Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
فَلَقِيتُ بَصْرَةَ بْنَ أَبِي بَصْرَةَ
الْغِفَارِيَّ، فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ؟ فَقُلْتُ: مِنْ الطُّورِ،
فَقَالَ: لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ إِلَيْهِ مَا خَرَجْتَ، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا تُعْمَلُ
الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ،
وَإِلَى مَسْجِدِي هَذَا، وَإِلَى مَسْجِدِ إِيلِيَاءَ أَوْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
يَشُكُّ "
“....Lalu
aku bertemu dengan Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifaariy. Ia berkata : “Dari mana
engkau?”. Aku menjawab : “Dari bukit Thuur”. Ia berkata : “Seandainya saja aku
bertemu denganmu sebelum engkau pergi ke Bukit Thuur, niscaya engkau tidak akan
pergi. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah hewan tunggangan dipersiapkan untuk perjalanan jauh kecuali menuju
tiga masjid : Masjid Haraam, masjidku ini (Masjid Nabawiy), dan masjid Iliya’
atau Baitul-Maqdis” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’
no. 243; shahih].
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى
ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah
engkau melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali menuju tiga masjid: Al-Masjid
Haram, Masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan Masjid Al-Aqshaa”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1189 dan Muslim no. 3364].
Dua
hadits di atas menunjukkan bahwa setelah Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dikhabari
oleh Bashrah tentang hadits tersebut, ia menyepakatinya dan kemudian
meriwayatkannya.
Dari Qaza’ah, dari Abu Sa’iid
Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu; ia (Qaza’ah) berkata:
سَمِعْتُ مِنْهُ حَدِيثًا فَأَعْجَبَنِي،
فَقُلْتُ لَهُ: أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: فَأَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا لَمْ أَسْمَعْ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ:
مَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى "
“Aku mendengar darinya (Abu Sa’iid)
satu hadits yang membuatku kagum. Aku berkata kepadanya : “Apakah engkau
mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.
Ia menjawab : “Apakah aku berkata atas diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam sesuatu yang tidak pernah aku dengar (dari beliau) ?”. Lalu aku
mendengar Abu Sa’iid berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : ‘Janganlah kalian melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali
menuju tiga masjid : masjidku ini (yaitu Masjid Nabawiy – Abul-Jauzaa’),
Masjid Haraam, dan Al-Masjidul-Aqshaa….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 827].
Para
ulama berbeda pendapat dalam memahami larangan syaddur-rihaal di atas.
Sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut kembali kepada tempat
(secara umum), dan ulama lain berpendapat kembali pada masjid saja – sebagaimana sesuatu yang
diperkecualikannya.
Yang
raajih adalah pendapat pertama, karena dalam hadits Bashrah bin Abi
Bashrah secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak hanya berlaku
pada masjid, namun juga ke tempat lain (Thuur).
Dikuatkan
lagi oleh pemahaman Ibnu ‘Umar yang semisal dengan Bashrah radliyallaahu
‘anhum sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ
عَمْرٍو، عَنْ طَلْقٍ، عَنْ قَزَعَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ آتِي
الطُّورَ؟ قَالَ: " دَعِ الطُّورَ وَلَا تَأْتِهَا، وَقَالَ: لَا تَشُدُّوا
الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari ‘Amru, dari Thalq, dari Qaza’ah,
ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar : “Bolehkah aku pergi
mendatangi bukit Thuur ?”. Ia menjawab : “Tinggalkan Thuur, janganlah engkau
mendatanginya. Janganlah engkau melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihaal)
kecuali pada tiga masjid” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/65; sanadnya
hasan].
Dalam
hal ini, tidak diketahui adanya penyelisihan di kalangan shahabat terhadap
mereka (Bashrah, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum), dan
pemahaman shahabat atas suatu hadits lebih dikedepankan dibandingkan yang
lainnya.
Keumuman
larangan ini meliputi perjalanan jauh (safar) dalam rangka ibadah ke semua
tempat selain tiga masjid, misalnya ziarah ke kubur orang shaalih serta shalat
dan bertabarruk di tempat tertentu.
