1.
Kufur inkaar dan takdziib.
Al-Imaam Al-Baghawiy rahimahullah mendefinisikannya sebagai :
كفر الإنكار هو : ألَّا
يعرف الله أصلًا، ولا يعترف به، وكفر به
“Kufur inkaar adalah tidak mengetahui Allah sama sekali, tidak
mengakui-Nya, dan mengkufuri-Nya” [Tafsiir Al-Baghawiy, 1/48].
Asy-Syarbiiniy rahimahullah juga mengatakan yang semisal di atas
[Tafsiir As-Siraajul-Muniir, 1/23].
Ar-Raaghib Al-Asfahaaniy rahimahullah berkata “
الإنكار : ضد العرفان،
يقال : أنكرت كذا ونكرت، وأصله : أن يرد على القلب ما لا يتصوره، وذلك ضرب مثل الجهل
“Inkaar adalah kebalikan dari pengetahuan. Dikatakan : ankartu
kadzaa wa nakartu. Asalnya adalah : masuknya ke dalam hati sesuatu yang
tidak diketahuinya. Hal itu semisal dengan al-jahl” [Al-Mufradaat,
hal. 830].
Kufur inkaar serupa dengan kufur takdziib dalam definisi
Ibnul-Qayyim rahimahullah. Kufur takdziib ini adalah keyakinan
mendustakan para Rasul. Ia berkata :
فأما كفر التكذيب :
فهو اعتقاد كذب الرسل وهذا القسم قليل في الكفار فإن الله تعالى أيد رسله وأعطاهم
من البراهين والآيات على صدقهم ما أقام به الحجة وأزال به المعذرة
“Adapun kufur takdziib adalah meyakini kedustaan Rasul. Jenis
kekufuran ini sedikit terjadi pada orang-orang kafir, karena Allah ta’ala telah menolong para rasul-Nya dan memberi
mereka berbagai keterangan dan mukjizat atas kebenaran mereka, yang dapat tegak
dengannya hujjah dan menghilangkan alasan/dalih (yang tidak benar)” [Madaarijus-Saalikiin, 1/337].[1]
Pendustaan dengan lisan itu bersumber dari
pendustaan hati, dan pendustaan hati ini kembalinya karena ketidaktahuan hati
dan ketidaktahuan akan kebenaran Rasul.
Kekufuran ini disebut juga kufur jahl (kebodohan) menurut
Al-Hakamiy dilihat dari penyebabnya, karena al-jahl (kebodohan) semakna dengan kata al-inkaar (ketidaktahuan).
2.
Kufur juhuud.
Al-Baghawiy rahimahullah mendefinisikan :
هو أن يعرف الله بقلبه ولا يعترف بلسانه
“Kufur juhuud adalah mengenal Allah dengan hatinya, namun tidak
mengakui dengan lisannya” [Tafsiir Al-Baghawiy, 1/48].
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata :
هو أن يعرف الله تعالى، ولا يقر بلسانه
“Kufur juhuud adalah mengetahui Allah ta’ala, namun tidak mengakui/mengikrarkan dengan
lisannya” [An-Nihaayah, hal. 806].
Haafidh Al-Hakamiy rahimahullah
berkata :
وإن كتم الحق مع العلم بصدقه فكفر جحود وكتمان
“Dan apabila seseorang menyembunyikan
kebenaran bersamaan dengan pengetahuannya tentang kebenarannya, maka hal itu
disebut kufur juhuud dan kitmaan (menyembunyikan kebenaran)” [Ma’aarijul-Qabuul, 2/593].
Kekufuran ini adalah seperti kekufuran Fir’aun,
sebagaimana firman Allah ta’ala tentangnya dan juga kaumnya :
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kedhaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya” [QS. An-Naml : 14].
Begitu juga dengan kekufuran orang Yahudi,
sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala :
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ
“Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah
mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya” [QS. Al-Baqarah : 89].
Sebagian ulama, seperti Al-Baghawiy,
Ibnul-Atsaiir, dan yang lainnya, menggolongkan kekafiran Iblis adalah kekafiran
pada jenis ini. Namun, ini perlu ditinjau kembali, dengan dasar firman Allah ta’ala :
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Berkata Iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu)
maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan" [QS. Al-Hijr : 36].
Perkataan Iblis ini menunjukkan bahwa Iblis
tahu kebenaran dan juga mengikrarkannya. Iblis mengetahui eksistensi Allah,
kekuasaan-Nya untuk mencabut nyawa makhluk, dan membangkitkannya di hari
kiamat. Oleh karena itu, Ibnul-Qayyim rahimahullah mengolongakan kekufuran Iblis ini sebagai
kufur ibaa’
(penolakan) dan istikbaar (kesombongan).
