Allah ta’ala berfirman :
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ * فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan” [QS. Al-A’raaf : 189-190].
Ath-Thabariy rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas membawakan riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: ثنا عُمَرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَتْ حَوَّاءُ لا يَعِيشُ لَهَا وَلَدٌ، فَنَذَرَتْ لَئِنْ عَاشَ لَهَا وَلَدٌ لَتُسَمِّيَنَّهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَعَاشَ لَهَا وَلَدٌ، فَسَمَّتْهُ: عَبْدَ الْحَارِثِ، وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ عَنْ وَحْيِ الشَّيْطَانِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar[1] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad[2], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ibraahiim[3], dari Qataadah[4], dari Al-Hasan[5], dari Samuurah bin Jundub[6], dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Dulu Hawwaa’ tidak hidup dengan mempunyai anak. Lalu ia pun bernadzar seandainya ia hidup dan mempunyai anak, akan dinamai dengan ‘Abdul-Haarits. Ternyata ia pun hidup dan mempunyai anak, dan kemudian ia namai ‘Abdul-Haarits. Penamaan itu hanyalah berasal dari wahyu syaithaan” [Jaami’ul-Bayaan, 13/309].
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 3077, Ahmad 5/11, Al-Haakim 2/544, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 10/428-429 no. 4580, Ar-Ruuyaaniy dalam Musnad-nya 2/52 no. 816, dan Ath-Thabariy dalam At-Taariikh no. 172; semuanya dari jalan ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ibraahiim, dan selanjutnya seperti riwayat di atas.
‘Abdush-Shamad dalam periwayatan dari ‘Umar bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari Syaadz bin Fayyaadl Al-Yasykuriy[7]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/260 no. 6895, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 2/334-335 no. 790, dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 8637 & 8641.
Riwayat ini lemah dikarenakan ‘Umar bin Ibraahiim. Meskipun ia seorang yang shaduuq, namun periwayatannya dari Qataadah lemah dan banyak dikritik para ulama.
Diriwayatkan juga secara mauquuf dari Samurah bin Jundub sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَمْزَةَ، ثَنَا أَبُو الْجُمَاهِرِ، ثَنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ، حَدَّثَنِي عِمْرَانُ، عَنْ عُقْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ: " سَمَّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ فِي قَوْلِهِ: فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa bin Hamzah[8] : Telah menceritakan kepada kami Abul-Jumaahir[9] : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Basyiir[10] : Telah menceritakan kepadaku ‘Imraan[11], dari ‘Uqbah[12], dari Qataadah, dari Yaziid bin ‘Abdillah bin Asy-Syikhkhiir[13], dari Samurah bin Jundub, ia berkata : “Mereka berdua (Aadan dan Hawwaa’) menamakannya dengan ‘Abdul-Haarits, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat : ‘Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan’” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 2793].
Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa dan Sa’iid bin Basyiir Al-Azdiy.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dengan lafadh yang ringkas : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdil-A’laa[14], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir[15], dari ayahnya[16], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Alaa’[17], dari Samurah bin Jundub bahwasannya ia menceritakan :
أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ سَمَّى ابْنَهُ عَبْدَ الْحَارِثِ
Bahwa Aadam ‘alaihis-salaam menamakan anaknya ‘Abdul-Haarits” [Jaami’ul-Bayaan, 13/310 no. 15514].
Sanad riwayat ini shahih.
Mu’tamir mempunyai mutaba’ah dari Ibnu ‘Ulayyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/310 no. 15515.
Diriwayatkan juga secara mauquuf dari beberapa shahabat lain, di antaranya :
1. Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa :
ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حَمْزَةَ، ثنا حَبَّانُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ خُصَيْفٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلُهُ: " فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا، قَالَ: اللَّهُ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ، وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا، فَلَمَّا تَغَشَّاهَا آدم حَمَلَتْ، آتَاهُمَا إِبْلِيسُ، فَقَالَ: إِنِّي صَاحِبُكُمَا الَّذِي أَخْرَجْتُكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ، لَتُطِيعَنَّنِ أَوْ لأَجْعَلَنَّ لَهَا قَرْنَيْ إِبِلٍ، فَيَخْرُجُ مِنْ بَطْنِكِ، فَيَشُقَّهُ، وَلأَفْعَلَنَّ وَلأَفْعَلَنَّ يُخَوِّفُهُمَا سَمِّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَاهُ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتْ يَعْنِي الثَّانِيَةَ فَأَتَاهُمَا أَيْضًا، فَقَالَ: أَنَا صَاحِبُكُمَا الَّذِي فَعَلْتُ مَا فَعَلْتُ، لَتَفْعَلُنَّ أَوْ لأَفْعَلَنَّ وَلأَفْعَلَنَّ يُخَوِّفُهُمَا، فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَانِهِ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتِ الثَّالِثَةُ، فَأَتَاهُمَا أَيْضًا، فَذَكَرَ لَهُمَا، فَأَدْرَكَهُمَا حُبَّ الْوَلَدِ، فَسَمَّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Husain[18] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Hamzah[19] : Telah menceritakan kepada kami Habbaan[20], dari ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[21], dari Syariik[22], dari Khushaif[23], dari Sa’iid bin Jubair[24], dari Ibnu ‘Abbaas dalam penafsiran ayat : ‘Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu’ (QS. Al-A’raaf : 190), ia berkata : ”Allah, Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah Aadam mencampurinya, istrinya pun mengandung kandungan yang ringan. Lalu Iblis datang kepada mereka berdua dan berkata : ‘Sunguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkanmu dari surga. Sungguh, hendaknya engkau mentaatiku. Kalau tidak, niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dengan merobeknya. Demi Allah, pasti akan aku lakukan’. Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. Iblis melanjutkan : ‘Namailah anakmu itu ’Abdul-Haarits”. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya. Ketika bayi mereka lahir, lahirlah ia dalam keadaan mati. Kemudian Hawwa’ hamil lagi untuk yang kedua kali. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan berkata : ‘Aku adalah kawanmu yang melakukan apa yang telah aku lakukan (pada anakmu). Engkau lakukan apa yang aku perintahkan atau akan aku lakukan (kembali) apa yang telah aku lakukan. Iblis menakuti mereka berdua. Akan tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan mati. Selanjutnya, Hawwa’ hamil lagi untuk yang ketiga kali. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Aadam dan Hawwaa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama ’Abdul-Haarits. Itulah tafsiran firman Allah : ‘Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 8654].
