Al-Imaam
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حدثنا سعيد بن عبد الرحمن المخزومي حدثنا
سفيان عن الزهري عن سنان بن أبي سنان عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها
أسلحتهم فقالوا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى
الله عليه وسلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى أجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي
نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم
Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Makhzuumiy : Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari Sinaan bin Abi Sinaan,
dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ketika keluar menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik
orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya
pedang-pedang mereka. Mereka (para shahabat) berkata : “Wahai Rasulullah,
buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Subhaanallaah
(Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk
kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’. Demi Dzat yang jiwaku ada
di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum
kalian” [Sunan At-Tirmidziy no. 2180. At-Tirmidziy berkata : “Hasan
shahih”].
Diriwayatkan
juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443, ‘Abdurrazzaaq no. 20763, Al-Humaidiy no.
871, Ibnu Abi Syaibah 15/101, Ahmad 5/218, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/no.
2338, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 76, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no.
11185, Abu Ya’laa no. 1441, Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya 9/45, Ibnu Hibbaan no.
6702, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3290-3294.
Dalam riwayat Ahmad, disebutkan
lafadh permintaan shahabat:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا
هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، وَكَانَ الْكُفَّارُ
يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ، وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا
“Wahai Nabi Allah,
buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana orang kafir mempunyai Dzaatu
Anwaath. Orang-orang kafir
menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut seraya beri’tikaf di
sekelilingnya”.
Dalam
riwayat lain disebutkan peristiwa itu adalah ketika keberangkatan pasukan
menuju Hunain, bukan Khaibar:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، ولِلْمُشْرِكِينَ
سِدْرَةٌ يَعْكُفُونَ عِنْدَهَا، ويَنُوطُونَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا:
ذَاتُ أَنْوَاطٍ، قَالَ: فَمَرَرْنَا بِالسِّدْرَةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ
“Kami
pernah keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuju
Hunain, dan kami ketika itu baru saja keluar dari kekafiran. Dan waktu itu, orang-orang musyrik mempunyai satu
pohon bidara yang sering mereka pergunakan untuk beri’tikaf di sekitarnya, dan
mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya. Pohon itu bernama Dzaatu
Anwaath. Lalu kami melewati pohon tersebut, dan kemudian berkata : “Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai
Dzaatu Anwaath.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir
no. 3291; shahih].
Ada
beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits tersebut, antara lain :
1.
Para shahabat yang
bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam baru masuk Islam,
dimana ada pada mereka keimanan dan iltizam kepada ketauhidan yang
bersifat umum (mujmal). Ini nampak pada perkataan Abu Waaqid yang
disebutkan dalam sebagian riwayat :
كنا
مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بحنين، ونحن حدثو عهد بكفر
“Kami pernah
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan
Hunain yang waktu itu kami baru saja lepas dari kekufuran” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thayaalisiy no. 1443].
2.
Perkataan mereka
untuk minta dibuatkan Dzaatu Anwaath adalah perkataan yang mengandung
kesyirikan dan kekufuran. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersumpah bahwa perkataan mereka itu sama dengan perkataan yang diucapkan kaum
Nabi Musa (Bani Israaiil); namun mereka (para shahabat) tidaklah dikafirkan
karena mereka baru saja masuk Islam. Belum sampai kepada mereka penjelasan
tentang ketauhidan yang dapat menghindarkan mereka dari perbuatan syirik
tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى
أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ
قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ * إِنَّ هَؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ
وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا
وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan
Kami seberangkan Bani Israaiil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka
sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israaiil
berkata : "Wahai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala)
sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kalian ini adalah
kaum yang tidak mengetahui". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan
kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa
menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada
Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat“ [QS. Al-A’raaf : 138-140].
Ibnu Katsiir rahimahulllah menjelaskan tentang
perkataan Musa : ‘Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui’;
ia berkata:
أي:
تجهلون عظمة الله وجلاله، وما يجب أن ينزه عنه من الشريك والمثيل
“Yaitu
: tidak mengetahui kebesaran Allah dan keagungan-Nya, dan kewajiban untuk
menyucikan-Nya dari sekutu dan tandingan” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/467].
Hal
semisal juga dikatakan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah dalam Jaami’ul-Bayaan
(13/80).
