Beberapa rekan tentu sering menemukan beberapa istilah yang terkait dengan keadaan seorang perawi hadits, misalnya : tsiqah, dla’iif, dan yang lainnya. Istilah-istilah tersebut dibuat untuk membedakan keadaan seorang perawi dengan yang lainnya, terkait dengan riwayat yang ia bawa. Salah satu ulama yang telah membuat pengklasifikasian tersebut adalah Al-Imaam Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar Al-‘Asqalaaniy atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah. Di sini, saya akan coba tuliskan tingkatan-tingkatan al-jarh wat-ta’diil perawi hadits menurut beliau (Ibnu Hajar) dalam muqaddimah kitab Taqriibut-Tahdziib[1] (hal. 80); yang kemudian akan saya berikan penjelasan ringkas seperlunya untuk memudahkan.
Ibnu Hajar rahimahullah membagi tingkatan al-jarh wat-ta’dil menjadi 12 tingkatan sebagai berikut :
1. Shahabat.
Tingkatan ini adalah tingkatan yang mungkin paling ma’ruf bagi rekan-rekan semua. Para ulama berselisih pendapat mengenai definisi shahabat. Akan tetapi, definisi paling tepat yang dipegang jumhur ulama adalah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah :
وَالصَّحَابِيُّ مَنْ رَأَى رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَالِ إِسْلَامِ الرَّائِي, وَإِنْ لَمْ تَطُلْ صُحْبَتُهُ لَهُ, وَإِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ شَيْئًا هَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ اَلْعُلَمَاءِ, خَلَفًا وَسَلَفًا.
“Dan (definisi) shahabat adalah orang yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam ketika melihatnya, meskipun tidak lama waktu pershahabatannya itu[2] dan meskipun tidak meriwayatkan satu pun hadits dari beliau. Ini adalah pendapat/perkataan jumhur ulama salaf dan khalaf”[3] [Al-Baa’itsul-Hatsiits oleh Ibnu Katsiir, hal. 491, syarh : Ahmad Syaakir, ta’liq : Al-Albaaniy; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1417 H].
Ibnu Hajar rahimahullah menyempurnakannya dengan menambah keterangan :
مَن لَقِيَ النبي صلى الله عليه وسلم مؤمناً به، ومات على الإسلام، ولو تَخَلَّلتْ رِدَّةٌ.
“Siapa saja yang bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau, dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun pernah murtad” [Nuz-hatun-Nadhar, 1/141, tahqiq : ‘Abdullah bin Dlaifillah Ar-Ruhailiy; Mathba’ah Safiir, Cet. 1/1422].[4]
Seluruh shahabat itu ‘adil[5], karena Allah ta’ala dan Rasul-Nya telah memuji mereka dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
2. Orang yang dipuji dengan perkataan berwazan af’ala seperti : autsaqun-naas (orang yang paling tsiqah); atau dengan pengulangan lafadh sifat seperti : tsiqatun tsiqah, atau pengulangan makna sifat seperti : tsiqatun haafidh.
Ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam ta’dil tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hadits. Hadits yang mereka bawakan juga menduduki tingkatan paling tinggi dalam keshahihan. Orang/perawi yang di-ta’dil dengan lafadh ini tidaklah banyak.
Tidak ada dalam kitab At-Taqriib perawi yang dita’dil oleh Ibnu Hajar dengan wazan af’ala. Akan tetapi, ada beberapa perawi yang di-ta’dil ulama lain dengan lafadh tersebut dan dimuat Ibnu Hajar dalam Tahdziibut-Tahdziib.
Berikut contoh beberapa perawi yang menduduki tingkatan ini :
Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Haasyimiy (w. 95/99/100/101 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah faqiih (ثقة فقيه), ia adalah orang yang pertama kali membicarakan irjaa’” [At-Taqriib, hal. 243 no. 1294]. Namun dalam At-Tahdziib, Ibnu Hajar membawakan perkataan Salamah bin Aslam tentang Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy : “Hasan termasuk orang yang paling tsiqah di sisi manusia (أوثق الناس عند الناس)” [Tahdziibut-Tahdziib 2/320 no. 555 dan Tahdziibul-Kamaal 6/319 no. 1273].