Sanad riwayat ini lemah karena Khushaif dan Syariik yang lemah di sektor hapalannya.
Khushaif dalam periwayatan dari Sa’iid bin Jubair mempunyai mutaba’ah dari Mujaahid[25]; sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur dalam Tafsiir-nya 5/173 no. 973 : Telah menceritakan kepada kami ‘Attaab bin Basyiir[26], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Khushaif, dari Mujaahid dan Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini lemah karena Khushaif. Selain itu, hadits ‘Attaab yang berasal dari Khushaif banyak diingkari oleh para ulama.
Sa’iid bin Jubair dalam periwayatan dari Ibnu ‘Abbaas mempunyai mutaba’ah dari :
a. ‘Ikrimah[27]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/310 no. 15516 : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid[28], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah[29], dari Ibnu Ishaaq[30], dari Daawud bin Al-Hushain[31], dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena Ibnu Humaid. Juga karena Salamah, ‘an’anah Ibnu Ishaaq, dan Daawud (yang dilemahkan riwayatnya jika berasal dari ‘Ikrimah).
b. Al-Hasan bin ‘Athiyyah[32]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/310-311 no. 15517 : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Sa’d,[33] ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku[34], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku pamanku[35], dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah. Perawi dari Muhammad bin Sa’d hingga Al-Hasan bin ‘Athiyyah adalah para perawi dla’iif. Selain itu, sanadnya terputus antara Al-Hasan bin ‘Athiyyah dengan Ibnu ‘Abbaas.
c. Ibnu Juraij[36]; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/311 no. 15518 : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim[37], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain[38], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj[39], dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara Ibnu Juraij dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
d. Abu Shaalih[40]; sebagaimana riwayat panjang Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/13-15 : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Muhammad[41] : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku[42], dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah, bahkan palsu (maudluu’).
2. Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu.
ثنا أَبِي، ثنا أَبُو الْجُمَاهِرِ، أَنْبَأَ سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ، عَنْ عُقْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: لَمَّا حَمَلَتْ حَوَّاءُ، أَتَاهَا الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: أَتُطِيعِينِي وَيَسْلَمْ لَكِ وَلَدُكِ؟ سَمِّيهِ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَلَمْ تَفْعَلْ فَوَلَدَتْ فَمَاتَ، ثُمَّ حَمَلَتْ، فَقَالَ لَهَا مِثْلَ ذَلِكَ، فَلَمْ تَفْعَلْ، ثُمَّ حَمَلَتِ الثَّالِثَ، فَجَاءَهَا فَقَالَ: إِنْ تُطِيعِينِي يَسْلَمْ، وَإِلا فَإِنَّهُ يَكُونُ بَهِيمَةً، فَهَيَّبَهُمَا فَأَطَاعَا "
Telah menceritakan kepada kami ayahku[43] : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Basyiir, dari ‘Uqbah, dari Qataadah, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhum : “Ketika Hawwaa’ hamil, syaithaan mendatanginya dan berkata : ‘Apakah engkau akan mentaatiku dan anakmu akan selamat ?. Namailah anakmu ‘Abdul-Haarits’. Namun Hawwaa’ tidak melakukannya. Anaknya pun lahir yang kemudian mati. Kemudian Hawwaa’ hamil lagi, lalu syaithaan mengatakan seperti sebelumnya, namun ia tidak melakukannya. Kemudian Hawwaa’ hamil untuk yang ketiga kalinya. Syaithaan mendatanginya dan berkata : ‘Seandainya engkau mentaatiku, anakmu akan selamat. Jika tidak, maka ia lahir dalam wujud binatang ternak’. Syaithan menakut-nakuti keduanya (Aadam dan Hawwaa’), lalu akhirnya keduanya mentaatinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 8653].