Ada dua macam kufur juhuud sebagaimana dijelaskan
Ibnul-Qayyim rahimahullah :
وكفر الجحود نوعان : كفر مطلق عام وكفر مقيد خاص فالمطلق : أن يجحد جملة
ما أنزله الله وإرساله الرسول والخاص المقيد : أن يجحد فرضا من فروض الإسلام أو
تحريم محرم من محرماته أو صفة وصف الله بها نفسه أو خبرا أخبر الله به عمدا أو
تقديما لقول من خالفه عليه لغرض من الأغراض
“Kufur juhuud ada dua macam : kufur mutlak lagi umum, dan kufur muqayyad lagi khusus. Kufur
mutlak adalah menolak semua yang diturunkan Allah dan diutusnya Rasul. Kufur
khusus lagi muqayyad : menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban dalam
syari’at Islam atau (menolak) keharaman dari kaharaman-keharaman dalam syari’at
Islam, atau (menolak) sifat yang telah Allah sifatkan dengannya untuk diri-Nya,
atau (menolak) khabar yang telah Allah khabarkan dengannya secara sengaja atau
mendahulukan perkataan orang yang menyelisihinya untuk satu tujuan tertentu” [Madaarijus-Saalikiin, 1/338].[2]
3.
Kufur ‘inaad
dan istikbaar.
Al-Azhariy menukil dari Al-Laits, bahwasannya ia berkata :
وهو أن يعرف الشئ ويأبى أن يقبله؛ ككفر أبي طالب، كان كفره مُعاندة؛ لأنه
عرف وأقرّ وأنف أن يقال: تبع ابن أخيه، فصار بذلك كافراً
“Mengetahui sesuatu sesuatu namun enggan untuk menerimanya, seperti
kekufuran Abu Thaalib. Kekufurannya itu adalah kufur ‘inaad, karena ia mengetahui kebenaran dan mengakuinya. Ia
enggan disebut (oleh orang-orang Qurasiy) : pengikut anak saudara laki-lakinya.
Maka dengan hal itu ia menjadi kafir” [Tahdziibul-Lughah, 3/2589].
Al-Baghawiy rahimahullah
berkata :
وكفر العناد هو: أن يعرف الله بقلبه ويعترف بلسانه ولا يدين به ككفر أبي
طالب حيث يقول:
ولقد علمت بأن دين محمد ... من خير أديان البرية دينا
لولا الملامة أو حذار مسبة ... لوجدتني سمحا بذاك مبينا
“Dan kufur ‘inaad
adalah mengetahui Allah dengan hatinya dan
mengakuinya dengan lisannya, namun tidak beragama dengannya, seperti kekufuran
Abu Thaalib ketika ia berkata :
Dan
sungguh aku tahu bahwa agama Muhammad
adalah
sebaik-baik agama manusia
Seandainya
bukan karena celaan atau khawatir cacian
Ibnul-Atsiir rahimahullah mendefiniskkannya sebagai berikut :
وهو أنْ يَعْتَرف بقَلْبه ويَعْتَرف بِلِسانه ولا يَدِين به حَسَداً
وبَغْياً ككُفْر أبي جَهْل وأضْرَابه
“Mengakui (kebenaran) dengan hatinya, mengakuinya dengan lisannya,
namun tidak beragama dengannya, baik karena hasad ataupun durhaka, seperti
kufurnya Abu Jahl dan yang semisalnya” [An-Nihaayah, hal. 806].
Yang semakna dengan kufur ini adalah kufur istikbaar menurut pembagian Ibnul-Qayyim rahimahullah, karena definisi istikbaar adalah :
الامتناع عن قبول الحقِّ معاندة وتكَبُّراً
“Penolakan untuk menerima kebenaran dengan
penentangan dan kesombongan (takabbur)” [Tahdziibul-Lughah, 4/3091].
Ibnul-Qayyim rahimahullah mendefinisikannya :
وأما كفر الإباء والاستكبار : فنحو كفر إبليس فإنه لم يجحد أمر الله ولا
قابله بالإنكار وإنما تلقاه بالإباء والاستكبار ومن هذا كفر من عرف صدق الرسول
وأنه جاء بالحق من عند الله ولم ينقد له إباء واستكبارا وهو الغالب على كفر
“Adapun kufur ibaa’ dan istikbaar, maka itu seperti kekufuran Ibliis. Iblis tidaklah
mengingkari perintah Allah dan menerimanya dengan pengingkaran. (Kekufuran)
Iblis hanyalah karena ia menerimanya dengan keengganan dan kesombongan. Dari hal
tersebut, kufur hukumnya bagi orang yang mengetahui kebenaran Rasul bahwa
beliau datang dengan membawa kebenaran dari sisi Allah, namun ia tidak
memilihnya karena keengganan dan kesombongan. Inilah yang umum terjadi pada
perkara kekufuran” [Madaarijus-Saalikiin, 1/337].
