Kemuliaan Nasab


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya”.
Hadits ini diriwayatkan melalui jalan :
1.     ‘Abdurrahmaann bin Maghraa’ Ad-Dausiy.[1]
Diriwayatkan oleh As-Sahmiy dalam Taariikh Jurjaan hal.136-137.

2.     ‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy, Abu Hisyaam Al-Kuufiy.[2]
Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699, Ahmad no. 2/252, Al-Baihaqiy dalam Al-Arba’uun Ash-Shughraa no. 2 & Syu’abul-Iimaan no. 1823 & Az-Zuhd Al-Kabiir no. 764 & Al-Aadaab no. 116, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 1/272-273 no. 127, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/293-294, Abu ‘Aliy Ash-Shawaaf dalam Juuz-nya no. 20, dan Abu Thaahir As-Silafiy dalam Kitaabul-‘Ilm no. 1 & 2.
3.     ‘Aliy bin Shaalih Al-Makkiy, Abul-Hasan Al-‘Aabid.[3]
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 4/126 no. 3780.
4.     Hammaad bin Usaamah Al-Qurasyiy, Abu Usaamah.[4]
Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699, At-Tirmidziy no. 2945, dan As-Sajriy dalam Al-Amaaliy no. 2513.
5.     Jariir bin ‘Abdil-Hamiid Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy.[5]
Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilm no. 25, Al-Aajurriy dalam Akhlaaq Hamalatil-Qur’aan hal. 33, dan Ar-Raaziy dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 74,
6.     Maalik bin Su’air Al-Khams At-Taimiy, Abu Muhammad.[6]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Qadlaaul-Hawaaij no. 97 & Ishthinaa’ Al-Ma’ruuf no. 156, Abu Thaahir Al-Mukhlish dalam At-Taasi’ min Hadiits Abi Thaahir no. 77, dan Al-Irquuhiy dalam Mu’jamu Syuyuukh Al-Irquuhiy no. 415.
7.     Muhaadlir bin Al-Muwarri’ Al-Hamdaaniy, Abul-Muwarri’ Al-Kuufiy.[7]
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 768 dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 1/274.
8.     Muhammad bin Khaazim At-Taimiy, Abu Mu’aawiyyah.[8]
Diriwayatkan oleh Muslim no. 2699, Ahmad no. 2/252, Ibnu Maajah no. 225, Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilm no. 25, Ibnu Hibbaan no. 84, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 1572 & Al-Aadaab no. 1180, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/293-294, Abu ‘Aliy Ash-Shawaaf dalam Juuz-nya no. 20 & 26, Abu Thaahir As-Silafiy dalam Kitaabul-‘Ilm no. 1 & 2, Abu Ishaaq Al-Ghassaaniy dalam Juuz-nya no. 1, Musaafir bin Muhammad Ad-Dimasyqiy dalam Al-Arba’uun Al-Buldaaniyyah no. 1, dan Al-Mubaarah bin Ahmad Al-Khummiy dalam At-Taariikh 1/256.
9.     Al-Mundzir bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy.[9]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Ishthinaa’ Al-Ma’ruuf no. 92.
10.   Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy, Abu ‘Awaanah.[10]
Diriwayatkan oleh Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah no. 2344.
11.   Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan.[11]
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahiin dalam At-Targhiib fii Fadlaailil-A’maal no. 547.
12.   Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy.[12]
Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3643, Ad-Daarimiy no. 356, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab 1/245-246 no. 393-394, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/88, Al-Jauhariy dalam Musnad Al-Muwaththa’ no. 16, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllih no. 45, Abul-Husain bin Al-Muhtadiy billah dalam Masyaikhah-nya no. 72, Abu ‘Abdillah Al-Farraa’ dalam Al-Fawaaid no. 19, ‘Aliy bin Al-Hasan Al-Khal’iy dalam Ar-Raabi’ minal-Khal’iyyaat no. 24, ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Latiy dalam Masyaikhah Ibnil-Latiy 3/489, dan ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Al-Mashaabih no. 57.
semuanya dari Al-A’masy[13], dari Abu Shaalih[14], dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfuu’.[15]
Hadits ini shahih.