Sanad riwayat ini lemah karena kelemahan Sa’iid bin Basyiir.
Catatan : Ibnu Ma’iin dan Ahmad mengatakan bahwa Qataadah tidak pernah mendengar riwayat dari Mujaahid [Jamii’ut-Tahshiil, hal. 255]. Akan tetapi Ahmad menjelaskan bahwa perantara keduanya adalah Abul-Khaliil[44], dan ia seorang yang tsiqah. Oleh karena itu, riwayat Qataadah dari Mujaahid ini dihukumi shahih. Wallaahu a’lam.
Asy-Asy-Syinqithiy rahimahullah ketika menjelaskan ayat di atas berkata :
في هذه الآية الكريمة وجهان من التفسير معروفان عند العلماء، والقرآن يشهد لأحدهما:
الأول: أن حواء كانت لا يعيش لها ولد، فحملت، فجاءها الشيطان، فقال لها سمي هذا الولد عبد الحارث فإنه يعيش، والحارث من أسماء الشيطان، فسمته عبد الحارث فقال تعالى: {فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً} [7/190]، أي: ولداً إنساناً ذكراً جعلا له شركاء بتسميته عبد الحارث، وقد جاء بنحو هذا حديث مرفوع وهو معلول كما أوضحه ابن كثير في "تفسيره".
الوجه الثاني: أن معنى الآية أنه لما آتى آدم وحواء صالحاً كفر به بعد ذلك كثير من ذريتهما، وأسند فعل الذرية إلى آدم وحواء؛ لأنهما أصل لذريتهما كما قال: {وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ} [7/11]، أي بتصويرنا لأبيكم آدم لأنه أصلهم بدليل قوله بعده: {ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ}، ويدل لهذا الوجه الأخير أنه تعالى قال بعده: {فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ أَيُشْرِكُونَ مَا لا يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ} [7/190، 191]، وهذا نص قرآني صريح في أن المراد المشركون من بني آدم، لا آدم وحواء، واختار هذا الوجه غير واحد لدلالة القرآن عليه، وممن ذهب إليه الحسن البصري، واختاره ابن كثير ، والعلم عند الله تعالى.
الأول: أن حواء كانت لا يعيش لها ولد، فحملت، فجاءها الشيطان، فقال لها سمي هذا الولد عبد الحارث فإنه يعيش، والحارث من أسماء الشيطان، فسمته عبد الحارث فقال تعالى: {فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً} [7/190]، أي: ولداً إنساناً ذكراً جعلا له شركاء بتسميته عبد الحارث، وقد جاء بنحو هذا حديث مرفوع وهو معلول كما أوضحه ابن كثير في "تفسيره".
الوجه الثاني: أن معنى الآية أنه لما آتى آدم وحواء صالحاً كفر به بعد ذلك كثير من ذريتهما، وأسند فعل الذرية إلى آدم وحواء؛ لأنهما أصل لذريتهما كما قال: {وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ} [7/11]، أي بتصويرنا لأبيكم آدم لأنه أصلهم بدليل قوله بعده: {ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ}، ويدل لهذا الوجه الأخير أنه تعالى قال بعده: {فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ أَيُشْرِكُونَ مَا لا يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ} [7/190، 191]، وهذا نص قرآني صريح في أن المراد المشركون من بني آدم، لا آدم وحواء، واختار هذا الوجه غير واحد لدلالة القرآن عليه، وممن ذهب إليه الحسن البصري، واختاره ابن كثير ، والعلم عند الله تعالى.
“Dalam ayat yang mulia ini terdapat dua sisi penafsiran yang ma’ruf menurut para ulama, dan Al-Qur’an menjadi saksi atas kebenaran salah satu di antara keduanya :
Pertama, bahwasannya Hawwaa’ dulu tidaklah hidup dengan mempunyai anak, lalu ia hamil. Kemudian syaithaan mendatanginya dan berkata kepadanya : ‘Namailah anak ini ‘Abdul-Haarits, maka ia akan hidup’. Dan Al-Haarits itu termasuk nama-nama syaithaan. Lalu Hawwaa’ menamakannya ‘Abdul-Haarits, sehingga Allah ta’ala berfirman : ‘Tatkala Allah memberikan kepada keduanya seorang anak yang sempurna’ (QS. Al-A’raaf : 190), yaitu : anak manusia berkelamin laki-laki dimana keduanya menjadikan bagi-Nya sekutu dengan penamaannya ‘Abdul-Haarits. Dan telah ada hadits marfuu’ yang semisal ini, namun ia ma’lul sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Katsiir dalam Tafsiir-nya.
Kedua, bahwasannya makna ayat tersebut adalah ketika Aadan dan Hawwaa’ diberikan anak yang shaalih, maka banyak di antara keturunannya yang mengkufuri-Nya. Dan disandarkannya perbuatan keturunannya kepada Aadam dan Hawwaa dikarenakan mereka berdua adalah asal bagi keturunannya, sebagaimana firman-Nya : ‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian’ (QS. Al-A’raaf : 11), yaitu : dengan penciptaan Kami terhadap bapak kalian Aadam, karena ia adalah asal dari mereka dengan dalil firman Allah setelah ayat tersebut : ‘kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam’ (QS. Al-A’raaf : 11).
