Tanya : Apakah
ada perbedaan antara adzab kubur dan fitnah kubur ?
Jawab : “Ya (ada perbedaan). Adzab (kubur) adalah diadzab dan dipukulnya manusia (di dalam kuburnya),
serta dibukakan baginya pintu neraka. Adapun fitnah (kubur) adalah cobaan dan ujian.
Maka, datanglah malaikat Nakiir dan Munkar kepadanya yang akan mengujinya
dengan pertanyaan : ‘Siapakah tuhanmu ? Apa agamamu ? Siapakah
nabimu ?’. Kemudian datanglah hukuman setelah itu. Ia diberikan fitnah
dengan adanya pertanyaan, kemudian ia diadzab (karena tidak mampu menjawabnya).
Adzab adalah suatu hal, dan fitnah adalah hal yang lain. Adzab merupakan akibat/hasil
dari fitnah. Setelah diberikan fitnah, maka diadzab. Dan fitnah adalah ujian
yang menimpa baik mukmin maupun kafir. Seorang mukmin diberikan fitnah, lalu ia
berhasil melaluinya. Allah selamatkan ia sehingga mampu menjawabnya. Adapun
orang kafir, akan diberikan fitnah dan ia binasa (karenanya). Allah ta’ala berfirman
:
يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
‘Allah meneguhkan
(iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan
memperbuat apa yang Dia kehendaki’ [QS. Ibraahiim : 27].
Kita mohon kepada Allah
agar Ia meneguhkan kami dan kalian dengan ucapan yang teguh”.
Tanya :
Apakah fitnah ini khusus diperuntukkan bagi umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wa sallam saja ?.
Jawab : Tidak,
fitnah itu umum bagi setiap orang. Allah ta’ala berfirman :
فَلَنَسْأَلَنَّ
الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
‘Maka sesungguhnya Kami
akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan
sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)’
[QS. Al-A’raaf : 6].
وَيَوْمَ
يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
‘Dan (ingatlah) hari (di
waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: "Apakah jawabanmu kepada para
rasul?” [QS. Al-Qashash : 65]”.
** Dari pertanyaan yang
diajukan kepada Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy hafidhahullah **
[selesai – sumber : sini].
Comments
ustad , tanya : adakah dalil yang menyatakan ada malaikat bernama Nakiir dan Munkar , sukron.
Munkar dan Nakiir (المنكر والنكير)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالْآخَرُ النَّكِيرُ فَيَقُولَانِ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولَانِ قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ نَمْ فَيَقُولُ أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِي فَأُخْبِرُهُمْ فَيَقُولَانِ نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ الَّذِي لَا يُوقِظُهُ إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مُنَافِقًا قَالَ سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ فَقُلْتُ مِثْلَهُ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ فَيُقَالُ لِلْأَرْضِ الْتَئِمِي عَلَيْهِ فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ فَتَخْتَلِفُ فِيهَا أَضْلَاعُهُ فَلَا يَزَالُ فِيهَا مُعَذَّبًا حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Jika salah seorang dari kalian dikuburkan, maka akan datang kepadanya dua malaikat yang hitam dan kedua mata mereka biru. Salah satunya bernama Munkar dan yang lainnya bernama Nakiir. Keduanya bertanya : 'Apakah pendapatmu mengenai lelaki ini ?'. Lalu dia menjawab sebagaimana yang pernah dikatakan dahulu : 'Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya'. Keduanya berkata : 'Kami sudah mengetahui bahwa kamu akan mengucapkan demikian'. Kemudian kuburnya dilapangkan seluas tujuh puluh hasta dikali tujuh puluh hasta. Lalu diterangi dan dikatakan kepadanya : 'Tidurlah'. Dia berkata : 'Biarkanlah aku kembali kepada keluargaku untuk mengabarkan kepada mereka'. Keduanya berkata : 'Tidurlah seperti pengantin yang tidak dibangunkan kecuali oleh orang yang paling dia cintai'. Hingga Allah membangkitkannya dari tempat tidurnya. Adapun seorang munafik berkata : 'Aku hanya mendengar orang-orang mengatakanya lalu aku ikut mengatakannya. Aku tidak tahu’. Keduanya berkata : 'Kami sudah tahu mengatakan demikian’. Lalu dikatakan kepada bumi : 'Himpitlah dia !'. Lantas bumi menghimpitnya hingga persendiannya hancur. Dan dia terus diadzab di dalamnya hingga Allah membangkitkan dari tempat tidurnya" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1071; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/544].
Baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/nama-nama-malaikat.html
Ustadz tentang himpitan kubur, apa ini termasuk fitnah kubur?
Berdasarkan hadits, ttg seorang shahabat, yang mana Rasulullaah bersabda: "seandainya ada yang selamat dari himpitan kubur, maka (shahabat itulah) yang selamat darinya. (Akan tetapi ia tetap mengalaminya)"
Demikian juga riwayat lain "pastilah bayi selamat darinya"
Bagaimana dengan kedua riwayat tersebut ustadz? Dan bagaimana penjelasan ulamaa ttgnya..
Berdasarkan penjelasan syaikh di atas, himpitan kubur bukan termasuk fitnah kubur.
Himpitan kubur dialami setiap orang di kuburnya. Ada yang membinasakannya, ada pula yang tidak membinasakannya. Himpitan kubur yang membinasakan, maka itu termasuk bagian dari adzab kubur. wallaahu a'lam.
jika ada waktu luang, tolong bahas syubhat di blog ini
http://syabab1924.blogspot.com/2010/09/penjelasan-lurus-bagi-mereka-yang-jahil.html
jazakallahu khairan
Sebenarnya hujjah yang bersangkutan adalah bahasan tentang hadits ahad dan mutawatir. Adapun bahasan siksa qubur hanyalah ikutan saja.
Yang bersangkutan banyak menukil perkataan ahli ushul mutakallimiin (ahli kalam). Ada pula yang bersangkutan menukil perkataan ulama Ahlus-Sunnah, namun tidak sempurna. Misalnya perkataan Ibnu 'Abdil-Barr yang ia nukil :
واختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل هل يوجب العلم والعمل جميعا، أم يوجب العمل دون العلم؟ والذي عليه كثر أهل العلم منهم - أي المالكية - أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه والنظر ولا يوجب العلم عندهم إلا ما شهد به على الله وقطع العذر بمجيئه قطعا ولا خلاف فيه
"Para ulama madzhab kami dan ulama-ulama lain berbeda pendapat mengenai khabar ahad yang adil (shahih), apakah ia wajib diyakini dan diamalkan secara bersamaan, atau hanya wajib diamalkan namun tidak wajib diyakini? Pendapat yang dipegang oleh ahli ilmu, diantaranya adalah ulama-ulama madzhab Maliki, adalah hadits ahad wajib diamalkan, tetapi tidak menghasilkan keyakinan. Ini juga merupakan pendapat Imam Asy Syafi'i dan mayoritas ahli fikih dan tahqiq. Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu kecuali yang disaksikan Allah swt, telah lenyap halangan (kesamaran) secara pasti, dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya". [Al-Hafidz Ibnu 'Abdil Baar, al-Tamhiid, juz 1/7].
Perhatikan penerjemahan :
والذي عليه كثر أهل العلم منهم - أي المالكية - أنه يوجب العمل دون العلم
yang diterjemahkan : "Pendapat yang dipegang oleh ahli ilmu, diantaranya adalah ulama-ulama madzhab Maliki, adalah hadits ahad wajib diamalkan, tetapi tidak menghasilkan keyakinan".
Padahal yang benar adalah : "Bahwasannya hadits ahad itu mengkonsekuensikan amal, bukan mengkonsekuensikan ilmu".
Dan perkataan Ibnu 'Abdil-Barr setelah itu adalah (yang tidak ia kutip) :
قال أبو عمر: الذي نقول به أنه يوجب العمل دون العلم، كشهادة الشاهدين والأربعة سواء، وعلى ذلك أكثر أهل الفقه والأثر، وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات، ويعادي ويوالي عليها، ويجعلها شرعا ودينا في معتقده، على ذلك جماعة أهل السنة
"Berkata Abu 'Umar (yaitu Ibnu 'Abdil-Barr) : Yang kami katakan adalah bahwasannya khabar ahad itu mengkonsekuensikan/menghasilkan amal, bukan ilmu, seperti persaksian dua orang dengan empat orang adalah sama. Itulah yang menjadi pegangan jumhur ahli fiqh dan atsar. Semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-Sunnah” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
selengkapnya, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hadits-ahad-dan-hadits-mutawatir.html.
Penjelasan ringkas dan mudah tentang hadits ahad dan mutawatir adalah seperti es itu dingin dan api itu panas. Pernyataan ini sudah aksiomatik, tidak perlu penelitian. Dapat diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak berilmu. Oleh karena itu, ini disebut ilmu dlaruriy. Lain halnya dengan - misalnya - pernyataan bahwa si Amir mempunyai golongan darah A. Maka tidak ada yang dapat mengetahuinya melainkan dengan adanya penelitian. Barangsiapa yang mempunyai ilmu dan kemudian melakukan penelitian tentang kondisi darah si Amir, maka ia baru bisa mengetahui golongan darah si Amir. Dan barangsiapa dengan ilmunya telah tahu bahwa si Amir mempunyai golongan darah A, maka ia pun meyakininya. Sama halnya dengan kondisi yang pertama. Hanya saja, kondisi kedua ini membutuhkan ilmu dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, ini disebut ilmu nadhariy.
Sama halnya dengan hadits ahad. Ia baru diketahui ketsubutannya jika telah dilakukan penelitian. Makanya itu, jika telah disepakati keshahihannya (tentu saja kesepakatn ulama hadits), maka ia wajib diterima sebagaimana hadits mutawatir. Tidak ada bedanya antara 'aqidah ataupun ahkam.
Bahkan orang yang mengatakan membedakan antara mutawatir dan ahad itu pun akahirnya akan kembali pada khabar ahad. Misalnya jika orang Hizbut-Tahrir itu mengatakan bahwa hadits ini mutawatir, hadits itu ahad. Maka ujung-ujungnya akan kembali pada khabar ahad, yaitu merujuk perkataan seorang atau lebih ulama hadits (yang mengatakan mutawatir). Ini persis seperti penjelasan masyhur tentang seorang da'i yang berdakwah ke Jepang yang kemudian bicara masalah ini. Kemudian salah seorang jama'ah berkata : "Jika memang hadits ahad tidak boleh dipegang dalam masalah 'aqidah, lantas bagaimana kita bisa memegang perkataan Anda yang sedang berbicara 'aqidah ?".
wallaahul-musta'aan....