Faedah :
Al-A’masy dengan ketinggian kedudukannya di mata muhadditsiin, namun ia disifati dengan tadliis. Ibnu Hajar dalam Ta’riifu Ahlit-Taqdiis memasukkannya dalam thabaqah ke-2, akan tetapi dalam An-Nukat ia memasukkannya dalam thabaqah ke-3 – dan inilah yang benar, insya Allah (karena kadang ia melakukan tadlis dari dlu’afaa’). Dalam riwayat ini ia meriwayatkan dengan shighah ‘an’anah. Meskipun begitu, ‘an’anah-nya dari Abu Shaalih diterima dan dianggap bersambung, karena ia termasuk di antara syuyuukh-nya yang banyak diambil riwayatnya oleh Al-A’masy. Selain Abu Shaalih, juga Ibraahiim An-Nakhaa’iy dan Ibnu Abi Waail [lihat : Miizaanul-I’tidaal, 2/224 no. 3517].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu mempunyai syaahid dari :
1.     Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam Az-Zuhd no. 517, Ad-Daarimiy no. 357 & 368, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 661, dan Al-Khathiib dalam Talkhiish Al-Mutasyaabih fir-Rasm no. 846 & Maudlihul-Auhaam  no. 1087.
2.     ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllih no. 48.
Faedah Ringkas Hadits :
An-Nawawiy rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits di atas :
مَنْ كَانَ عَمَلُهُ نَاقِصًا ، لَمْ يُلْحِقْهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَابِ الْأَعْمَالِ ، فَيَنْبَغِي أَلَّا يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ ، وَفَضِيلَةِ الْآبَاءِ ، وَيُقَصِّرَ فِي الْعَمَلِ
“Barangsiapa yang defisit amalnya, maka tidaklah bisa dicapai dengan kedudukan orang yang beramal. Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar dengan kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya, lalu kurang dalam amalnya” [Syarh Shahiih Muslim, 17/22-23 – via Syamilah].
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Dengan ayat ini Allah ta’ala menegaskan kepada kita bahwa ukuran kemuliaan seseorang di sisi-Nya hanya diukur melalui timbangan ketaqwaan. Bukan harta, bukan pula nasab. Ini adalah kaedah penting dalam syari’at bahwa kemuliaan sejati hanyalah diraih dengan iman dan amal shaalih dengan mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang sedikit amalnya, dan bahkan mendurhakai beliau dengan bermaksiat atau melakukan kebid’ahan, kemuliaan nasab tidak akan menjadikannya selamat. Allah ta’ala berfirman :
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [QS. An-Najm : 39].
Kita dapat melihat bagaimana pertalian nasab dengan seorang utusan Allah, tidak membuat anak Nuuh ‘alaihis-salaam selamat dari murka-Nya.
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ * قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan [QS. Huud : 42-43].
Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُونَ، مَنْ كَانُوا وَحَيْثُ كَانُوا....
Sesungguhnya ahlul-baitku memandang bahwa mereka adalah orang yang paling berhak terhadapku. Padahal tidak seperti itu. Sesungguhnya wali-waliku di antara kalian adalah orang-orang yang bertaqwa, dimanapun mereka berada…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 212 & 1011, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiiir 20/120-121 no. 241; shahih].
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا
Wahai Bani ‘Abdi Manaaf, belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Bani ‘Abdil-Muthallib, belilah diri-diri kalian dari Allah !. Wahai Ummuz-Zubair bin Al-‘Awwaam bibi Rasulullah, wahai Faathimah bintu Muhammad, belilah diri kalian dari Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3527].