Ziyaad bin Hassaan bin Qurrah Al-Baahiliy Al-Bashriy atau sering disebut Ziyaad Al-A’lam : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqatun-tsiqah (ثقة ثقة)” [At-Taqriib, hal. 344 no. 2077]. Dalam At-Tahdziib disebutkan bahwa Ahmad[6] berkata : “Tsiqatun tsiqah (ثقة ثقة)” [Tahdziibut-Tahdziib 3/362 no. 664].
Abu Bakr ‘Abdullah bin Az-Zubair bin ‘Iisaa bin ‘Ubaidillah Al-Qurasyiy Al-Humaidiy (w. 219) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah, haafidh, faqiih (ثقة حافظ فقيه), murid (ashaab) Sufyan bin ‘Uyainah yang paling agung/besar” [At-Taqriib, hal. 506 no. 3340]. Dalam At-Tahdziib disebutkan perkataan Abu Haatim[7] : “Orang yang paling tsabt (أثبت الناس) dalam riwayat Ibnu ‘Uyainah. Al-Humaidiy adalah pemimpin ashaab Ibnu ‘Uyainah. Ia seorang yang tsiqah imaam (ثقة إمام)” [Tahdziibut-Tahdziib 5/215 no. 372].
Yang ekuivalen dengan ta’dil pada tingkatan ini adalah :
Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim Al-Mughiirah Al-Ju’fiy Abu ‘Abdillah Al-Bukhaariy (w. 256 H) : Ibnu Hajar berkata : “Pemimpin dalam sifat hifdh (جبل الحفظ), imam dunia dalam fiqh hadits (إمام الدنيا في فقه الحديث)” [At-Taqriib, hal. 825 no. 5764].
Muhammad bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan Asy-Syaafi’iy (Al-Imam Asy-Syaafi’iy) (w. 204 H) : Ibnu Hajar berkata : “Pemimpin thabaqah kesembilan (رأس الطبقة التاسعة). Seorang mujaddid dalam urusan agama di awal abad kedua (المجدد أمر الدين على رأس المائتين)” [At-Taqriib, hal. 823-824 no. 5754].
Dan yang lainnya.
3. Orang yang dipuji dengan satu sifat saja, seperti : tsiqah, mutqin, tsabt, atau ‘adl.
Hukum perawi yang diberikan pujian dengan lafadh-lafadh ini adalah diterima/haditsnya shahih.
Ada beberapa perawi dalam kitab At-Taqriib yang dihukumi oleh Ibnu Hajar dengan tsiqah dimana para ulama memang telah bersepakat akan ketsiqahannya. Contohnya :
Ahmad bin Al-Khaliil Al-Baghdaadiy Abu ‘Aliy Al-Bazzaar (w. 248 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة)” [At-Taqriib, hal. 88 no. 32]. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama akan ketsiqahan Ahmad bin Khaliil Al-Baghdaadiy. An-Nasaa’iy, Abu Yahyaa Al-Khaffaaf, dan Al-Haakim berkata : “Tsiqah”. Al-Haakim menambahkan : “Ma’muun”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 1/28 no. 41].
Ahmad bin ‘Utsmaan bin Hakiim Al-Audiy Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy (w. 261 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة)” [At-Taqriib, hal. 95 no. 79]. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama akan ketsiqahan Ahmad bin ‘Utsmaan. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Khiraasy berkata : “Ia seorang yang tsiqah lagi ‘adil”. Al-‘Uqailiy dan Al-Bazzaar berkata : “Tsiqah”. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan darinya dalam kitab Shahih-nya. Disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 1/61 no. 104].