Abu Bakr Ath-Thurthuusiy rahimahullah berkata
tentang Dzaatu Anwaath:
فانظروا
رحمكم الله أينما وجدتم سدرة أو شجرة يقصدها الناس ويعظمون من شأنها ويرجون البرء والشفاء
من قبلها وينوطون بها المسامير والخرق فاقطعوها فهي ذات أنواط
“Maka
lihatlah - semoga Allah merahmati kalian - dimana saja kalian mendapati pohon
yang dituju oleh manusia, dan mereka mengagungkannya, mengharapkan kesembuhan
darinya, dan mereka menancapkan paku-paku dan kain-kain padanya, maka tebanglah,
karena itu adalah Dzaatu Anwath” [Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’
wal-Hawaadits, hal. 26-27].
Para shahabat yang meminta kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk dibuatkan Dzaatu Anwaath baru saja terlepas dari
kekafiran, dan kekafiran yang mereka tinggalkan pada masa Jaahilyyah adalah
jenis kekafiran akbar berupa penyembahan terhadap berbagai sesembahan selain
Allah. Permintaan mereka untuk membuatkan Dzaatu Anwaath didasari pengetahuan
bahwa pohon tersebut merupakan sesembahan orang-orang musyrik dan mereka (orang musyrik) sering bertabarruk dengannya.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Hasan rahimahullah
berkata :
إن
الاعتبار في الأحكام بالمعاني لا بالأسماء ولهذا جعل النبي صلى الله عليه و سلم
طلبتهم كطلبة بني إسرائيل ولم يلتفت إلى كونهم سموها ذات أنواط فالمشرك مشرك وإن
سمى شركه ما سماه كمن يسمى دعاء الأموات والذبح والنذر لهم ونحو ذلك تعظيما ومحبة
فإن ذلك هو الشرك وإن سماه ما سماه
“Sesungguhnya yang dianggap dalam hukum itu adalah makna-maknanya,
bukan nama-namanya. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menamakan permintaan mereka (para shahabat) seperti
permintaan Bani Israaiil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
melihat keadaan mereka yang menamakannya dengan Dzaatu Anwaath. Orang musyrik
tetaplah musyrik meskipun mereka menamakan berhala yang mereka jadikan sekutu
itu dengan nama apa saja yang mereka kehendaki. Seperti halnya orang yang
menamakan doa, sembelihan, nadzar mereka atau yang lainnya kepada orang yang
telah mati dengan sebutan pengagungan dan kecintaan, karena itu semua merupakan
kesyirikan meskipun mereka menamakannya dengan nama apa saja yang mereka
kehendaki” [Fathul-Majiid, hal. 145].
Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata:
التبرك
بالأشجار والآثار والبنايات: والتبرك معناه طلب البركة ورجاؤها واعتقادها في تلك
الأشياء.
وحكمه أنه شرك أكبر؛ لأنه تعلق على غير الله سبحانه في حصول البركة،....
وحكمه أنه شرك أكبر؛ لأنه تعلق على غير الله سبحانه في حصول البركة،....
“Tabarruk dengan pohon-pohon, atsar-atsar, dan
bangunan-bangunan. Tabarruk maknanya adalah mencari barakah,
mengharapkannya, dan meyakininya pada sesuatu tersebut. Hukumnya syirik
akbar, karena ia telah bergantung kepada selain Allah subhaanahu wa ta'ala dalam
hal mendapatkan barakah.……” [Al-Irsyaad,
hal. 100].
Asy-Syaikh Ibnu
Baaz rahimahullah berkata :
ليس
ما طلبوه من الشرك الأصغر، ولو كان منه، لما جعله النبي صلى الله عليه وسلم نظير قول
بني إسرائيل {اجْعَل لَنَا إِلَهاًَ} وأقسم على ذلك، بل هو من الشرك الأكبر، كما أن
لا طلبه بنو إسرائيل من الأكبر، وإنما لم يكفروا بطلبهم؛ لأنهم حدثاء عهد الإسلام
“Apa yang mereka
(para shahabat) minta itu bukanlah syirik ashghar - meskipun hal itu
termasuk bagian darinya – karena ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyamakannya dengan perkataan Bani Israaiil ‘buatkanlah kami tuhan-tuhan’,
dan beliau bersumpah mengenai hal itu. Bahkan, perbuatan mereka itu termasuk
syirik akbar – sebagaimana permintaan Bani Israaiil juga termasuk syirik
akbar. Hanya saja mereka (para shahabat) tidak dikafirkan dengan
permintaannya karena mereka termasuk orang-orang yang baru saja masuk Islam” [Fathul-Majiid,
hal. 146].
3.
Adanya ketetapan
untuk melaksanakan kesyirikan setelah ditegakkannya hujjah adalah kekufuran.
Seandainya orang yang melakukan kesyirikan telah dilarang dari perbuatan
tersebut dan juga telah dijelaskan kepadanya tentang hukum melakukan perbuatan
tersebut termasuk kesyirikan, namun ia tidak berhenti darinya; maka ia
dikafirkan. Berhenti dari perbuatan syirik dengan menerima hujjah setelah
adanya kebodohan, merupakan sebab peniadaan pengkafiran.
