Hadits Berisyarat ketika Duduk di Antara Dua Sujud


Telah berkata Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
حدثنا عبد الرزاق أخبرنا سفيان عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم كبر فرفع يديه حين كبر يعني استفتح الصلاة ورفع يديه حين كبر ورفع يديه حين ركع ورفع يديه حين قال سمع الله لمن حمده وسجد فوضع يديه حذو أذنيه ثم جلس فافترش رجله اليسرى ثم وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى ووضع ذراعه اليمنى على فخذه اليمنى ثم أشار بسبابته ووضع الإبهام على الوسطى وقبض سائر أصابعه ثم سجد فكانت يداه حذاء أذنيه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr, ia berkata : Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam bertakbir, lau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir – yaitu dalam permulaan shalat - . Beliau mengangkat kedua tangannya ketika rukuk, dan mengangkat kedua tangannya ketika berkata : ‘sami’alaahu liman hamidah’. Dan (kemudian) sujud, lalu meletakkan kedua tanganya sejajar engan dua telinganya, kemudian duduk iftirasy dengan membentangkan kakinya kaki kirinya, kemudian meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakan hasta kanannya di atas paha kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah dan menggenggam jari-jari yang lain, kemudian sujud dimana kedua tangannya sejajar dengan dua telinga beliau” [Al-Musnad, 4/317].
‘Abdurazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang yang tsiqah, haafidh, penulis yang terkenal, akan tetapi mengalami kebutaan di akhir usianya sehingga hapalannya berubah (126-211 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqribut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092]. Akan tetapi Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia mengalami kebutaan dan berubah hapalannya. Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no.  1160, ta’liq : Khaliil Al-Manshuur; Cet. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417]. Pendek kata, tinggallah pensifatan yang ada pada diri ‘Abdurrazzaaq : “tsiqah lagi haafidh”.
Sufyaan di sini adalah Ats-Tsauriy, bukan Ibnu ‘Uyainah, sebagaimana terdapat dalam Al-Mushannaf milik ‘Abdurrazzaaq (2/68 no. 2522). Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 394 no. 2458].
‘Aashim bin Kulaib bin Syihaab bin Al-Majnuun Al-Jarmiy. Ibnu Hajar berkomentar : “Shaduuq, dituduh berpemahaman irjaa’” (w. 137 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 473 no. 3092]. Namun yang benar ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin, Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy, dan Ibnu Sa’d. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tidak mengapa dengan haditsya”. Abu Haatim berkata : “Shaalih”. Abu Daawud berkata : “Ia orang yang paling utama di kota Kuufah” [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 5/55-56 no. 89].
Kulaib bin Syihaab bin Al-Majnuun Al-Jarmiy Al-Kuufiy. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq” [At-Taqrib, hal. 813 no. 5696]. Ia telah ditsiqahkan oleh Abu Zur’ah, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hibbaan [lihat selengkapnya : Tahdziibut-Tahdziib, 8/445-446 no. 808].
Sanad hadits ini shahih, dan para perawinya tsiqaat.
Sebagian ulama ada yang menilai hadits ini syaadz karena ‘Abdurrazzaaq telah menyelisihi Muhammad bin Yuusuf Al-Firyaabiy, dimana Al-Firyaabiy tidak menyebutkan lafadh : “tsumma sajada (kemudian sujud)” – setelah lafadh isyarat. Inilah jarh paling penting terhadap hadits ini. Di antara mereka yang paling utama adalah Al-Imaam Al-Muhaadits di jaman ini, Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahmahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah (5/309) dan Tamaamul-Minnah (hal. 214-216). Di antaranya beliau berkata :
بل هذا مما تفرد به عبد الرزاق عن الثوري , و خالف به محمد بن يوسف الفريابي و كان ملازما للثوري , فلم يذكر السجود المذكور . رواه عنه الطبراني. و قد تابعه عبد الله بن الوليد حدثني سفيان  به . أخرجه أحمد ( 4 / 318 ) . وابن الوليد صدوق ربما أخطأ , فروايته بمتابعة الفريابي له أرجح من رواية عبد الرزاق
