Ini obrolan suatu sore. Boleh percaya, boleh tidak.
Konon pemerintah SBY lagi pusing karena menghadapi tuduhan ‘kebohongan publik'.
‘Bohong' ,kalo orang cadel bicara akan terdengar seperti ‘bodong'. Tapi ini
bukan urusan udel bodong. Menurut para pintar cendekia, ‘kebohongan' adalah
suatu moral, dan ihwal ‘kebohongan publik' ini yang menuduh juga tidak
tanggung-tanggung, tokoh lintas agama, orang-orang yang awam pahami paling
sahih mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan moral.
Melakukan kebohongan berarti berbuat tidak jujur.
Tidak jujur berarti tidak memiliki integritas, karena integritas adalah
kejujuran. Tidak murni berarti ‘kejujuran', integritas mempunyai
pengertian lebih dari sebuah ‘kejujuran', tetapi didalamnya merupakan wujud
utuh dari moral dan etika sehingga memiliki kemampuan untuk memancarkan
kewibawaan.
Rakyat Indonesia dibuat pusing karena kasus Gayus.
Pusing bukan karena Gayus-nya, yang notabene hanyalah pesakitan, tetapi karena
perilaku aparat-aparat pemerintah dalam menanganinya. Rakyat bingung, ada yang
namanya Satgas Mafia Hukum, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan terakhir
tapi justru yang tertua adalah ada juga Kepolisian RI, yang kesemuanya
menangani kasus Gayus.
Rakyat sudah kadung tidak percaya, mau dibuat komisi
apapun kok sepertinya muspro, percuma alias sia-sia belaka. Karena satu yang
tidak dimiliki oleh Pemerintah, Departemen, Komisi, Satgas, Badan atau apalah
namanya, yaitu ‘integritas'.
Untuk melihat integritas suatu pemerintahan, atau
organisasi lainnya, yang pertama dilihat adalah siapa pemimpinnya. Integritas
pemimpinnya. Apabila pemimpinnya sudah dikenal mempunyai integritas yang
tinggi, maka lembaga yang dipimpinnya juga dianggap mempunyai integritas yang
tinggi juga, atau dengan kata lain lembaga tersebut sangatlah kredibel.
Kredibel (asal kata credible) artinya dapat dipercaya, dapat dijadikan
sandaran, dapat diikuti, sahih atau dapat diterima.
Kalau integritas lebih bersifat inheren, proses
internal, karakter atau pembawaan diri, sedangkan kredibel merupakan semacam
akreditasi, hasil dari perbuatan atau penilaian dari orang luar terhadap
internal kita. Integritas akan menghasilkan kredibilitas.
Integritas berubah naik dan turun. Karena integritas
merupakan sifat dari dalam, merupakan hati atau kalbu. Jagalah agar integritas selalu menaik, jaga agar
tidak menurun dan bahkan sampai pada suatu titik sehingga mendapat cap ‘Orang
yang tidak mempunyai integritas!'.
Waktu awal memimpin KPK, nama Antasari Azhar sempat
diragukan. Akar dari keraguannya adalah karena Antasari berasal dari institusi
Kejaksaan. Rakyat melihat bahwa lembaga penegak hukum dari pemerintah sudah
tidak mempunyai integritas lagi, tidak kredibel. Siapapun yang datang dari
lembaga penegak hukum pemerintah seperti Kejaksaan, Kepolisian ataupun
Pengadilan, rakyat akan melihatnya dengan mata awas, ragu-ragu dan gamang.
Karena secara intitusional, lembaga-lembaga tersebut sudah dipandang tidak
kredibel. Antasari berasal dari kejaksaan, dan Antasari-pun terkooptasi.
Secara perlahan, Antasari-pun membenahi KPK,
gebrakannya membuat banyak nyali koruptor ciut. Seiring dengan banyaknya
koruptor yang berhasil digiring ke bui, integritasnyapun meningkat. Antasari
berhasil membuktikan bahwa ia mempunyai integritas, integritas pribadi. Antasari
mampu ‘mengatakan', agar ia jangan disama-ratakan tidak mempunyai integritas
meskipun berasal dari korps yang tidak kredibel, ‘busuk seruas, buang seruas'.
Integritas pribadi Antasari lama - lama menyeruak menjadi integritas lembaga
barunya, KPK. KPK menjadi organisasi yang kredibel yang menjadi momok
menakutkan bagi orang - orang yang bergelimang korupsi, bahkan menakutkan bagi
penguasa sekalipun. Tak heran, kalangan penguasa juga bersentuhan dengan
korupsi.