Ada beberapa perawi dalam kitab At-Taqriib yang dihukumi oleh Ibnu Hajar dengan tsiqah dengan mengambil kesimpulan jumhur ulama yang telah men-tsiqah-kannya. Contohnya :
Abaan bin Ishaaq Al-Asadiy Al-Kuufiy An-Nahwiy : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة), diperbincangkan/dikritik oleh Al-Azdiy tanpa hujjah” [At-Taqriib, hal. 103 no. 136]. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “ Tidak mengapa dengannya (ليس به بأس)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Adapun Al-Azdiy berkata : “Matruukul-hadiits”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat [Tahdziibut-Tahdziib, 1/93 no. 165]. Perkataan Yahyaa bin Ma’iin ‘tidak mengapa dengannya’ – ekuivalen dengan perkataan tsiqah. Al-Haakim juga berhujjah dengannya dalam Al-Mustadrak. Perkataan Ibnu Hajar tersebut disepakati juga oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan (1/5 no. 1), karena Al-Azdiy terkenal berlebih-lebihan dalam men-jarh perawi.
Ibraahiim bin Khaalid bin Abil-Yamaan atau lebih dikenal dengan Abu Tsaur (w. 240 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة)” [At-Taqriib, hal. 107 no. 174]. Ahmad berkata : “Ia di sisiku kedudukannya seperti Sufyaan Ats-Tsauriy”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah ma’muun”. Ibnu Hibbaan berkata : “Salah seorang imam di antara imam-imam dunia dalam fiqh, ilmu, wara’, keutamaan, agama, dan kebaikan”. Al-Haakim berkata : “Ia seorang faqih dari penduduk Baghdaad dan ahli fatwa mereka di jamannya. Salah seorang muhadiits yang mutqin”. Abu Haatim berkata : “Abu Tsaur adalah seorang yang berkata-kata dengan ra’yu; kadang keliru, dan kadang benar. Dan ia bukanlah tempat yang dijadikan sandaran dalam hadits. Namun aku menulis hadits darinya”. Maslamah bin Qaasim Al-Andalusiy berkata : “Seorang yang tsiqah jaliil lagi faqiih” [Tahdziibut-Tahdziib, 1/118-119 no. 211]. Al-Khathiib berkata : “Salah seorang perawi tsiqaat lagi ma’muun, termasuk dari kalangan para imam yang mumpuni dalam agama” [Taariikh Baghdaad, 6/577]. Ibnu Hajar mengesampingkan jarh Abu Haatim karena penyendiriannya, mengingat ia juga tercatata sebagai ulama yang tasyaddud dalam jarh terhadap perawi.
Ada beberapa perawi dalam kitab At-Taqriib yang dihukumi oleh Ibnu Hajar dengan tsiqah, namun sebenarnya kedudukannya tidak seperti yang dikatakannya – setelah dilakukan penelitian dari yang disebutkannya dalam At-Tahdziib. Contohnya :
Hassaan bin ‘Abdillah Adl-Dlamriy Asy-Syaamiy : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة)” [At-Taqriib, hal. 233 no. 1211]. Namun penghukuman beliau ini tidak benar. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak masyhuur”. Tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibbaan dan Al-‘Ijliy, yang keduanya telah dikenal sebagai ulama yang tasahul dalam tautsiq. Hanya seorang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu Abu Idriis Al-Khaulaaniy [lihat : Tahdziibut-Tahdziib 2/250 no. 455 dan Tahdziibul-Kamaal, 6/30-31 no. 1191]. Oleh karena itu, statusnya yang tepat adalah majhuul.
