Dalam sejarah hutan Indonesia, hutan kita telah
mengalami beberapa kali pergantian rezim pengelolaan. Sebelum jaman VOC/Vereenigde
Oost Indische Compagnie (pra-tahun 1602), hutan masih dipandang sebagai
satu hal yang sakral sehingga pemanfaatannya masih sangat terbatas. Setelah VOC
masuk dan menjajah Indonesia (tahun 1602-1799), hutan mulai dipandang sebagai
satu aset ekonomi yang sangat berharga. Mulailah terjadi eksploitasi, terutama
hutan jati di pulau Jawa, untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri seperti perkapalan,
kayu tong dan peti, bahan senjata, arang, mesiu, kayu bakar, kayu tukang serta
kayu mebel di negeri Belanda/Eropa. Akibatnya, hutan di Pulau Jawa mengalami
kerusakan.
Kondisi itu memaksa VOC melakukan rintisan rehabilitasi
karena pasokan kayu Jati dari Pulau Jawa semakin seret. Setelah VOC dibubarkan
pada tahun 1796 dan pemerintah Belanda menggantikan rezim penjajahannya, hutan
menjadi semakin rusak karena mendapat beban tambahan untuk memenuhi kebutuhan
kayu bakar pabrik-pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa. Mulailah dibuat
berbagai aturan oleh pemerintah Belanda untuk mengantisipasi agar kerusakan
tidak semakin meluas. Dengan berbagai kebijakan dan pengaturan ini, kondisi
hutan mengalami perbaikan hingga Jepang menggantikan Belanda menjajah
Indonesia. Selama penjajahan Jepang, hutan dijadikan modal untuk membiayai
perang. Eksploitasi hutan ditingkatkan hingga 200% dari tebangan normal.
Diperkirakan, setiap tahun dibuat 500 kapal kayu ukuran 150-200 ton dan
sejumlah perahu kecil berukuran 40-60 ton (Suhendang, 2002).
Pada masa Orde lama (1950-1965), praktis
pemerintah hanya mewarisi kerusakan hutan dari penjajah tanpa ada upaya
pengelolaan berarti. Hal itu dikarenakan masih labilnya kondisi politik, adanya
konfrontasi dengan negara lain (Malaysia, Belanda, dan Amerika), serta
disibukkan memadamkan berbagai pemberontakan yang terjadi di dalam negeri (DI/TII,
PRRI, Permesta, dan yang lainnya). Setelah itu, Pemerintahan Orde Baru membuka
babak baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Hutan dipandang sebagai aset
yang mudah, murah, dan sangat mengundang investasi untuk membiayai pembangunan.
Awang (2009) menjelaskan bahwa jumlah kayu
ditebang pada periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta m3, tahun 1970
sebanyak 10 juta m3, dan pada tahun 1987 sebanyak 26 juta m3.
Sampai tahun 2000, jumlah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mencapai 600 unit HPH
dengan areal hutan produksi seluas 64 juta hektar. Masih menurut Awang (2009), akibat
kegiatan eksploitasi HPH tersebut, pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan
(deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1,2 juta ha pertahun, dan pada
periode tahun 1985-1987 mencapai 1,7 juta ha pertahun. Selanjutnya, pada
periode tahun 1990-1997 laju deforestasi diperkirakan sebesar 1,6 – 2 juta ha
pertahun, dan pada tahun 1997-2000 untuk lima pulau besar yaitu Sumatera,
Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua sebesar 2,83 juta ha pertahun (Pratiwi,
2006). Forest Watch
Indonesia-Global Forest Watch (2001) memberikan data bahwa sejak tahun
1900-1997, terutama periode 1985-1997, pulau Sumatera telah kehilangan 61%
hutan daratannya atau setara dengan 3.391.400 ha, Kalimantan 58%, dan Sulawesi
89%. Menurut laporan resmi Kementerian Kehutanan, laju deforestasi dalam tiga
tahun terakhir (2007-2010) disebutkan mengalami penurunan menjadi 1,08 juta
hektar pertahun (Kemenhut, 2010).
