Penyegaran Kembali


Beberapa waktu lalu di satu web ormas nasional, saat terjadi banjir Jakarta, lagi-lagi dikesankan khilafah jadi solusi. Lalu dikasih analisa kebijakan khilafah dalam mengatasi problem banjir tersebut. Membaca analisanya, terlalu menyederhanakan permasalahan. Dan maaf jika dikatakan : Analisa Dr. Chay Asdak Unpad atau Prof. Naik Sinukaban IPB jauh lebih baik beberapa tingkat di atas, karena keduanya merupakan ahli ilmu hidrologi, DAS, dan tanah. Kita di instansi teknis saja pusing tujuh keliling memikirkan tata ruang dan DAS dari Puncak hingga hilir Jakarta. Konsep ideal sudah ada, tapi di lapangan komplek masalahnya. Inti yang ingin dikatakan, masalah banjir adalah masalah ijtihadiyyah yang memerlukan profesionalitas sehingga menghasilkan langkah dan kebijakan yang jitu. Bisa dilakukan siapa saja, baik negara Islam ataupun kafir. Oleh karenanya, negara kafir pun banyak yang sukses dalam penanganan banjir sehingga banyak negeri kaum muslimin melakukan studi di sana. Tidak haram hukumnya.
[NB : Gembar-gembor khilafah yang dipersepsikan 'sebagian orang' itu adalah bangunan khilafah yang akhirnya runtuh 1924. Itulah khilafah yang menjadi solusi cespleng mengatasi setiap permasalahan].
Tempo hari, saat pertemuan solidaritas Suriah, solusinya juga dibungkus dengan pendirian khilafah Islamiyyah. Problemnya katanya, karena ketiadaan khilafah. Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah. Apa mereka tidak tahu bahwa konflik Suriah itu karena konflik abadi antara Syi'ah Raafidlah dan Ahlus-Sunnah ?. Ini bukan (sekedar) masalah khilafah. Adanya khilafah, kalau memelihara dan melindungi 'aqidah kufur ini, tetap saja akan terjadi penindasan terhadap Ahlus-Sunnah. Dulu, saat khilafah masih tegak yang berpusat di Baghdad, orang Syi'ah Raafidlah membuat makar dengan melakukan penggembosan dari dalam sehingga tentara Tartar dapat masuk. Dan yang lainnya.....
Coba kita perhatikan firman Allah ta'ala :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" [QS. An-Nuur : 55].
Menurut Anda dengan membaca ayat ini, mana yang mesti diperjuangkan, syari'at Islam atau khilafah ?. Kalau Anda menjawab khilafah, saya pastikan Anda keliru membaca dan memahami ayat.
Yang harus diperjuangkan adalah syari'at Islam, baik dari segi individu, keluarga, maupun masyarakat. Dan di antara syari'at-syari'at islam tersebut, yang paling besar adalah dakwah ketauhidan dan memberantas kesyirikan. Juga, menegakkan sunnah dan memberantas bid'ah.
Khilafah hanya SEBAGIAN KECIL dari syari'at Islam. Yang lebih penting dari itu (dari segi pemahaman), ada syari'at Islam yang dalam penegakannya harus membutuhkan institusi negara (misalnya : huduud, jihaad, dll.); namun ada juga syari'at Islam yang dalam penegakannya tidak bergantung institusi negara (misalnya : tauhid, shalat, dll.). Jadi ini mesti kita dudukkan secara proporsional.
Menegakkan khilafah merupakan salah satu kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam. Namun kewajiban itu tidaklah dalam satu tingkatan. Ada sebagian yang lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Apabila Islam diwadahi dan diakomodasi dalam institusi negara, maka pelaksanaan Islam dapat menjadi sempurna. Menyelesaikan masalah secara Islam memang mutlak menjadi tuntutan. Akan tetapi jika kemudian semua masalah itu mutlak membutuhkan khilafah, ini yang tidak benar.
Rekan, tidakkah kita pikirkan solusi sapu jagat yang ditawarkan itu justru akan mengundang tawa dan pelecehan terhadap syari'at khilafah ?.

[Abu Al-Jauzaa' – from my past note]

Comments

Anonim mengatakan...

itu gambar wanita ya tadz ? sebaiknya di ganti pak : )

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ok.

pangeranrendy mengatakan...

yang warna merah kecil ditangan itu apa om!

Kingdede mengatakan...

ustadz, kemarin ada berita polwan dilarang berjilbab..
katanya klo pake jilbab, anggaran polri bakalan nambah, padahal tahun 2012 serapan anggaran polri cuma 88%..
memang dilema sih, klo syariat individu terbentur uu negara, selalu saja syariat dikorbankan..
mudah2an umat islam kedepannya berhasil menghiasi uud dengan nafas syariat, yah walaupun tidak berbentuk khilafah..
di turki lagi demo karena pembatasaan minuman beralkohol, katanya islamisasi melanggar konstitusi..huhu

Anonim mengatakan...

Kalau saya lihat ormas itu ibarat syiah minus imam maksum, jago takfir, omdo & cuma jago demo

Anonim mengatakan...

menyambung skh M. Ihsan Putra , ada pertanyaan yang mengganjal semoga allah melapangkan antum untuk menjawabnya.