Ini adalah nash Qur’aaniy yang shariih yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang musyrik adalah dari anak-anak Aadam, bukan Aadam dan Hawwaa’. Pendapat ini dipilih lebih dari seorang ulama dikarenakan keberadaan petunjuk Al-Qur’an padanya. Dan ulama yang memegang pendapat ini antara lain Al-Hasan Al-Bashriy. Ibnu Katsiir termasuk yang memilih pendapat tersebut. Wallaahu a’lam” [Adlwaaul-Bayaan, 2/46-47].
Riwayat Al-Hasan yang dimaksudkan oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah adalah sebagai berikut :
حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال: حدثنا محمد بن ثور، عن معمر قال. قال الحسن: عني بهذا ذرية آدم، من أشرك منهم بعده يعني بقوله : (فلما آتاهما صالحًا جعلا له شركاء فيما آتاهما).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa[45], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur[46], dari Ma’mar[47], ia berkata : Telah berkata Al-Hasan : “Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah keturunan Aadam, yang telah berbuat kesyirikan di antara mereka setelahnya; yaitu dalam firman Allah : ‘Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu’ (QS. Al-A’raaf : 190)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 13/314-315 no. 15527].
Sanad ini shahih.
حدثنا بشر بن معاذ قال: حدثنا يزيد قال: حدثنا سعيد، عن قتادة قال: كان الحسن يقول: هم اليهود والنصارى، رزقهم الله أولادًا فهوَّدوا ونصَّروا.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz[48], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid[49], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid[50], dari Qataadah, ia berkata : Al-Hasan pernah berkata : “Mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Allah telah mengkaruniai mereka anak-anak, lalu mereka menjadikannya pemeluk agama Yahudi dan Nashrani” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 13/315 no. 15528].
Sanad riwayat ini shahih. Yaziid bin Zurai’ mendengar riwayat Sa’iid bin Abi ‘Aruubah sebelum ikhtilaath-nya [Al-Mukhtalithiin, hal. 41-43 no. 37 – beserta catatan kaki muhaqqiq-nya].
Sebagaimana yang Anda lihat, riwayat marfuu’ kisah Aadam, Hawwaa’, dan syaithaan/iblis itu tidaklah shahih. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
وهذه القصة باطلة من وجوه :
الوجه الأول : أنه ليس في ذلك خبر صحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم وهذا من الأخبار التي لا تتلقى إلا بالوحي ، وقد قال ابن حزم عن هذه القصة : إنها رواية خرافة مكذوبة موضوعة.
الوجه الثاني : أنه لو كانت القصة في آدم وحواء لكان حالهما إما أن يتوبا من الشرك أو يموتا عليه ، فإن قلنا ماتا عليه كان ذلك أعظم من قول الزنادقة :
إذا ما ذكرنا آدما وفعاله **** وتزويجه بنتيه بابنيه بالخنا
علمنا بأن الخلق من نسل فاجر **** وأن جميع الناس من عنصر الزنا
فمن جوز موت أحد من الأنبياء على الشرك فقد أعظم الفرية ، وإن كان تابا من الشرك فلا يليق بحكمة الله وعدله ورحمته أن يذكر خطأهما ، ولا يذكر توبتهما منه ، فيمتنع غاية الامتناع أن يذكر الله الخطيئة من آدم وحواء وقد تابا ولم يذكر توبتهما ، والله تعالى إذا ذكر خطيئة بعض أنبيائه ورسله ذكر توبتهم منها.
الوجه الثالث : أن الأنبياء معصومون من الشرك باتفاق العلماء.
الوجه الرابع : أنه ثبت من حديث الشفاعة أن الناس يأتون إلى آدم يطلبون منه الشفاعة فيعتذر بأكله الشجرة وهو معصية ، ولو وقع منه الشرك لكان اعتذاره به أعظم وأولى وأحرى.
الوجه الخامس : أن في هذه القصة أن الشيطان جاء إليهما وقال : أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . وهذا لا يقوله من يريد الإغواء ، بل هذا وسيلة إلى رد كلامه ، فيأتي بشيء يقرب من قبول قوله ، فإذا قال : أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . سيعلمان علم اليقين أنه عذر لهما فلا يتقبلان منه صرفا ولا عدلا.
الوجه السادس : أن في قوله في هذه القصة : لأجعلن له قرني إيل . إما أن يصدقا أن ذلك ممكن في حقه وهذ شرك في الربوبية لأنه لا خالق إلا الله أو لا يصدقا فلا يمكن أن يقبلا قوله وهما يعلمان أن ذلك غير ممكن في حقه.
الوجه السابع : قوله تعالى : " فَتَعَالى الله عَمَّا يُشْرِكُونَ " بضمير الجمع ولو كان آدم وحواء لقال : عما يشركان.
الوجه الأول : أنه ليس في ذلك خبر صحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم وهذا من الأخبار التي لا تتلقى إلا بالوحي ، وقد قال ابن حزم عن هذه القصة : إنها رواية خرافة مكذوبة موضوعة.