Asy-Syaikh Muhammad
bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :
لا
خلاف في أن الذين نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم لو لم يطيعوه واتخذوا ذات أنواط بعد
نهيه، لكفروا، وهذا هو المطلوب. ولكن القصة تفيد أن المسلم بل العالم قد يقع في أنواع
من الشرك وهو لا يدري عنها، فتفيد لزوم التعلّم والتحرّر.... وتفيد أيضاًَ أن المسلم
المجتهد إذا تكلّم بكلام كفر وهو لا يدري فنُبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر،
كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى اللهي عليه وسلم
“Tidak ada khilaaf
(perbedaan pendapat) pada orang-orang yang telah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam larang, seandainya mereka tidak mentaati beliau dan malah menjadikan
Dzaatu Anwaath (sebagai tuhan) setelah adanya larangan beliau tersebut, akan
menjadi kafir. Inilah yang dituntut. Akan tetapi kisah ini mengandung faedah,
bahwasannya seorang muslim – bahkan seorang ‘aalim sekalipun – kadangkala
terjatuh dalam kesyirikan tanpa disadari/diketahuinya, sehingga sangatlah
penting untuk belajar dan membebaskan diri dari kebodohan….. Kisah ini juga
memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid apabila berkata-kata
dengan perkataan yang mengandung kekufuran tanpa ia sadari/ketahui, lalu ia
diperingatkan darinya sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga; maka tidak
dikafirkan, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Bani Israaiil dan
orang-orang yang meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
(agar dibuatkan Dzaatu Anwaath)” [Kasyfusy-Syubuhaat (Majmuu’atut-Tauhiid),
hal. 285].
Hukum bagi
orang-orang yang baru masuk Islam ini berlaku umum, karena yang menjadi acuan
adalah keumuman lafadhnya, bukan kekhususan sebabnya. Oleh karena itu, hukum
bagi mereka juga disamakan dengan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil
atau pedalaman atau daerah yang jauh dari ilmu dan diliputi kebodohan. Di
antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah :
حدثنا
محمد بن داود بن سفيان ثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة : أن
النبي صلى الله عليه وسلم بعث أبا جهم بن حذيفة مصدقا فلاجه رجل في صدقته فضربه أبو
جهم فشجه فأتوا النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا القود يا رسول الله فقال النبي صلى
الله عليه وسلم لكم كذا وكذا فلم يرضوا فقال لكم كذا وكذا فلم يرضوا فقال لكم كذا وكذا
فرضوا فقال النبي صلى الله عليه وسلم إني خاطب العشية على الناس ومخبرهم برضاكم فقالوا
نعم فخطب رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إن هؤلاء الليثيين أتوني يريدون القود
فعرضت عليهم كذا وكذا فرضوا أرضيتم قالوا لا فهم المهاجرون بهم فأمرهم رسول الله صلى
الله عليه وسلم أن يكفوا عنهم فكفوا ثم دعاهم فزادهم فقال أرضيتم فقالوا نعم قال إني
خاطب على الناس ومخبرهم برضاكم قالوا نعم فخطب النبي صلى الله عليه وسلم فقال أرضيتم
قالوا نعم
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Daawud bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari
‘Urwah, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah untuk memungut shadaqah (zakat). Maka, ada
seorang laki-laki menolak untuk memberikan shadaqah sehingga Abu Jahm
memukulnya yang mengakibatkannya terluka. Kemudian mereka mendatangi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan berkata : “Ia harus diqishash wahai Rasulullah”. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagi kalian adalah
demikian dan demikian”. Namun mereka menolaknya. Beliau kembali bersabda :
“Bagi kalian adalah demikian dan demikian”. Mereka masih menolaknya.
Beliau kembali bersabda : "Kalau begitu, bagi kalian adalah demikian
dan demikian". Mereka akhirnya menerimanya. Nabi shallalaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhutbah nanti sore
kepada orang-orang dan mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”.
Mereka berkata : “Ya”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pun berkhutbah dan bersabda : “Sesungguhnya mereka orang-orang Bani Laits
mendatangiku menuntut ditegakkannya qishash. Lalu aku menawarkan kepada mereka
demikian dan demikian. Mereka menerimanya. Apakah kalian menerimanya[1][1]
?”. Mereka menjawab : “Tidak”. Maka orang-orang Muhaajirin berniat akan
melakukan sesuatu kepada mereka. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan mereka (Muhaajirin) untuk menahan diri agar tidak
melakukan sesuatu kepada mereka. Orang-orang Muhaajirin pun menahan diri.