Pendek kata, kufur istikbaar dalam terminologi
Ibnul-Qayyim rahimahullah ini sama maknanya dengan kufur ‘inaad yang disebutkan ulama
lain. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy rahimahullah menggabungkannya, dan
berkata :
وإن انتفى عمل القلب وعمل الجوارح مع المعرفة بالقلب والاعتراف باللسان فكفر
عناد واستكبار، ككفر إبليس وكفر غالب اليهود الذين شهدوا أن الرسول حقّ ولم يتبعوه
“Apabila amal hati dan amal jawaarih dinafikkan bersamaan
dengan adanya pengetahuan hati dan pengakuan lisan, disebut kufur ‘inaad dan istikbaar, seperti kufurnya
Iblis dan kekufuran umumnya orang-orang Yahudi yang bersaksi bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam benar, namun mereka tidak mau mengikutinya” [Ma’aarijul-Qabuul, 2/594].
Syaikhul-Islaam rahimahullah menjelaskan lebih lanjut :
أن العبد إذا فعل الذنب مع اعتقاد أن الله حرمه عليه و اعتقاد انقياد لله
فيما حرمه و أوجبه فهذا ليس بكافر فأما إن اعتقد أن الله لم يحرمه أو أنه حرمه لكن
امتنع من قبول هذا التحريم و أبى أن يذعن لله و ينقاد فهو إما جاحد أو معاند و
لهذا قالوا : من عصى الله مستكبرا كإبليس كفر بالاتفاق و من عصى مشتهيا لم يكفر
عند أهل السنة و الجماعة و إنما يكفره الخوارج فإن العاصي المستكبر و إن كان مصدقا
بأن الله ربه فإن معاندته له و محادته تنافي هذا التصديق
و بيان هذا أن من فعل المحارم
مستحلا لها فهو كافر بالاتفاق فإنه ما آمن بالقرآن من استحل محارمه و كذلك لو
استحلها من غير فعل و الاستحلال اعتقاد أن الله لم يحرمها و تارة بعدم اعتقاد أن
الله حرمها هذا يكون لخلل في الإيمان بالربوبية و لخلل في الإيمان بالرسالة و يكون
جحدا محضا غير مبني على مقدمة و تارة يعلم أن الرسول إنما حرم ما حرمه الله ثم
يمتنع عن التزام هذا التحريم و يعاند المحرم فهذا أشد كفرا ممن قبله و قد يكون هذا
مع علمه أن من لم يلتزم هذا التحريم عاقبة الله و عذبه
“Bahwasannya
seorang hamba apabila melakukan dosa bersamaan dengan keyakinannya bahwa Allah
mengharamkan perbuatan tersebut padanya, dan keyakinan wajibnya tunduk/patuh
kepada Allah (untuk menjauhi) terhadap segala yang dilarang-Nya dan
(melaksanakan) yang diwajibkan-Nya, maka ini tidaklah kafir. Adapun jika orang
tersebut berkeyakinan bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau Allah
mengharamkannya akan tetapi menolak menerima keharaman ini dan enggan
tunduk/mematuhi Allah, maka ia seorang yang kafir juhuud (ingkar) atau ‘inaad (menentang). Oleh karena itu mereka berkata :
Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dengan kesombongan (istikbaar) seperti Iblis, maka
ia kufur berdasarkan kesepakatan. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah
karena hawa nafsu, maka ia tidak dikafirkan menurut madzhab Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, akan tetapi Khawaarij mengkafirkannya. Hal itu dikarenakan seorang
yang berbuat maksiat dengan kesombongan, meskipun ia membenarkan Allah adalah
Rabbnya, maka sesungguhnya penentangan dan penolakannya itu bertentangan dengan
pembenaran (tashdiiq) ini”.
