم عن مَن مضى من
عوامِّهم، يَحْكونه عن رسول الله، ولا يتنازعون في حكايته ولا وجوبه عليهم.
وهذا العلم العام الذي لا يمكن فيه الغلط مِن
الخبر، ولا التأويلُ، ولا يجوز فيه التنازعُ.
“Ilmu
ada dua:
Pertama, ilmu umum, yaitu ilmu
pasti yang tidak ada kelonggaran bagi orang baaligh yang tidak
kehilangan akalnya untuk tidak mengetahuinya (jahil)….. Seperti
kewajiban shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadlaan, haji ke Baitullah
apabila mereka mampu, menunaikan zakat harta mereka, serta haramnya zina,
pembunuhan, mencuri, minum khamr, dan perkara lainnya yang termasuk dalam makna
ini yang telah dibebankan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahuinya,
mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwa dan harta mereka, serta mencegah
hal-hal yang telah diharamkan kepada mereka.
Semua
jenis pengetahuan ini termasuk pengetahuan yang terdapat dalam Kitabullah,
diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin, orang-orang awam sekarang
mengetahuinya dari orang-orang awam terdahulu, mereka menceritakannya dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka tidak berselisih
dalam cerita mereka tersebut dan tidak pula dalam hal kewajiban yang dituntut
kepada mereka untuk mematuhinya.
Ilmu umum ini tidak mungkin keliru dalam pengkhabarannya
dan pena’wilannya, serta tidak boleh ada perselisihan di dalamnya….” [Ar-Risaalah, hal. 357-359].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وفي الجملة فما ترك الله ورسوله حلالا إلا مبيناً،
ولا حراماً إلا مبيّناً، لكن بعضه كان أظهر بياناً من بعض، فما ظهر بيانه واشتهر وعلم
من الدين بالضرورة من ذلك، لم يبق فيه شكّ، ولا يعذر أحد يجهله في بلد يظهر فيه الإسلام
“Dan
secara umum, tidaklah Allah dan Rasul-Nya meninggalkan sesuatu yang halal
kecuali menjelaskannya, dan tidak pula meninggalkan sesuatu yang haram kecuali
menjelaskannya pula. Akan tetapi sebagiannya lebih jelas dibandingkan sebagian
yang lain. Maka apa saja yang penjelasannya jelas, tersebar, diketahui termasuk
bagian dari perkara agama yang pasti dan tidak ada keraguan padanya; maka tidak
ada ‘udzur kejahilan bagi seorang pun
yang tinggal di negeri Islam” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 67].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا إذَا كَانَ الْجَاحِدُ لَهَا
نَاشِئًا فِي الْأَمْصَارِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ، فَإِنَّهُ يُكَفَّرُ
بِمُجَرَّدِ جَحْدِهَا ، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي مَبَانِي الْإِسْلَامِ كُلِّهَا
، وَهِيَ الزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْحَجُّ ؛ لِأَنَّهَا مَبَانِي الْإِسْلَامِ
، وَأَدِلَّةُ وُجُوبِهَا لَا تَكَادُ تَخْفَى ، إذْ كَانَ الْكِتَابُ
وَالسُّنَّةُ مَشْحُونَيْنِ بِأَدِلَّتِهَا ، وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَيْهَا
، فَلَا يَجْحَدُهَا إلَّا مُعَانِدٌ لِلْإِسْلَامِ ، يَمْتَنِعُ مِنْ الْتِزَامِ
الْأَحْكَامِ ، غَيْرُ قَابِلٍ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ
رَسُولِهِ وَلَا إجْمَاعِ أُمَّتِهِ
“Adapun orang yang mengingkarinya
jika ia tinggal di negeri yang berada di antara para ulama, maka ia dikafirkan
dengan sebab pengingkarannya tersebut. Begitu juga hukum terkait rukun-rukun
Islam yaitu zakat, puasa, dan haji; karena ia termasuk pondasi dasar yang
menopang tegaknya Islam dan dalil-dalil kewajibannya bukanlah sesuatu yang
samar, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak memuat dalil-dalilnya. Begitu juga
dengan ijmaa’ yang memperkuatnya. Maka, tidak ada orang yang
mengingkarinya kecuali orang yang menentang Islam, enggan berkomitmen terhadap hukum-hukumnya,
lagi tidak menerima Kitabullah ta’ala, sunnah Rasul-nya, dan ijmaa’ umat”
[Al-Mughniy, 10/82].