Ibnu
Hajar rahimahullah menukil beberapa ulama yang menguatkan pendapat ini:
فَقَالَ اَلشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّد
اَلْجُوَيْنِيّ : يَحْرُمُ شَدّ اَلرِّحَال إِلَى غَيْرِهَا عَمَلًا بِظَاهِرِ
هَذَا اَلْحَدِيثِ ، وَأَشَارَ اَلْقَاضِي حُسَيْن إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَبِهِ
قَالَ عِيَاض وَطَائِفَة ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ أَصْحَابُ اَلسُّنَنِ
مِنْ إِنْكَار بَصْرَة اَلْغِفَارِيّ عَلَى أَبِي هُرَيْرَة خُرُوجه إِلَى
اَلطُّورِ وَقَالَ لَهُ " لَوْ أَدْرَكْتُك قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مَا خَرَجْت
" وَاسْتَدَلَّ بِهَذَا اَلْحَدِيثِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَرَى حَمْلَ
اَلْحَدِيثِ عَلَى عُمُومِهِ ، وَوَافَقَهُ أَبُو هُرَيْرَة
“Asy-Syaikh
Abu Muhammad Al-Juwainiy berkata : ‘Diharamkan melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihaal)
selain dari tiga masjid tersebut berdasarkan dhahir hadits ini. Al-Qaadliy
Husain mengisyaratkan pilihannya (terhadap pendapat ini). Dan pendapat inilah
yang dipegang oleh ‘Iyaadl dan sekelompok ulama lain. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits yang diriwayatkan oleh ashhaabus-sunan dari pengingkaran Bashrah
Al-Ghifaariy terhadap Abu Hurairah karena perjalanannya ke bukit Thuur. Ia
(Bashrah) berkata kepadanya : ‘Seandainya saja aku bertemu denganmu sebelum
engkau pergi ke Bukit Thuur, niscaya engkau tidak akan pergi’. Ia berdalil
dengan hadits ini sehingga menunjukkan bahwa ia berpandangan kandungan hadits
ini ada pada keumumannya, dan hal itu disepakati oleh Abu Hurairah” [Fathul-Baariy,
3/65].
Al-Qasthalaaniy rahimahullah
berkata:
اُخْتُلِفَ فِي شَدّ الرِّحَال إِلَى
غَيْرهَا كَالذَّهَابِ إِلَى زِيَارَة الصَّالِحِينَ أَحْيَاء وَأَمْوَاتًا
وَالْمَوَاضِع الْفَاضِلَة فِيهَا وَالتَّبَرُّك بِهَا ، فَقَالَ أَبُو مُحَمَّد
الْجُوَيْنِيُّ يَحْرُم عَمَلًا بِظَاهِرِ الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ الْقَاضِي
الْحُسَيْن ، وَقَالَ بِهِ الْقَاضِي عِيَاض وَطَائِفَة وَالصَّحِيح عِنْد إِمَام
الْحَرَمَيْنِ وَغَيْره مِنْ الشَّافِعِيَّة الْجَوَاز وَخَصَّ بَعْضهمْ النَّهْي
فِيمَا حَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ بِالِاعْتِكَافِ فِي غَيْر الثَّلَاثَة لَكِنْ لَمْ
أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Diperselisihkan
tentang perjalanan jauh (syaddur-rihaal) selain ke tempat tersebut
(yaitu tiga masjid yang disebutkan dalam hadits – Abul-Jauzaa’) seperti
pergi berziarah ke orang-orang shaalih baik yang masih hidup maupun yang telah
meninggal (yaitu di kuburan) serta tempat-tempat yang mempunyai keutamaan untuk
bertabarruk (mencari berkah) dengannya. Abu Muhammad Al-Juwainiy berkata : ‘Diharamkan
berdasarkan dhahir hadits’. Al-Qaadliy Al-Husain memilih pendapat tersebut. Pendapat tersebut dipegang
oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl dan sekelompok ulama lain. Dan yang benar menurut Imam
Al-Haramain dan yang lainnya dari kalangan ulama Syaafi’iyyah adalah
diperbolehkan. Sebagian di antara mereka mengkhususkan larangan tersebut –
sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Khaththaabiy – dalam hal i’tikaaf yang
dilakukan di selain tiga masjid tersebut. Akan tetapi aku tidak melihat adanya dalil
yang melandasainya” [‘Aunul-Ma’buud, 4/417].