Hanif
Assalamu'alaikum Ust.
afwan, sebaiknya kita tidak bisa berlandaskan pada pendapat/logika mantiq orang jepang tersebut..
perlu diketahui bahwa penetapan/'itiqod riwayat ahad atau mutawattir itu hanya terjadi dimasa para shahabat-salaf as sholeh saja...seperti ketika para shahabat mengumpulkan dan menetapkan (itsbat khabar) al qur'an dimasa khalifah Abu Bakar as shiddiq RA.
menurut hemat saya, logika org jepang tersebut yg dipakai sebagaimana yang dinukil oleh as syeikh al bani rahimahulloh di salah satu tulisannya..adalah keliru
sebuah isi penyampaian (tabligh) aqidah yang telah terbukti pasti atau nash al qur'an yang terbukti mutawatir walaupun itu disampaikan hanya seorang saja pada saat ini, tetap saja itu mutawatir.
begitupun sebaliknya.
sebuah isi penyampaian (tabligh khabar) aqidah yang Tidak terbukti pasti (zhan) atau nash al qur'an yang hanya terbukti ahad walaupun itu disampaikan ribuan orang pada saat ini. tidak sekonyong-konyong berubah menjadi ahad.
mungkin Ust. dalam hal ini harus jeli membedakan tabligh khabar dan itsbat khabar.
untuk lebih dalam jauh pembahasan mengenai khabar mutawatir-ahad, tabligh khabar dan itsbat khabar.
silahkan baca di:
http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/kedudukan-khabar-ahad-dalam-masalah-aqidah/
dan mungkin Ust. mau berdiskusi sama beliau (Ust. Taufik N.T)dalam masalah tersebut..silahkan saja masuk, beliau siap tuk berdiskusi //
Saudara Taufik NT. itu sebenarnya hanyalah mengembangkan pemikiran dari Taqiyyuddiin An-Nabhaniy dalam kitab Asy-Syakhsiyyah saja.
Apakah menurut antum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'aadz ke Yaman hanya untuk menggugurkan kewajiban tabligh risalah saja dan tidak bertujuan agar penduduk Yaman beriman terhadap risalah beliau ?. Coba Anda perhatikan lagi pesan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada Muaadz :
إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ وأني رسول الله، فإن هم أطاعوك لذلك فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة
“Sesungguhnya kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari apa yang kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah – dalam lain riwayat : ajakan untuk mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari dan semalam…..” [Muttafaqun ‘alaih].
Apakah menurut Anda, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak menghendaki keimanan mereka akan 'aqidah bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar selain Allah ?.
Memang benar kata Anda, saya sampai saat ini belum bisa memahami pembedaan tabligh khabar dan itsbat khabar dalam masalah ini, karena saya belum pernah membacanya dari kitab para ulama selain teologi dari Hizbut-Tahriir.
Sekarang jika saya tanya kepada Anda, atau coba Anda tanyakan kepada ustadz Anda : "Dari mana Anda tahu bahwa satu hadits dikatakan mutawatir atau tidak ?".
Mungkin Anda akan menjawab : Dari penjelasan Ibnu Hajar, atau dari penjelasan Syamsuddin Ramadlan. Tahukah Anda akan konsekuensi jawaban ini ?. Pada saat itulah Anda berpegang pada khabar ahad, karena Anda hanya menyandarkan pada perkataan satu orang saja. Dalam permasalahan agama yang semacam ini tidaklah bisa dihindari.
Oleh karena itu, logika yang dibangun oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy rahimahullah yang kemudian diikuti oleh pengikutnya sangatlah rapuh. Bahkan kalau Anda membaca kitab Taqiyuddin yang membahas tentang masalah 'aqidah dan kemudian Anda percayai itu, maka saat itu pun Anda berpegang pada khabar ahad.
Oleh karena itu, perkataan Anda :
"sebuah isi penyampaian (tabligh) aqidah yang telah terbukti pasti atau nash al qur'an yang terbukti mutawatir walaupun itu disampaikan hanya seorang saja pada saat ini, tetap saja itu mutawatir"
menunjukkan Anda itu tidak paham apa makna khabar ahad dan mutawatir menurut ulama hadits dan ushul.
Silakan baca :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hadits-ahad-dan-hadits-mutawatir.html.
hanif,
ada baiknya kita tak berprasangka dulu kepada pihak lain dalam menyampaikan suatu ide/pemikiran..dengan berkesimpulan bahwa mereka hanya mengembangkan pemikiran Syeikh Taqi, kalau seperti itu..orang lain pun bisa mengatakan hal yang sama bahwa Ust. juga hanya mengembangkan pemikiran logika Syeikh al Bani.
saya kira ini tidak boleh dilakukan,,yang perlu dlihat adalah dalil yang dianggap kuat yang tentunya berkesesuaian dengan pemahaman para shahabat radhiyallahu 'anhu, dan para ulama yang terpercaya.
Ust. mengatakan:
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'aadz ke Yaman hanya untuk menggugurkan kewajiban tabligh risalah saja dan tidak bertujuan agar penduduk Yaman beriman terhadap risalah beliau ?
memang benar, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'aadz ke Yaman dan juga bertujuan agar mereka beriman kepada risalan beliau saw.
Akan tetapi, kasus semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak bisa dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Dalilnya adalah sebagai berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu.
Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu.
Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat.
Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum. Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah,
sebagaimana pemahaman para shahabat ra terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima. Shahabat ‘Umar ra pernah menolak tabligh khabar dari Hafshah ra.
Demikian juga para shahabat yang lain, ketika pengumpulan dan menetapkan al qur'an, dimasa khalifah Abu bakar as siddiq RA, tidak menerima riwayat yg disampaikan secara ahad.
Catatan:
Itsbat khabar adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti.
Tabligh adalah menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian).
Tabligh akan terjadi hingga akhir masa; sedangkan
Itsbat atau Penetapan sebuah berita, apakah mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in).
hanif,
mungkin Ust.buka di http://mtaufiknt.wordpress.com/2011/01/27/metode-penetapan-aqidah/
disitu beliau menjelaskan bagaimana penetapan/itsbat aqidah mengenai riwayat mutawati dan ahad.
hanif,
Ust, mengatakan:
Oleh karena itu, logika yang dibangun oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy rahimahullah yang kemudian diikuti oleh pengikutnya sangatlah rapuh. Bahkan kalau Anda membaca kitab Taqiyuddin yang membahas tentang masalah 'aqidah dan kemudian Anda percayai itu, maka saat itu pun Anda berpegang pada khabar ahad.
akan tetapi menurut al Imam an Nawawi rahimahulloh dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19 s/d 21, terbitan Dâru Ihyâit Turots Al ‘Araby.
justru yang berpegang sebagaimana pendapat Syeikh Taqi diatas adalah yg paling terkuat.
ini kutipannya:
“Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. PENDAPAT YANG DIPEGANG OLEH MAYORITAS KAUM MUSLIM DARI KALANGAN SHAHABAT DAN TABI’IIN, DAN KALANGAN AHLI HADITS, FUKAHA, DAN ULAMA USHUL YANG DATANG SETELAH PARA SHAHABAT DAN TABI’UN ADALAH: KHABAR AHAD (HADITS AHAD) YANG TSIQAH ADALAH HUJJAH SYAR’IY YANG WAJIB DIAMALKAN, DAN KHABAR AHAD HANYA MENGHASILKAN DZANN, TIDAK MENGHASILKAN ILMU (KEYAKINAN). WAJIBNYA MENGAMALKAN HADITS AHAD, KITA KETAHUI BERDASARKAN SYARIAT, BUKAN KARENA AKAL….Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas….Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb?” Wallahu a’lam bish shawab
Selanjutnya beliau (Imam Nawawi) membantah pendapat Ibnu Sholah (salah seorang ulama yang Ust jadikan rujukan sebagaimana yang ada dikiriman komentar link artikel Ust. diatas :
ini kutipan bantahan al Imam an Nanawai terhadap al Imam ibnu Sholah:
Pendapat ini – yang disebutkan oleh Ibnu Sholah tentang (hadits) Bukhory dan muslim dalam tema pembahasan ini – menyalahi pendapat para ahli tahqiq dan jumhur ulama, mereka mengatakan: hadits – hadits dalam kitab shohihain yang tidak mencapai derajat mutawatir SESUNGGUHNYA HANYA MENGHASILKAN DZON, maka sesungguhnya ia hadits ahad, dan hadits ahad sesungguhnya hanya berfaedah dzon, tidak ada bedanya dalam masalah ini antara (hadits) Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya. SEDANGKAN APA YANG DIJUMPAI BAHWA UMAT MENERIMA (KHABAR AHAD DALAM BUKHARI MUSLIM) SESUNGGUHNYA HANYA BERFAEDAH AKAN WAJIBNYA ‘AMAL dengan apa –apa yang ada dalam keduanya (yakni shahih Bukhory – Muslim)
-selesai-
Saya tidaklah berprasangka, karena saya sudah membaca kitab Asy-Syakhsiyyah. Anda sudah baca belum ?. Kalau belum baca, ya wajar kalau berkata begitu. Garis besarnya sama. Bahkan pengambilan sebagian referensinya pun hampir sama. Adapun yang saya tuliskan di atas, memang benar sebagian dari penjelasan Syaikh Al-Albaaniy. Akan tetapi itu apa yang yang beliau sampaikan itu dah jamak ada di kitab-kitab ulama sebelum Syaikh Al-Albaaniy.
Coba terangkan kepada saya dulu apa yang dimaksud khabar ahad dan mutawatir. Ini esensinya. Kalau Anda tidak paham, bagaimana Anda bisa berbicara kesana dan kemari untuk sekedar mengatakan : khabar ahad tidak diterima dalam masalah 'aqidah ?.
Seandainya Anda paham benar inti apa itu khabar ahad dan khabar mutawatir, maka insya Allah Anda akan tahu keganjilan pendapat saudara-saudara saya Hizbut-Tahriir. Anda menyampaikan hujjah atau informasi kepada saya ini, di sisi saya, merupakan khabar ahad. Penjelasan saudara Ustadz Taufik itu, di sisi saya, juga merupakan khabar ahad.
Sudah saya katakan di atas bahwasannya saya senantiasa gagal dalam memahami pendalilan orang Hizbut-Tahrir dalam teori tabligh risalah tidak harus mengkonsekusikan penerimaan khabar ahad. Bisa saya pahami, namun disertai dengan kejanggalan dan kepincangan. Selain itu, saya belum pernah membaca referensi manapun dari kalangan Ahlus-Sunnah, dulu dan sekarang, kecuali dari buku Hizbut-Tahriir.
Sangatlah aneh menurut saya jika Anda berpendapat bahwa penduduk tidak ada kewajiban untuk menerima dakwah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mereka meyakini dakwah ketauhidan yang disampaikan oleh Mu'aadz, hingga datang orang-orang dalam jumlah yang mencapai persyaratan mutawatir. Sungguh aneh....
Anda pernah mendengar kisah Kisra' yang menolak seruan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh 'Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmiy ? dan bahkan ia (Kisraa') merobek surat yang diantar 'Abdullah ?. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?.
Kisah ini merupakan satu pelajarn bahwa tabligh risalah itu merupakan dalil mesti diterimanya khabar ahad dalam semua perkara agama.
Seandainya Anda membedakan hadits ahad hanya diterima pada masalah ahkaam dan tidak diterima dalam masalah 'aqidah; maka pernyataan ini adalah sangat aneh.
Berikut ringkasnya :
1. Setiap hukum amaliy, tidak bisa tidak mesti diikuti dengan 'aqidah; yaitu 'aqidah bahwa Allah memerintahkan atau melarang kita untuk melakukannya. Seperti halnya perkataan seseorang : "Air ini suci, bisa Anda pergunakan untuk berwudlu". Ketika Anda membenarkannya dan kemudian mengamalkannya (berwudlu dengan air itu), maka bersamaan dengan itu pula Anda berkeyakinan (beraqidah) bahwa air itu adalah suci. Keyakinan Anda bahwa akan kesucian atau kenajisan air untuk berwudlu merupakan bagian dari agama, yang terbangun atas khabar ahad. Anda mungkin pernah mengamalkannya, namun tidak menyadarinya bahwa realitas itu menyalahi prinsip yang Anda yakini.