“Akan tetapi, tambahan ini (yaitu lafadh : tsumma sajada) termasuk lafadh yang ‘Abdurazzaaq bersendirian dengannya dalam periwayatan dari Ats-Tsauriy. Muhammad bin Yuusuf Al-Firyaabiy telah menyelisihinya, dan ia seorang yang bermulzamah kepada Ats-Tsauriy, tanpa menyebutkan lafadh sujud. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy. Al-Firyaabiy mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin Al-Walid : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dan seterusnya seperti hadits Al-Firyaabiy. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/318. Dan Ibnul-Walid ini shaduuq, namun terkadang keliru. Maka riwayatnya dengan adanya mutaba’ah Al-Firyaabiy lebih kuat daripada riwayat ‘Abdurazzaaq” [Ash-Shahiihah, 5/309].
Perkataan beliau (Al-Albaaniy) dalam Tamaamul-Minnah lebih panjang lagi. Silakan merujuk ke sana, namun intinya sama.
Hal itu dijawab sebagai berikut :
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah sendiri telah menjelaskan tentang hadits syaadz dalam muqaddimah Tamaamul-Minnah sebagai berikut :
والحديث الشاذ ما رواه الثقة المقبول مخالفا لمن هو أولى منه على ما هو المعتمد عند المحدثين1 وأوضح ذلك ابن الصلاح في "المقدمة" فقال ص 86
"إذا انفرد الراوي بشيء نظر فيه فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط كان ما انفرد به شاذا مردودا وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره فينظر في هذا الراوي المنفرد فإن كان عدلا حافظا موثوقا بإتقانه وضبطه قبل ما انفرد به ولم يقدح الانفراد به وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر..".
“Dan hadits syaadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah yang maqbul (diterima), namun bertentangan dengan orang yang lebih utama darinya menurut pendapat yang mu’tamad  di kalangan ahli hadits. Ibnu Shalaah telah menjelaskan hal tersebut dalam Al-Muqaddimah hal. 86 : ‘Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syaadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’iif. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syaadz lagi munkar (teringkari)” [Tamaamul-Minnah, hal. 16].
Riwayat Al-Firyaabiy yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Al-Mu’jamul-Kabiir sebagai berikut :
حدثنا عبد الله بن محمد بن سعيد بن أبي مريم ثنا محمد بن يوسف الفريابي ثنا سفيان عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي  صلى الله عليه وسلم  يضع يده اليمنى على اليسرى وإذا جلس افترش رجله اليسرى ووضع ذراعيه على فخذيه وأشار بالسبابة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdulah bin Muhammad bin Sa’id bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf Al-Firyaabiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Dan jika duduk, beliau membentangkan kaki kirinya, dan meletakkan kedua hastanya di atas kedua pahanya dan berisyarat dengan jari telunjuk” [22/33 no. 78].
Perlu diketahui, riwayat Al-Firyaabiy yang dibawakan oleh Ath-Thabaraaniy di atas sangat lemah karena ‘Abdulah bin Muhammad bin Sa’id bin Abi Maryam. Ia seorang yang dla’iif jiddan [lihat : Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 386-387 no. 598].
Namun An-Nasaa’iy dengan sanad shahih membawakan riwayat Al-Firyaabiy tersebut dari Muhammad bin ‘Aliy bin Maimuum :
أخبرنا محمد بن علي بن ميمون الرقي قال حدثنا محمد وهو بن يوسف الفريابي قال حدثنا سفيان عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر :   أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم جلس في الصلاة فافترش رجله اليسرى ووضع ذراعيه على فخذيه وأشار بالسبابة يدعو بها 
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Maimuun Ar-Raqiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin Yuusuf Al-Firyaabiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr : Bahwasanya ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk ketika shalat, lalu membentangkan kaki kirinya dan meletakkan kedua hastanya di atas kedua pahanya, dan berisyarat dengan telunjuk, berdoa dengannya” [Al-Mujtabaa no. 1264 dan Al-Kubraa no. 1187; shahih].
Apakah lafadh yang dibawakan oleh Al-Firyaabiy di atas bertentangan dengan lafadh yang dibawakan ‘Abdurazzaaq sesuai dengan definisi hadits syaadz yang dikemukakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy ? Jawabnya : Tidak, karena ‘Abdurrazzaaq hanya membawakan lafadh tambahan yang tidak dibawakan oleh Al-Firyaabiy. Oleh karena itu, ini termasuk dalam katagori ziyaadatuts-tsiqaat. Riwayat Al-Firyaabiy (dan juga ‘Abdulah bin Al-Waliid) adalah lafadh-lafadh yang umum, yaitu sifat duduk ketika shalat. Duduk ketika shalat itu terdiri dari duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud. Oleh karena itu, tidak bertentangan dengan lafadh ‘Abdurazzaaq.