و بيان هذا أن من فعل المحارم مستحلا لها فهو كافر بالاتفاق فإنه ما آمن
بالقرآن من استحل محارمه و كذلك لو استحلها من غير فعل و الاستحلال اعتقاد أن الله
لم يحرمها و تارة بعدم اعتقاد أن الله حرمها هذا يكون لخلل في الإيمان بالربوبية و
لخلل في الإيمان بالرسالة و يكون جحدا محضا غير مبني على مقدمة و تارة يعلم أن
الرسول إنما حرم ما حرمه الله ثم يمتنع عن التزام هذا التحريم و يعاند المحرم فهذا
أشد كفرا ممن قبله و قد يكون هذا مع علمه أن من لم يلتزم هذا التحريم عاقبة الله و
عذبه
“Dan
penjelasan hal ini adalah : Barangsiapa melakukan perbuatan yang diharamkan
dengan keyakinan akan kehalalannya (istihlaal), maka ia kafir berdasarkan kesepakatan. Sebab,
tidaklah disebut beriman kepada Al-Qur’an orang yang menghalalkan
keharaman-Nya. Dan begitu juga, seandainya ia menghalalkannya meskipun tidak
melakukannya (maka tetap kafir hukumnya). Dan istihlaal adalah keyakinan bahwa Allah tidak mengharamkannya.
Kadangkala, ketiadaan keyakinan bahwa Allah mengharamkannya dikarenakan adanya
kerusakan imannya terhadap Rububiyyah, karena kerusakan imannya terhadap
risalah, atau karena pengingkaran (juhuud) murni yang tanpa adanya faktor yang medahuluinya.
Dan kadangkala pula, ia mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah mengharamkan
apa-apa yang diharamkan Allah, lalu ia menolak untuk iltizaam (berpegang) pada
keharaman, dan bahkan menentang keharaman tersebut. Hal ini lebih kufur dari
yang sebelumnya. Hal ini kadang terjadi dengan pengetahuannya barangsiapa yang
tidak berpegang (untuk menjauhi) keharaman ini, akan dihukum dan diadzab oleh
Allah”.
ثم إن هذا الامتناع و الإباء إما لخلل في اعتقاد حكمة الآمر و قدرته فيعود
هذا إلى عدم التصديق بصفة من صفاته و قد يكون مع العلم بجميع ما يصدق به تمردا أو
اتباعا لغرض النفس و حقيقة كفر هذا لأنه يعترف لله و رسوله بكل ما أخبر به و يصدق
بكل ما يصدق به المؤمنون لكنه يكره ذلك و يبغضه و يسخطه لعدم موافقته لمراده و مشتهاه
و يقول : أنا لا أقر بذلك و لا ألتزمه و أبغض هذا الحق و أنفر عنه فهذا نوع من غير
النوع الأول و تكفير هذا معلوم بالاضطرار من دين الإسلام و القرآن مملوء من تكفير
مثل هذا النوع بل عقوبته أشد و في مثله قيل : [ أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم
لم ينفعه الله بعلمه ] ـ و هو إبليس و من سلك سبيله ـ و بهذا يظهر الفرق بين
العاصي فإنه يعتقد وجوب ذلك الفعل عليه و يحب أنه يفعله لكن الشهوة و النفرة منعته
من الموافقة فقد أتى من الإيمان بالتصديق و الخضوع و الانقياد و ذلك قول لكن لم
يكمل العمل
“Kemudian, sesungguhnya penolakan dan
keengganan ini, mungkin disebabkan karena kerusakan pada keyakinan hikmah dan
kekuasaan Allah ta’ala. Maka hal ini kembali pada peniadaan tashdiiq (pembenaran) terhadap
sifat dari sifat-sifat-Nya. Kadangkala hal ini dilakukan dengan keberadaan
ilmu/pengetahuan terhadap seluruh perkara yang ia benarkan/imani, namun ia
durhaka atau mengikuti keinginan hawa nafsunya. Dan hakekat perbuatan ini
adalah kekufuran, karena ia mengakui apa yang dikhabarkan Allah dan Rasul-Nya,
dan membenarkan semua perkara yang dibenarkan oleh kaum mukminin, akan tetapi
ia malah benci, sebel, dan murka padanya karena adanya ketidaksesuaian pada
keinginan dan hawa nafsunya. Orang tersebut berkata : ‘Aku tidak mengakuinya,
tidak akan menjalankannya, aku membenci kebenaran ini dan akupun
lari/menghindar darinya’. Jenis kekufuran ini beda dengan jenis kekufuran yang
disebut di awal, dan kekafirannya sudah ma’lum lagi aksiomatik dalam agama Islam. Dan Al-Qur’an
dipenuhi dengan bentuk pengkafiran semacam ini, dan bahkan hukumannya lebih
keras. Dan yang semisal jenis ini adalah dikatakan dalam hadits : ‘Orang yang
paling keras siksanya pada hari kiamat adalah seorang yang ‘aalim yang tidak
Allah jadikan bermanfaat ilmunya’.[4]
Ia adalah Iblis dan orang-orang yang mengikuti jalannya. Dan dengan hal ini
nampaklah perbedaan (golongan terebut) dengan orang yang bermaksiat, karena
orang yang bermaksiat masih berkeyakinan kewajiban perbuatan tersebut padanya
dan wajib baginya untuk melakukannya, akan tetapi hawa nafsu dan orang-orang
yang ada di sekelilingnya mencegahnya untuk melakukannya. Ia memiliki keimanan
berupa pembenaran (tashdiiq), rasa tunduk dan patuh serta perkataan tentang
hal tersebut, akan tetapi keimanannya tidak disempurnakan dengan amal” [Ash-Shaarimul-Masluul, hal. 521-522].
