Fatwa-Fatwa tentang Ilmu Dunia (Asy-Syaikh Ibnul-’Utsaimiin rahimahullah)


Pertanyaan no. 34 :
أنا متخصص في علم الكيمياء وأتابع البحوث والدراسات التي تصدر في هذا المجال لكي أستفيد وأفيد من ذلك في أي مجال أعمل به سواء مدرسـة أو مصنعاً مع العلم بأن ذلك يشغلني عن طلب العلم والشرعي فكيف أوفق بينهما ؟.
“Saya adalah seorang yang mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu kimia, dan saya mengikuti berbagai riset/penelitian dan pelajaran terkait bidang ini dalam rangka mengambil manfaat dan menerapkannya di berbagai bidang yang saya lakukan, baik di sekolah/universitas maupun di pabrik/industri. Akan tetapi aktivitas itu telah menyibukkan saya dari menuntut ilmu syar’iy. Lantas, bagaimana saya dapat mengkompromikan keduanya ?”.
Jawab :
أرى أن التوفيق بين العلمين يمكن بحيث تركز على العلم الشرعي ويكون هو الأصل لديك، ويكون طلب العلم الآخر على سبيل الفضول ثم مع ذلك تمارس هذا العلم الثاني من أجل مصلحة تعود عليك وعلى أمتك بالخير مثل أتستدل بدراسة هذا العلم على كمال حكمة الله – عز وجل – وربط الأسباب بمسبباتها وما إلى ذلك مما يعرفه غيرنا ولا نعرفه في هذه العلوم، فأنا أقول استمر في طلب العلم الشرعي وأطلب الآخر لكن اجعل الأهم والمركز عليه هو العلم الشرعي.
“Aku berpendapat bahwa mengkompromikan dua cabang ilmu itu sangatlah memungkinkan dengan cara engkau memusatkan/memfokuskan diri pada ilmu syar’iy yang menjadi pokok bagimu, dan kemudian engkau menuntut ilmu yang lain sebagai tambahan. Bersamaan dengan itu, engkau juga menekuni ilmu yang kedua (ilmu kimia) untuk kemaslahatan dirimu dan umatmu. Misalnya engkau dapat menarik kesimpulan berdasarkan ilmu ini terhadap kesempurnaan hikmah Allah ‘azza wa jalla dan menghubungkan sebab-akibatnya, dan juga ilmu-ilmu lainnya yang diketahui oleh orang-orang selain kita (yaitu orang kafir) namun tidak diketahui oleh kita (kaum muslimin). Oleh karena itu aku katakan, teruskanlah usahamu dalam menuntut ilmu syar’iy dan ilmu yang lainnya, namun jadikanlah hal yang terpenting dan fokus utamanya pada ilmu syar’iy”.
Pertanyaan 40:
هل تعليم الطالب الرياضيات إذا كان الشخص ينوي بها وجه الله له أجر أم لا ؟
“Apakah mengajarkan ilmu-ilmu pasti/eksakta apabila seseorang meniatkannya untuk wajah Allah akan mendapatkan pahala ?”.
Jawab :
إذا كانت هذه الرياضيات ما تنفع المسلمين في معاشهم ونوى الشخص بذلك نفع الناس بها فإنه يؤجر على نيته، ولكنها ليست كالعلوم الشرعية فإنها إذا كانت من المباحات تكون وسيلة؛ لأن القاعدة الشرعية أن المباح قسم واسع فقد يكون حراماً وقد يكو مكروهاً وقد يكون مستحباً وقد يكون واجباً.
ونقول مثلاً : أن الأصل في البيع الحلال، ولكن قد يكون مكروهاً، فإذا أراد شخص أن يشتري منك شيئاً ينقذ به حياته مثل الطعام والشراب فما حكم البيع ؟ الحكم واجب، وشخص آخر أراد أن يشتري منك عنباً ليجعله خمراً فهذا البيع حرام، وشخص آخر أراد أن يشتري ماء ليتوضأ به وليس عنده ماء فالشراء واجب ؛ فعلى هذا نقول: إن المباح إذا كان وسيلة لأمر مشروع كان مشروعاً وإذا كان ذريعة لأمر محرّم كان حراماً.
“Apabila ilmu-ilmu pasti/eksakta tersebut termasuk ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin dalam kehidupan mereka, dan orang tadi berniat memberikan manfaat bagi manusia melalui ilmu tersebut, maka ia akan diberikan pahala dengan niatnya. Akan tetapi, ilmu tersebut tidaklah seperti ilmu-ilmu syari’at. Sesungguhnya jika ilmu pasti termasuk ilmu-ilmu yang mubah, maka ia merupakan wasilah (sarana), karena kaedah syari’ah menyatakan hal-hal yang mubah adalah luas. Kadang ia bisa menjadi haram, makruh, mustahab (disukai), atau wajib.
