Ada
sebagian orang yang mengira bahwa ketika ada orang yang menggunakan dalil-dalil
yang asalnya tertuju kepada orang kafir dan kemudian ia peruntukkan pada orang
muslim, artinya itu sebuah takfir (pengkafiran). Penyimpulan itu tidak
benar. Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy hafidhahullah menjelaskan :
ولا أرى بأساً بالاستدلال-لمن هو أهل-على
قُبْح صنيع مسلم بآية ذُكِرَت في سياق الكلام على المشركين، إذا شابه صنيعُ المسلم
صنيعَهم في الجملة، وليس معنى ذلك أن يكون المسلم كافراً، إنما يجب عليه ترك التشبه
بهم، كما هو موجود من كلام أهل العلم في ذم التقليد والجمود، بذكر الآيات التي تذم
من اتبعوا آباءهم على ماكانوا عليه، كما حكى الله سبحانه وتعالى عنهم: بَلْ
قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ
مُهْتَدُونَ [الزخرف:22] بل في"الصحيحين"من حديث علي-رضي الله عنه-عندما
طَرَق رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم علياً وفاطمة ليلةً، فقال:"ألا
تصليان"؟ فقال علي: يارسول الله إنما أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا
بعثنا، فانصرف النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ولم يُرجع إليه شيئاً، ثم قال
صلى الله عليه وعلى آله وسلم وهو مُوَلٍّ يضرب فَخِذَه: وَكَانَ الإنْسَانُ
أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا [الكهف:54] والآية وردت في سياق الكلام على المشركين
المعرضين.
“Aku
berpandangan tidak mengapa bagi orang yang ahli untuk berdalil untuk mencela
keburukan perbuatan seorang muslim dengan ayat-ayat yang pada asalnya berbicara
tentang orang-orang musyrik, apabila perbuatan orang muslim tersebut menyerupai
perbuatan mereka secara umum. Dan
hal itu tidak bermakna orang muslim itu (menjadi) kafir. Maksudnya hanyalah
wajib baginya meninggalkan penyerupaan terhadap mereka. Sebagaimana didapatkan dalam
perkataan para ulama ketika mencela taqliid dan jumuud dengan
menyebutkan ayat-ayat celaan terhadap orang-orang (musyrik) yang mengikuti nenek-moyang
mereka. Sebagaimana yang difirmankan Allah subhaanahu wa ta’ala tentang
mereka : ‘Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang
mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az-Zukhruuf : 22). Bahkan
dalam Ash-Shahiihain dari hadits ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi sallam mengetuk pintu ‘Aliy
dan Faathimah pada ssuatu malam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi
wa sallam bersabda : ‘Tidakkah kalian mengerjakan shalat (malam) ?’.
‘Aliy berkata : ‘Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami hanyalah berada di tangan
Allah. Apabila Ia menghendaki untuk membangunkan kami, niscaya kami bangun.
Nabi shallallaahu ‘alaihi ‘alaa aalihi wa sallam pun pergi tanpa kembali
lagi. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda
seraya memukul pahanya : ‘Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah’ (QS. Al-Kahfi : 54). Padahal ayat ini berbicara tentang
orang-orang musyrik yang berpaling.
فلا يُشنَّع على أهل الحق في ذلك، لكن
يجب أن يكون التجريح من أهل العلم والحلم والتجرد لرب العالمين، لا لكل من دَبَّ
ودَرَج، فإن أَعْراض المسلمين حُفْرة من حفر النار وقف عليها الحُكَّام
والمحدِّثون، ومن قال في مسلم ما ليس فيه، كُلِّف أن يأتي بالمخرج يوم القيامة مما
قال.
Maka, tidak boleh mencela ahlul-haq
atas hal tersebut. Akan tetapi tajriih harus berasal dari orang yang
berilmu, bijaksana, lagi ikhlash kepada Rabbul-‘Aalamiin. Tidak setiap
orang boleh melakukannya, karena kehormatan kaum muslimin adalah jurang di
antara jurang-jurang neraka (bagi siapa saja yang melanggarnya tanpa hak). Para
penguasa dan tukang bicara mesti memahaminya. Barangsiapa berbicara (kejelekan)
tentang diri seorang muslim yang tidak ada padanya, maka ia akan dibebani untuk
mendatangkan bukti atas apa yang dikatakannya di hari kiamat” [As-Siraajul-Wahhaaj[1], no. 205].
Dalil lain :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ
يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ، وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا
حَدَّثْتُ حَدِيثًا، ثُمَّ يَتْلُو إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ
الْبَيِّنَاتِ إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ،....
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
“Orang-orang berkata : ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’. Jika
saja bukan karena dua ayat dalam Kitabullah, niscaya aku tidak akan
meriwayatkan hadits”. Kemudian ia (Abu Hurairah) membaca firman Allah : ‘Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan
mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku
menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’
(QS. Al-Baqarah : 159-160)…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 118].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
berdalil dengan QS. Al-Baqarah : 159-160 tentang tercelanya menyembunyikan
ilmu, padahal ayat tersebut berbicara tentang sifat Ahlul-Kitaab. Begitu juga istidlaal
yang dipakai para ulama.
Dan lain-lain.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 13011435/16112013 – 22:45].
[1] Kitab ini
telah dibaca dan dikoreksi oleh para ulama kibaar seperti Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz
bin ‘Abdillah Aalusy-Syaikh yang kemudian disetujui oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz,
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan
Al-Jibriin, Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Wadii’iy (beliau membaca
sebagiannya dan memujinya), Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, dan Asy-Syaikh Usaamah
Al-Quushiy – semoga Allah merahmati mereka yang meninggal dan menjaga yang
masih hidup.
Comments
ada orang-orang tertentu yang saling berdebat tentang suatu permasalahan, kemudian untuk mengakhiri perdebatan dia berkata kepada lawannya "lakum diinukum waliyadiin".
apakah perkataan ini dibenarkan ya Ustadz?
Tidak benar, karena kalimat lakum diinukum maksudnya adalah kekufuran.
Kekufuran gimana maksudnya pak?
Posting Komentar