Rifaa’ah bin Iyaas bin Nudzair Adl-Dlabbiy Al-Kuufiy (w. 180-an H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah (ثقة)” [At-Taqriib, hal. 327 no. 1955]. Namun dalam At-Tahdziib, Ibnu Hajar menyebutkan perkataan para ulama yang tidak mendukung pen-tsiqah-annya tersebut. Abu Haatim berkata : “Syaikh, ditulis haditsnya. Ia seperti Al-Muthallib bin Ziyaad[8]”. Abu Zur’ah berkata : “Syaikh”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Khalfuun menukil dari Ahmad tentang pentautsiqannya [Tahdziibut-Tahdziib, 3/280 no. 528]. Akan tetapi penukilan sumber dari Ahmad ini perlu dikritisi, sebab tidak ada pentautsiqan dari Ahmad kecuali muncul dari Ibnu Khalfuun, sedangkan ia adalah ulama muta’akhkhiriin. Oleh karena itu, paling tinggi statusnya adalah hasan. Wallaahu a’lam.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi beberapa perawi dengan tsiqah lahu afraad (ثقة له أفراد) – terpercaya, namun mempunyai beberapa hadits yang ia bersendirian dalam periwayatannya. Secara umum, penghukuman ini sama dengan pentautsiqan secara mutlak. Contohnya :
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy Abu Yaziid (w. 160) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah lahu afraad (ثقة له أفراد)” [At-Taqriib, hal. 104 no. 144]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
Ahmad berkata : “Tsabat dalam setiap masyaaikh”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah. Adalah (Yahyaa bin Sa’iid) Al-Qaththaan meriwayatkan hadits darinya. Dan ia lebih aku cintai daripada Hammaam, dan Hammaam sendiri adalah seorang yang aku cintai”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Ia di sisi kami seorang yang tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Ia lebih aku cintai dari Hammaam dan Yahyaa bin Abi Katsiir”. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah”. Ahmad berkata : “Ia lebih tsabt dari ‘Imraan Al-Qaththaan”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Hasanul-hadiits, dan aku berharap ia termasuk orang-orang yang jujur”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 1/101-102 no. 175]. Tidak ragu lagi perkataan para ulama tadi menunjukkan Abaan seorang yang tsiqah secara mutlak.
Zaid bin Abi Unaisah Al-Jazriy Abu Usaamah Al-Kuufiy (91-124/125 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah lahu afraad (ثقة له أفراد)” [At-Taqriib, hal. 350 no. 2130]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Audiy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, faqiih, periwayat ilmu”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Ia seorang yang faqiih lagi wara’”. Abu Daawud dan Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Al-‘Uqailiy meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia berkata : “Haditsnya hasan muqaarib (pertengahan) yang sebagian di antaranya terdapat pengingkaran. Bersamaan dengan hal tersebut, ia seorang yang hasanul-hadiits”. Al-Marwaziy pernah bertanya kepada Ahmad tentangnya, maka Ahmad menggerakkan tangannya dan berkata : “Shaalih, ia bukanlah seperti itu”. Ibnu Khalfuun menyebutkan bahwa Adz-Dzuhliy, Ibnu Numair, dan Al-Barqiy mentsiqahkannya [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 3/397-398 no. 729]. Pernyataan bahwa sebagian riwayatnya terdapat pengingkaran tidaklah menghilangkan status ketsiqahannya. Adz-Dzahabiy berkata tentangnya : “Haafidh, imaam, tsiqah” [Al-Kaasyif, 1/415 no. 1723].
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi beberapa perawi dengan tsiqah namun mempunyai riwayat-riwayat ghariib – tsiqatun yughribu (ثقة يغرب). Ada sebelas orang perawi yang masuk klasifikasi ini, yaitu : Ibraahiim bin Suwaid bin Hayyaan Al-Madiniy (hal. 108 no. 185), Ibraahiim bin Thahmaan Al-Khuraasaaniy Abu Sa’iid (hal. 109 no. 191), Ismaa’iil bin ‘Ubaid bin ‘Umar bin Abi Kariimah Al-Umawiy Al-Harraaniy Abu Ahmad (hal. 142 no. 472), Bisyr bin Bakr At-Tinniisiy Abu ‘Abdillah Al-Bajaliy (hal. 168 no. 683), Bisyr bin Khaalid Al-‘Askariy Abu Muhammad Al-Faraaidliy Al-Bashriy (hal. 169 no. 690), Basyiir bin Salmaan Al-Kindiy Abu Ismaa’iil Al-Kuufiy (hal. 172 no. 722), Al-Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib Abu Muslim Al-Harraaniy (hal. 234 no. 1220), ‘Aliy bin Al-Hakam Adh-Dhabyaan Al-Anshaariy Al-Marwaziy (hal. 694 no. 4755), ‘Iisaa bin Ahmad bin ‘Iisaa bin Wardaan Al-‘Asqalaaniy (hal. 766 no. 5321), Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Hakiim bin Sahm Al-Anthaakiy (hal. 869 no. 6112), dan Muusaa bin Thaariq Al-Yamaaniy Abu Qurrah Al-Qaadliy (hal. 981 no. 7026).