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ: مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ: أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ، إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ، أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الْجِعْلَانِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ
Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah menghilangkan dari kalian kesombongan Jahiliyyah dan membangga-banggakan nenek moyang. Yang ada adalah orang beriman yang bertaqwa dan orang jahat yang celaka. Kalian ini anak cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah. Oleh karena itu, hendaknya seseorang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya, karena ia hanyalah arang dari arang-arang Jahannam. Atau, ia di sisi Allah lebih hina daripada kumbang yang mendorong-dorong kotoran dengan hidungnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5116; hasan – sebagaimana dalam Shahih Sunan Abi Daawud 3/258].
Allah ta’ala berfirman tentang keadaan manusia hari kiamat :
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ * فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. Barang siapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah berkata terkait firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Qalam[16] ayat 42-43 :
.....ثُمَّ يَأْمُرُ اللَّهُ بِالصِّرَاطِ، فَيُضْرَبُ عَلَى جَهَنَّمَ، فَيَمُرُّ النَّاسُ عَلَى قِيدِ أَعْمَالِهِمْ زُمَرًا زُمَرًا، يَمُرُّ عَلَيْهِ كَلَمْحِ الْبَرْقِ، ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ، ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ، ثُمَّ كَمَرِّ الْبَهَائِمِ، حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ سَعْيًا، وَحَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ مَشْيًا، حَتَّى يَجِيءَ آخِرُهُمْ يَتَلَبَّطُ عَلَى بَطْنِهِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ ! لِمَ بَطَّأْتَ بِي؟ فَيَقُولُ: " إِنِّي لَمْ أُبَطِّئْ بِكَ، إِنَّمَا أَبْطَأَ بِكَ عَمَلُكَ....
“....Kemudian Allah memerintahkan didatangkan ash-shiraath, lalu dibentangkan di atas Jahannam. Manusia melewatinya berdasarkan kadar amal-amal mereka berombong-rombongan. Ada yang melewatinya seperti cahaya kilat. Kemudian ada yang melintasinya seperti angin, kemudian seperti binatang yang berjalan. Hingga ada seseorang yang melintasinya dengan berlari-lari kecil, berjalan kaki, hingga yang terakhir berguling di atas perutnya. Lalu ia berkata : ‘Wahai Rabb, mengapa Engkau lambatkan aku ?’. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku tidak melambatkanmu. Yang melambatkanmu hanyalah amalmu.....” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 1/193-194 no. 282; dengan sanad hasan[17]].
Nasab mulia seharusnya menuntut seseorang untuk giat beramal. Kebaikan akan semakin bercahaya jika muncul dari orang yang bernasab mulia. Sebaliknya, keburukan akan semakin menjadi buruk dan busuk jika sampai muncul dari orang yang bernasab mulia.
Dr. Muhammad bin Ismaa’iil Al-Muqaddam hafidhahullah pernah bercerita :
أن بعض الشرفاء من آل البيت في بلاد خراسان كان أقرب الناس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، غير أنه كان فاسقاً ظاهر الفسق، وكان هناك مولى أسود تقدم في العلم والعمل، فأكب الناس على تعظيمه، فاتفق أن خرج يوماً من بيته يقصد المسجد فاتبعه خلق كثير يتبركون بمصاحبته وبعلمه، فلقيه الشريف وهو سكران، فكان الناس يطردونه عن طريقه، فغلبهم وتعلق بأطراف الشيخ وقال: يا أسود الحوافر والمشافر! يا كافر ابن كافر! أنا ابن رسول الله أذل وأنت تجل! وأهان وأنت تعان! فهم الناس بضربه، فقال الشيخ: لا تفعلوا، هذا محتمل منه لجده رسول الله عليه الصلاة والسلام، ومعفو عنه وإن خرج عن حده، ولكن أيها الشريف! بيضت باطني وسودت باطنك، فغلب بياض قلبي سواد وجهي فحسنت، وغلب سواد قلبك بياض وجهك فقبحت، وأخذتُ سيرة أبيك، وأخذتَ سيرة أبي، فرآني الخلق في سيرة أبيك ورأوك في سيرة أبي، فظنوني ابن أبيك، وظنوك ابن أبي، فعملوا معك ما يعمل مع أبي، وعملوا معي ما يعمل مع أبيك