Masih banyak perkataan semisal dari ulama.
Orang yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan dalam
perkara ‘aqidah dan syirik akbar mengambil perkataan di atas dan kemudian
mereka terapkan secara mutlak. Dikarenakan kesyirikan dengan semua cabang dan
tingkatannya mereka anggap sebagai al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah
secara mutlak, maka ‘tidak ada ampun lagi’ bagi para pelakunya selain dihukumi
musyrik lagi kafir.
Cara pendalilan seperti ini sangat inkonstitusional,
karena perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah itu merupakan perkara
yang relatif (nisbi) tergantung pada jaman dan tempat. Mungkin satu perkara
termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di suatu tempat, namun
tidak di tempat yang lain; atau masuk di suatu jaman tertentu, namun tidak di
jaman yang lain. Contoh:
Hingga era taabi’iin, pengetahuan Al-Qur’an adalah
Kalaamullah, bukan makhluk merupakan perkara dhaahir (jelas) yang
diketahui oleh semua orang.
أبو عبد الله الحافظ قال : سمعتُ أبا زكريا
يحيى بن محمد العنبري يقول : سمعت عمران بن موسى الجرجاني بنيسابور يقول : سمعت سويد
بن سعيد يقول : سمعت مالك بن أنس وحماد بن زيد وسفيان بن عيينة والفضل بن عياض وشريك
بن عبد الله ويحيى بن سليم ومسلم بن خالد وهشام بن سليمان المخزومي وجرير بن عبد الله
الحميد وعلي بن مسهر وعبدة وعبد الله بن إدريس وحفص بن غياث ووكيع ومحمد بن فضيل وعبد
الرحيم بن سليمان وعبد العزيز بن أبي حازم والدراوردي وإسماعيل بن جعفر وحاتم بن إسماعيل
وعبد الله بن يزيد المقري وجميع من حملت عنهم العلم يقولون : الإيمان قول وعمل، ويزيد
وينقص، والقرآن كلام الله تعالى، وصفة ذاته غير مخلوق، من قال : إنه مخلوق، فهو كافر
بالله العظيم، وأفضل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي
رضي الله عنهم. قال عمران : وبذلك أقول وبه أدين الله عز وجل، وما رأيت محمديا قط إلا
وهو يقوله
Telah
mengkhabarkan Abu ’Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Aku mendengar Abu
Zakariyyaa Yahyaa bin Muhammad Al-’Anbariy berkata : Aku mendengar ’Imraan bin
Muusaa Al-Jurjaaniy di Naisaabuur, ia berkata : Aku mendengar Suwaid bin Sa’iid
berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas, Hammaad bin Zaid, Sufyaan bin
’Uyainah, Al-Fadhl bin ’Iyaadl, Syariik bin ’Abdillah, Yahyaa bin Sulaim,
Muslim bin Khaalid, Hisyaam bin Sulaimaan Al-Makhzumiy, Jariir bin ’Abdillah
Al-Humaid, ’Aliy bin Mus-hir, ’Abdah, ’Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats,
Wakii’, Muhammad bin Fudlail, ’Abdurrahiim bin Sulaimaan, ’Abdul-’Aziiz bin Abi
Haazim, Ad-Daraawardiy, Ismaa’iil bin Ja’far, Haatim bin Ismaa’iil, ’Abdullah
bin Yaziid Al-Muqriy, dan seluruh ulama yang dikaruniai ilmu, mereka berkata :
”Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Al-Qur’an adalah Kalaamullah ta’ala, dan sifat
Dzaat-Nya itu bukan termasuk makhluk. Barangsiapa yang mengatakan makhluk, maka
ia kafir terhadap Allah Yang Maha Agung. Seutama-utama shahabat Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, ’Umar, ’Utsmaan, dan ’Aliy radliyallaahu
’anhum”. ’Imraan berkata : ”Dan dengan hal itu aku berkata dan aku beragama
dengan agama Allah ’azza wa jalla. Dan tidaklah aku melihat satupun kaum
muslimin yang mengikuti ajaran Muhammad kecuali ia juga mengatakannya”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/605-606
no. 542; shahih].