الوجه الثاني : أنه لو كانت القصة في آدم وحواء لكان حالهما إما أن يتوبا من الشرك أو يموتا عليه ، فإن قلنا ماتا عليه كان ذلك أعظم من قول الزنادقة :
إذا ما ذكرنا آدما وفعاله **** وتزويجه بنتيه بابنيه بالخنا
علمنا بأن الخلق من نسل فاجر **** وأن جميع الناس من عنصر الزنا
فمن جوز موت أحد من الأنبياء على الشرك فقد أعظم الفرية ، وإن كان تابا من الشرك فلا يليق بحكمة الله وعدله ورحمته أن يذكر خطأهما ، ولا يذكر توبتهما منه ، فيمتنع غاية الامتناع أن يذكر الله الخطيئة من آدم وحواء وقد تابا ولم يذكر توبتهما ، والله تعالى إذا ذكر خطيئة بعض أنبيائه ورسله ذكر توبتهم منها.
الوجه الثالث : أن الأنبياء معصومون من الشرك باتفاق العلماء.
الوجه الرابع : أنه ثبت من حديث الشفاعة أن الناس يأتون إلى آدم يطلبون منه الشفاعة فيعتذر بأكله الشجرة وهو معصية ، ولو وقع منه الشرك لكان اعتذاره به أعظم وأولى وأحرى.
الوجه الخامس : أن في هذه القصة أن الشيطان جاء إليهما وقال : أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . وهذا لا يقوله من يريد الإغواء ، بل هذا وسيلة إلى رد كلامه ، فيأتي بشيء يقرب من قبول قوله ، فإذا قال : أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . سيعلمان علم اليقين أنه عذر لهما فلا يتقبلان منه صرفا ولا عدلا.
الوجه السادس : أن في قوله في هذه القصة : لأجعلن له قرني إيل . إما أن يصدقا أن ذلك ممكن في حقه وهذ شرك في الربوبية لأنه لا خالق إلا الله أو لا يصدقا فلا يمكن أن يقبلا قوله وهما يعلمان أن ذلك غير ممكن في حقه.
الوجه السابع : قوله تعالى : " فَتَعَالى الله عَمَّا يُشْرِكُونَ " بضمير الجمع ولو كان آدم وحواء لقال : عما يشركان.
“Kisah ini baathil dari sisi :
Pertama, bahwasannya ia bukan merupakan khabar shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, khabar ini termasuk khabar-khabar yang tidaklah didapatkan kecuali melalui perantaraan wahyu. Ibnu Hazm berkata tentang kisah ini : ‘Sesungguhnya ia merupakan riwayat khuraafat, dusta, lagi palsu’.
Kedua, seandainya kisah ini merupakan kisah yang benar tentang Aadan dan Hawwaa, niscaya keadaan keduanya : jika mereka tidak bertaubat dari kesyirikan, atau mati di atasnya (kesyirikan). Seandainya kita mengatakan bahwa keduanya mati di atas kesyirikan, maka itu lebih besar dari perkataan zanaadiqah :
Apabila kita ingat Aadam dan apa yang telah diperbuatnya
dan pernikahan antara anak perempuan dan anak laki-lakinya dengan cara keji.
Niscaya kita mengetahui bahwasannya makhluk berasal dari benih orang yang faajir.
dan seluruh manusia berasal dari pokok perbuatan zina
Barangsiapa membolehkan salah seorang dari nabi-nabi meninggal di atas kesyirikan, sungguh ia merupakan kedustaan yang paling besar. Dan seandainya keduanya (Aadam dan Hawwaa’) bertaubat dari kesyirikan, maka itu tidak sesuai dengan hikmah Allah, keadilan-Nya, dan rahmat-Nya untuk menyebutkan kesalahan keduanya tanpa menyebutkan taubat mereka dari perbuatan syirik.[51] Dan Allah ta’ala apabila menyebutkan kesalahan sebagian nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, maka Ia kemudian menyebutkan pertaubatan mereka dari kesalahan tersebut.
Ketiga, bahwasannya para nabi adalah ma’shuum dari perbuatan syirik dengan kesepakatan ulama.
Keempat, telah shahih dalam hadits syafaa’at bahwasannya manusia datang menemui Aadam meminta darinya syafaa’at. Namun ia mengemukakan alasan (tidak bisa memenuhi permintaan mereka) karena telah memakan pohon[52], dan itu adalah perbuatan maksiat. Seandainya ia pernah terjatuh dalam kesyirikan, niscaya alasannya dengan perbuatan itu lebih besar dan lebih dikedepankan.
Kelima, dalam kisah ini, syaithaan mendatangi keduanya dan berkata : ‘Aku adalah kawanmu yang telah mengeluarkan kalian berdua dari surga’. Ini tidaklah dikatakan oleh orang yang membujuk. Bahkan, ini merupakan perantara untuk menolak perkataannya. Syaithaan seharusnya datang dengan sesuatu yang lebih dekat untuk dapat menerima perkataannya. Apabila syaithaan berkata : ‘Aku adalah kawanmu yang telah mengeluarkan kalian berdua dari surga’; maka mereka berdua akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin bahwasannya syaithaan akan memberikan alasan pada keduanya, dan mereka berdua tidak akan menerimanya sedikitpun.