“Ada sebagian orang terhormat/mulia dari keturunan keluarga Ahlul-Bait di negeri Khurasaan yang merupakan orang yang paling dekat pertaliannya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sayangnya, ia seorang yang fasiq yang nampak kefasiqannya. Dan di sana juga ada seorang maulaa (bekas budak) berkulit hitam yang unggul dalam ilmu dan amal. Orang-orang sangat menaruh hormat kepadanya. Kebetulan, pada suatu hari maulaa itu keluar dari rumahnya hendak menuju masjid. Lalu banyak orang mengikutinya untuk ber-tabarruk (mendapatkan barakah) dengan kebershahabatannya dan ilmunya. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan orang mulia itu dalam keadaan mabuk. Maka orang-orang pun hendak menyingkirkannya dari jalan. Namun, mereka gagal dan malah orang tersebut dapat memegang tangan Syaikh (yaitu maulaa tersebut), lalu berkata : “Wahai budak hitam jelek, wahai kafir anaknya orang kafir ! Aku adalah cucu Rasulullah yang sedang dihina, sedangkan engkau malah diagungkan. Aku direndahkan namun engkau ditinggikan !”. Mengetahui itu, orang-orang hendak memukulnya (karena dianggap kurang ajar). Namun Syaikh berkata : “Jangan kalian lakukan. Kita harus memaklumi dan memaafkannya dikarenakan kakeknya, yaitu Rasulullah ‘alaihish-shalaatu was-salaam, meskipun perbuatannya sudah melampaui batas”. Syaikh melanjutkan : “Akan tetapi wahai orang mulia, aku putihkan batinku, sedangkan engkau hitamkan batinmu. Putihnya hatiku mengalahkan hitamnya wajahku, hingga aku pun menjadi baik; sedangkan hitamnya hatimu telah mengalahkan putihnya wajahmu, hingga engkaupun menjadi buruk. Aku mengambil sirah ayahmu, sedangkan engkau mengambil sirah ayahku; sehingga orang-orang melihatku dalam sirah ayahmu dan melihatmu dalam sirah ayahku. Mereka menyangkaku anak ayahmu dan menyangkamu anak ayahku. Oleh karenanya, mereka memperlakukanmu sebagaimana memperlakukan ayahku, dan memperlakukanku sebagaimana memperlakukan ayahmu” [‘Uluwwul-Himmah, hal. 100-101 – atau bisa dibaca di sini].
Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي امْرُؤٌ مِنْ قُرَيْشٍ، وَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَحْمَرَ وَلا أَسْوَدَ يَفْضُلُنِي بِتَقْوَى إِلا وَدِدْتُ أَنِّي فِي مِسْلاخِهِ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah orang Quraisy. Siapa saja di antara kalian baik yang berkulit merah ataupun hitam yang mengungguliku dalam ketaqwaan, maka aku suka seandainya berada di bawah kulitnya itu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 3/219-220 dan Ibnu Abi Syaibah 7/116; shahih].
Sebagai penutup dan pemberi semangat, mari kita perhatikan hadits berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا، وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا، وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا "
Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal (shalih) sebelum datangnya fitnah yang menyerupai potongan-potongan malam yang gelap gulita. Dimana seseorang di waktu shubuh masih dalam keadaan beriman, namun sore harinya telah kafir; atau sore harinya masih beriman, namun keesokannya telah kafir. Ia menjual agamanya demi secuil (keuntungan) dunia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 118 & , Ahmad 2/302 & 523, Abu Ya’laa no. 6515, dan yang lainnya].