Maalik
bin Anas rahimahullah berkata:
مَنْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ آتِيَ الْمَدِينَةَ
أَوْ بَيْتَ الْمَقْدِسِ أَوْ الْمَشْيُ إلَى الْمَدِينَةِ أَوْ إلَى بَيْتِ
الْمَقْدِسِ ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ نَوَى بِقَوْلِهِ ذَلِكَ
أَنْ يُصَلِّيَ فِي مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
فَإِنْ كَانَتْ تِلْكَ نِيَّتَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الذَّهَابُ إلَى بَيْتِ
الْمَقْدِسِ أَوْ إلَى الْمَدِينَةِ رَاكِبًا وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْمَشْيُ
“Barangsiapa
yang berkata : ‘Wajib bagiku untuk mendatangi Madiinah atau
Baitul-Maqdis, atau berjalan menuju Madiinah atau menuju Baitul-Maqdis karena Allah’; maka
tidak ada kewajiban apapun baginya (untuk ditunaikan) kecuali jika ia berniat
dengan perkataannya itu untuk shalat di Masjid Madiinah (Masjid Nabawiy)
atau masjid Baitul-Maqdis. Jika memang itu niatnya, wajib baginya untuk pergi
ke Baitul-Maqdis atau Madiinah dengan naik kendaraan, namun tidak wajib baginya
berjalan kaki” [Al-Mudawwanah, 3/255 – via Syaamilah].
Dapat dipahami dari perkataan
Maalik bahwa semata-mata bernadzar pergi ke Madiinah dengan niat untuk
berziarah ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau kubur para
shahabat, maka tidak wajib ditunaikan. Padahal, asal pelaksanaan nadzar adalah wajib.
Nadzar tidak wajib dilaksanakan apabila nadzar tersebut bukan amalan ketaatan,
diharamkan, atau tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
Ibnu ‘Abdil-Barr, fuqahaa’ madzhab
Maalikiyyah, menjelaskan senada:
ولم يختلف العلماء فيمن قال: علي المشي إلى
بيت المقدس، أو إلى مسجد المدينة، ولم ينو الصلاة في واحد من المسجدين، وإنما أراد
قصدهما لغير الصلاة، أنه لا يلزمه الذهاب إليهما
“Dan
tidak diperselisihkan para ulama atas orang yang berkata : ‘Wajib bagiku
berjalan menuju Baitul-Maqdis atau menuju Masjid Madiinah’, tanpa berniat
shalat pada salah satu di antara dua masjid tersebut dimana niatnya ke sana
hanyalah selain shalat; maka tidak wajib baginya pergi ke dua masjid tersebut”
[Al-Istidzkaar, 5/342].
Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah
berkata:
ولو نذر السفر إلى غير المساجد أو السفر
إلى مجرد قبر نبي ، أو صالح لم يلزمه الوفاء بنذر باتفاقهم ، فإن هذا السفر لم يأمر
به النبي - صلى الله عليه وسلم - ، بل قد قال : (( لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة
مساجد )) وإنما يجب بالنذر ما كان طاعة ، وقد صرح مالك وغيره بأن من نذر السفر إلى
المدينة النبوية إن كان مقصوده الصلاة في مسجد النبي - صلى الله عليه وسلم - وفى
بنذره ، وإن كان مقصوده مجرد زيارة القبر من غير صلاة في المسجد لم يف بنذره ، قال
: لأن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : (( لا تعمل المطي إلا إلى ثلاثة مساجد
)).
“Dan seandainya
seseorang bernadzar untuk safar menuju selain dari masjid-masjid atau safar
menuju kubur Nabi saja atau orang shaalih, maka tidak wajib baginya untuk
menepati nadzar tersebut berdasarkan kesepakatan mereka, karena safar ini
tidaklah diperintahkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah engkau
melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali menuju tiga masjid’. Yang diwajibkan dalam nadzar hanyalah sepanjang merupakan
ketaatan (kepada Allah). Maalik dan yang lainnya telah menjelaskan bahwa siapa
saja yang bernadzar untuk safar menuju Madiinah Nabawiyyah jika maksudnya
adalah melaksanakan shalat di Masjid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
ia harus melaksanakan nadzarnya. Jika maksudnya hanyalah murni berziarah kubur (Nabi)
tanpa shalat di dalam masjid, nadzarnya tidak boleh ditunaikan. Karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidaklah hewan tunggangan
dipersiapkan untuk perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid’ [Ash-Shariimul-Munkiy, hal. 33].