Selain itu, mengenai kedudukan antara Al-Firyaabiy dengan ‘Abdurazzaaq, Al-Mizziy berkata :
قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و سئل عن أصحاب الثوري ، فقال : أما عبد الرزاق ، والفريابي ، وعبيد الله بن موسى ، وأبو أحمد الزبيري ، وأبو عاصم ، وقبيصة و طبقتهم فهم كلهم في سفيان قريب بعضهم من بعض، وهم دون يحيى بن سعيد وعبد الرحمن بن مهدي ، ووكيع ، وابن المبارك ، وأبى نعيم
Telah berkata Abu Bakr bin Abi Khaitsamah : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin dan ia pernah ditanya tentang ashhaab Ats-Tsauriy, ia berkata : “Adapun ‘Abdurrazzaq, Al-Firyaabiy, ‘Ubaidullah bin Muusaa, Abu Ahmad Az-Zubairiy, Abu ‘Aashim, Qabiishah, dan tingkatan mereka, semuanya dalam periwayatan dari Sufyaan dekat antara satu dengan yang lainnya. Mereka itu di bawah Yahyaa bin Sa’iid, ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, Wakii’, Ibnul-Mubaarak, dan Abu Nu’aim” [selesai].
Jadi, kedudukan secara umum antara ‘Abdurrazzaaq dan Al-Firyaabiy adalah berdekatan, yang bersamaan dengan itu Al-Firyaabiy lebih didahulukan dari ‘Abdurrazzaaq sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (hal. 911 no. 6455).
Sebagian ulama ada juga yang melemahkan hadits isyarat pada waktu duduk di antara dua sujud karena kebersendirian ‘Aashim bin Kulaib. Ibnul-Madiiniy berkata tentang ‘Aashim bin Kulaib :
لا يحتج بما انفرد به.
“Tidak boleh berhujjah dengan riwayat yang ia bersendirian dengannya” [selesai].
Namun, perkataan Ibnul-Madiiniy tersebut boleh kita kritisi, sebab penyendirian perawi tsiqah tidak merusak riwayat yang dibawakannya. Ini adalah madzhab jumhur ulama. Muslim dalam Shahih-nya berhujjah dengan kebersendirian ‘Aashim bin Kulaib (lihat Shahih Muslim no. 2725, 2992).
Seandainya kita berpegang pada keumuman hadits Al-Firyaabiy, maka As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah telah mensahkan hal itu. Adapun beberapa riwayat yang menyebutkan isyarat itu pada duduk tasyahud, maka sesuai dengan kaedah ushul bahwa penyebutan sebagian lafadh dari yang umum dengan hukum yang berkesesuian dengan yang umum, maka tidak dihitung sebagai takhshiish. Contoh : Jika kita berkata : “Muliakan para murid”. Di lain kesempatan kita berkata : “Muliakan Muhammad”. Dan Muhammad itu termasuk di antara para murid tersebut. Maka, Muhammad itu tidak dihitung sebagai satu pentakhshish bagi yang pertama (murid) [lihat : http://www.taimiah.org/index.aspx?function=item&id=948&node=3984].
Jika kita perhatikan secara lebih luas, maka hadits-hadits tentang isyarat ini ada tiga macam :
1.    Hadits yang menyebutkan isyarat pada waktu duduk ketika shalat secara mutlak.
2.    Hadits yang menyebutkan isyarat pada waktu duduk tasyahud.
3.    Hadits yang menyebutkan isyarat pada waktu duduk di antara dua sujud.
Ini saja yang dapat dituliskan. Untuk bahasan yang lebih panjangnya, silakan dirujuk buku Jalaaul-‘Ainain fii Mas-alati Isyarah Bainas-Sajdatain oleh Abu ‘Abdirrahmaan Ahmad Rafiq Ath-Thaahir (silakan unduh di : http://books.bdr130.net/1847.html) atau bahasannya di : http://www.almeshkat.net/index.php?pg=stud&ref=142. Artikel ini merupakan kelanjutan artikel yang lalu di blog ini : Isyarat Dengan Telunjuk Ketika Duduk Di Antara Dua Sujud.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – wonogiri, 21-10-2010].

Comments

Anonim mengatakan...

Bagaimana kesimpulan artikel yang ustadz sampaikan? 1.Hadist Abdurrazzaaq diatas (berisyarat pada semua duduk)adalah adalah dalil yang umum, kemudian dikhususkan dengan hadits Naafi’(berisyarat hanya pada tasyahud) atau 2. Hadist Abdurrazzaaq dan hadits Naafi' tidak saling mengkhususkan

David Hersya mengatakan...

Assalaamu'alaykum!

Iya ustadz, mohon di jawab pertanyaan di atas komentar saya.

Satu lagi, berdasarkan hadits di atas, tidak ada keterangan menggerakkan jari, sedangkan di Zaadul Ma'ad disebut oleh Ibnul Qayyim dengan menggerakan jari. Jadi, apakah dengan hanya berisyarat saja tanpa gerakan jari sudah cukup?