Keenam, bahwasannya perkataan syaithaan dalam kisah ini : ‘sungguh aku akan menjadikan baginya tanduk rusa’. Baik mereka berdua membenarkan hal tersebut mungkin dilakukan olehnya (syaithaan), maka ini syirik dalam Rububiyyah, karena tidak ada Pencipta kecuali Allah; atau mereka berdua tidak membenarkannya, maka tidak mungkin mereka berdua menerima perkataannya padahal mereka berdua mengetahui bahwa hal itu tidaklah mungkin dilakukan olehnya (syaithan).
Ketujuh, firman-Nya ta’ala : ‘Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan’ dengan menggunakan dlamir (kata ganti) jamak, seandainya yang dimaksudkan adalah Aadam dan Hawwaa’, tentu akan dikatakan : ‘dari apa yang mereka berdua persekutukan’” [Mudzakarah fii Syarh Kitaabit-Tauhiid – melalui perantaraan kitab Kutubun wa Akhbaarun wa Rijaalun wa Ahaadits tahtal-Mihjar oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz As-Sad-haan, hal. 63-64].
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di atas sangat kuat. Selain itu, disebutkan dalam sebagian riwayat kisah tersebut, bahwasannya kesyirikan yang dilakukan oleh Aadam dan Hawwaa’ adalah kesyirikan dalam hal nama (karena Al-Haarits adalah salah satu nama dari nama-nama syaithaan/iblis). Ini bertentangan dengan riwayat :
عن أبي وهب الجشمي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ... وأصدقها حارث وهمام
Dari Abu Wahb Al-Jusyamiy ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..Nama yang paling benar adalah Haarits dan Hamaam”[HR. Abu Dawud no. 4950 dan Ahmad 3/345 no. 19054; shahih – lihat selengkapnya takhrij hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 904 dan 1040].
Seandainya benar bahwa Al-Haarits adalah nama syaithaan atau iblis, niscaya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk menamakan anak dengan Haarits/Al-Haarits, karena :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” [takhrij hadits selengkapnya bisa dibaca di sini].
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor, dzulhijjah, 1432 H].
[1] Muhammad bin Basysyaar bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan Bundaar; seorang perawi yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 167 H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791].
[2] ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits bin Sa’iid At-Tamiimiy Al-‘Anbariy At-Tanuuriy, Abu Sahl Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, dan tsabt dalam hadits Syu’bah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 610 no. 4108].
[3] ‘Umar bin Ibraahiim Al-‘Abdiy, Abu Hafsh Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun dla’iif dalam hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 714 no. 4897].
[4] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[5] Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237].
[6] Samurah bin Jundub bin Hilaal bin Hudaij Al-Fazaariy, Abu Sa’iid/’Abdillah/’Abdirrahmaan/Muhammad/Sulaimaan; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 58 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 416 no. 2645].
[7] Syaadz bin Fayyaadl Al-Yasykuriy, Abu ‘Ubaidah Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan dan afraad. Termasuk thabaqah ke-10. Dipakai oleh Abu daawud dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 429 no. 2745].
[8] Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa bin Hamzah bin Waaqid, Abu ‘Abdillah Al-Hadlramiy Ad-Dimasyqiy Al-Batlahiy; seorang yang dla’iif, shaahubul-manaakir wal-gharaaib. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 289 H [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 179-180 no. 214].
[9] Muhammad bin ‘Utsmaan At-Tanuukhiy, Abu ‘Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy Al-Kafursuusiy – laqab-nya adalah Abul-Mujaahir; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 140 H, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 877 no. 6175].
[10] Sa’iid bin Basyiir Al-Azdiy atau An-Nashriy, Abu ‘Abdirrahmaan/Salamah Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H/169 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 374 no. 2289].
[11] ‘Imraan bin Daawar Al-‘Ammiy, Abul-‘Awwaam Al-Qaththaan Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun banyak ragu. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat antara tahun 160 H – 170 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariu secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 750 no. 5189].
[12] ‘Uqbah bin Aus As-Saduusiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 682 no. 4665].
[13] Yaziid bin ‘Abdillah Asy-Syikhkhiir Al-‘Aamiriy, Abul-‘Alaa’ Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 111 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1078 no. 7791].
[14] Muhammad bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shan’aaniy Al-Qaisiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 868 no. 6100].
[15] Mu’tamir bin Sulaimaan bin Tharkhaan At-Taimiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 106 H, dan wafat tahun 187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 958 no. 6833].
[16] Sulaimaan bin Tharkhaan At-Taimiy, Abul-Mu’tamir Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 46 H, dan wafat tahun 143 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 409 no. 2590].
[17] Ia adalah Yaziid bin ‘Abdillah Asy-Syikhkhiir, telah lewat keterangan tentangnya.
[18] ‘Aliy bin Al-Husain bin Al-Junaid Ar-Raaziy, Abul-Hasan; seorang yang shaduuq, tsiqah, lagi hujjah. Wafat tahun 291 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/16-17 no. 7 dan Mishbaahul-Ariib 2/373 no. 18363.