Namun setelah fitnah Mu’tazillah dan Jahmiyyah muncul dan
membesar, perkara ini kemudian menjadi samar bagi banyak orang sehingga para
ulama memberi ‘udzur bagi orang-orang jahil yang jatuh dalam kekeliruan ini. Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
saat ditimpa mihnah (ujian/cobaan) dari para Khaliffah ‘Abbaasiyyah yang
mendakwahkan ‘aqidah kufur Khalqul-Qur’aan, beliau berkata :
كل من ذكرني ففي حل إلا مبتدعا، وقد جعلت أبا
إسحاق - يعني: المعتصم - في حل، ورأيت الله يقول: (وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا
تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ) (النور: 22) وأمر النبي، صلى الله عليه وسلم،
أبا بكر بالعفو في قصة مسطح.
قال أبو عبد الله: وما ينفعك أن يعذب الله أخاك
المسلم في سببك ؟
“Setiap orang yang menyebut (kejelekan) tentang diriku,
maka telah aku halalkan (maafkan) kecuali mubtadi’. Dan aku telah
memafkan pula Abu Ishaaq – yaitu Al-Mu’tashim. Aku membaca firman Allah (dalam
Al-Qur’an) : ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?’ (QS. An-Nuur : 22). Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr telah memerintahkan untuk memafkan dalam
kisah misthah. Apa manfaatnya bagimu ketika Allah menyiksa saudaramu yang
muslim dengan sebab dirimu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/261].
Di sini, Al-Imaam Ahmad tidak mengkafirkan Al-Mu’tashim rahimahumallah
yang terpengaruh ‘aqiidah Khalqul-Qur’aan dengan sebab kebodohannya
dan pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Al-Khaththaabiy rahimahullah menceritakan fenomena
sebaliknya:
وَهَلْ إِذَا أَنْكَرَت طَائِفَة مِنْ
الْمُسْلِمِينَ فِي زَمَاننَا فَرْض الزَّكَاة وَامْتَنَعُوا مِنْ أَدَائِهَا
يَكُون حُكْمهمْ حُكْم أَهْل الْبَغْي ؟ قُلْنَا : لَا فَإِنَّ مَنْ أَنْكَرَ
فَرْضَ الزَّكَاة فِي هَذِهِ الْأَزْمَان كَانَ كَافِرًا بِإِجْمَاعِ
الْمُسْلِمِينَ . وَالْفَرْق بَيْن هَؤُلَاءِ وَأُولَئِكَ أَنَّهُمْ إِنَّمَا
عُذِرُوا لِأَسْبَابٍ وَأُمُور لَا يَحْدُث مِثْلهَا فِي هَذَا الزَّمَان ،
مِنْهَا قُرْبُ الْعَهْد بِزَمَانِ الشَّرِيعَة الَّذِي كَانَ يَقَع فِيهِ
تَبْدِيل الْأَحْكَام بِالنَّسْخِ ، وَمِنْهَا أَنَّ الْقَوْم كَانُوا جُهَّالًا
بِأُمُورِ الدِّين وَكَانَ عَهْدهمْ بِالْإِسْلَامِ قَرِيبًا فَدَخَلَتْهُمْ الشُّبْهَة
فَعُذِرُوا . فَأَمَّا الْيَوْم وَقَدْ شَاعَ دِينُ الْإِسْلَام وَاسْتَفَاضَ فِي
الْمُسْلِمِينَ عِلْمُ وُجُوب الزَّكَاة حَتَّى عَرَفَهَا الْخَاصّ وَالْعَامّ ،
وَاشْتَرَكَ فِيهِ الْعَالِم وَالْجَاهِل ، فَلَا يُعْذَر أَحَد بِتَأْوِيلِ
يَتَأَوَّلهُ فِي إِنْكَارهَا . وَكَذَلِكَ الْأَمْر فِي كُلّ مَنْ أَنْكَرَ
شَيْئًا مِمَّا أَجْمَعَتْ الْأُمَّة عَلَيْهِ مِنْ أُمُور الدِّين إِذَا كَانَ
عِلْمه مُنْتَشِرًا كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْس وَصَوْم شَهْر رَمَضَان
وَالِاغْتِسَال مِنْ الْجَنَابَة وَتَحْرِيم الزِّنَا وَالْخَمْر وَنِكَاح ذَوَات
الْمَحَارِم وَنَحْوهَا مِنْ الْأَحْكَام إِلَّا أَنْ يَكُون رَجُلًا حَدِيث
عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَعْرِف حُدُوده فَإِنَّهُ إِذَا أَنْكَرَ شَيْئًا
مِنْهَا جَهْلًا بِهِ لَمْ يَكْفُر ، وَكَانَ سَبِيله سَبِيل أُولَئِكَ الْقَوْم
فِي بَقَاء اِسْم الدِّين عَلَيْهِ .