BTW, ini obrolan soal integritas, bukan politik.
Ternyata banyak pemimpin atau pribadi yang menunjukkan sebaliknya. Pada waktu
awal mendapatkan mandat, ia mendapatkan kepercayaan yang tinggi. Tetapi
perlahan kepercayaan tersebut menyurut sebelum sirna.
Ada orang yang berteriak paling lantang dan didepan
untuk membela rakyat, menentang koruptor, memberikan kemakmuran dan keadilan,
tetapi begitu diberikan kepercayaan, seakan lupa terhadap apa yang dijanjikan.
Janji tidak dilaksanakan, mengingkari janji, bahkan ia juga tidak berusaha
untuk memenuhi janji tersebut. Artinya, pada waktu ia mengucapkan janji, ia
telah mengucapkan kebohongan. Wajar, jika reaksi pertama yang diucapkan orang
ketika mereka kampanye adalah ‘Mereka bohong!'. "Mereka bodong!",
gitu kata orang cadel.
Orang yang mempunyai integritas akan membuat orang
percaya dan mendukungnya. Ini berarti, ia akan bekerja lebih mudah. Karena itu
orang atau lembaga ingin dikenal mempunyai integritas yang tinggi sehingga
dianggap kredibel.
Sebagai contoh, banyak lembaga yang menyatakan sebagai
lembaga penerima zakat, infak dan sedekah, tetapi untuk urusan yang satu
inipun, orang juga pilih-pilih, hanya menyalurkan zakat atau bantuanpun pada
lembaga yang kredibel. Lembaga sosial yang telah kredibel, akan rutin
menyalurkan bantuan tanpa pamrih, memberikan informasi terbuka mengenai bantuan
yang diterima dan penyalurannya, dan memakai orang-orang yang jujur didalam
operasinya, pasti akan dipercaya oleh banyak orang. Untuk alasan inilah, kenapa
kadang orang lebih percaya menyalurkan bantuan kepada LSM yang kredibel
daripada ke Dinas Sosial dari pemerintah.
Sangat dimaklumi, ketika kasus Gayus mencuat, maka
kesadaran membayar pajak dari masyarakat justru menurun. Begitu mudahnya
seorang pegawai yang masih muda dan dengan jabatan yang tidak terlalu tinggi
memperoleh kekayaan dari pajak. Mandat untuk mengelola pajak untuk
kesejahteraan rakyat banyak malah dikorupsi. Dan slogan-slogan yang
dikampanyekan oleh Dirjen Pajak menjadi tidak bermakna. Slogan-slogan Dirjen
Pajak seperti: ‘Manusia Bijak Taat Bayar Pajak', ‘Kenapa Harus Risih, Jika
Bersih' atau ‘Bayar Pajaknya, Awasi Penggunaannya' menjadi slogan kosong saja
yang malah membuat antipati rakyat jika membacanya. Rakyat sudah terlanjur
mencap orang-orang pajak tidak mempunyai integritas. Gayus men-cap rekan
korps-nya menjadi seirama. Bahkan halte bus di kantor pajak berubah nama
menjadi ‘halte Gayus'.
Integritas juga akan membuat kita bertahan lama
eksistensinya. Tokoh yang akan dikenang jasanya adalah tokoh yang mempunyai
integritas, ketokohannya akan melintas zaman. Demikian juga suatu organisasi.
Entitas bisnis di bumi ini yang sudah berusia ratusan tahun pasti merupakan
organisasi bisnis yang berhasil meyakinkan dan membuktikan bahwa ia mempunyai
integritas tinggi. Sebut saja Exxon, Unilever, Nestle, P&G, Walmart, 3M,
IBM, General Electric, Toyota, Honda dan lainnya.
Orang yang tidak mempunyai integritaspun membutuhkan
orang yang mempunyai integritas. Saya pernah mempunyai teman kerja yang dikenal
suka membocorkan rahasia perusahaan kepada perusahaan pesaing. Akhirnya ia
diketahui perbuatannya dan dipecat. Lalu apakah ia kemudian bekerja di
perusahaan pesaing yang telah dibantunya selama ini? Ternyata tidak, karena
perusahaan pesaing tersebut berkeyakinan bahwa sangatlah mungkin karyawan
tersebut akan berbuat hal yang sama nantinya apabila direkrut. Perusahan
tersebut hanya membutuhkan ‘data'nya dan bukan orangnya, kasihan.