Dalil kekufuran ini adalah firman Allah
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Berkata Iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu)
maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan" [QS. Al-Hijr : 36].
4.
Kufur nifaaq.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata dalam pendefinisiannya :
وأما كفر النفاق فهو أن يقر باللسان ولا يعتقد بالقلب
“Adapun kufur nifaaq, maka ia mengucapkan dengan lisannya, namun tidak
meyakininya dalam hati” [Tafsiir Al-Baghawiy, 1/48].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وهو أن يظهر بلسانه الإيمان وينطوي بقلبه على التكذيب
“Ia menampakkan keimanan dengan lisannya,
dan menyembunyikan kedustaan dalam hatinya” [Madaarijus-Saalikiin, 1/338].
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
وأساس النفاق الذي يبنى عليه : الكذب. والمنافق لابد أن تختلف سريرته وعلانيته،
وظاهره وباطنه
“Asas (pondasi) kemunafikan adalah
kedustaan. Seorang munafiq mesti berbeda antara yang tersembunyi dan yang
nampak, dhahirnya dan baatinnya” [Syarh Hadiits Jibriil, hal. 576].
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan :
زرع النفاق ينبت على ساقيتين ساقية الكذب وساقية
الرياء ومخرجهما من عينين عين ضعف البصيرة وعين ضعف العزيمة فإذا تمت هذه الأركان
الأربع استحكم نبات النفاق وبنيانه
“Tanaman kemunafikan tumbuh di atas dua cabang
: cabang kedustaan dan cabang riyaa’. Dan tempat keluar keduanya adalah dari lemahnya
bashiirah dan lemahnya tekad. Apabila
keempat hal ini semuanya terpenuhi, maka tanaman kemunafikan dan bangunannya
akan menjadi kokoh” [Madaarijus-Saalikiin, 1/358].
Ada dua jenis nifaaq, yaitu :
a.
Nifaaq akbar, yaitu seseorang yang menampakkan keimanan, namun
batinnya tidak beriman dan mendustakannya. Dinamakan dengan nifaaq i’tiqaadiy. Pelakunya kafir,
keluar dari Islam, dan mengkonsekuensikannya kekal di dasar neraka paling bawah;
sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ
النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka”
[QS. An-Nisaa’ : 145].
Kemunafikan itu adalah
seperti kemunafikan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan yang lainnya dari kalangan
orang-orang munafik yang hidup di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[5]
b.
Nifaak ashghar, yaitu nifaaq dalam amal-amal perbuatan, seperti :
berdusta, menyelisihi janji, berkhianat, dan yang lainnya dari cabang-cabang
kemunafikan. Pokok kemunafikan jenis ini adalah hadits yang terdapat dalam Ash-Shahiihain dari hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda
seorang munafik ada tiga, yaitu : apabila berbicara dusta, apabila berjanji
mengingkari, dan apabila diberi amanat mengkhianati” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 33 & 2682 & 2749 & 6095, Muslim no. 59, dan yang
lainnya].
Nifaaq ini dinamakan
nifaaq ‘amaliy, yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama. Tabiat-tabiat
tersebut ada pada para pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin.[6]
Nifaaq akbar kadang dimutlakkan
dalam nash-nash dan sebagian perkataan ulama sebagai lawan dari kekufuran. Hal
itu dikarenakan orang kafir menampakkan kekufurannya, sedangkan orang munafik
menyembunyikannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
أن الناس كانوا على عهده بالمدينة ثلاثة أصناف مؤمن
وكافر مظهر للكفر ومنافق ظاهره الإسلام وهو فى الباطن كافر
ولهذا
التقسيم أنزل الله في أول سورة البقرة ذكر الأصناف الثلاثة فأنزل اربع آيات في صفة
المؤمنين وآيتين في صفة الكافرين وبضع عشرة آية في صفة المنافقين
“Bahwasannya penduduk
Madinah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi tiga
golongan, yaitu : (1) mukmin, (2) orang kafir yang menampakkan kekafirannya,
dan (3) munafik, yang menampakkan keislamannya namun menyembunyikan kekafiran
dalam batinnya. Dikarenakan pembagian ini, Allah ta’ala menurunkan ayat di awal surat Al-Baqarah yang
menyebutkan tiga golongan tersebut. Allah menurunkan empat ayat berkaitan sifat
orang mukmin, dua ayat tentang sifat orang kafir, dan belasan ayat tentang
sifat orang munafik” [Syarh Hadiits Jibriil, hal. 291].