Permasalahan ahkam seperti ini banyak. Oleh karena itu, permasalahan seperti ini menuntut adanya i'tiqad akan tetapnya hukum syar'iy, apakah ia halal, haram, mubah, wajib, atau sunnah. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Ibnu 'Abbaas berikut :
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
Datang seorang A'rabiy (Arab badui) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata : "Sesungguhnya aku telah melihat hilaal (bulan sabit)". Al-Hasan (perawi) dalam haditsnya mengatakan : yaitu hilal Ramadlan. Kemudian beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata : Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?". Ia berkata : "Ya". Beliau berkata : "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?". Ia berkata : "Ya". Beliau berkata : "Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok" [HR. Abu Daawud no. 2340 & 2341, Ibnu Maajah no. 1652, dll; shahih].
Lihatlah spontanitas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang langsung merespon kesaksian satu orang yang telah melihat hilal Ramadlan. Apakah Anda pikir beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika memerintahkan Bilaal untuk mengumumkan berpuasa tidak disertai keyakinan bahwa yang disampaikan orang itu benar ?. Apakah Anda pikir para shahabat yang mendengar pengumuman Bilal dan kemudian esok harinya mereka berpuasa tidak disertai keyakinan bahwa esok hari memang bulan Ramadlan ?. Jika Anda menjawab tidak, maka inilah yang tidak saya mengerti.
2. Berhukum dengan syari'at Allah meskipun dhahirnya adalah 'amaliyyah, maka sebenarnya juga 'ilmiyyah, yaitu disertai adanya i'tiqad (keyakinan). Keyakinan itu ada sebelum dan bersamaan dengan amalan. Misalnya dalam hadits :
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Apabila salah seorang diantara kalian tasyahud, hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara dan berdoa "ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WAMIN 'ADZAABIL QABRI WAMIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WAMIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAL (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam dan siksa kubur, dan fitnah kehidupan dan kematian, serta keburukan fitnah Masihid Dajjal)" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 588].
Seandainya Anda mengamalkan hadits ini dan berdoa dengannya di akhir tasyahud, namun Anda tidak berkeyakinan (beri'tiqad) dengan keberadaan adzab kubur dan fitnah Dajjaal; maka hal yang Anda kerjakan itu bukanlah ibadah yang disyari'atkan dan tidaklah bernilai ibadah, karena Anda tidak meyakini sesuatu yang Anda kerjakan dan ucapkan.
3. Allah ta'ala telah menegaskan akan adanya penerimaan perkataan ahli ilmu (ulama) meskipun hanya satu orang tanpa membedakan perkara 'aqidah ataupun ahkaam :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
4. Seandainya 'aqidah ini hanya boleh diterima dengan adanya khabar yang mutawatir, maka itu cukup menjadi dalil bagi kaum musyirik dahulu (dan juga kita - na'uudzubillahi min dzaalik) untuk tidak menerima dan tidak meyakini risalah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam; sekaligus tidak kafirnya mereka dengan sebab itu. Anda tahu apa sebabnya ?. Ya, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam diutus kepada umatnya dalam keadaan ahad. Yang beliau sampaikan kepada umatnya adalah khabar ahad.
[Kata Anda, penolakan khabar Ahad tidaklah dapat mengkonsekuensikan kekafiran, karena yang menyebabkan kekafiran adalah jika menolak khabar yang qath'iy, dan khabar qath'iy menurut Anda adalah yang mutawatir]
5. Pendapat bahwa khabar ahad tidak diterima dalam masalah 'aqidah tidaklah dikenal di masa salaf. Satu di antara banyak contoh yang dapat saya tuliskan adalah hadits :
عَنْ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ وَأَبَا طَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيخِ زَهْوٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ قُمْ يَا أَنَسُ فَأَهْرِقْهَا فَأَهْرَقْتُهَا
Dari Anas bin Malik radliallaahu 'anhu dia berkata : Aku pernah menuangkan minuman dari fadlih (minuman keras dari perasan kurma muda) dan tamr (minuman keras dari perasan kurma kering) kepada Abu 'Ubaidah, Abu Thalhah, Ubay bin Ka'b. Tiba-tiba seseorang datang sambil berkata : "Sesungguhnya khamr telah diharamkan". Lantas Abu Thalhah berkata : "Wahai Anas, bangunlah dan tumpahkanlah!". Maka aku pun menumpahkan khamr tersebut [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Hadits ini berkenaan dengan turunnya ayat pengharaman khamr. Apakah Anda lihat Abu Thalhah menunggu persaksian orang banyak sebelum ia menumpahkan khamrnya ?. Apakah Anda pikir ketika Abu Thalhah memerintahkan Anas menumpahkan khamrnya tidak berkeyakinan (beri'tiqad) bahwa khamr itu benar-benar telah diharamkan berdasarkan pengkhabaran satu orang yang datang kepada mereka ?.
dan yang lainnya.....
Saya tidak pernah menafikkan bahwa para ulama Ahlus-Sunnah berbeda pendapat apakah khabar ahad itu memberikan faedah ilmu ataukah dhann. Klaim bahwa khabar ahad memberikan faedah dhann saja, maka itu adalah jumhur muta'akhkhirin. Adapun jumhur mutaqaddimiin, maka mereka berpendapat bahwa khabar ahad memberikan faedah ilmu.
Namun mereka semua bersepakat bahwa khabar ahad yang shahih wajib untuk diamalkan, baik dalam perkara 'aqidah maupun ahkaam. Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جميع أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-Sunnah” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqh dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Meskipun Anda dan rekan-rekan HT lain mencuplik perkataan An-Nawawiy (bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dhann ghalib yang berfaedah amal, bukan ilmu), maka penerapan An-Nawawiy dengan Anda tidaklah sama. Sederhana saja,... coba bawakan perkataan beliau yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dal;am masalah 'aqidah.
Adapun beliau sendiri dalam berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah 'aqidah. Misalnya tentang hadits kafirnya orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [Shahih Muslim no. 203]. Beliau menjelaskan : “Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H].
Inilah adalah satu bentuk pengambilan hujjah beliau dengan hadits ahad dalam masalah ''aqidah.
Proses penelitian yang dilakukan terhadap khabar ahad tidaklah harus mengkonsekuensikan bahwa khabar itu harus mutawatir. Bahkan seandainya kita telah meyakini dengan pasti bahwa orang yang menyampaikan khabar itu adalah terpercaya (tsiqah), maka khabar itu diterima tanpa melakukan penelitian lebih lanjut (meskipun tidak mencapai persyaratan mutawatir). Allah ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" [QS. Al-hujuraat : 6].
Mafhum ayat adalah : Jika yang datang membawa khabar kepada kita bukan orang fasik (baca : tsiqah), maka boleh untuk tidak bertabayyun.
Itu saja yang dapat saya tanggapi secara singkat. Adapun nukilan-nukilan pendapat dan riwayat dalam tulisan saudara Taufik yang Anda link-an, sangat-sangat layak untuk dikritisi. Terlebih lagi disebagian analisanya yang cenderung (maaf) 'ngaco'. Contoh kecil : Ia katakan bahwa syakk itu merupakan bagian dari pembenaran namun masih ragu-ragu. Juga dengan wahm. Ini benar-benar aneh. Saya tadak tahu, apakah saudara Taufik ini mengerti benar bahasa Arab ataukah tidak. Tashdiq itu kebalikan dari syakk. Dan seterusnya....
Yang saya tulis di sini tidak lebih dari sekedar pemaparan dalil dan ajakan untuk bernalar secara sehat dalam memahami dalil secara ringkas.
Wallaahu a'lam.
Sebagai tambahan,... ada cara logika yang aneh yang dikemukakan oleh saudara Taufik ini. Ia menyikapi perkataan para ulama mutaqaddimiin yang menyatakan bahwa hadits ahad merupakan hujjah dalam perkara agama (atau semisalnya) dengan pertanyaan :
"Dibagian mana dalam kutipan yang antum sampaikan yang menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah???".
Ini kan aneh namanya. Perkataan mutlaq itu tetap dalam kemutlakannya hingga datang keterangan yang mentaqyidnya. Justru yang dituntut untuk mendatangkan dalil itu adalah saudara Taufik. Kok malah dibalik dengan pertanyaan di atas.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد.....
“Seandainya diperbolehkan bagi seseorang awam untuk mengatakan sesuatu dalam pembahasan ilmu khusus : ‘Kaum muslimin telah bersepakat dulu dan sekarang atas tetapnya khabar wahid (hadits ahad) dan berhenti di atasnya (yaitu menjadikannya hujjah)’; dimana ia tidak mengetahui seorangpun dari fuqahaa kaum muslimin yang menetapkannya, maka hal itu diperbolehkan menurutku [18]. Akan tetapi aku katakan : “Tidaklah aku menghafal dari fuqahaa kaum muslimin bahwa mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i, hal. 154; Maktabah Sahab]
فلا يجوز عندي عن عالم أن يثبت خبر واحد كثيرا ويحل به ويحرم ويرد مثله إلا من جهة أن يكون عنده حديث يخالفه أو يكون ما سمع من سمع منه أوثق عنده ممن حدثه خلافه أو يكون من حدثه ليس بحافظ أو يكون متهما عنده أو يتهم من فوقه ممن حدثه أو يكون الحديث محتملا معنيين فيتأول فيذهب إلى أحدهما دون الآخر
“Menurut pandanganku, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad, kemudian ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi ia juga menolak hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayatnya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dari orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda [19], atau orang yang meriwayatkannya bukan hafidh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua makna sehingga di-ta’wil dan salah satu maknanya diambil”. [idem].
Perkataan beliau itu mutlak, tidak dibatasi dengan pembagian ahkam atau aqidah.
Madzhab Al-Imaam Ahmad, dapat dilihat dari riwayat Hanbal bin Ishaaq dari perkataan Ahmad :
إِنَّ اللَّهَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى، يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا " وَاللَّهُ يُرَى " وَأَنَّهُ يَضَعُ قَدَمَهُ " وَمَا أَشْبَهُ بِذَلِكَ، نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلا كَيْفَ وَلا مَعْنَى ! وَلا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا قَالَهُ الرَّسُولُ، صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ إِذَا كَانَتْ بِأَسَانِيدَ صِحَاحٍ
"Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta'ala turun ke langit dunia, Allah kelak akan dilihat (di akhirat), Allah meletakkan kaki-Nya, dan yang semisalnya dari hadits-hadits; maka kami mengimaninya, membenarkannya, tidak menanyakan kaifiyatnya, tidak memaknainya (dengan makna-makna yang bathil), dan tidak menolak satu pun darinya. Kami mengetahui bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah benar jika berasal dari sanad yang shahih" [Ibthaalut-Ta'wiilaat oleh Abu Ya'laa].
Anda dapat perhatikan bahwa Imam Ahmad dalam membangun keimanannya dari hadits-hadits hanya mempersyaratkan keshahihan sanadnya saja.
Madzhab Maalik bin Anas,... Ketika beliau membawakan hadits :
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik dari seorang laki-laki shalih adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".
Ada seseorang yang berkata kepada beliau : "Apakah itu berlaku bagi mimpi setiap orang ?". Beliau berkata : "Apakah dengan perkara nubuwaah dapat untuk bersenda-gurau ?" [Fathul-Maalik bi-Tabwiibit-Tamhiid li-Ibni 'Abdi;-Barr 'alaa Muwaththa' Maalik, 10/224].
Perkataan beliau ini dapat dipahami bahwa beliau membenarkan dan meyakini hadits tentang ru'yaa (mimpi) tersebut - dan hadits itu masuk dalam katagori ahad.
Adapun perkataan Abu Haniifah, saya belum mendapati teks perkataannya, baik dalam riwayat atau penukilan. Hanya saja yang ada adalah penghikayatan bahwa madzhab beliau adalah khabar ahad hanya berfaedah amal, bukan ilmu.