Adapun Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata:
وَلَوْ نَذَرَ فَقَالَ: عَلَيَّ الْمَشْيُ
إلَى إفْرِيقِيَّةَ، أَوِ الْعِرَاقِ، أَوْ غَيْرِهِمَا مِنَ الْبُلْدَانِ، لَمْ يَكُنْ
عَلَيْهِ شَيْءٌ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلَّهِ طَاعَةٌ فِي الْمَشْيِ إلَى شَيْءٍ مِنَ
الْبُلْدَانِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ الْمَشْيُ إلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُرْتَجَى فِيهَا
الْبِرُّ، وَذَلِكَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ، وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ
إلَى مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ أَنْ يَمْشِيَ، وَإِلَى مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَنْ
يَمْشِيَ ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ ؛ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ،
وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ "
“Seandainya
seseorang bernadzar, lalu ia berkata : ‘Wajib bagiku berjalan menuju Afrika
atau ‘Iraaq, atau negeri-negeri yang lain’, maka tidak ada kewajiban apapun
baginya (untuk ditunaikan), karena tidak ada ketaatan kepada Allah dalam
perjalanan menuju negeri-negeri tersebut. Satu perjalanan itu hanyalah dilakukan menuju
tempat-tempat yang diharapkan padanya kebaikan. Dan itu adalah Masjid Haraam.
Dan aku suka seandainya ia bernadzar berjalan menuju Masjid Madiinah dan Masjid
Baitul-Maqdis, lalu ia pun melakukannya dengan berjalan. Hal itu dikarenakan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Janganlah
engkau melakukan perjalanan jauh (safar) kecuali menuju tiga
masjid: Al-Masjid Haram, masjidku
ini (Masjid Nabawiy), dan Masjid Baitul-Maqdis’…….” [Al-Umm, 2/280].
Ibnu
Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
وَمِنَ الْبِدَعِ : البناءُ على القبورِ،
وَتَجْصِيصُهَا، وَشَدُّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَتِهَا
“Dan
termasuk diantara bid’ah adalah : membangun bangunan di atas kubur dan
mengkapurnya, serta melakukan perjalanan jauh (syaddur-rihaal) dalam
rangka menziarahinya” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 274].
Muhyiddiin Al-Barqawiy
Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فإن جمهور العلماء قالوا: السفر إلى
زيارة قبور الأنبياء والصالحين بدعة، لم يفعلها أحد من الصحابة والتابعين، ولا أمر
بها رسول رب العالمين، ولا استحبها أحد من أئمة المسلمين. فمن اعتقد ذلك قربة
وطاعة، فقد خالف الإجماع. ولو سافر إليها بذلك الاعتقاد، يحرم بإجماع المسلمين
“Sesungguhnya
jumhur ulama berkata : ‘Safar dalam rangka berziarah ke kubur para Nabi dan
orang-orang shaalih adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh seorang
pun dari kalangan shahabat dan taabi’iin; tidak diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; serta tidak pula dianggap mustahab
oleh seorang pun dari imam kaum muslimin. Barangsiapa meyakini hal itu adalah
amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, sungguh ia
telah menyelisihi ijmaa’. Seandainya ia melakukan safar ke tempat
tersebut tanpa adanya satu keyakinan, maka tetap diharamkan berdasarkan iijmaa’
kaum muslimin” [Ziyaaratul-Qubuur, hal. 18].
Semoga artikel ini ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 09042014 :
15:50].
Comments
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga kebaikan dan kesehatan selalu Allah berikan kepada antum.
Apakah perbutan JT dengan khuruj dari masji ke masjid dapat juga terkena dengan hadits ini, mohon penjelasan?
Waalaikumsallam
Titip komen saja.
Mungkin ada baiknya sebelum bertanya search dulu di yufid.com dengan kata kunci yang di perlukan. Misal "khuruj" atau "jamaah tablig" insyaallah semua sudah ada jawabannya. Wallahua'lam.
assalamualaikum..apakah hadis ini mencakup keumuman larangan untuk safar pada selain tempat ini? dalam artian tidak safar untuk ziarah tetapi untuk berlibur atau wisata misalnya?
Bagaimana kalau safar itu untuk menuntut ilmu...?? bukankah menuntut ilmu itu termasuk perkara ibadah...??
Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wa barakaatuh
@Anonim 10 April 2014 10.08, jika khuruj-nya mereka hanya sekedar menuju masjid tertentu, maka masuk.
@Ziyadul Muttaqin, safar kalau tujuannya wisata, maka tidak masuk larangan.
@Unknown,... menuntut ilmu tidak masuk, karena ibadah yang dimaksudkan para ulama dalam hadits itu adalah ibadah shalat dan bertabarruk padanya.
Wallaahu a'lam.
apa hadis tersebut khusus buat larangan safar dengan tujuan tabarruk?
berarti ada pengkhususan larangan hadis ini? tidak secara mutlak melarang semua safar kan?
bagaimana dengan acara subuh berjamaah yg sering di laksanakan di kampung saya yg dihadiri jamaah dari kota lain
Posting Komentar