[19] Muhammad bin ‘Aliy bin Hamzah Al-Marwaziy, Abu ‘Aliy/’Abdillah Al-Haafidh; seorang yang tsiqah, shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 261 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6192].
[20] Hibbaan bin Muusaa bin Sawwaar As-Sulamiy, Abu Muhammad Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 217 no. 1085].
[21] ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[22] Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
[23] Khushaif bin ‘Abdirrahmaan Al-Jazriy, Abu ‘Aun Al-Harraaniy Al-Hadlramiy Al-Umawiy; seorang yang shaduuq, namun jelek hapalannya dan bercampur di akhir hayatnya. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 137 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 297 no. 1728].
[24] Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 95 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 374-375 no. 2291].
[25] Mujaahid bin Jabr, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
[26] ‘Attaab bin Basyiir Al-Jazriy, Abul-Hasan/Sahl Al-Harraaniy; seorang yang shaduuq, tapi sering keliru. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 190 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 656 no. 4451].
Berikut komentar para ulama tentangnya : Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang ‘Attaab bin Basyiir, lalu ia berkata : “Aku harap tidak mengapa dengannya. Ia pada akhir usianya meriwayatkan hadits-hadits munkar. Dan tidaklah aku melihatnya kecuali dengan sebab Khushaif”. Di lain tempat ia berkata : “Hadits-haditsnya yang berasal; dari Khushaif munkar”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”.
Abu Zur’ah pernah ditanya : “’Attaab bin Basyiir lebih hapal, ataukah Muhammad bin Salamah ?”. Ia berkata : “’Attaab lebih aku senangi”. An-Nasaa’i berkata : “Laisa bi-dzaaka fil-hadiits”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Abu Daawud berkata : “Ibnu Mahdiy meninggalkannya di akhir hayatnya”. Ibnu Abi Haatim berkata : “Tidak mengapa dengannya”. As-Saajiy berkata : “Padanya terdapat riwayat-riwayat munkar. Ahmad meriwayatkan dari Wakii’ darinya”. Al-Haakim dan Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan hadits-hadits yang diingkari dari ‘Attaab adalah yang berasal dari Khushaif, lalu berkata perihal dirinya secara umum : “Aku harap, tidak mengapa dengannya”
[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 7/90-91 no. 192].
Kesimpulan : Riwayat-riwayat ‘Attaab yang diingkari dan dikritik para ulama terutama adalah riwayatnya yang berasal dari Khushaif. Adapun secara umum – dengan melihat ta’dil yang ada – jarh-jarh yang ada tidaklah menjatuhkan haditsnya di bawah derajat hasan. Wallaahu a’lam.
[27] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu, di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707].
[28] Muhammad bin Humaid bin Hayyaan, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 839 no. 5871]. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, diantaranya :
Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Sebagaimana maklum bahwa kalimat ini di sisi Al-Bukhariy merupakan jarh yang keras. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Dan yang lainnya.
Adapun Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tautsiq-nya.
[Namun Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (2/321) menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya”.
Nampaknya inilah pendapat terakhir dari Ahmad bin Hanbal yang mencabut tautsiq-nya dari Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy].
Namun yang raajih adalah pendapat jumhur yang melemahkannya, karena jarh yang mereka berikan adalah jenis jarh yang mufassar (dijelaskan sebabnya). Selengkapnya, silakan baca Tahdziibul-Kamaal, 25/97-108.
Kesimpulan : Ia seorang yang sangat lemah.
[29] Salamah bin Al-Fadhl Al-Abrasy Al-Anshaariy, Abu ‘Abdillah Al-Azraq Ar-Raaziy; seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat setelah tahun 190 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 401 no. 2518].
[30] Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy, Abu Bakr/Abu ‘Abdilah Al-Qurasyiy; seorang yang shaduuq, namun sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 150 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 825 no. 5762].
[31] Daawud bin Al-Hushain Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Sulaimaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah kecuali dalam hadits ‘Ikrimah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 135 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 305 no. 1789].
[32] Al-Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-‘Aufiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 181 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 239 no. 1266].
[33] Muhammad bin Sa’d bin Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-‘Aufiy Al-Baghdaadiy, Abu Ja’far; syaikh (guru) Ath-Thabariy, seorang yang lemah (layyin). Wafat tahun 276 H [Al-Mu’jamush-Shaghiir, hal. 501 no. 3875].
[34] Sa’d bin Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-‘Aufiy; dilemahkan oleh Al-Khathiib [Lisaanul-Miizaan 3/18-19 no. 67 dan Mishbaahul-Ariib 2/14 no. 10477].
[35] Al-Husain bin Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-’Aufiy Al-Qaadliy Al-Kuufiy, Abu ‘Abdillah; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-9 [Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 121 no. 811].
[36] ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].
Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [Jaami’ut-Tahshiil, hal. 229-230 no. 472].
[37] Al-Qaasim bin Bisyr bin Ahmad – atau dikatakan : Al-Qaasim bin Ahmad bin Bisyr bin Ma’ruuf – atau dikatakan : Al-Qaasim bin Bisyr bin Ma’ruuf, Abu Muhammad Al-Baghdaadiy; syaikh (guru) Ath-Thabariy, seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 [Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 459-460 no. 3541].