Secara umum, perawi yang dihukumi Ibnu Hajar dengan lafadh ini juga merupakan perawi tsiqah secara mutlak, sehingga haditsnya shahih. Contohnya :
‘Aliy bin Al-Hakam Adh-Dhabyaan Al-Anshaariy Al-Marwaziy (w. 220/226 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqatun yughribu (ثقة يغرب)” [At-Taqriib, hal. 694 no. 4755]. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Haakim berkata dalam Taariikh-nya : “Termasuk dari kalangan perawi tsiqaat”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah” [Tahdziibut-Tahdziib, 7/310 no. 527].
Iisaa bin Ahmad bin ‘Iisaa bin Wardaan Al-‘Asqalaaniy (w. 268 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqatun yughribu (ثقة يغرب)” [At-Taqriib, hal. 766 no. 5321]. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Khaliiliy berkata : “Ia seorang yang tsiqah besar dari kalangan ulama, dikenal dengan julukan Ibnul-Baghdaad. Ia mempunyai beberapa hadits yang bersendirian dalam periwayatan” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 8/205-206 no. 382].
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi beberapa perawi dengan tsiqah rubamaa wahm (ثقة ربما وهم) – terpercaya, namun kadang ragu-ragu. Ada sepuluh orang perawi masuk klasifikasi ini, yaitu : Al-Husain bin Dzakwaan Al-Mu’allim Al-Mukattib Al-‘Audziy Al-Bashriy (hal. 247 no. 1329), Hafsh bin Maisarah Al-‘Uqailiy Abu ‘Umar Ash-Shan’aaniy (hal. 260 no. 1442), Al-Hakam bin ‘Abdillah bin Ishaaq bin Al-A’raj Al-Bashriy (hal. 262 no. 1455), Sahl bin Bakkaar bin Bisyr Ad-Daarimiy Al-Bashriy Abu Bisyr (hal. 418 no. 2666), Ash-Shalt bin Mas’uud bin Thariif Al-Juhduriy Abu Bakr/Muhammad Al-Bashriy (hal. 455 no. 2966), ‘Abbaad bin ‘Abbaad bin Habiib bin Al-Muhallab bin Abi Shufrah Al-Azdiy Abu Mu’aawiyyah (hal. 481 no. 3149), ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats Al-Kuufiy (hal. 716 no. 4914), ‘Amru bin Abi ‘Amru Maisarah Al-Madaniy Abu ‘Utsmaan (hal. 742 no. 5118), Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib bin Raafi’ Al-Kaahiliy Ats-Tsa’labiy Al-Kuufiy (hal. 762 no. 5293), dan Hammaam bin Yahyaa bin Diinaar Al-‘Audziy Abu ‘Abdilah/Bakr Al-Bashriy (hal. 1024 no. 7369).