5.
Kufur I’raadl.
Berkata Ibnul-Qayyim rahimahullah
mendefinisikannya :
وأما كفر الإعراض : فأن يعرض بسمعه وقلبه عن الرسول
لا يصدقه ولا يكذبه ولا يواليه ولا يعاديه ولا يصغي إلى ما جاء به ألبتة كما قال
أحد بني عبد ياليل للنبي : والله أقول لك كلمة إن كنت صادقا فأنت أجل في عيني من
أن أرد عليك وإن كنت كاذبا فأنت أحقر من أن أكلمك
“Adapun kufur i’raadl adalah seseorang berpaling tidak mempedulikan Rasulullah
shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan pendengarannya dan hatinya, tidak membenarkannya namun tidak pula
mendustakannya, tidak loyal kepadanya namun tidak pula memusuhinya, serta tidak
memperhatikan sama sekali terhadap syari’at yang turun kepadanya. Hal itu
sebagaimana perkataan salah seorang dari kalangan Bani ‘Abdu Yalail kepada Nabi
shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Demi Allah, aku berkata kepada kepadamu dengan satu kalimat : Seandainya
engkau benar, maka engkau lebih mulia di mataku untuk aku tolak. Namun
seandainya engkau berdusta, maka engkau lebih hina/rendah untuk aku ajak bicara”
[Madaarijus-Saalikiin, 1/338].
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang
diperingatkan kepada mereka” [QS. Al-Ahqaaf : 3].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah
menyebutkan ayat ini sebagai
dalil tentang kekufuran jenis ini.[7]
Begitu juga dengan ayat :
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ * بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لا
يَسْمَعُونَ
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan
dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan
yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka
mereka tidak (mau) mendengarkan” [QS. Fushshilat : 3-4].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
فاستكبروا عن الإصغاء له، وتدبر ما فيه من حجج الله..
فهم لا يصغون له فيسمعوه إعراضًا عنه واستكبارًا
“Mereka sombong dari memperhatikan ayat-ayat
Allah dan mentadaburi apa yang terdapat dalam hujjah-hujjah Allah.... Mereka
tidak memperhatikannya dan tidak pula mendengarkannya karena berpaling dan
sombong” [Tafsir Ath-Thabariy, 25/95].
6.
Kufur Syakk.
Al-Azhariy menukil dari Al-Laits bahwasannya
ia berkata :
الشك ضد اليقين
“Syakk (keraguan) adalah lawan dari keyakinan” [Tahdziibul-Lughah 2/1914; dan lihat juga
Lisaanul-‘Arab oleh Ibnul-Mandhuur
1/451].
Berkata Ibnul-Qayyim rahimahullah
mendefinisikannya :
وأما كفر الشك: فإنه لا يجزم بصدقه ولا بكذبه بل يشك
في أمره وهذا لا يستمر شكه إلا إذا ألزم نفسه الإعراض عن النظر في آيات صدق الرسول
صلى الله عليه وسلم جملة فلا يسمعها ولا يلتفت إليها وأما مع إلتفاته إليها ونطره
فيها: فإنه لا يبقى معه شك
“Dan kufur syakk adalah tidak memastikan kebenaran Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tidak pula mendustakannya, namun ia ragu atas perkara yang beliau
bawa. Keraguannya itu tidaklah terus-menerus (menetap dalam hatinya), kecuali
jika ia senantiasa enggan memperhatikan bukti-bukti kebenaran Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, tidak mau mendengarnya, dan tidak mau menengoknya. Adapun jika ia mau
menengok dan memperhatikannya, maka keraguan itu tidaklah ada pada dirinya” [Madaarijus-Saalikiin, 1/338].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah
berkata :
كفر الشك وهو كفر الظن، والدليل قوله تعالى:
{وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ
هَذِهِ أَبَداً وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى
رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْراً مِنْهَا مُنْقَلَباً قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ
ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلاً}.