[38] Al-Husain bin Bisyr bin ‘Abdil-Hamiid Al-Himshiy Ats-Tsaghariy Ath-Thursuusiy; seorang yang berstatus : tidak mengapa dengannya. Termasuk thabaqah ke-11, dan dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 245 no. 1315].
[39] Hajjaaj bin Muhammad Al-Mishshiishiy, Abu Muhammad Al-A’war; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun tercampur hapalannya di akhir umurnya ketika ia tiba di Baghdaad sebelum kematiannya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 206 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 224 no. 1144].
[40] Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850].
[41] Hisyaam bin Muhammad bin As-Saaib Al-Kalbiy Al-Kuufiy, Abul-Mundzir; seorang yang matruk, ekstrim dalam pemahaman tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 204 H/206 H [Al-Mu’jamush-Shaghiir bi-Ruwaati Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 612 no. 4783].
[42] Muhammad bin As-Saaib bin Bisyr bin ‘Amru bin Al-Haarits Al-Kalbiy, Abun-Nadlr Al-Kuufiy; seorang yang tertuduh berdusta, rafidliy. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 146 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 847 no. 5938].
[43] Muhammad bin Idriis bin Al-Mundzir bin Daawud bin Mihraan Al-Handhaliy, Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Haafidh; salah seorang huffaadh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 195 H, dan wafat tahun 277 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 824 no. 5755].
[44] Shaalih bin Abi Maryam Adl-Dluba’iy, Abul-Khaliil Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 448 no. 2903].
[45] Muhammad bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shan’aaniy Al-Qaisiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 868 no. 6100].
[46] Muhammad bin Tsaur Ash-Shan’aaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 190 H. Dipakai oleh Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 831 no. 5812].
[47] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[48] Bisyr bin Mu’aadz Al-Aqadiy, Abu Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 171 no. 709].
[49] Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy/At-Taimiy, Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 182 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1074 no.7764].
[50] Sa’id bin Abi ‘Aruubah Mihraan Al-‘Adawiy, Abun-Nadlr Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah haafidh, mempunyai banyak tulisan, akan tetapi banyak melakukan tadliis dan tercampur hapalannya (di akhir usianya). Ia orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 156 H/157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 384 no. 2378 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 97 no. 37].
Ibnu Hajar memasukkannya dalam thabaqah kedua perawi mudallis [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 50].
[51] Kisah ini sama sekali tidak menyebutkan pertaubatan Aadan dan Hawwaa’ dari kesyirikan yang telah diperbuatnya – Abul-Jauzaa’.
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لا يَبْلَى * فَأَكَلا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى * ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?". Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk” [QS. Thaha : 120-122].– Abul-Jauzaa’
Comments
kisahnya sangat bagus sekali nihhh
Dalam kitab-kitab tafsir Al Qur'an memang banyak kisah2 isroiliyat yang digunakan oleh ulama untuk menjelaskan ayat tersebut, mungkin hal ini mereka nukil karena rasa penasaran dan ingin lebih tahu tentang cerita-cerita yang ada dalam Al Qur'an. Asyaikh As-sa'di dalam tafsirnya awal2 surat Al Baqoroh telah melakukan kritik terhadap penyampain kisah isroiliyat yang seolah2 menjadi acuan dalam penafsiran Al Qur'an, oleh karena itu dalam kitabnya Syaikh As-sa'di menjauhi kisah2 isroiliyat yang belum terbukti kebenarannya. adapun yang terdapat dalam tafsir Ibnu katsir tentang kisah2 isroliyat, maka kebanyakan Al Hafidz Ibnu Katsir mengkritiknya bila tidak sesuai dengan syariat kita, mungkin juga kitab tafsir terbaik lainnya yang sedikit memuat isroiliyat adalah Maailmut Tanzil karya Al Baghowi sebagaimana ini direkomendasikan Oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk dipelajari.
kita tunggu dari antum untuk pembersihan tafsir2 Al qur'am yang menyimpang.
Ustadz,
Tentang hadits "lawlal hawwa', lam takhun untsa zaujahu qattu", bisa dijelaskan syarahnya? Dalam kondisi seperti apa kalimat "Lau -seandainya" boleh digunakan?
Syukran
Haditsnya :
وَلَوْلَا حَوَّاءُ لَمْ تَخُنَّ أُنْثَى زَوْجَهَا
"Seandainya bukan karena Hawaa', para wanita tidak akan mengkhianati suaminya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Ahmad, dan yang lainnya].
Dalam hadits tersebut terdapat isyarat pada apa yang terjadi pada Hawwaa'dalam bujukannya kepada Aadam untuk memakan pohon (hingga ia memakannya). Makna khianat dalam hadits tersebut adalah penerimaannya terhadap bujukan/rayuan ibliis hingga kemudian ia membujuk Aadam.
Konteks law (لو) dalam hadits tersebut merupakan pemberitaan/khabar saja, dan ini diperbolehkan. Tentang batasan-batasannya, silakan dibaca :
http://ustadzmuslim.com/seandainya/.
Posting Komentar