“Dan
apakah jika ada sekelompok orang dari kaum muslimin di jaman kita kewajiban
zakat dan enggan untuk menunaikannya dihukumi dengan hukum orang yang
membangkang (ahlul-baghiy) ?. Kami berkata : Tidak, karena orang yang
mengingkari kewajiban zakat di jaman sekarang adalah kafir berdasarkan ijmaa’
kaum muslimin. Perbedaan antara orang-orang dahulu dan orang-orang
di jaman sekarang, karena mereka (orang-orang terdahulu) diberikan ‘udzur
karena beberapa sebab, dan perkara tersebut tidak lagi terjadi di jaman
sekarang. Di antara perkara yang menyebabkan diberikannya ‘udzur karena masa
itu adalah masa awal diberlakukannya syari’at dimana terkadang terjadi
perubahan hukum dengan adanya penghapusan. Diantara juga adalah mereka masih jahil tentang
perkara-perkara agama karena mereka baru masuk Islam sehingga mereka dihinggapi
syubhat dan diberikan ‘udzur.
Adapun di jaman sekarang, agama Islam telah tersebar dan
ilmu tentang wajibnya zakat telah tersiar secara luas pada kaum muslimin hingga
diketahui oleh baik orang umum maupun orang khusus, atau ulama maupun orang awamnya yang jahil. Tidak
diberikan ‘udzur kepada seorang pun karena alasan ta’wil dalam pengingkarannya.
Begitu juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah disepakati oleh
umat yang ia termasuk diantara perkara-perkara agama yang ilmunya telah
tersebar (di kalangan kaum muslimin secara luas) seperti shalat lima waktu,
puasa Ramadlaan, mandi dari janabah, serta haramnya zina, khamr, menikahi
mahram dan yang lainnya; tidak diberikan ‘udzur, kecuali bagi orang yang baru
masuk Islam yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuannya, apabila ia
mengingkari hal-hal tersebut karena jahil maka tidak dikafirkan. Ia masih
dianggap sebagai orang Islam seperti orang-orang Islam lainnya” [Syarh
Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/205].
Meskipun sebelumnya disebutkan perkataan Ibnu Qudaamah
tentang pengkafiran orang yang mengingkari perkara-perkara yang dhaahir, namun
ia memberikan penjelasan:
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي
كُفْرِ مَنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا لِوُجُوبِهَا ، إذَا كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ
مِثْلُهُ ذَلِكَ ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْوُجُوبَ ، كَحَدِيثِ الْإِسْلَامِ
، وَالنَّاشِئِ بِغَيْرِ دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ بَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ
الْأَمْصَارِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ ، لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ ، وَعُرِّفَ ذَلِكَ ،
وَتُثْبَتُ لَهُ أَدِلَّةُ وُجُوبِهَا ، فَإِنْ جَحَدَهَا بَعْدَ ذَلِكَ كَفَرَ .
“Tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekufuran orang yang
meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, apabila ia bukan termasuk
orang yang jahil tentang kewajibannya. Namun apabila ia termasuk orang yang
tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam dan tidak
hidup di negeri Islam (Daarul-Islaam), atau hidup di daerah terpencil dan jauh
dari ulama, maka ia tidak dikafirkan. Ia wajib diberi tahu dan dijelaskan
dalil-dalil kewaibannya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, maka ia kafir”
[Al-Mughniy, 10/82].