“Kufur syakk adalah kufur prasangka (dhann) berdasarkan firman-Nya ta’ala : Dan dia memasuki
kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira
kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat
itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku
akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu". Kawannya
(yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya:
"Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna?” (QS. Al-Kahfi : 35-37)” [Ad-Durarus-Saniyyah,
2/71].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أهل الحديث، وجمهور الفقهاء من المالكية والشافعية
والحنبلية، وعامة الصوفية، وطوائف من أهل الكلام من متكلمي السنة، وغير متكلمي
السنة من المعتزلة والخوارج، وغيرهم: متفقون على أنَّ مَنْ لَمْ يؤمن بعد قيام
الحجة عليه بالرسالة فهو كافر، سواء كان مكذبًا، أو مرتابًا، أو معرضًا، أو
مستكبرًا، أو مترددًا، أو غير ذلك
“Ahlul-hadits, jumhur fuqahaa’ dari kalangan Maalikiyyah,
Syaafi’iyyah, Hanbaliyyah, kebanyakan kelompok shuufiyyah, beberapa kelompok dari
ahli kalam Ahlus-Sunnah maupun selain Ahlus-Sunnah dari kalangan Mu’tazilah dan
Khawaarij, serta yang lainnya telah sepakat bahwa : barangsiapa yang tidak
beriman setelah tegaknya hujjah padanya dengan adanya risalah, maka ia kafir.
Sama saja, apakah ia kafir dengan sebab pendustaan, keraguan, berpaling,
sombong, bimbang, atau yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/86-87].
Kufur syakk
terjadi jika seseorang ragu terhadap seseuatu yang wajib diimani, walaupun
yang bersangkutan tidak meragukan pokok risalah. Oleh karena itu, para ulama
menghukumi kekufuran bagi orang yang meragukan sesuatu dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan khabar yang ada di dalamnya.
Al-Qaadliy
‘Iyaadl rahimahullah berkata :
واعلم أن من استخف بالقرآن أو المصحف، أو بشيء منه،
أو سبهما، أو جحده أو حرفاً منه أو آية، أو كذب به، أو بشيء منه، أو كذب بشيء مما
صرح به فيه من حكم أو خبر، أو أثبت ما نفاه، أو نفى ما أثبته على علم منه بذلك، أو
شك في شيء من ذلك فهو كافر عند أهل العلم بإجماع
“Ketahuilah, barangsiapa yang meremehkan Al-Qur’an atau mushhaf
atau sesuatu darinya, menghinanya, mengingkari keseluruhan atau hanya satu
huruf atau hanya satu ayat darinya, mendustakan keseluruhan atau hanya
sebagiannya, mendustakan hukum atau khabar yang dijelaskan di dalamnya,
menetapkan sesuatu yang dinafikkan olehnya, menafikkan sesuatu yang ditetapkan
olehnya, atau meragukan sesuatu darinya; maka ia kafir menurut kesepakatan para
ulama” [Asy-Syifaa’, 2/1101].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah ketika
menerangkan beberapa hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang :
الثالث : من لم يكفر
المشركين، أو شك في كفرهم، أو صحح مذهبهم كفر
“Ketiga : Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik,
meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab mereka; maka ia kafir” [Majmuu’
Muallafaat Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, 6/258].
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, ciapus, ciomas,
bogor – 17012013 – 01:30 – banyak mengambil faedah dari kitab At-Takfiir wa
Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy, hal. 98-106,
ditambah beberapa referensi yang lainnya].
[1] Lihat pula : Shaihatun Nadziir, hal.
47.
[2] Lihat pula : Shaihatun Nadziir, hal.
48-49.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ
الأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمِّهِ: " قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ
لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ "، قَالَ: لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي
قُرَيْشٌ، يَقُولُونَ: إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ
بِهَا عَيْنَكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Haatim bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid : Telah
menceritakan Yaziid bin Kaisaan, dari Abu Haazim Al-Asyja’iy, dari Abu Hurairah,
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya (Abu
Thaalib) : “Katakanlah : Laa ilaaha illallaah, yang dengan itu
aku bersaksi untukmu kelak di hari kiamat”. Abu Thaalib berkata : “Seandainya saja
orang-orang Quraisy tidak mencelaku dengan mengatakan : ‘Sesungguhnya dia hanya
mengatakan karena akan mati saja’; niscaya aku akan mengikrarkan kalimat itu
untuk menyenangkanmu”. Maka Allah menurunkan ayat : “Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 25].
[4] Hadits ini sangat lemah. Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir (1/182-183) dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu. Dalam sanadnya terdapat ‘Utsmaan bin Miqsam Al-Burri’. Oleh karena
itu Syaikhul-Islaam menyebutkannya dengan shighah tamriidl.
[5] Lihat : Majmuu’ Al-Fataawaa oleh
Syaikhul-Islaam (28/434), Madaarijus-Saalikiin (1/347), Jaami’ul-‘Uluum
wal-Hikam (2/343), dan Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar (1/89).