Salam kenal Ustadz Abul Jauza......
Tentang hadits ahad, saya punya pandangan begini:
1. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk MEYAKINI kabar apapun (aqidah maupun yang lainnya) dari orang yang dia percayai (baik dari sisi hafalan, ketakwaan, dll.). Dan ini bisa kita lihat sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang terpercaya memberi kabar kepada kawannya, maka kawannya itu secara fitrah akan mempercayainya meski yang memberi kabar cuma satu orang. Oleh karena itulah para Sahabat Rasul dahulu senantiasa mempercayai kabar yang dibawakan oleh Sahabat yang lain meskipun yang mengabarkannya itu hanya satu orang.
Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata dalam Mukhtashor Ash Showaa’iq Al Mursalah (II/361-362), “Diantaranya adalah pengabaran para Sahabat, sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya. Mereka dahulu memastikan kabar yang disampaikan oleh salah seorang dari mereka dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berkata kepada orang yang mengabarkan hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, ‘Kabar engkau adalah ahad tidak menghasilkan ilmu sampai mutawatir dulu.’ Adapun tawaqufnya sebagian Sahabat sampai dikuatkan oleh yang lainnya tidak menunjukkan bahwa mereka melakukan itu karena kabar tersebut adalah kabar ahad. Akan tetapi, terkadang mereka memeriksa terlebih dahulu (kebenarannya) dan inipun sangat jarang terjadi. Tidak ada seorang pun Sahabat, tidak pula ahli Islam setelahnya, merasa ragu pada apa yang dikabarkan oleh abu Bakar Ash Shiddiq dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, tidak pula Umar, Utsman, Ali dan tidak pula Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar, Mu’adz bin Jabal, ‘Ubadah bin Ash Shomith, Abdullah bin Umar dan para Sahabat lainnya. Bahkan merekapun tidak meragukan pengabaran Abu Huroiroh padahal ia sering bersendiri pada kebanyakan hadits. Dan tidak pernah seorang pun dari mereka berkata suatu hari, ‘Kabarmu adalah ahad, tidak menghasilkan ilmu.’ Dan hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam lebih agung dalam dada-dada mereka dari melakukan perbuatan tersebut. Orang yang memberi kabar lebih agung dan lebih jujur di mata mereka untuk mengatakan perkataan tadi kepadanya. Dan salah seorang dari mereka apabila meriwayatkan sebuah hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam mengenai sifat Alloh, langsung mereka terima dan meyakini sifat tersebut secara pasti dan yakin, sebagaimana meyakini akan melihat Robb pada hari kiamat dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan mengajak bicara dan memanggil hamba-hamba-Nya dengan suara yang dapat didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat. Juga meyakini turunnya Allah Subahanhu wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, meyakini sifat tertawa, gembira, memegang langit dengan salah sati jari jemari-Nya, dan menetapkan kaki. Orang yang mendengar hadits-hadits ini dari orang yang mengabarkannya dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam atau dari Sahabat yang lain yang semakna dengannya, (ia langsung menerimanya). Ketika mendengar hadits-hadits itu dari orang yang adil dan jujur, tanpa merasa ragu kepadanya, dan terkadang diantara mereka ada yang memeriksa dahulu pada sebagian hadits-hadits hukum sampai menguatkan dengan periwayatan Sahabat lainnya. Sebagaimana Umar menguatkan riwayat Abu Musa dengan riwayat Abu Sa’id Al-Khudri. Demikian pula Abu Bakar menguatkan riwayat Al-Mughiroh bin Syu’bah dengan riwayat Muhammad bin Maslamah dalam masalah warisan nenek. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang memeriksa periwayatan hadits-hadits sifat Alloh. Bahkan, mereka sangat bersegera untuk menerima, membenarkan dan memastikan kandungannya serta menetapkan sifat dengan pengabaran orang yang mengabarkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan orang yang mempunyai sedikit perhatian terhadap sunnah saja akan mengetahui hal itu. Kalaulah bukan karena telah jelasnya perkara ini, tentu akan kami sebutkan lebih dari seratus riwayat.
Maka apa yang dijadikan sandaran oleh para penolak terhasilkannya ilmu dari kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang ahad) telah merobek ijma’ para Sahabat yang telah diketahui secara dhoruri. Demikian pula ijma’ Tabi’in dan para imam kaum Muslimin. Mereka (para penolak itu) telah menyetujui kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Rofidhoh dan Khowarij yang telah melanggar kehormatan ini dan diikuti oleh segelintir ahli ushul dan fuqoha yang sama sekali tidak mempunyai salaf (pendahulu) dari para imam kaum Muslimin. Bahkan para Imam tersebut dengan tegas bertentangan dengan mereka.” (Al-Adillah wasy Syawaahid (Edisi terjemah: Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah & Hukum), hal 81-83 karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali)
2. Dari penjelasan Ibnul Qoyyim di atas sudah cukup membuat kita yakin bahwa: Kabar dari satu orang yang terpercaya sudah cukup untuk menghasilkan keyakinan sehingga sudah cukup untuk membangun aqidah. Dan inilah yang dilakukan oleh para Sahabat Rasul dan juga generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka. Dari sini jelaslah kekeliruan HT yang mengatakan bahwa hadits ahad masih menghasilkan dugaan dan keyakinan hanya bisa dibangun oleh Al-Qur’an dan hadits mutawatir.
Jadi PENDAPAT YANG BENAR adalah: Hadits ahad yang shahih sudah cukup untuk menghasilkan keyakinan. Sebab, tidak akan mungkin ada seorang Muslim yang meragukan kabar dari Abu Bakar, atau Umar, Ali, dll. Ketika Abu Bakar menyampaikan berita kepada kawannya, pasti kawannya itu akan meyakininya. Tidak akan mungkin ada seorang pun di dunia ini, jika dia masih beriman kepada Allah dan hari akhir, yang meragukan kabar dari orang sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll.
3. Keyakinan bahwa “Hadits ahad yang shahih masih menghasilkan zhon (dugaan), belum dapat menghasilkan keyakinan” memberikan konsekuensi yang sangat berbahaya. Sebab orang yang berkeyakinan seperti ini sama saja dia mengatakan bahwa “Saya masih meragukan kabar dari satu orang, meskipun yang mengabarkannya itu adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, dll.”. Apakah hal ini bisa diterima oleh orang yang berakal ???
4. HT memiliki aqidah yang sangat aneh bin ajaib terkait hadits ahad yang shahih. HT dengan bangganya mengatakan “Adapun terhadap Hadits Ahad yang shahih, jika terkait syari’at wajib diamalkan, dan jika terkait keyakinan cukup dibenarkan.”
Subhanalloh!!! Adakah keyakinan yang lebih aneh dari keyakinan ini ???
Keyakinan ini sungguh sangat nyata kekeliruannya. Kenapa???
A. Apakah keyakinan seperti ini pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada para Sahabatnya ??? Apakah para Sahabat pernah mendakwahkan keyakinan aneh ini kepada generasi setelah mereka ??? Tidak pernah kita dapati Rasulullah dan para Sahabatnya menjelaskan keyakinan seaneh ini.
B. Siapakah ulamanya yang mempunya pendapat aneh seperti ini ??? Tolong bawakan satu saja ulama (dari kalangan Sahabat, Tabi’in, dan yang mengikuti jejak mereka) yang berpendapat aneh seperti ini ???
C. Keyakinan aneh ini memberi konsekuensi bahwa kaum Muslimin boleh memiliki aqidah yang berbeda dengan aqidahnya Rasulullah. Tentu saja ini tidak bisa diterima. Sebab dalam beraqidah, kita harus sama dengan Rosululloh. Jika Rosulloh mengimani sebuah perkara, maka kita pun wajib untuk mengimaninya.
Contohnya begini. Misalnya ada 1 orang, 2 orang, atau banyak sahabat mendapat kabar langsung dari Rosululloh tentang aqidah. Maka, mereka otomatis meyakininya karena mendapat berita langsung dari Rosululloh. Nah kemudian, para sahabat ini pulang ke rumahnya masing-masing untuk menyampaikan berita yang baru mereka dapat kepada istri dan anak-anak mereka. Maka, jika aqidah HT ini bisa diterima, berarti istri dan anak-anak mereka (para Sahabat) nggak boleh meyakini berita ini karena yang menyampaikan cuma satu orang. Mereka hanya boleh membenarkannya, tapi tidak boleh meyakininya. Nah, lho! Aneh banget kan??!! Berarti aqidah mereka jadi beda-beda. Yang satu yakin, sedang yang lain belom yakin. Misalnya yang satu yakin akan adanya azab kubur karena langsung dapet berita dari Rosululloh, tapi anak dan keluarganya nggak boleh yakin dulu karena yang nyampein berita cuma satu orang. Mungkinkah seorang Muslim memiliki aqidah yang berbeda-beda dalam satu permasalahan??? Sungguh aneh, tapi ada!
D. Jika memang aqidah HT ini benar, sekarang coba bawakan satu contoh hadits ahad yang shahih kepada saya!
Misalnya dibawakan hadits tentang azab kubur.
Maka saya tanya: Apakah Anda mengimani azab kubur?
Tentunya HT akan menjawab “Tidak”, karena haditsnya ahad.
Maka saya tanya lagi: Apakah Anda membenarkan hadits ini dan membenarkan azab kubur?
Tentunya HT akan menjawab “Membenarkan”, karena haditsnya shahih.
Maka saya tanya lagi: Kalau begitu Anda membenarkan RAsulullah memerintahkan ummatnya untuk berlindung dari azab kubur ?
Tentunya HT akan menjawab “Ya, membenarkan”, karena HT membenarkan hadits ini dan membenarkan adanya azab kubur, tapi tidak mengimaninya karena haditsnya ahad.
Maka saya tanya lagi: Apakah RAsulullah mengimani azab kubur?
Tentunya HT akan menjawab “MENGIMANI”, karena RAsulullah adalah sumber hadits dan mendapat wahyu langsung dari Allah dan Rasulullah tidak terikat dengan persyaratan hadits ahad.
Lah, kalau Rasullah saja mengimani, lalu kenapa Anda tidak mengimaninya ???? Aqidah siapa yang benar kalau begitu ??? Aqidah HT yang hanya membenarkan azab kubur ??? Atau aqidah RAsulullah yang MENGIMANI azab kubur ??? Lalu, aqidah siapakah yang harus kita ikuti ??????
10. Jika HT tetap bersikeras mengatakan bahwa hadits Ahad yang shahih masih menghasilkan zhon!
Maka saya katakan: Zhon menurut siapa ???? Zhon menurut Anda belum tentu zhon menurut saya. Zhon menurut si B, bisa jadi yakin menurut si C. Bisa jadi orang yang tidak kenal Abu Bakar Ash-Shiddiq akan meragukan berita darinya. Tapi bagi seorang Muslim yang mengenal Abu Bakar Ash-Shiddiq tentu tidak ada keraguan sedikitpun dalam dirinya terhadap setiap berita yang disampaikan oleh Abu Bakar. Apalagi berita itu menyangkut aqidah. Sebab, tidak ada seorang pun Sahabat yang berani menyampaikan berita aqidah yang dia masih meragukannya. PAsti yang disampaikannya itu adalah yang dia ketahui dan yakin benar berasal dari RAsulullah.
Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata dalam Mukhtashor Ash Showaa’iq Al Mursalah (II/432-433) membenarkan hakikat ini:”Adapun maqom yang ketujuh: Adalah bahwa sebuah dalil menghasilkan perkara yang zhon atau qoth’iy merupakan perkara yang bersifat nisbi (relatif) yang berbeda sesuai dengan pengetahuan orangnya, bukan sifat dalilnya itu sendiri. Perkara ini telah disepakati oleh orang-orang yang berakal. Terkadang menurut zaid telah qoth’iy sementara bagi Amru masih zhon. JAdi perkataan mereka bahwa kabar-kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih yang disepakati oleh ummat untuk diterima tidak menghasilkan ilmu (yakin) tapi hanya menghasilkan zhon adalah pengabaran tentang apa yang ada pada diri mereka, ketika mereka belum mencapai apa yang dicapai oleh Ahlus Sunnah berupa ilmu yang yakin. Maka perkataan mereka, ‘Kami belum mencapai ilmu yang meyakinkan’, tidak mengharuskan darinya peniadaan yang umum……”. (Al-Adillah, edisi terjemah hal. 34)
11. Aqidah HT yang menyatakan bahwa “Hadits ahad yang shahih hanya boleh dibenarkan, tapi tidak boleh diyakini/imani” telah menyalahi kaidah fikih.
Sebab kaidah fikih mengatakan “Al-Wasaa-il lahaa hukmul maqooshid”, sarana dihukumi sama seperti hukum tujuan. Jika tujuannya haram, maka sarana menuju tujuan juga haram.
Nah, jika MENGIMANI kabar dari hadits ahad yang shahih hukumnya haram, maka mestinya membenarkannya pun haram. SEbab, membenarkan merupakan sarana untuk mencapai keimanan.
Wallahu a'lam
Jika ada yang keliru mohon diluruskan ya ustadz....
Abu Muhammad
Hanif
Alhamdulillah..
syukran Ust. sudah mengetengahkan pendapatnya berikut dengan contoh-contoh hadits riwayat ahad yg diberikan, menurut saya cukup ilmiyah...bahwasanya khabar ahad bisa dijadikan dalil masalah aqidah.
saya melihat persoalan/perbedaannya bukan pada pengertian khabar mutawatir dan ahadnya Ust, karena semua pengertian yang disampaikan, secara umum sama.
yang menjadikan itu perbedaan adalah
apakah khabar ahad itu bisa menjadikan hujjah dalam masalah aqidah/keyakinan/Qoth’I atau tidak… atau Apakah khabar ahad bisa dijadikan untuk memvonis seseorang beriman atau kafir (kafir benaran Ust)…??? Disinilah letak Para syabab HT memahami seperti itu..
Berikut ini saya tampilkan beberapa contoh sikap para Shahabat radhiyallahu 'anhu dan para ulama mutaqaddim (salafusholeh), yang tidak menjadikan alqur’an /aqidah riwayat ahad dijadikan hujjah dalam perkara aqidah.
1. Sikap para Shahabat radhiyallahu 'anhu terkait riwayat ahad:
Sikap ini tercermin dalam sikap para sahabat ketika menulis dan membukukan al-Qur’an yang merupakan salah satu pangkal aqidah, dengan mensyaratkan yaitu: mereka mensyaratkan jumlah tertentu yang dapat mengantarkan kepada kepastian/keyakinan, yakni tiga orang (Zaid bin Tsabit dan dua orang lain yang menyaksikan, kadang-kadang Umar ra menggantikan posisi Zaid ra.
Berikut ini sebagian uraiannya :
Dari jalan Ibnu Sa’ad berkata, “Keduanya duduk dipintu masjid, dan tidaklah seorangpun yang membawa sesuatu dari al-Qur’an yang disaksikan oleh dua orang yang mereka inginkan, kecuali akan menulisnya. Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Yahya bin ‘Abd Al-Rahman bin Hâtib berkata, Umar berkata: ‘Siapa saja yang menyimpan sesuatu (al-Qur’an) dari Rasulullah, maka serahkanlah.’ Dan Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi. Ubaid bin Umair berkata, ‘Umar tidak menerima satu ayat dari kitabullah samai ada dua orang saksi yang menyaksikan’.” Dalam Shahih Bukhari dan Ibnu Abu Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, “Ketika kami menulis mushaf, saya kehilangan sebuah ayat dari Khuzaimah bin Tsabit ‘Minal mukminin rijâlun’, sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi, Rasulullah Saw membolehkan persaksian dengan saksi dua orang.”
hanif,
lanjutan:
Imam Al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashanif dan Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Zuhri dalam hadits panjang saat pengumpulan al-Qur’an, disana disebutkan, “Abu Bakar ra memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Qur’an agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul mukminin berkata, ‘Jika kalian sampai pada ayat ini, beritahulah aku!’ …Hafidzu ‘ala al-shalawat wa al-sahalaat al-wustha… Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah, Hafshah berkata, ‘Tulislah …Hafidzu wa al-shalat al-wustha wa al-shalat al-‘ashr… Umar ra bertanya, ‘Apakah kamu punya saksi?’ Hafshah menjawab, ‘Tidak’ Umar berkata, ‘ Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedang ia tidak punya saksi’.”
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha’, dan Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra berkata, “Telah turun ayat tentang 10 kali (isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian kami hapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah Saw meninggal, sedangkan beliau (‘Aisyah) menyatakan ia adalah al-Qur’an.” Namun tak seorang sahabat yang memperhatikan riwayat ini dan merekapun tidak menulisnya didalam mushaf Imam. Al-Mazâriy berkomentar atas khabar dari ‘Aisyah ra tersebut, “Tidak ada hujjah didalamnya, karena riwayat ini tidak ditetapkan kecuali dengan jalan ahad, sedangkan al-Qur’an tidak ditetapkan dengan riwayat ahad (harus muatawatir).”
Ibnu Abu Dawud meriwayatkan dalam Mashanif, Al-Hâkim dan selain keduanya dari mushafnya Ubay bin Ka’ab pada ayat tentang kifarah (denda) budak disebutkan, “Fa shiyâm tsalâts ayâm mutatabi’aat fi kifârat al-yamîn” (berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamîn). Riwayat ini juga tidak dicantumkan kedalam mushaf Imam, sebab riwayat ini merupakan khabar ahad, sebagaimana contoh riwayat-riwayat sebelumnya.
Imam Ahmad, Al-Hâkim dari Katsir bin Shalat berkata, “Adalah Ibnu al-’Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushaf, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Al-syaikh wa syaikhaat idza zanaya (kakek dan nenek jika berzina). Umar ra berkata, Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina dan ia muhshon maka dirajam.”
Hanif,
lanjutan:
Dalam riwayat Muwatha’ Umar berkata dalam khutbahnya,
“Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa Umar bin Khathab telah menambah kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya. Akan tetapi riwayat ini tidak dimasukkan sebagai ayat al-Qur’an karena merupakan khabar ahad, sedangkan al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat yang mutawatir.”
Tatkala menjelaskan masalah radla'ah (persusuan), Imam Ibnu Taimiyyah, menyatakan, bahwa sebagian ulama, diantaranya adalah Abu Tsaur dan lain-lainnya, telah menolak berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah ini. Menurut mereka, riwayat tersebut bukanlah al-Quran. Sebab, al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat mutawatir, sedangkan hadits ini tidak mutawatir.
Imam Ibnu Tamiyyah kemudian menyatakan pendiriannya, "Kami pun tidak menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran, dan kami tidak menganggap riwayat ini sebagai al-Quran." Selanjutnya, beliau juga mengutip pendapat Imam al-Syafi'iy yang menyatakan bahwa riwayat ini tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan berita mutawatir. Atas dasar itu,al-Syafi'iy menolak berhujjah dengan hadits (riwayat ahad) ini.[ Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu' al-Fataway, juz 19/hal.24, bab al-radlaa']
Hanif,
lanjutan:
Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya 1/389, menyatakan:
“adapun jika diriwayatkan bahwasanya ia adalah al Qur’an, maka sesungguhnya (jika) ia tidak mutawatir maka tidak ditetapkan bahwasanya ia al Qur’an dengan khabar wahid (ahad) seperti ini, oleh karena itu amiirul mukminin ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak menetapkannya dalam mushaf dan tidak membaca (al qur’an) dengannya seorangpun dari para qari’ yang tsabit hujjah atas qira’ahnya, tidak dari qira’ah sab’ah dan tidak dari selain mereka”
al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan,
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Jumhur kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“
hanif,
lanjutan:
Berdasarkan uraian dari sikap para Shahabat Radhiyallahu ‘anhu (ijma’ Shahabat/qath'i ) diatas tentang penolakan alqur’an riwayat ahad.
maka, aqidah wajib ditetapkan berdasarkan riwayat mutawattir dalam membangun seluruh pokok aqidah islamiyah.
Kalau sekiranya saja riwayat ahad al Qur’an atau aqidah boleh ditetapkan/diterima dalam masalah pokok-pokok aqidah, sadar atau tidak sadar, al Qur’an saat ini sudah tidak otentik. Dan tentu sikap ini haram, Wal iyadzubillah !!!
Hanif,
2. Pendapat ‘Ulama terdahulu (salafusholeh) dan terpercaya.
al Imam Al-Kasâly menyatakan, “Jumhur fuqaha sepakat bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’) NAMUN TIDAK DALAM MASALAH AQIDAH (keyakinan).”( Al-Kasaaly, Badaai al-shanaai, juz 1, hal 20.)
Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:
اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه
Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, TANPA MEWAJIBKAN ‘ILMU, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.
Syaikh Jamaluddin Al-Qasâmiy berkata, “Jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama setelahnya baik dari kalangan fuqaha, muhadditsin serta ulama ushul sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah, wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja dan tidak menghasilkan ilmu (keyakinan), sehingga TIDAK BISA dijadikan sebagai sumber atau dalil dalam masalah aqidah.” (Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-tahdits, hal 137-138.)
untuk lebih lengkapnya mengetahui pendapat jumhur ‘Ulama terdahulu terkait kedudukan ahad adalah dzhan dan tidak dapat diterima dalam perkara aqidah silahkan lihat disini:
http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/
Hanif,
Ust. mengatakan:
Sangatlah aneh menurut saya jika Anda berpendapat bahwa penduduk tidak ada kewajiban untuk menerima dakwah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mereka meyakini dakwah ketauhidan yang disampaikan oleh Mu'aadz, hingga datang orang-orang dalam jumlah yang mencapai persyaratan mutawatir. Sungguh aneh....
Anda pernah mendengar kisah Kisra' yang menolak seruan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh 'Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmiy ? dan bahkan ia (Kisraa') merobek surat yang diantar 'Abdullah ?. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?.
tanggapan:
Memang benar Ust, tidak pungkiri kisah diatas, hanya saja penyampaian/tabligh oleh Rasulullah SAW, dengan mengutus para Shahabat Radhiyallahu’anhu, sama sekali bukan dibolehkannya menerima khabar ahad sebagai dalil masalah aqidah.
Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Hanif,
lanjutan:
Dalilnya adalah sebagai berikut (mungkin Ust. lebih dalam lagi memahami terkait masalah ini):
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.
Nah, Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran (bagi yang sudah muslim). Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah,
Para Shahabat RA, menolak riwayat ahad yg disampaikan sebagian shahabat, tatkala pengumpulan dan penetapan al Qur’an sebagai landasan pokok-pokok aqidah umat islam. Sebagaimana yang sudah diuraikan contoh-contoh diatas.
lanjutan,
mungkin Ust. pernah membaca atau mendengar kisah dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Shahabat Umar bin Khaththab RA, bermusyawarah dengan para sahabat tentang janin seorang wanita, kemudian al-Mughirah bin Syu’bah berkata,
“Saya menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan (tentang diyat memukul perut seorang ibu sehingga sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak laki-laki atau perempuan. al-Mughirah berkata, “Kemudian Umar berkata, ‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.’ al-Mughirah berkata, “Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih Muslim halaman 1311, juz III.)