عَنْ ابْن عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Apabila engkau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6416, Ahmad 2/24 & 41, At-Tirmidziy no. 2333, dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 05022012 – banyak mengambil faedah dari buku yang sangat mengesankan berjudul : ‘Uluwwul-Himmah karya Dr. Muhammad bin Ismaa’iil Al-Muqaddam[18], hal. 94-101; Maktabah Al-Kautsar, tanpa tahun, Riyaadl].


[1]      ‘Abdurrahmaan bin Maghraa’ bin Iyaadl bin Al-Haarits bin ‘Abdillah bin Wahb Al-Dausiy, Abu Zuhair Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun diperbincangkan dalam hadits Al-A’masy. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun . Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 600 no. 4039].
[2]      Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy, Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 115 H, dan wafat tahun 199 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692].
[3]      ‘Aliy bin Shaalih Al- Makkiy, Abul-Hasan Al-‘Aabid; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-tahdziib, hal. 698 no. 4783].
[4]        Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,  At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[5]      Jariir bin ‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy Al-Qaadliy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab (107/110-188 H). Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 188 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 924].
[6]      Maalik bin Su’air bin Al-Khams At-Taimiy, Abu Muhammad/Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 200 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 915 no. 6480].
[7]      Muhaadlir bin Al-Muwarri’ Al-Hamdaaniy Al-Yaamiy, Abul-Muwarri’ Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 206 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 922 no. 6535].
Ibnu ‘Adiy secara khusus berkata :
قد روى عن الأعمش أحاديث صالحة مستقيمة ، و لم أر فى أحاديثه منكرا فأذكره ، إذا روى عنه ثقة
“Ia telah meriwayatkan dari Al-A’masy hadits-hadits yang baik lagi lurus. Dan aku tidak melihat dalam hadits-haditsnya yang munkar, lalu aku menyebutkannya, apabila perawi tsiqah meriwayatkan darinya”.
[Di sini ia meriwayatkan dari Al-A’masy].
[8]      Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].
[9]      Al-Mundzir bin ‘Abdillah bin Al-Mundzir bin Al-Mughiirah bin ‘Abdillah bin Khaalid Al-Asadiy Al-Hazaamiy Al-Madaniy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘maqbuul’. Termasuk thabaqah ke8, dan wafat tahun 181 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 971 no. 6936].
Namun penghukuman yang benar adalah ia seorang yang shaduuq hasanul-hadiits. Ibnu Hibbaan telah memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan sejumlah perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya.
[10]     Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy, Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaar; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 175/176 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1036 no. 7457].
[11]     Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah,mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
[12]     Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993].
[13]     Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].
[14]     Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850].
[15]     Haditsnya sebenarnya panjang, dan lafadh yang tertulis di awal artikel merupakan sebagian dari lafadhnya.
[16]       Yaitu :
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ * خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera” [QS. Al-Qalam : 42-43].
[17]     Semua perawinya tsiqaat, kecuali Abuz-Za’raa’. Namanya : ‘Abdullah bin Haani’ Al-Kindiy Al-Azdiy, Abuz-Z’raa’ Al-Akbar Al-Kuufiy. Al-Mizziy mencatat hanya satu perawi saja yang meriwayatkan darinya, yaitu Salamah bin Kuhail. Namun dalam Al-Mustadrak (4/454), Ibraahiim An-Nakha’iy juga meriwayatkan darinya. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, Al-‘Ijliy, dan Ibnu Sa’d. Termasuk thabaqah ke-2, dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [lihat : Taqriibut-Tahdziib, hal. 554 no. 3701]. Oleh karena itu saya cenderung pada penghukuman shaduuq hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam.
[18]     Bagi yang belum mengetahui beliau, silakan simak ceramah singkat beliau berikut :
Beliau bisa berbahasa Inggris, dan ini ceramahnya :

Comments

Anonim mengatakan...

Jazakalloh khoir ustadz atas tambahan faidahnya mengenai Al A'masy -rahimahullah-, bahwa 'ananah riwayatnya dari Dzakwan Abu Shalih dihukumi muttashil karena telah jelas penyimakan beliau pada Abu Shalih.