Gambar 1. Tropical Deforestation Rates (2000-2005)
Laju kerusakan hutan seperti tersebut di atas
tentu memberikan pengaruh signifikan berupa terganggunya multi fungsi hutan
yang sangat penting peranannya dalam ekosistem. Semakin besar jumlah dan
intensitas eksploitasi sumberdaya alam, dampaknya terhadap degradasi kualitas
lingkungan (environmental degradation) juga cenderung meningkat. Dampak
atau efek samping (side effects/externalities) tersebut mencakup dimensi
ruang dan waktu (lokal, regional, dan global maupun jangka pendek, menengah dan
panjang). Permasalahan utamanya secara sederhana cukup jelas, yaitu : hilangnya
tegakan dan keterbukaan lahan. Maka, Pemerintah membuat beberapa kebijakan
untuk meningkatkan produktifitas dan mengurangi keterbukaan lahan. Salah
satunya dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang
dilaksanakan tanggal 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan
moto “Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman
Industri” karena padanan bahasa Indonesia dari “Timber Estate” pada
Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi “Hutan
Tanaman Industri (HTI)”. Lokakarya Pembangunan Timber Estate menghasilkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984,
tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan
Reboisasi dan Permudaan Hutan (Indrawan, 2008). Akhirnya, pada tahun 1990 pembangunan
HTI dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), yang kegiatannya terdiri dari :
penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan, dan pemasaran. HTI hanya boleh
dibangun pada kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.
Luasnya lahan tidak produktif akibat
deforestasi merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pembangunan
HTI. Sriharso (1986) menyebutkan bahwa pembangunan HTI akan melaju dengan
kecepatan 400.000 ha pertahun. Adapun Atmawijaya (1986) menyebutkan
angka 230.000 dan 250.000 ha pertahun dengan sasaran luas pencapaian sampai
Pelita VI 4,4 juta ha pertahun. Namun kenyataannya, program pembangunan HTI
mulai tahun 1984 sampai 1996 baru mampu membangun hutan tanaman sekitar 1,2
juta ha dari total target seluas 6,25 juta hektar yang ditetapkan untuk
dibangun sampai dengan tahun 2000 (Handadhari et.al., 2005). Estimasi
resmi terakhir, perkembangan tanaman HTI sampai tahun 2009 baru sebesar 4,52
juta hektar (Kemenhut, 2010b).
Deforestasi yang terjadi di negara-negara
tropis hingga era 1990-an, telah melahirkan gerakan lingkungan secara
internasional. Sebenarnya, perhatian dunia terhadap lingkungan hidup ini telah
dimulai semenjak Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang memuat 26 butir
asas-asas (prinsip-prinsip) yang perlu dipegang dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup manusia. Namun, setelah KTT Bumi tahun 1992, peran
penting hutan bagi kehidupan manusia secara global menjadi lebih mendunia dan mendapat
pengakuan, karena dalam KTT tersebut dihasilkan dokumen Prinsip-Prinsip
Kehutanan (Forestry Principles). Prinsip-Prinsip Kehutanan tersebut memuat
beberapa prinsip/norma pokok yang di antaranya adalah pengakuan atas kedaulatan
negara untuk mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Dari sinilah
konsep pengelolaan hutan secara lestari/PHL (Sustainable Forest Management/SFM) dikembangkan di berbagai negara.
Pelaksanaan praktek pengelolaan hutan secara
lestari secara konsisten sudah sangat mendesak untuk direalisasikan secara
nyata di lapangan. Selain karena faktor keberadaan hutan tropis bagi
keseimbangan ekosistem global, kondisi tersebut juga dilatar belakangi oleh
berbagai realitas. Pertama, dari sisi kondisi hutan tropis itu sendiri baik
kualitas maupun kuantitasnya yang kini terus mengalami laju deforestasi dan
degradasi. Realitas yang berkembang atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam hutan tropis Indonesia adalah disamping telah memberikan manfaat bagi
pertumbuhan ekonomi, ternyata dibarengi dengan degradasi fungsi lingkungan yang
luar biasa serta tereduksinya fungsi sosial bagi kehidupan masyarakat yang
tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Kedua, kesadaran dan kepedulian
masyarakat internasional selaku konsumen produk-produk hasil hutan Indonesia
terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dari waktu ke
waktu semakin meningkat. Bahkan konsumen dari beberapa negara Eropa dan Amerika
Utara telah menyatakan tidak akan mengkonsumsi produk-produk kayu tropis
Indonesia apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara lestari.