Coba Perhatikan kata-kata Umar bin Khaththab ra: “‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.”
Pertanyaannya adalah , dengan penolakan Umar bin Khaththab ra terhadap tabligh hadits dari al-Mughirah ini, apakah Umar bisa disebut sebagai orang yang mengingkari hadits dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam????
lanjutan:
Dalilnya adalah sebagai berikut (mungkin Ust. lebih dalam lagi memahami terkait masalah ini):
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu.
Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.
Nah, Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran (bagi yang sudah muslim). Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah,
Para Shahabat RA, menolak riwayat ahad yg disampaikan sebagian shahabat, tatkala pengumpulan dan penetapan al Qur’an sebagai landasan poko-pokok aqidah umat islam. Sebagaimana yang sudah diuraikan contoh-contoh diatas.
mungkin Ust. pernah mendengar kisah dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Shahabat Umar bin Khaththab RA, bermusyawarah dengan para sahabat tentang janin seorang wanita, kemudian al-Mughirah bin Syu’bah berkata,
“Saya menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan (tentang diyat memukul perut seorang ibu sehingga sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak laki-laki atau perempuan. al-Mughirah berkata, “Kemudian Umar berkata, ‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.’ al-Mughirah berkata, “Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih Muslim halaman 1311, juz III.)
Coba Perhatikan kata-kata Umar bin Khaththab ra: “‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.”
Pertanyaannya adalah , dengan penolakan Umar bin Khaththab ra terhadap tabligh hadits dari al-Mughirah ini, apakah Umar bisa disebut sebagai orang yang mengingkari tabligh khabar dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam????
lanjutan,
Dalilnya adalah sebagai berikut (mungkin Ust. lebih dalam lagi memahami terkait masalah ini):
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.
Nah, Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran (bagi yang sudah muslim). Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah,
Para Shahabat RA, menolak riwayat ahad yg disampaikan sebagian shahabat, tatkala pengumpulan dan penetapan al Qur’an sebagai landasan poko-pokok aqidah umat islam. Sebagaimana yang sudah diuraikan contoh-contoh diatas.
lanjutan,
mungkin Ust. pernah mendengar kisah dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Shahabat Umar bin Khaththab RA, bermusyawarah dengan para sahabat tentang janin seorang wanita, kemudian al-Mughirah bin Syu’bah berkata,
“Saya menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan (tentang diyat memukul perut seorang ibu sehingga sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak laki-laki atau perempuan. al-Mughirah berkata, “Kemudian Umar berkata, ‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.’ al-Mughirah berkata, “Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih Muslim halaman 1311, juz III.)
Coba Perhatikan kata-kata Umar bin Khaththab ra: “‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.”
Pertanyaannya adalah , dengan penolakan Umar bin Khaththab ra terhadap tabligh hadits dari al-Mughirah ini, apakah Umar bisa disebut sebagai orang yang mengingkari tabligh khabar dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam????
atau banyak kasus lain, seperti tradisi para ulama hadits yang menolak tabligh riwayat ahad (yang shahih):
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw,
“Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat (terpercaya).
Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”
atau Ust, juga pernah mendengar hadits dari Imam Muslim :
“Engkau akan dibangkitkan dengan kening ,tangan, dan kaki yang bercahaya pada hari kiamat, dengan menyempurnakan wudhu ……” (HR. Muslim No. 246).
Syaikh Al-Albani mengklaim bahwa hadis ini ‘Dhoif’ dalam kitab ‘Dhoif Al-Jami’ wa Ziyadatuhu’ 2/14 no. 1425’. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra.
Pertanyaan yang muncul adalah, Apakah kita berani mengatakan kepada para Shahabat RA, para Ulama Hadits, atau as Syeikh al Al Bani adalah sesat, aneh, atau menyimpang, tatkala mereka menolak tabligh riwayat ahad????
disinilah letak perbedaan Istbat dan Tabligh sebagaimana sudah diuraikan diatas.
Hanif,
Ust. mengatakan :
Seandainya Anda membedakan hadits ahad hanya diterima pada masalah ahkaam dan tidak diterima dalam masalah 'aqidah; maka pernyataan ini adalah sangat aneh.
dan memberika beberapa contoh hadits:
tanggapan:
saya pikir tidak seperti apa yg disangkakan oleh Ust,
Dalam masalah amal (perbuatan) Allah swt dan juga rasul-Nya tidak mensyaratkan harus dibangun berdasarkan dalil yang menyakinkan. Untuk perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan (dilalahnya dan tsubutnya (hadits ahad).
Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan.
Ini menunjukkan, tatkala seseorang beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad.
lanjutan,
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" [Muttafaq’alaihi].
Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan. Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah.
Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Padahal, penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.
Lalu, apakah kita akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak menyakinkan? Apakah kita akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya???
lanjutan,
Perhatikan juga contoh berikut ini.
Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata
“menyentuh” pada ayat tentang bersuci.
Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”.
Walhasil, seseorang tidak batal wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya. Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalahnya dzanniy.
Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar kepada prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan.
Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan keimanan.
Jadi tidak benar, ketika kita mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar adalah, kita menyakini bahwa, tatkala kita mengerjakan perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan Allah.
Sebab, Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil yang membangun perbuatan harus dalil yang menghasilkan keyakinan.
Perhatikan lagi contoh dibawah ini:
.jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga isterinya.
Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka isterinya harus nikah dengan suamiyang lain terlebih dahulu. Jika suami kedua menceraikannya, maka ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama.
Allah swt telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas,
"..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’ tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat).
Ruju’ merupakan bagian dari hukum syara’.
Ini membuktikan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum syara’, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Allahu 'alam...
Hanif
Terima kasih,... sebenarnya pembicaraan kita hanyalah monolog. Anda tidak bisa mencermati, memahami, dan menanggapi apa yang saya tulis dengan baik; dan hanya asik dengan copi paste Anda. Alih-alih untuk menjawabnya secara ilmiah point-point yang saya sampaikan.
Saya sengaja menghindari berbanyak-banyak penukilan perkataan ulama dalam kitab, karena saya tahu Anda belum bisa membedakan madzhab ahli ushul dari kalangan Asyaa'irah, Mu'tazilah, dan Ahlus-Sunnah.
Apa yang antum kutip dari blognya saudara Taufik itu gado-gado. Dan sepertinya saudara Taufik itu hanya mengandalkan Maktabah Syamilah saja tanpa sebelumnya mengerti kajian fiqh dan manhaj penulisnya. Contoh yang kecil saja,.... penulis kitab Qawaaidut-Tahdiits itu bukan Jamaluddin Al-Qasâmiy, akan tetapi Jamaluddin Al-Qaasimiy atau lengkapnya : Muhammad Jamaaluddiin Al-Qaasimiy (محمد جمال الدين القاسمي). Orang yang sering mengkaji hadits, tentu tidak asing dengan kitab ini dan pengarangnya. Juga misalnya menyebut pengarang kitab Badaai'ush-Shanaai' dengan : al Imam Al-Kasâly. Ini keliru, karena yang benar adalah Al-Kasaaniy (الكاساني). Dan yang semacam ini banyak, dan itu cukup bagi saya bahwa yang bersangkutan memang hanya mengutip-ngutip saja tanpa didasarkan atas studi mendalam.
Dan sejak kapan Jamaaluddin Al-Qaasimiy itu termasuk ulama 'terdahulu' ?. Saya kasih tahu ya.... Beliau itu ulama hadits abad 13 H.
Mungkin saja itu remeh bagi Anda, tapi itu cukup menggambarkan bagi saya kualitas penelaahannya.
Kedua,... hujjah pokok Anda sebenarnya hanyalah tentang penulisan Al-Qur'an saja, tidak lebih. Sayangnya, Anda tidak membawakan teks nya secara lengkap sehingga bisa diuji validitasnya. Tapi, apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, tidaklah ditinggalkan semuanya. Berikut saya komentari secara ringkas dan saya awali dengan :
1. Tentang ayat rajam, maka ini adalah analisa ngawur, ngasal, dan ngarang. Anda menuliskan :
Dalam riwayat Muwatha’ Umar berkata dalam khutbahnya,
“Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa Umar bin Khathab telah menambah kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya. Akan tetapi riwayat ini tidak dimasukkan sebagai ayat al-Qur’an karena merupakan khabar ahad, sedangkan al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat yang mutawatir.”.
Anda ini copi paste atau benar-benar buka kitab ?. Kalau copi paste, dari blognya Saudara Taufik ?. Saya kasih tahu ya,.... kalimat yang saya bold itu gak ada sama sekali dalam Al-Muwaththa'. Anda jangan ngarang-ngarang gitu dong.... Copi paste boleh, tapi mesti teliti. Riwayat mauquf dari ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu yang Anda maskudkan itu ini :
والذي نفسي بيده لولا أن يقول الناس: زاد عمر بن الخطاب في كتاب الله تعالى لكتبتها: (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة) فإنا قد قرأناها
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang tidak akan berkata : ‘Umar telah menambahkan sesuatu dalam Kitabullah’, niscaya kami akan menuliskannya : ‘Orang tua laki-laki dan orang tua wanita apabila berzina, maka rajamlah mereka berdua dengan sungguh-sungguh’. Sesungguhnya kami telah membacanya (di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)” [selesai].
Sampai di sini saja, tanpa tambahan kalimat yang dibold.
Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ (4/130-131) dari jalan Yahya bin Sa’id (Al-Anshariy), dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu; dengan sanad shahih.
Nah,... ayat rajam ini menurut ulama adalah ayat yang telah dimansuukh lafadhnya, namun hukumnya masih ditetapkan. Silakan Anda buka dalam buku-buku tafsir dan 'Uluumul-Qur'aan. Jadi, apakah pas kalau dijadikan alasan bahwa ia tidak ditulis karena tidak mutawatir ?.
Kesimpulannya : Anda atau sumber copas Anda telah melakukan tadlis dan salah analisa.
2. Tentang ayat susuan (radlaa'ah) dari penjelasan Ibnu Taimiyyah pada Al-Fataawaa juz 19 hal. 24, saya tidak menemukan. Baik pada cetakan standar, ataupun cetakan Daarul-Wafaa'. Mungkin Anda perlu tanya lagi tu akurasi penukilannya pada sumber Anda.
Tapi seandainya saya asumsikan penukilan Anda itu akurat,... maka, ini riwayat yang (salah satunya) ada dalam Shahih Muslim :
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن عبدالله بن أبي بكر عن عمرة عن عائشة أنها قالت كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن
Perkataan 'Aaisyah وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ (dan itu termasuk yang dibaca dari Al-Qur'an), maka para ulama Ahlus-Sunnah telah menjelaskan. Pertama, maksudnya adalah yang dibaca hukumnya namun lafadhnya tidak. Kedua, maksudnya adalah ayat itu tetap dibaca oleh sebagian orang yang belum sampai kepadanya khabar adanya penasakhan [lihat : Syarh Al-Waraqaat fii Ushuulil-Fiqh].
Intinya,.. ayat itu juga merupakan bagian dari ayat yang dinasakh. Tepatkan dijadikan hujjah bahwa ia tidak ditulis karena tidak mutawatir ?. Baca dong kitab Ulumul-Qur'aan-nya.
[Kalau begitu cara berpikirnya, maka semua ayat yang dinasakh bisa Anda gunakan sebagai hujjah].