Kami katakan – misalnya - : Asal dalam perkara jual-beli adalah halal, akan tetapi kadang ia bisa menjadi makruh.[1] Apabila seseorang ingin membeli darimu sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya, misalnya : makanan dan minuman - , apa hukum jual-beli dalam hal ini ?. Hukumnya adalah wajib. Ada seorang yang lainnya yang ingin membeli darimu anggur untuk dibuat khamr, maka jual-beli ini adalah haram. Dan ada seseorang yang lain yang ingin membeli air darimu yang akan ia pergunakan untuk wudlu sedangkan ia tidak mempunyai air. Maka jual-beli itu adalah wajib. Oleh karena itu kami katakan : Sesungguhnya sesuatu yang mubah apabila merupakan wasilah (sarana) untuk perkara yang disyari’atkan, maka hukumnya disyari’atkan juga. Dan apabila ia mengantarkan pada perkara yang haram, maka hukumnya diharamkan”.
Pertanyaan no. 41:
بعض الشباب يريدون أن يتعلموا الطب وبعض العلوم الأخرى ولكن هناك عوائق مثل الاختلاط والسفر إلى بلاد الخارج فما الحل؟ وما نصيحتكم لهؤلاء الشباب ؟
“Sebagian pemuda ingin belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu yang lain, akan tetapi di situ terdapat beberapa hambatan misalnya ikhtilaath dan safar ke luar negeri. Bagaimana solusinya ? Dan apa nasihat Anda pada para pemuda itu ?”.
Jawab :
نصيحتي لهؤلاء أن يتعلموا الطب لأننا في بلادنا في حاجة شديدة إليه، وأما مسألة الاختلاط فإنه هنا في بلادنا والحمد لله يمكن أن يتقي الإنسان ذلك بقدر الاستطاعة.
وأما السفر إلى بلاد الكفار فلا أرى جواز السف إلا بشروط :
الأول: أن يكون عند الإنسان علم يدفع به الشبهات ؛ لأن هناك في لبلاد الكفار يوردون على أبناء المسلمين الشبهات حتى يردوهم عن دينهم.
الثاني: أن يكون عند الإنسان دين يدفع به الشهوات، فلا يذهب إلى هناك وهو ضعيف الدين ، فتغلبه الشهوات فتدفع به إلى الهلاك.
الثالث: أن يكون محتاجاً إلى السفر بحيث لا يوجد هذا التخصص في بلاد الإسلام.
فهذه الشروط الثلاثة إذا تحققت فليذهب، فإن تخلف واحد منها فلا يسافر،لأن المحافظة على الدين أهم من المحافظة على غيره
“Nasihatku kepada para pemuda itu agar mereka tetap mempelajari ilmu kedokteran, karena negeri kita sangat membutuhkannya. Adapun masalah ikhtilaath, maka di negeri kita – alhamdulillah – memungkinkan bagi seseorang untuk menghindarinya sesuai kadar kesanggupannya.
Tentang masalah safar ke negeri kafir, aku berpendapat tidak diperbolehkan, kecuali dengan beberapa syarat :
Pertama, hendaknya seseorang mempunyai bekal ilmu (syar’iy) yang akan melindunginya dari berbagai macam syubhat, karena di negeri kafir, mereka (orang-orang kafir) menghembuskan berbagai macam syubhat kepada anak-anak kaum muslimin hingga mengeluarkannya dari agama mereka (Islam).
Kedua, hendaknya seseorang mempunyai bekal agama yang akan melindunginya dari berbagai macam syahwat. Maka, bagi orang yang lemah agamanya tidak boleh pergi ke sana, karena syahwat akan menguasai dirinya sehingga menyeretnya ke lembah kebinasaan.
Ketiga, hendaknya orang tersebut benar-benar mempunyai keperluan yang mengharuskannya untuk safar, dimana spesialisasi ilmu itu tidak didapatkan di negeri kaum muslimin.
Apabila ketiga syarat di atas terpenuhi, silakan ia pergi. Namun apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, ia tidak boleh pergi, karena menjaga agama lebih penting daripada menjaga hal-hal selainnya”.
[selesai – diterjemahkan dari Kitaabul-‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, Daar Ats-Tsurayaa, Cet. 2/1417 – abul-jauzaa’, ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor, 01121413/06102013 – 12:30]




[1]      Mungkin maksudnya : ‘wajib’ – dengan melihat contoh yang dipaparkan syaikh pada kalimat setelahnya.

Comments

Anonim mengatakan...

atau alternatif jalan lain, ya seperti yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Harun Arrasyid, dengan menerjemahkan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari luar negeri-negeri kaum muslimin hingga menjadikan Baghdad pusat baik bagi ilmu pengetahuan syar'i maupun pengetahuan duniawi. Hal ini sepertinya juga dilakukan oleh Amirul Mukminin di Andalusia sehingga menjadikan Cordoba yang terang-benderang sebagai kota pusat ilmu pengetahuan (sementara jalan-jalan dikota London dan Paris masih gelap gulita di "Dark-Ages Era"), wallahu ta'ala a'lam