Perawi dalam klasifikasi ini adalah perawi yang ditsiqahkan oleh jumhur ulama, namun sebagian kecil di antaranya mengkritik hapalannya atau sebagian haditsnya yang terdapat idlthiraab atau kelemahan. Akan tetapi, secara umum kedudukannya juga seperti perawi tsiqah yang haditsnya tidak turun dari derajat shahih. Contohnya :
Hafsh bin Maisarah Al-‘Uqailiy Abu ‘Umar Ash-Shan’aaniy (w. 181) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah rubamaa wahm (ثقة ربما وهم)” [At-Taqriib, hal. 260 no. 1442]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
Ahmad berkata : “Tsiqah”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Ats-Tsauriy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits”. Di kesempatan lain ia berkata : “Ditulis haditsnya, dan tempatnya kejujuran, namun dalam haditsnya ada sebagian keraguan”. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Tsiqah, tidak mengapa dengannya”. Abu Daawud berkata : “Ia dilemahkan dalam penyimakan”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. As-Saajiy berkata : “Dalam haditsnya ada kelemahan”. Al-Azdiy berkata : “Ia meriwayatkan dari Al-‘Alaa’ hadits-hadits yang diingkari. Para ulama telah memperbincangkannya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tidak boleh menoleh kepada perkataan Al-Azdiy” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 2/419-420 no. 728].
Sahl bin Bakkaar bin Bisyr Ad-Daarimiy Al-Bashriy Abu Bisyr (w. 227/228 H) : Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah rubamaa wahm (ثقة ربما وهم)” [At-Taqriib, hal. 418 no. 2666]. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Berikut beberapa data perkataan ulama yang disebutkan dalam At-Tahdziib secara ringkas :
Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Kadang ragu dan keliru”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Qaani’ berkata : “Shaalih”. Telah berkata Ibnu Abi Haatim dari ayahnya : “Shaduuq” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 4/247 no. 434].
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi perawi dengan tsiqah yahimu qaliilan (ثقة يهم قليلا) – terpercaya, sedikit ragu. Ada dua orang perawi masuk klasifikasi ini, yaitu : Ibraahiim bin Al-Hajjaaj bin Zaid As-Saamiy (hal. 106 no. 163) dan Suraij bin An-Nu’maan bin Marwaan Al-Jauhariy Abul-Hasan Al-Baghdaadiy (hal. 366 no. 2231). Perawi dalam klasifikasi ini adalah perawi tsiqah yang tidak memudlaratkannya sedikit keraguan yang ada padanya, sehingga haditsnya shahih.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi perawi dengan tsiqah yahimu (ثقة يهم) – terpercaya, sering ragu. Hanya seorang perawi masuk klasifikasi ini, yaitu : Muhammad bin ‘Abdillah Ar-Ruzziy Abu Ja’far Al-Baghdaadiy (hal. 867 no. 6096). Akan tetapi penelitian terhadap kitab At-Tahdziib menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Abdilah ini seorang yang tsiqah, dan tidak benar penisbatan keraguan padanya. Berikut perkataan ulama tentangnya :
Ya’quub bin Syaibah berkata : “Ia seorang syaikh yang shaduuq”. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy berkata : “Tsiqah”. Telah berkata Ibnu ‘Uqdah dari ‘Abdullah bin Ahmad : “Ia seorang yang tsiqah”. Al-Hasan bin Sufyaan berkata : “Tsiqah ma’muun”. Al-Hasan berkata : “Aku menulis darinya bersama Abu Zur’ah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Ia termasuk dari kalangan huffaadh yang kadang melakukan penyelisihan”. Ibnu Qaani’ berkata : “Shaalih” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, hal. 9/285 no. 469].
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi perawi dengan tsiqah rubamaa akhtha’ (ثقة ربما أخطأ) – terpercaya, kadang keliru. Hanya seorang perawi masuk klasifikasi ini, yaitu : Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid bi Abaan bin Sa’iid bin Al-‘Aash Al-Umawiy Abu ‘Utsmaan Al-Baghdaadiy (hal. 390 no. 2328).
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib juga menghukumi perawi dengan tsiqah rubamaa khaalif (ثقة ربما خالف) – terpercaya, kadang melakukan penyelisihan. Hanya dua orang perawi masuk klasifikasi ini, yaitu : Salm bin Junaadah bin Salm As-Suwaaiy Abu Saaib Al-Kuufiy (hal. 396 no. 2477) dan ‘Abdullah bin Saalim/Muhammad bin Saalim Az-Zubaidiy Abu Muhammad Al-Kuufiy (hal. 509 no. 3356). Perawi yang dihukumi dengan lafadh ini sama dengan perawi tsiqah. Penyelisihan yang ada di sebagian haditsnya tidak menyebabkan hadits-haditsnya turun dari derajat shahih.