3. Riwayat-riwayat tentang persaksian para shahabat dalam penulisan Al-Qur'an.
Saya tanya dulu kepada Anda, syarat mutawatir itu berapa orang ?. Sebagai info saja, para ulama berselisih pendapat. Ada yang berpendapat 4 orang, 5 orang, 7 orang, 12 orang, 40 orang, bahkan ada yang mengatakan 70 orang.
Dari sini ada beberapa pertanyaan kepada Anda :
a. Seandainya ada orang yang berpegang pada pendapat bahwa ia mesti diriwayatkan 70 orang, kira-kira hadits mana yang akan masuk dalam segi 'aqidah ?. Setahu saya, hadits yang paling banyak perawinya adalah hadits man kadzaba 'alayya muta'ammidan falyatabawwa' maq'adahu minan-naar. Itu pun hanya mutawatir ma'nawiy, bukan lafdhiy. Dan itu pun saya tidak yakin apakah mencapai 70 orang shahabat ataukah tidak. Seandainya tidak ada hadits yang memenuhi persyaratan jumlah itu, bukankah konsekuensinya hadits shahih yang jumlahnya ribuan itu sama sekali tidak bisa dipakai untuk membangun 'aqidah ?. Pertanyaan lanjutannya : Adakah ulama yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada ini tidak bisa dipakai hujjah sama sekali dalam 'aqidah ?.
b. Ikhtilaaf ulama ini menimbulkan kerancuan lanjutan dalam agama dalam perspektif Hizbut-Tahriir. Seandainya ada seseorang yang berpendapat bahwa syarat jumlah mutawatir itu 10 orang, dan yang lain 12 orang; bukankah itu sama saja menganggap 'aqidah Islam ini sifatnya nisbi. Nisbi an sich hanya berdasarkan jumlah. Yang satu akan menganggap 'aqidah, yang lain tidak.
c. Seandainya Anda memegang pendapat bahwa persyaratan mutawatir itu adalah 12 orang, sementara orang lain 10 orang; kemudian ditemukan hadits dan ternyata perawi yang meriwayatkannya 11 orang. Menurut orang itu, hadits itu bisa dijadikan 'aqidah; sedangkan menurut Anda tidak bisa dijadikan 'aqidah (karena kurang 1 orang). Apakah kondisi ini menurut Anda masuk akal bahwa 'aqidah seseorang bisa lain hanya karena selisih jumlah periwayat 1 orang saja ?. Ini tidak diterima dalam logika ushul dari sisi manapun.
c. Jika Anda mengembalikan definisi mutawatir kepada para ulama, maka harap diketahui - dan ini sebenarnya telah ma'ruuf - bahwa istilah mutawatir dalam hadits tidak lah mutlak tergantung pada jumlah periwayat. Saya ambilkan penjelasannya dalam kitab Al-Fushuul fii Mushthalahi hadiitsir-Rasuul :
الْمُتَوَاتِرُ : وَاخْتَلَفُوا فِي تَعْرِيْفِهِ عَلَى رَأْيَيْنِ :
الأَوَّلُ : هُوَ الاِعْتِبَارُ بِعَدَدٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الرُّوَاةِ في تَعْرِيْفِهِ كَحَدٍ فَاصِلٍ بَيْنَ الْمُتَوَاتِرِ وَغَيْرِهِ ، فَجَعَلَهُ بَعْضُهُمْ خَمْسَةً ، وَبَعْضُهُمْ سَبْعَةً ، وَبَعْضُهُمْ عَشَرَةً ، وَبَعْضُهُمْ اثْنَيْ عَشَرَةَ، وَبَعْضُهُمْ عِشْرِيْنَ ، وَبَعْضُهُمْ أَرْبَعِيْنَ ، وَبَعْضُهُمْ سَبْعِيْنَ ، وَبَعْضُهُمْ ثَلَثَ مِائَةِ وَّبِضْعَةَ عَشَرَةَ ، وَبَعْضُهُمْ أَرْبَعَ عَشَرَةَ مِائَةً ، وَبَعْضُهُمْ خَمْسَ عَشَرَةَ مِائَةً ، وَبَعْضُهُمْ سَبْعَ عَشَرَةَ مِائَةً ، وَبَعْضُهُمْ مَا لاَ يَحْوِيْهِمْ بَلَدٌ ، وَبَعْضُهُمْ جَمِيْعَ الأُمَّةِ كَالإِجْمَاعِ ، وَغَيْرِ ذلِكَ مِنَ الأَقْوَالِ الكَثِيْرَةِ الْمُضْطَرِبَةِ وَالفَاسِدَةِ .
وَالثَّانِي : هُوَ الاِعْتِبَارُ بِحُصُولِ الْعِلْمِ وَالْيَقِيْنِ ؛ فَكُلُّ مَا أَفَادَ الْيَقِيْنَ فَهُوَ مُتَوَاتِرٌ عِنْدَهُمْ ، سَوَاءٌ أَحَصَلَ الْعِلْمُ لِكَثْرَةِ عَدَدٍ أَمْ لِصِفَاتِ الضَّبْطِ وَالإِتْقَانِ وَالْعَدَالَةِ ؛ إِذِ الصِّفَاتُ عِنْدَهُمْ تَقُومُ مَقَامَ الْعَدَدِ مِنَ الرُّوَاةِ .
وَهذَا اخْتِيَارُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّة وَإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ وَابْنِ الأَثِيْرِ وَغَيْرِهِمْ .
وَقَالَ الشُّوكَانِيُّ : وَهذَا قَولُ الْجُمْهُورِ .
Inti dari penjelasan di atas bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai definisi mutawatir. Pendapat pertama adalah mengkaitkan dengan jumlah (sebagaimana saya sebutkan di atas). Pendapat kedua, adalah setiap hadits yang dapat menghasilkan ilmu dan keyakinan. Jadi, menurut ulama yang berpegang pada definisi kedua ini, setiap hadits yang dapat menghasilkan ilmu dan keyakinan, maka disebut mutawatir. Apakah itu dikarenakan keberadaan jumlah perawinya, atau dikarenakan keberadaan sifat dlabth, itqaan, dan 'adaalah dari perawi yang menyampaikan (tidak tergantung pada jumlah). Definisi kedua inilah yang dipegang oleh Ibnu Taimiyyah, Al-Juwainiy, Ibnul-Atsiir, dan yang lainnya. Asy-Syaukaaniy menegaskan bahwa pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama.
Dari definisi ini saja fokus Anda pada jumlah menjadi tidak mengena.
d. Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa persaksian tentang Al-Qur'an itu seringkali hanya dibutuhkan 2-3 shahabat saja. Sebagian kutipan Anda dan sumber-sumber tulisan dan saudara saya di Hizbut-Tahriir pun menyebutkan demikian. Apakah persaksian 2-3 orang itu sudah masuk dalam definisi mutawatir ?.
e. Mutawatir dalam ilmu qira'at itu tidaklah sama definisinya dengan mutawatir dalam ilmu hadits (jika yang Anda fokuskan pada jumlah perawi). Para ulama pakar Al-Qur'an/qira'aat telah berbeda pendapat dalam penentuan persyaratan qira'at yang diterima. Mutawatir dalam qira'at itu tidaklah selamanya tergantung pada jumlah. Namun yang pokok justru adalah kecocokannya dengan bahasa 'Arab, kecocokannya dengan mushhaf 'Utsmaniy, dan sanadnya shahih.
e. Seandainya benar Al-Qur'an itu mesti diriwayatkan secara mutawatir berdasarkan jumlah; maka itu pun juga tidak menjadi tolok ukur bahwa semua 'aqidah mesti diukur dengan jumlah yang meriwayatkan. Contoh kecilnya adalah hadits yang Anda bawakan sendiri tentang kesaksian shahabat dalam penulisan Al-Qur'an yang jumlahnya tidak mencapai mutawatir menurut standar ilmu hadits.
Di atas telah saya kemukakan hubungan antara amal dan ilmu, atau antara ahkam dan 'aqiidah yang tidak bisa terpisah satu dengan yang lainnya. Pensyari'atan mengerjakan shalat 5 waktu adalah ahkam. Ketika saya mengerjakannya, maka bersamaan dengan itu saya berkeyakinan bahwa itu merupakan perintah Allah ta'ala. Itulah 'aqidah. Pensyarai'atan puasa sunnah Senin-Kamis. Ketika saya melakukannya, maka saya berkeyakinan bahwa hal itu diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan kelak saya akan dibalas atas apa yang saya kerjakan ini. Ini juga 'aqiidah. Anda sebenarnya bisa merasakannya, meski Anda berusaha menolaknya.
f. Di atas telah saya bawakan beberapa riwayat tentang penerimaan hadits ahad. Di antaranya adalah hadits Anas ketika turun pengharaman khamr. Masalah halal dan haram itu bukanlah masalah amal saja, tapi juga masalah 'aqidah. Apakah ketika dikatakan khamr telah diharamkan, para shahabat yang mendengarnya tidak berkeyakinan (ber'aqidah) bahwa khamr memang benar-benar telah diharamkan ?. Kalau mereka tidak yakin, bukankah kaedah mengatakan al-yaqiinu laa yuzalu bisy-syakk (keyakinan itu tidak hilang dengan adanya keraguan - sedikit atau banyak). Mestinya, para shahabat kalau memang beragama seperti rekan-rekan Hizbut-Tahriir tidak segera menumpahkan khamr mereka sebelum mereka mendengar banyak orang yang mengatakan hal serupa.
f. Di atas telah saya sampaikan bahwa para ulama memang berbeda pendapat apakah khabar ahad menghasilkan ilmu ataukah amal. Namun mereka bersepakat bahwa hadits ahad yang shahih wajib diamalkan dalam masalah 'aqidah dan ahkam. Pengamalan hadits ahad dalam masalah 'aqidah adalah dengan membenarkannya dan menjadikannya hujjah dalam perkara-perkara 'aqidah. Makanya kita lihat kitab 'aqiidah para ulama dipenuhi dengan hujjah-hujjah hadits ahad. Misalnya Al-Imaam Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af'aalil-'Ibaad, Imam Ahmad dalam As-Sunnah, Imam Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii'ah, Imam Ath-Thahawiy dalam Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, dan yang lainnya.
Makanya, mungkin orang HT dan para ulama Ahlus-Sunnah sama dalam pelafadhan bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dhann sehingga hanya mengkonsekuensikanamal, bukan ilmu; namun dalam praktek dan implementasinya sangat berlainan.
[ini pun susah karena orang Hizbut-Tahrir madzhabnya gado-gado. Pendirinya pun beraqidah Asy'ariyyah/Maturidiyyah. Sehingga, membedakan mana 'aqidah Ahlus-Sunnah dan non-Ahlus-Sunnah sudah barang tentu akan sulit].
g. Penukilan referensi Anda di atas pelu ditelaah kembali.
h. Jika Anda memahami betul apa esensi khabar ahad dan mutawatir, apa itu ilmu dlaruriy dan ilmu nadhariy.... maka menyikapi permasalahan ini sangat mudah dan sangat mudah dicerna akal sehat.
Saya ilustrasikan :
Khabar mutawatir itu seperti khabar bahwa New York itu letaknya di Amerika Serikat. Meskipun Anda belum pernah ke sana, namun banyak orang dan referensi telah menegaskan. Anda tidak perlu membuktikan dengan pergi ke sana hanya untuk menegaskan bahwa New York ada di Amerika. Ini namanya ilmu dlaruriy (aksiomatik).