Bolehkah muslimah memilih profesi pekerjaan diluar rumah ? misal jadi polisi , dokter , pengacara dll.

Lha kalau seandainya jawabannya tidak boleh , maka bagaimana dengan saudara kita muslimah kalau ada masalah dengan hukum ( pemerikasaan body ) , hamil atau yang lainnya.

anak ana yang pertama akhwat dan pernah selepas S1 pingin jadi polwan , dan sempat bimbang ana dalam menentukan sikap.
Alhamdulillah sekarang jadi ibu rumah tangga murni dengan suami yang bekerja di BUMN - ikhwan di majelis taklim.


anang dc

Kingdede mengatakan...

@Anonim 1

Astaghfirullah, menahan diri dari mencaci maki salah satu ibadah yg luar biasa bukan, mas?

FYI, berkat HTI, terbuka wawasan saya tentang kejayaan Islam dizaman dulu..

Mas tau sendiri kan remaja zaman sekarang kalau minim pengetahuan tentang Islam, ya kerjaan mereka disekitaran pacaran, musik2, pergaulan bebas, dan hal2 yg tidak bermanfaat yg lainnya..

HTI ini hebat dalam menarik hati kawula muda, apalagi yg benar2 polos seperti kami2 dulu..

Yah, intinya jgn saling mencaci maki, karena ada satu perkataan ulama yg mantap, yaitu: "pendapatku benar tapi bisa saja salah, pendapat dia salah tapi bisa saja benar"

@Anonim 2
Bekerja diluar rumah bagi perempuan saya kira banyak ustadz2 di manhaj salaf yg sudah sering sekali menjawabnya, jadi bapak tidak perlu lagi tho nanya sama saya, secara saya ini belum jadi apa2 pak, huhu..

hmm..benar juga pendapat bapak..
klo gak ada wanita, pasti pria2 bakal ngantri jadi bidan..
mungkin jawabannya, boleh tapi di pos2 tertentu pak? huhu, biar nanti ustadz abul-jauzaa aja yg jawab..tapi tetap kok menjadi seorang ibu yg menjadi primary job..
tapi menurut saya, di zaman yg serba begini-begitu (isi sendiri ya), tidak bisa lah kita langsung melakukan perubahan yg extreme, perubahan itu kadangkala mesti perlahan..
gak bisa kan kita katakan kepada muslimah yg masih buka aurat, neraka neraka neraka, tapi biasanya yg perlahan-lahan itu lebih sering berhasil, mantan preman mantan pembunuh mantan bandar narkoba jadi muslim yg concern terhadap agama, jadi ustadz yang baik. mantan model, mantan artis dll akhirnya memakai jilbab..
yah, perlahan-lahan lah pak

alhamdulillah, putri bapak mendapat pekerjaan terbaik bagi seorang wanita, yaitu ibu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya sudah membaca berulang-ulang tulisan di atas dan kemudian membandingkan makna 'caci-maki' yang ada dalam bahasa kita, kok gak ada ?. Atau mungkin saya terlalu bodoh, sehingga tidak bisa menemukannya. Bisa Anda bantu menunjukkannya ?.

Kecuali jika kritik dimaknai sebagai caci-maki, maka Anda akan banyak menemukan caci maki di sini. Kritik terhadap kesyirikan dan pelakunya, kritik terhadap bid'ah dan pelakunya, atau bahkan kritik-kritik yang sifatnya umum sekali.....

Kingdede mengatakan...

saya gak bisa bantu, ustadz, mungkin karena saya yg salah ya..

tapi perbedaan antara kritik dan yg lainnya itu (menurut saya) adalah objektivitas terhadap yang dibicarakan, apakah yg dipermasalahkan itu perbuatannya, atau yg dipermasalahkan orangnya terlepas dari apapun yg diperbuatnya benar atau tidak..

kalau mengkritik tentang khilafah yg mereka katakan semua masalah akan segera teratasi ketika berdiri khilafah, terlepas masih banyak masyarakat indonesia yg tergelincir pemahaman tentang tauhid, itu mungkin terlalu muluk, makanya wajar muncul puluhan kritik

tapi kalau membandingkan mereka dengan syiah, saya belum pernah dengar ustadz2 yg menyamakan mereka dengan syiah, atau saya yg belum pernah dengar ya?

yasudah, tidak ada yg sempurna kecuali Allah, pendapat kita bisa benar bisa salah, pendapat yg benar pun seringkali berjumlah lebih dari satu dalam hal yg sama

kepada Allah kita kembali

Anonim mengatakan...

maaf akh M Ihsan dengan penuh hormat dan terimakasih atas jawabannya , namun pertanyaan ana diatas untuk ustad Abu Al-Jauzaa

dan sepertinya antum belum paham dengan tulisan maupun pertanyaan ana diatas.


anang dc

Unknown mengatakan...

perlu adanya penyegaran kembali sesuai aqidah Islam, komentar juga ya di blog saya myfamilylifestyle.blogspot.com