[6] Lihat : Majmuu’ Al-Fataawaa oleh
Syaikhul-Islaam (28/435), Jaami’ul-‘Uluum wal-Hikam (2/343), dan Fathul-Baariy
oleh Ibnu Hajar (1/89).
[7] Ad-Durarus-Saniyyah, 2/71.
Comments
barokallohu fiik
afwan ustadz, apakah jenis-jenis kufur ini telah disebutkan dalam kitab shoihatun nadziir?
ataukah ada yang terlewat_bagi pembacanya_?
jazaakallohu khoiron
ustadz maaf saya ada pertanyaan; ketika membaca kitab fathul majid pada bab awal disebutkan hadits "Brgsiapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah, mk ia masuk surga." Tapi di Bab Nujum, disebutkan hadits "Tiga manusia yang tidak akan memasuki surga; pecandu khamr, org yang membenarkan sihir, pemutus silaturahmi."
Apakah ketiga perbuatan dosa tersebut setingkat dengan syirik sehingga pelakunya tidak akan masuk surga (alias kekal di neraka). Mohon pencerahan!
Kepada Abu Al-Jauzaa', saya ada beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan topik ini, semoga bisa dijawab:
a. Apakah bisa dikatakan dikatakan bahwa seseorang melakukan istihlal jika orang tersebut melakukan suatu perbuatan dimana orang tersebut tidak mengetahui bahwa hukum perbuatan tersebut adalah haram? (jadi orang tersebut selama ini berkeyakinan bahwa hal tersebut tidak haram walaupun sebenarnya hukum dari perbuatan tersebut adalah haram).
Catatan:
Saya telah membaca beberapa artikel antum tentang istihlal dan tetap saja saya masih belum jelas benar mengenai jawaban dari pertanyaan di atas.
b. Dari artikel di atas, yang saya pahami adalah bahwa kufur inkaar atau kufur jahl atau kufur takdziib adalah semisal. Lantas, apakah seseorang yang terkena kufur karena jahl itu sebenarnya juga dianggap menolak dan/atau mendustakan hal yang seharusnya diyakini?
jazaakAllaahu khairan
@Anonim 20 Januari 2013 14.07,.... tentu saja tidak. Nash itu merupakan ancaman. Dalam kitab Fathul-Majiid pun disebutkan penjelasannya bahwa setiap perbuatan selain syirik dan perbuatan kekafiran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama, maka itu kembali kepada kehendak Allah ta'ala. Jika Dia berkehendak menyiksanya, maka orang itu memang pantas untuk disiksa (karena perbuatan maksiatnya). Namun jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka itu merupakan karunia, ampunan, dan rahmat dari Allah ta'ala.
Wallaahu a'lam.
=====
@Anonim 20 Januari 2013 18.20,...
a. Jika antum telah membaca seluruh artikel di blog ini yang terkait dengan istihlaal, maka jawabannya adalah : Ya, yaitu secara dhahir yang nampak darinya. Namun untuk menjatuhkan vomis kafir, maka harus ditegakkan hujjah padanya. Sebagaimana yang antum singgung, barangkali ia berkeyakinan tentang kebolehannya karena memang tidak mengetahui hukumnya. Kebodohan/kejahilan atas satu hukum dapat menjadi 'udzur atas kekafiran, namun itu juga tidak mutlak. Antum bisa baca penjelasannya di artikel :
'Udzur Kejahilan dalam Permasalahan 'Aqidah.
b. Jika dikaitkan dengan artikel di atas, maka orang yang dihukumi kufur atas kejahilannya memang bisa dianggap mengingkari atas mendustakan. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnul-Qayyim : Meyakini kedustaan Rasul. Pendustaan dengan lisan itu bersumber dari pendustaan hati, dan pendustaan hati ini kembalinya karena ketidaktahuan hati dan ketidaktahuan akan kebenaran Rasul.
Wallaahu a'lam.
Ustadz, adakah kaitan 6 jenis kufur akbar ini dengan syarat "laa ilaaha illallah" yang tujuh (tahu, yakin, menerima, patuh, jujur, ikhlas dan cinta)?
Apakah bukan lawan dari ketujuh syarat tersebut sebagai pembatal "laa ilaaha illallah" dan disebut kufur akbar?
Ya, ada kaitannya.
Assalamu'alaikum Ustadz.
Bagaimana dengan orang yang mengerjakan ada rasa terpaksa atau malas? Apakah kufur juga? Tolong dijawab Ustadz karena saya kadang" masih ada rasa seperti itu.
Posting Komentar