Perlu diperhatikan bahwa tidak ada perawi yang diberikan pujian oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib dengan satu sifat : mutqin, tsabt, atau ‘adl. Akan tetapi ta’dil dengan sifat-sifat itu digandengkan dengan sifat yang lain seperti : tsiqah mutqin, tsiqah tsabt, dan yang semisalnya.
Bersambung…………… (semoga dimudahkan).
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai 1431 H].
[1] Taqriibut-Tahdziib, tahqiq : Abu Asybaal Shaghiir Ahmad Al-Baakistaaniy, taqdim : Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid; Daarul-‘Aashimah.
[2] Berkata ‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah :
من صحب النبي صلى الله عليه وسلم أو رآه ولو ساعة من نهار فهو أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم.
“Siapa saja yang bershahabat dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau pernah melihat beliau meskpin hanya sesaat di waktu siang, maka ia termasuk di antara shahabat-shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Fathul-Baariy, 7/5].
[3] Dalam pendefinisian ini, para ulama berdalil dengan hadits :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيَقُولُونَ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ ثُمَّ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيُقَالُ هَلْ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ ثُمَّ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ فَيَغْزُو فِئَامٌ مِنْ النَّاسِ فَيُقَالُ هَلْ فِيكُمْ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيُفْتَحُ لَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amr, ia berkata : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan datang kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu orang-orang bertanya kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bersahabat (mendampingi) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?". Kelompok itu menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?". Mereka menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu jaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka : ‘Apakah diantara kalian ada orang yang bershahabat dengan orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?’. Mereka menjawab : ‘Ya ada’. Maka mereka diberi kemenangan".
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3649. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2532 dan Ahmad 3/7.
[4] Peringatan :
Penerbit Pustaka Thariqul-‘Izzah – milik kelompok Hizbut-Tahrir – telah melakukan ketidakamanahan saat menterjemahkan kitab Taisiru Mushthalahil-Hadiits karya Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan. Ketika beliau (Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan) menjelaskan definisi shahabat sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, maka Pustaka Thariqul-‘Izzah memberikan catatan kaki sebagai berikut :
“Imam Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Ali memiliki pendapat yang berbeda dan ini yang benar, yang mengutip perkataan Sa’iid bin Musayyab, bahwa beliau berkata : ‘Sahabat itu tidak kita perhitungkan kecuali orang yang pernah bersama-sama Rasulullah saw selama satu tahun atau dua tahun, dan pernah turut serta berperang dalam satu kali atau dua kali peperangan bersama beliau’. Lihat kitab Asy-Syakhsiyyah Al-Islaamiyyah karya Taqiyyuddin An-Nabhani, juz III/310. Atau pernyataan Al-Mazini yang terdapat dalam syarah kitab Al-Burhan : ‘Kita tidak begitu saja mengatakan, bahwa sahabat yang adil itu adalah setiap orang yang menyaksikan Nabi saw satu hari, atau menyaksikan beliau hanya kadang-kadang (sesaat), atau berkumpul bersama beliau karena satu kepentingan, setelah itu berpaling, melainkan orang-orang yang mengikuti dan bersama-sama beliau, menolong beliau, dan mengikuti cahaya yang diturunkan Allah. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
[lihat buku : Ilmu Hadits Praktis, hal. 257, penerjemah : Abu Fuad, penyunting : A. Saifullah, penyunting hadits : Umar; Pustaka Thariqul Izzah, Cet. II, Jumadil-Akhir 1427 H/Juni 2006 M].