Kemudian beliau memanggil mereka dan menambahkan kepada mereka (diyaat-nya).
Beliau bertanya : “Apakah kalian menerimanya ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau
bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada orang-orang dan
mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan kalian”. Mereka menjawab : “Ya”.
Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dan bersabda : “Apakah
kalian menerimanya ?”. Mereka menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 4534; shahih].
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata tentang hadits di
atas:
في
هذا الخبر عذر الجاهل، وأنه لا يخرج من الإسلام بما لو فعله العالم الذي قامت عليه
الحجة لكان كافراً؛ لأن هؤلاء الليثيين كذبوا النبي صلى اله عليه وسلم، وتكذيبه كفر
مجرّد بلا خلاف، لكنهم بجهلهم وأعرابيتهم عذروا بالجهالة، فلم يكفروا
“Dalam hadits ini
terdapat penjelasan tentang ‘udzur bagi orang yang jaahil, dan
bahwasannya ia tidak keluar dari Islam dengan sesuatu yang jika hal itu
dilakukan oleh seorang ‘aalim yang telah ditegakkan padanya hujjah
niscaya akan menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang-orang Bani Laits telah
mendustakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal mendustakan
beliau itu adalah kekufuran tanpa ada perselisihan. Akan tetapi mereka,
dikarenakan kejahilan mereka dan juga mereka termasuk orang-orang Arab
pedalaman, diberikan ‘udzur karena faktor kejahilan, sehingga tidak
dikafirkan” [Al-Muhallaa, 10/410-411].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وكثير
من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا
يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله
به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن
من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا
من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول، ولهذا
جاء في الحديث: (يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة ولا زكاة ولا صومًا ولا
حجًا إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة، يقول: أدركنا آباءنا وهم يقولون: لا إله
إلا الله. فقيل ِلحذيفة بن اليمان : ما تغني عنهم لا إله إلا الله ؟. فقال : تنجيهم
من النار).
“Dan banyak sekali
di antara manusia hidup pada tempat dan jaman dimana banyak ilmu-ilmu nubuwwaat
banyak yang hilang, hingga tidak ada orang yang menyampaikan apa-apa yang Allah
utus dengannya kepada Rasul-Nya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka, mereka
tidak mengetahui banyak hal tentang apa-apa yang Allah utus dengannya Rasul-Nya
karena tidak ada orang yang menyampaikannya. Orang yang semacam ini tidaklah
dikafirkan. Oleh karena itu, umat telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang hidup
di daerah yang jauh dari ahlul-‘ilmi wal-iman, dan ia juga termasuk
orang yang baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum dhahir
dan mutawatir, maka ia tidak dihukumi dengan kekafiran hingga ia
mengetahui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu sesuai dengan dengan hadits : “Akan datang satu jaman di
tengah-tengah manusia yang tidak diketahui padanya shalat, zakat, puasa, dan
haji, kecuali seorang laki-laki tua dan lemah yang mengatakan : ‘Kami mendapati
bapak-bapak kami mengatakan : Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak
untuk disembah kecuali Allah)”. Dikatakan kepada Hudzaifah bin Al-Yamaan :
“Apakah Laa ilaha illallaah itu mencukupi mereka (untuk selamat dari
neraka) ?”. Hudzaifah menjawab : “Kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari
neraka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/408].
Hal yang sangat
dekat dengan ketentuan tersebut adalah orang yang hidup pada lingkungan yang
didominasi bid’ah, jauh dari pemahaman agama yang benar berdasarkan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, serta tidak ditemukan padanya selain ulama yang melakukan bid’ah
dan penyimpangan sehingga tidak diketahui syari’at agama dan peribadahan
melainkan dari mereka. Kenyataan ini banyak terjadi di negeri-negeri muslim
pada saat ini…..
[selesai
– mengambil faedah dari buku Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu
oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Al-Ma’aasy, hal. 424-428, isyraaf
: Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417;
dengan beberapa tambahan – revisi : 11122014].
[1] Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada mereka
(orang-orang Bani Laits) tentang keridlaan yang telah mereka nyatakan
sebelumnya.– Abul-Jauzaa’
Comments
"Mereka akhirnya menerimanya menolaknya."
Afwan ustadz, ada terjemahan yang kurang tepat pada hadits Aisyah ttg Abu Jahm. mungkin bisa dikoreksi.
Terima kasih. Ada kata : menolaknya yang belum saya delete.
Telah saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan atas masukannya.
Posting Komentar