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
فمن كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي
مصفى، وجهل من الأحكام ما كان منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا
لا يكون معذوراً؛ لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة. وأما من كان في مجتمع كافر لم تبلغه
الدعوة، أو بلغته وأسلم؛ ولكن خفي عليه بعض تلك الأحكام لحداثة عهده بالإسلام، أو لعدم
وجود من يبلغه ذلك من أهل العلم بالكتاب والسنة؛ فمثل هذا يكون معذوراً. ومثله- عندي-
أولئك الذين يعيشون في بعض البلاد الإسلامية التي انتشر فيها الشرك والبدعة والخرافة،
وغلب عليها الجهل، ولم يوجد فيهم عالم يبين لهم ما هم فيه من الضلال، أو وجد ولكن بعضهم
لم يسمع بدعوته وإنذاره؛ فهؤلاء أيضاً معذورون بجامع اشتراكهم مع الأولين في عدم بلوغ
دعوة الحق إليهم؛ لقوله تعالى: (لأنذركم به ومن بلغ) وقوله: (وما كنا معذبين حتى نبعث
رسولاً) ، ونحو ذلك من الأدلة ......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di
lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil
terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah
– sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur.
Hal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan
tegak padanya hujjah. Adapun orang yang tinggal di masyarakat kafir yang tidak
sampai dakwah kepadanya, atau telah sampai kepadanya lalu ia masuk Islam namun
tersembunyi baginya sebagian hukum-hukum tersebut dikarenakan baru masuk Islam,
atau karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dari kalangan ‘aalim terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka orang seperti ini diberikan ‘udzur. Dan orang
yang semisalnya – menurutku – adalah mereka yang hidup di negeri Islam yang
tersebar padanya kesyirikan, bid’ah, dan khurafaat, serta dominannya kejahilan;
tidak ada pada mereka seorang ulama yang menjelaskan kesesatan yang ada pada
mereka, atau ada ulama namun sebagian mereka tidak mendengar dakwah dan
peringatannya; maka mereka semua juga diberikan ‘udzur seperti golongan
orang-orang sebelumnya dalam hal ketiadaan penyampaian dakwah yang hak kepada
mereka. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala : ‘supaya dengannya aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an
(kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19). ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15) ……” [Silsilah
Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Apa yang dijelaskan Asy-Syaikh Al-Albaaniy sama seperti
yang dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah:
وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة
الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من
الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك،
ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان،
وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم
بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،
“Banyak
diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak
terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang
menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa
Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak mengetahui
apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan
As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini
tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat
bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ulama dan
iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari
hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia
mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 11/407].
مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه،
أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى
الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى،
أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار
إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه.
وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا
الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء
ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم
ذلك. وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات: يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل،
ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في
الحديث المعروف: ( يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا،
ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة. ويقولون: أدركنا آباءنا وهم يقولون:
لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان: ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه؟ فقال:
تنجيهم من النار) .
وأصل ذلك: أن المقالة التي هي كفر بالكتاب
والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن [الإيمان]
من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم.
ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى
موانعه،
“Semisal
orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya,
memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang
menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang
yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
secara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat
mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau
syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah
kafir jika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang
disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan
kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan
kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan
kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai
(kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah
(kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya
iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya
hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah.
Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf : ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui
padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan
wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan :
‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha
illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat
menyelamatkan mereka dari neraka’.
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan
yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’;
maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan
oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang
bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan
hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah
mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan
kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya
faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/164-165].
فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة
انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا
بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود
لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي
حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين
لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه
“Maka
setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, kita mengetahui dengan pasti ( = ma’luum minad-diin
bidl-dlaruurah) bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk
berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya;
tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana
juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain
mayit, dan yang lainnya. Bahkan
kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua
perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan
Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu
tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa
belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan
mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan
mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
Ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah
yang berlaku di satu tempat dan
jaman yang tidak diberikan ruang udzur bagi orang yang jahil terhadapnya,
ternyata menjadi perkara yang samar (khafiy) di tempat dan jaman berbeda
saat kesyirikan, bid’ah, dan kebodohan mendominasi.
Maka, nampaklah kekeliruan fundamental ‘mereka’ dalam
menerapkan pengkafiran orang yang jahil dalam al-ma’luum minad-diin
bidl-dlaruurah tanpa memberikan perinciannya.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 25122014 –
02:40].
Comments
Posting Komentar