Saya katakan : Ini adalah satu ketidakamanahan. Dr. Mahmuud Ath-Thahhaan tidak pernah memberikan catatan kaki tersebut. ‘Tidak masalah’ seandainya kru Pustaka Thariqul Izzah tidak sependapat dengan yang definisi yang dikutip Dr. Mahmuud dari Ibnu Hajar. Namun seharusnya catatan kaki tersebut diberikan keterangan bahwa itu adalah tambahan dari Penerbit. Orang yang membaca buku terjemahan tersebut niscaya akan menyimpulkan bahwa kalimat di atas berasal dari Dr. Ath-Thahhaan. Padahal, manhaj Dr. Ath-Thahhaan telah jelas, yaitu mengikuti manhaj ahlul-hadiits. Beliau sama sekali tidak pernah mengutip buku Taqiyyuddiin An-Nabhaaniy rahimahullah, karena telah ma’ruf An-Nabhaaniy bukanlah terhitung sebagai ahli hadits. Lagi pula, penisbatan definisi shahabat dari Ibnul-Musayyib itu tidaklah benar, karena riwayatnya lemah.
[5] Berkata Ibnul-Anbaariy rahimahullah :
وليس المراد بعدالتهم ثبوت العصمة لهم لاستحالة المعصية منهم، وإنما المراد قبول رواياتهم من غير تكلُّف بحث عن أسباب العدالة وطلب التزكية، إلَّا إن ثبت ارتكاب قادح، ولم يثبت ولله الحمد.
“Dan bukanlah yang dimaksud dengan sifat ‘adalah mereka adalah tetapnya ‘ishmah (kemaksuman) bagi mereka karena kemustahilan mereka untuk melakukan maksiat. Dan yang dimaksud dengan ‘adalah hanyalah penerimaan riwayat mereka tanpa bersusah-payah melakukan penelitian terhadap sebab-sebab ‘adalah dan tazkiyyah. Kecuali jika terbukti adanya pelanggaran yang fatal, namun itu tidaklah terbukti. Bagi Allah segala puji” [Al-Manhaj Al-Islaamiy fil-Jarh wat-Ta’diil, hal 219].
[6] ‘Abdullah bin Ahmad berkata : Telah berkata ayahku (Ahmad bin Hanbal) : “Ziyaad Al-A’lam, tsiqatun tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/552 no. 2496].
[7] Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/57 no. 264.
[8] Tentang Al-Muthallib ini, Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’dil, 8/360].
Comments
artikel yang sangat bagus dan bermanfaat. meskipun ana tidak mengerti ilmu rijal, namun artikel ini membuat ana semakin mencintai ilmu ini dan bersemangat untuk mempelajarinya sedikit demi sedikit.
syukron ustadz, ana tunggu sambungannya.
Ustad , mohon dijelaskan bagaimana kriteria al jarh wat-ta'diil , untuk masalah ( fitnah ) yang berkembang belakangan ini ??
Karena sulit untuk mencari orang yang tsiqah dalam membawakan berita .
Atau pertanyaannya dibalik saja ya ? apakah metode al jarh wat ta'diil dapat di pergunakan dalam menyaring berita ? karena di Indonesia ini rasanya belum ada seorang ulamapun yang mempunyai kemampuan untuk hal itu.
Sukron ustad
Pertanyaannya berat, dan bukan kapasitas saya untuk mengomentarinya.
Tidak salah kalau ana senantiasa membaca bloq antum , ustad .
Jawaban antum , mencerminkan dalamnya ilmu antum , semoga Allah menambah kebaikan antum dan yang membaca bloq ini , tentunya yang dapat mengambil faedahnya .
Ana yang bertanya diatas.
Semoga Allah Ta'ala menambah ilmu antum karena menurunkan artikel yg sangat berfaedah, bagi saya dan bagi kawan2 yg lain. Amin
Salam. Maaf, apakah tulisan di atas ada lanjutan nomor2 berikutnya? Sudah adakah? Terima kasih.
ustadz,,apa ada lgi lanjutan studi tingkatan2 jarh wa ta';dil,,,...syukran bwt ilmunya,,,..rabbi zidnii ilman,,..
Tulisan di atas sebenarnya ada lanjutannya. Hanya saja belum dilanjutkan. Semoga Allah memudahkannya............
Posting Komentar