Bersamaan dengan itu, deforestasi yang terjadi
di negara-negara tropis hingga era 1990-an, telah melahirkan gerakan lingkungan
secara internasional. Dalam resolusi GA 44/228 Agenda 21 (tahun 1992) dimuat
masalah perdagangan internasional dan pengintegrasian lingkungan dalam
pengambilan keputusan pembangunan. Salah satu alat perlindungan lingkungan yang
trend waktu itu adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Sejak dirintis pertama kali oleh National Environmental Policy Act (NEPA)
tahun 1969 di Amerika, AMDAL lambat laun menyebar di negara-negara Eropa dan
Amerika. Menurut laporan Sadler, hingga tahun 1996, diperkirakan telah lebih
dari 100 negara yang telah memiliki sistem analisis lingkungan dan
memberlakukannya secara wajib (mandatory). AMDAL memberikan jaminan kelayakan
lingkungan dari studi kelayakan suatu usaha/kegiatan.
Di sisi lain, pada tahun 1989, Friends of
Earth (FoE) dan beberapa LSM lainnya, didukung pemerintah Inggris
mengusulkan agar The International Tropical Timber Organization (ITTO)
melaksanakan proyek untuk mempelajari kemungkinan pelabelan kayu dari hutan
tropis untuk mengindikasikan apakah satu produk berasal dari hutan yang
dikelola secara lestari. Ancaman pemboikotan kayu yang tidak berlabel mulai banyak
disuarakan oleh beberapa LSM. Setelah beberapa saat tertunda, pada tahun 1992
ITTO akhirnya melakukan studi besar. Hasil studi menyatakan bahwa perdagangan
kayu tropika bukan penyebab utama terjadinya deforestasi. Perlu insentif
ekonomi yang positif dimana sertifikasi diusulkan sebagai sarana yang akan
memfasilitasi perdagangan kayu yang diproduksi secara lestari (Nussbaum dan
Simula, 2005).
Merespon hal tersebut, Pemerintah (Kementerian
Kehutanan) mengeluarkan sejumlah kebijakan dan/atau alat (tools) yang
‘pro-lingkungan’ dalam mendukung pengelolaan hutan lestari. Pendekatan yang
dilakukan ada yang implementasinya pada skala kawasan ataupun unit manajemen.
Baik dalam tahap perencanaan ataupun operasional. AMDAL dan sertifikasi
pengelolaan hutan lestari adalah dua kebijakan/alat pengelolaan lingkungan yang
diterapkan dalam skala unit manajemen yang saat ini telah diberlakukan secara wajib
(mandatory). Yang pertama adalah dalam tahap perencanaan, yang kedua
dalam tahap operasional. Satu unit manajemen HTI pasti melakukan kajian AMDAL
pada saat awal perencanaan, dan akan dinilai kinerja pengelolaan hutannya
melalui proses sertifikasi pengelolaan hutan lestari pada tahapan operasional.
*****
Efektifkah ?...mboh…..
[DAW – selatan selokan mataram].
Comments
HTI-nya , yang membuat ana mendahulukan membaca artikel antum , walaupun tidak seperti yang ana duga .
Ustadz , ana mau tanya namun keluar dari topik .
Dalam undangan manten banyak di temukan cuplikan ayat suci al Quran , bagaimana hukumnya ya ? mungkin ada pernyataan ulama tentang ini ?
Ibn Rasi
Syukron katsir atas artikelnya yang bermanfaat.
Insya Allah respon Kemenhut berupa kebijakan-kebijakan tersebut, disusun oleh ahli-ahli yang kompeten melalui proses dan tahapan yang memerlukan pemikiran, waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Namun implementasinya tidak sedikit masih dijumpai penyimpangan yang di support oleh oknum instansi terkait.
Sebagai elemen pemerintah mungkin Bapak bisa berbagi input dalam rangka pencegahan, pengurangan dan penanggulangan terhadap kondisi tersebut.
Jazakallah khoir,
Abu Zaid/Cimahpar-Bogor
Benar pak Abu Zaid, kebijakan-kebijakan tersebut memang telah disusun oleh orang yang ahli di bidangnya. Beberapa di antaranya saya terlibat, sehingga saya tahu.
Walau......., apakah semua kebijakan yang ada ini merupakan obat mujarab bagi kerusakan hutan Indonesia ? maka itu membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Kebetulan saya lagi mengerjakan sesuatu yang terkait dengan tulisan saya di atas. Doakan saja apa yang saya kerjakan itu dapat memberikan manfaat.
Syukron respon nya Pak.
Semoga Bapak dimudahkan untuk merampungkannya dan bermanfaat (antara lain) untuk mencegah, mengurangi, menanggulangi dampak ulah oknum.
Sudah lama tidak bersua Bapak (semoga dimudahkan ya..)
Abu Zaid/Cimahpar-Bogor
Mengerikan
Posting Komentar