Khabar ahad itu seperti khabar bahwa seseorang menderita penyakit gula. Benar tidaknya perlu ilmu dan penelitian. Bagi dokter yang ahli, maka ia akan memeriksanya dengan mengambil sampel darahnya, dan kemudian diuji di lab. Setelah keluar hasilnya, maka dokter itu memperoleh keyakinan diagonosa bahwa orang itu memang benar sakit gula. Pengetahuan dan keyakinan ini disebut ilmu nadhariy.
Inilah perbedaan khabar mutawatir dan ahad. Khabar mutawatir itu memberikan kosnekuensi keyakinan aksiomatik bahwa para perawi tidak mungkin bersepakat dalam kebohongan ketika menyampaikan riwayat. Sama halnya keyakinan Anda bahwa New York itu ada Amerika, karena tidak mungkin banyak orang dan media akan bersepakat dalam kebohongan berita. Adapun khabar ahad, maka itu perlu penelitian. Orang yang punya ilmu di bidang hadits dan sanggup menelaah, maka akan mengetahui bahwa jika hadits itu dibawakan oleh para perawi terpercaya, sanadnya bersambung, serta bebas 'illat dan syudzdzudz, maka hadits itu akan memberikan keyakinan pada si ahli hadits akan kebenaran isinya.
Lalu bagaimana dengan orang awam yang minim ilmu seperti kita ini. Allah tidaklah lupa. Oleh karena itu, Allah berfirman :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" [QS. An-Nahl : 43].
Bertanya ini mencakup permasalahan dalam agama, baik 'aqidah ataupun ahkaam. Dulu banyak shahabat yang bertanya kepada ulama-ulama mereka (misal : Al-Khulafaaur-Raasyiduun, Ibnu Mas'uud, Ibnu 'Abbaas, dan yang lainnya).
Bertanya kepada ahli ilmu merupakan kewajiban bagi orang yang bodoh; termasuk saya, Anda, dan semua orang. Ketika kita telah mendapatkan penjelasan dari mereka, dari situlah kita mendapat keyakinan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat.
i. Jawaban Anda tentang kisah Kisraa' menandakan Anda belum tahu riwayatnya. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam marah dan mendoakan kehancuran bagi Kisra' karena penolakan dan dirobeknya surat beliau. Kalau saya menuruti logika Hizbut-Tahriir, seharusnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak boleh marah, karena wajar Kisra' menolak karena belum yakin. Khabar yang sampai kepadanya tidak mutawatir.
Wallaahu a'lam.
NB :
1. Maaf, saya tidak menanggapi semua copi paste Anda yang kebanyakan. Anda hanya memperbanyak kopi paste saja tanpa paham esensi permasalahan yang dibicarakan.
2. Jika selanjutnya model komentar Anda hanya copi paste habis dari artikel orang (seperti di atas), maka sebaiknya Anda urungkan, karena mungkin tidak saya tampilkan. Kalau pun mau ditanggapi, kebanyakan. Sampaikan saja point kerangka logisnya seperti apa, dalilnya apa (tapi yang valid - teks arabnya bagaimana, di kitab apa dan no. hadits berapa, agar bisa diteliti - gak seperti di atas yang cuma terjemahannya saja, gak bisa di corss check), dan perkataan ulamanya seperti apa. Tahap demi tahap. Dan Anda pun juga berkewajiban menjawab kerangka point-point saya secara logis dan ilmiah. Itu baru namanya dialogis. Kalau hanya monologis, sudah dari kemarin saya bisa mengcopi paste semua artikel yang membahas tentang hadits ahad.
O iya, satu hal krusial yang terlewat saya berikan komentar adalah perkataan Anda :
"saya melihat persoalan/perbedaannya bukan pada pengertian khabar mutawatir dan ahadnya Ust, karena semua pengertian yang disampaikan, secara umum sama.
yang menjadikan itu perbedaan adalah apakah khabar ahad itu bisa menjadikan hujjah dalam masalah aqidah/keyakinan/Qoth’I atau tidak… atau Apakah khabar ahad bisa dijadikan untuk memvonis seseorang beriman atau kafir (kafir benaran Ust)…??? Disinilah letak Para syabab HT memahami seperti itu.." [selesai].
Inilah kerancuan di antara kerancuan yang saya dapati dari syabab Hizbut-Tahrir ketika diajak membicarakan tafshil mutawatir.
Membicarakan definisi mutawatir dan ahad haruslah finish terlebih dahulu, karena dari sinilah Anda akan berpijak : Apakah ia akan dijadikan hujjah apakah tidak (dalam masalah 'aqidah). Kalau Anda sendiri tidak paham apa itu ahad apa itu mutawatir, bagaimana Anda akan menegakkan hujjah di atas bangunan rapuh itu ?.
Ilustrasi mudahnya adalah : Anda berdebat dengan rekan Anda kendaraan apa kiranya yang dapat mengantarkan Anda ke Jakarta. Anda mengatakan pesawat satu-satunya yang dapat mengantar Anda. Namun rekan Anda mengatakan : Tidak harus dengan pesawat, tapi kereta api. Debat ke sana kemari, namun ketika ditanya :
"Tahukah Anda wujudnya pesawat seperti apa ?.
Tahukah Anda, pesawat itu kendaraan darat atau udara ?
Apa bedanya dengan kereta api ?".
Saat Anda menjawabnya : "Tidak tahu"; maka perdebatan sebelumnya hanyalah omong kosong.
Jika Anda membaca kitab-kitab fiqh para ulama kita, pasti awal yang dibicarakan adalah ta'rif (definisi), karena ia akan memberikan pemahaman akan pembahasan setelahnya. Ia akan memberikan cakupan bahasan dan batasan-batasan. Kalau Anda tidak tahu definisi, maka omongan Anda tentang fiqh adalah hampa, hambar, tak berisi, karena Anda tidak paham apa yang Anda bicarakan.
Begitu pula dengan permasalahan : apakah khabar ahad dapat digunakan hujjah dalam masalah 'aqidah ?. Kalau Anda tidak tahu apa definisi khabar ahad dan mutawatir, apa perbedaan mendasarnya, bagaimana esensi penerapannya dalam ilmu dan amal; ya perkataan Anda sia-sia.
Wajar jika saya ajak bicara masalah esensi khabar ahad Anda tidak nyambung. Masuk logika Anda tidak paham ketika saya katakan bahwa khabar Anda kepada saya saat ini masuk dalam definisi khabar ahad. Sangat masuk akal kiranya Anda tidak mengerti bahwa omongan ustadz Anda kepada Anda termasuk khabar ahad. Dan..... sangat dimengerti Anda tidak connect ketika saya mengatakan bahwa risalah Nabi kepada umatnya adalah sifatnya adalah ahad. Itu semua karena Anda tidak memahami esensi khabar ahad.......
So, kalau mau membicarakan, mulailah dulu dari awal, yang paling dasar.
Hanif,
syukran Ust. atas penjelasannya.
sebelumnya maaf Ust, atas kesalahan penukilan (kalau memang benar itu salah), krn kurangnya pengetahuan saya. tapi gak apa2lah..maklumlah Ust. krn saya hanyalah penuntut 'ilmu.
begini saja Ust.
bagaimana kalau Ust. masuk saja diblognya, untuk diskusi secara langsung membahas itu. kalau saya lihat Ust. Taufik, juga menampilkan dalil-dalil dan pendapat para 'Ulama terdahulu dalam pembahasan khabar ahad. dan saya juga melihat Beliau juga memahami bahasa Arab dan lainnya itu.
tinggal pilih saja salah satu link di blognya:
http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/kedudukan-khabar-ahad-dalam-masalah-aqidah/
http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/
http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/perbedaan-antara-aqidah-dan-hukum-syara/
http://mtaufiknt.wordpress.com/2011/01/27/metode-penetapan-aqidah/
insya Allah beliau siap.
Terima kasih atas sarannya. Maaf, saya ini gak terlalu hobi berdebat dengan mencari lawan. Urusan saya masih banyak. Semoga Allah ta'ala senantiasa memberikan rahmat dan barakahnya kepada kita semua.
Ma'af, ketika searching ketemu blog ini, dan ada banyak nama ana disebut. Cuma ingin klarifikasi saja:
di blog ana dalam pembahasan tersebut tidak ada menyebut al kasaly, maupun al muwaththa', ataupun al qasamy dll, yang menurut ana memang salah. Mungkin saudara hanif mengutipnya dari blog ini : http://nasya1924.wordpress.com/2010/10/25/pendapat-dan-sikap-para-shahabat-sahalafusholeh-serta-ulama-terhadap-khabar-ahad-dalam-masalah-aqidah/
di blog tsb juga ada keliru nulis Imam Basdawly seharusnya Bazdawy ...
Itu saja, ini juga menunjukkan bagaimana penelaahan anda, menimpakan atau setidaknya mencurigai sesuatu dan ditimpakan atas diri ana, padahal kalau anda mau mudah sekali mengklik blog ana apa benar ana menulisnya begitu.
Tambahan lagi kalau anda memang serius menganggap sesat orang yang tdk berhujjah dengan khabar ahad dalam masalah aqidah (dg pemahaman makna "berhujjah" yang benar), harusnya bukan hanya HT yang anda sorot, namun juga Muhammadiyah (apakah anda berani menyatakan mereka sesat sejak 1929?), atau juga lembaga fatwa Al Azhar? 'Afwan.
Mohon maaf jika ada keliru dan salah paham. Saya hanya menanggapi komentar saudara Hanif yang masuk tanpa diundang dengan menyebut-nyebut nama antum. Dan mohon maaf juga kiranya kalau saya tidak meluangkan waktu lebih untuk menelaah akurasinya di blog antum. Selain karena saya tidak sedang melakukan 'penelitian' dalam menanggapi komentar, juga belum terlalu familier dengan blog antum. Kalau saudara Hanif tidak menyebut nama antum, mungkin saja saya tidak tahu nama antum sebelumnya.
Assalamu'alaikum,
Ulama ahl-Sunnah meyakini 100% bahwa hadits ahad adalah hujjah di dalam permasalahan aqidah, mengimaninya tanpa keraguan.
Sementara yang lain mengatakan,
yaqin, tapi tidak 100%, Sebab, ‘aqidah mensyaratkan adanya keyakinan yang bersifat pasti, bukan dzan. Meskipun kebenaran suatu berita adalah 99,9% akan tetapi berita semacam ini tidak boleh diyakini secara bulat (100%). Sebab, masih mungkin mengandung kesalahan (??)
atau sepakat dengan perkataan :
Menolak untuk mengimani hadits ahad bukan berarti mengingkari hadits ahad tersebut, tetapi menerima dengan kepercayaan tertinggi, namun dengan catatan bahwa TIDAK SERATUS PERSEN BENAR
kesimpulan perkataan tersebut adalah ;
saya yakin dengan adzab kubur, saya yaqin dengan dajjal, tapi tidak 100%, jadi apabila ada orang yang menolak adzab kubur dan dajjal adalah sah-sah saja, karena masih mungkin mengandung kesalahan ..
(x_x' )
atau,
saya yakin dengan hadits ahad di bawah, tapi ndak seratus persen :
أي العمل أفضل؟
فقال
((إيمان بالله ورسوله))
[rowahul bukhariy 26, muslim 83]
#twisted
والله تعالى أعلى وأعلم
Assalaamu'alaikum Ustadz
Apakah 'ulama-'ulama ini:
Imam As Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik , Imam Ahmad, Imam Asnawy, Imam Bazdawy, Imam Al-Ghazali, Imam An Nawawy, As Sarokhsyi, Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hajar Al Asqalany, Imam As Syairozi, dan Imam As Sam’ani
meyakini siksa kubur?
Posting Komentar