Orang yang melakukan pengkhianatan adalah orang yang
tidak mempunyai integritas. Bahkan untuk seorang Don Vito Corleone, yang telah
dianggap Godfather oleh para mafioso New York (Film Godfather), tidak
segan-segan akan membunuh pengikutnya yang terbukti berkhianat dan tidak loyal.
Godfather mempunyai takaran sendiri terhadap makna ‘integritas' pengikutnya.
Boleh percaya boleh tidak. Ternyata setan-pun
membutuhkan pengikut yang mempunyai integritas!
[Dikutip
Abul-Jauzaa’ dari : http://123teknik.com/ol/?pilih=blog&mod=yes&aksi=lihat&id=61].
secara umum kerusakan negri ini adalah karena dari awalnya tidak melewati jalan yang benar yang ditunjukan oleh yang maha benar.
BalasHapuspemimpin kita berasal dari partai , dan partai untuk hidup dan berkembangnya butuh dana , dari mana lagi diperoleh kalau tidak dari usaha haramnya ?
tarus kata si gayus atau yang lagi in yaitu si nasarudiin , kalau dia jujur nggak mungkin uang itu dipakai sendiri , pasti sebagian besarnya untuk partainya.
selamanya kalau jalan yang becek dan berlobang dilewati , pasti kita akan kotor bahkan akan jatuh tersungkur.
ana kuatir materi ini kurang bermamfaat bahkan menjadi sia2,ingat berbicara yang benar atau diam
BalasHapusJika antum menginginkan untuk diam, kalau boleh tahu, di bagian mana pembicaraan di atas yang tidak benar ?.
BalasHapusBicara soal integritas, dimensi bermanfaat atau tidak bermanfaatnya satu tulisan memang bisa berbeda. Adapun saya, alhamdulillah dapat mengambil manfaat dari tulisan di atas. Dan satu lagi, gaya penulisannya yang saya suka. Menarik, tanpa perlu membuat analog-analog fiktif.
integritas,,, sebuah kata yang sangat sering saya dengar ketika ada pidato di instansi saya. Salah satu kata yang sering diikutsertakan dalam nilai-nilai reformasi birokrasi instansi. Anda mungkin tahu dengan badan penyedia data di bawah presiden yang satu ini, saya bekerja di sana. Sungguh, saya yakin sekali bahwa pegawai-pegawai di sana sebagian besar berkompeten dalam pekerjaan ini dan sangat loyal dengan instansi ini. Saya suka dengan mereka. Mereka belajar-belajar mengenal data sampai bertahun-tahun. Hari-hari larut dengan angka-angka, namun dalam dada-dada mereka ada idealisme untuk menjadi pegawai yang terbaik.
BalasHapusTetapi setelah sampai di daerah, sangat disayangkan sebuah 'sistem' melingkupi mereka. Mereka tidak tahu jika selain mereka ada lulusan lain diluar tempat mereka belajar masuk sebagai pengisi instansi yang mereka loyal kepadanya. Ada yang masuk 'sistem'
Ada yang membusungkan dada menggenggam erat idealismenya. Anda tahu bahwa memperoleh data itu sulit? Mendaki gunung, menyeberangi laut, dicerca, diacuhkan, diusir, dituduh, dilecehkan,,, bahkan mempertaruhkan nyawa (pengalaman sahabat saya di Papua) itu sebagian pengalaman di daerah,,, sayangnya data tersebut yang kita anggap sesuai keadaan lapangan harus di-'smoothing'. Mau bagaimana lagi tidak semua orang baik begitu bukan dan tentu dilihat berbagai faktor yang mempengaruhinya.
--Ini hanya curhat, mungkin saya bukan orang ber-integritas--
Maaf ustad,menurut saya, pembahasan kali ini kacau..coba lihat tulisan yg di bold pada paragraf ke 2 lalu kemudian bandingkan dengan contoh2 yang ustad bawakan..Seandainya saja para shahabat/para ulama yg dijadikan contoh untuk mewujud nyatakan pengertian integritas, tentu itu akan lebih tepat dan lebih baik. Dufal.
BalasHapusSaya hargai pandangan antum.
BalasHapusApa yang tertulis dalam blog ini tidaklah semuanya terkemas dalam bahasa : apa kata ulama dan shahabat. Ada bahasan-bahasan ringan dan positif lain yang saya tulis atau tampilkan. Coba saja antum baca di Daftar Isi. Misalnya :
1. Tetap Langsing dengan Makan Kenyang.
2. Beberapa Fakta Tentang Kambing.....
3. Tuhan Sembilan Senti.
4. Ekowisata dan Pendidikan.
5. Cerita Seseorang tentang NII.
dan yang lainnya.
Salah satu contoh pembahasan integritas pengikut setan : http://firanda.com/index.php/artikel/35-amalan-hati/229-kesabaran-pelaku-maksiat
BalasHapusDarimana antum tahu Antasari punya integritas? Apa timbangannya? Afwan ana punya data yg berseberangan ttg beliau tapi sebatas data sekunder tanpa mampu melakukan verifikasi atau bertabayyun.
BalasHapusAna sepakat dgn Abu Farah diatas. Sebaiknya antum remove saja artikel ini. Atau kalau antum keukeuh ini bermanfaat, cukup sediakan link ke situs pembuatnya.
Saya tidak akan membahas Antasari lebih jauh meskipun mungkin saya bisa. Akan tetapi sedikit yang bisa saya katakan : Dalam stratifikasi data ilmiah, pernyataan atas data Anda tersebut sudah memperlemah statement Anda sendiri. Penulis di atas menilai Antasari dari sisi pandangnya. Sah-sah saja. Pencapaian kinerja Antasari pun dapat mudah didapatkan dari beberapa kasus yang berhasil ia tangani. Data ini objektif, bukan subjektif. Dapat pula diverifikasi.
BalasHapusSeandainya Anda menilai cuplikan artikel di atas tidak bermanfaat, ya gak usah dibaca to. Tidak perlu repot-repot. Urgensi kepentingan atau ketertarikan masing-masing individu bisa berbeda-beda. Kalau misal saya tuliskan tentang materi ekowisata di blog ini, mungkin saja Anda akan bilang tidak bermanfaat, karena tidak mengenal dan tidak berkecimpung di wilayah itu. Atau seandainya saya tulis tentang teori biogeografi pulau, bisa saja Anda berkomentar teori itu sudah gak valid dan ketinggalan karena sudah muncul teori metapopulasi. Atau seandainya saya tulis tentang artikel ringan tentang serba-serbi kambing, mungkin Anda akan berkomentar artikel itu tidak bermanfaat, karena Anda tidak sedang membutuhkan bacaan-bacaan ringan penyegar suasana. So,.... sekali lagi, tidak ada yang memaksa Anda untuk membaca artikel ini. Tidak ada pula yang memaksa Anda harus suka dengan artikel ini - sebagaimana saya menyukainya.
Saya lebih senang seandainya Anda bisa tunjukkan ada kekeliruan esensi di artikel ini. Menurut saya, ini adalah kritik yang lebih membangun....
Saran, Ustadz. u artikel spt di atas sumbernya mungkin ditulis di awal. Ketika membaca artikel di atas sy sendiri membayangkan, sbgmn kebiasaan dlm tulisan2 Ustadz, tulisannya akan penuh dengan kajian takhrij atau tahqiq. Tp sp bagian terakhir kok ternyata yg nulis org lain...
BalasHapusAnyway, sy sgt memahami Ustadz ingin menuliskan hal2 lain di luar artikel ttg ad-diin.
Baarakallahu fiik...
artikel yang tidak biasanya, tapi tetap menarik. bahasanya terkesan berat tapi cara membawakannya enak. like this
BalasHapusnah di tulisan ini dan beberapa komentar sebelumnya, al akh abul jauzaa agak dipertaruhkan integritasnya sebagai author tulisan islami. namun bagi saya, ternyata kedewasaan berfikir tidak biasanya harus dibuat agar tidak senantiasa menjemukan dalam membahas sesuatu. saya suka gaya penulisan artikel diatas, faktanya menarik, terlepas dari valid atau tidaknya. sebab membicarakan tokoh saat ini adalah berbicara soal sebuah posisi dalam berpersepsi..
BalasHapusAssalamu'alaikum ustadz
BalasHapusMaaf ustadz, kalau dalam istilah luhowi & syar'i, disebut apakah INTEGRITAS tersebut?
Apakah boleh jika dikatakan integritas termasuk salah satu ciri/sifat yang harus dimiliki seorang beriman?
Jazakallahu khairan.
Ibnu Faqiih.