Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah membawakan sanadnya sampai pada Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy, ia berkata :
ناظر أبو جعفر أمير المؤمنين مالكا في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال له مالك : يا أمير المؤمنين، لا ترفع صوتك في هذا المسجد، فإن الله تعالى أدب قوماً فقال : (لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِي) الآية، ومدح قوما فقال : (إِنَّ الَّذِيْنَ يَغُضُّوْنَ أَصِوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ) الآية، وذم قوما فقال : (إِنَّ الَّذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ منْ وَرَاءِ الْحُجُراَتِ) الآية، وإن حرمته ميتا كحرمته حياً، فاستكان لها أبو جعفر، وقال : يا أبا عبد الله أستقبل القبلة، وأدعوا أم أستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ فقال : ولِمَ تَصْرِفُ وجهك عنه، وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم عليه السلام، بل استقبله واستشفع فيه فيشفعه الله فيك.
“Abu Ja’far Amiirul-Mukminiin pernah berdebat dengan Maalik (bin Anas) di masjid Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maalik berkata kepadanya : “Wahai Amiirul-Mukminiin, janganlah engkau meninggikan suaramu di masjid ini, karena sesungguhnya Allah ta’ala telah mendidik satu kaum dengan berfirman : ‘Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi…’.[1] Dan memuji satu kaum dengan berfirman : ‘Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah…’.[2] Dan mencela satu kaum dengan berfirman : ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu)…’.[3] Sesungguhnya kehormatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu wafat seperti kehormatan beliau di waktu hidup”. Abu Ja’far merendah dan berkata : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, apakah aku menghadap kiblat saat berdoa ataukah menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Maalik bin Anas menjawab : “Mengapa engkau palingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilah (perantara)-mu dan wasilah ayahmu Adam ‘alaihis-salaam. Hendaknya engkau menghadap ke (kubur) beliau dan mintalah syafa’at dengannya, niscaya Allah akan memberikan syafa’at kepadamu”.[4]
Kisah ini sering dijadikan dalil oleh sebagian kaum muslimin tentang keutamaan tawassul kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; atau keutamaan menghadap kubur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat berdoa.
Pembahasan :
Kisah ini tidak shahih dengan dua sebab :
1. Keterputusan antara Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy dengan Maalik bin Anas, terutama di jaman Abu Ja’far Al-Manshuur.
Maalik bin Anas wafat tahun 179 H. Amiirul-Mukminiin Abu Ja’far Al-Manshuur wafat tahun 158 H di Makkah. Adapun Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy wafat tahun 248 H.
Dapat kita lihat bahwa Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy tidak menjumpai Maalik bin Anas dan Ja’far Al-Manshuur, karena terpaut jarak yang cukup jauh.[5]
2. Kelemahan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy.
Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, diantaranya :
Al-Bukhaariy berkata : “Fiihi nadhar” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/167]. Sebagaimana maklum bahwa kalimat ini di sisi Al-Bukhariy merupakan jarh yang keras. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari (katsiirul-manaakir)” [Tahdziibul-Kamaal, 25/102]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah” [Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ishaaq bin Manshuur berkata : “Aku bersaksi di hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar adalah pendusta” [Taariikh Baghdaad, 2/263]. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy Al-Haafidh berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy…” [Taariikh Baghdaad, 2/262]. Ia telah didustakan oleh Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari para syaikh negerinya” [Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005]. Ibraahiim bin Ya’quub Al-Jauzajaaniy berkata : “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 207 no. 382]. Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin (3/54). Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no. 5452) dan berkata : “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata : “Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik terhadapnya” [At-Taqriib, hal. 839 no. 5871]. Dan yang lainnya.
Adapun Ahmad bin Hanbal[6], Ibnu Ma’iin, dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tautsiq-nya.
Namun yang raajih adalah pendapat jumhur yang melemahkannya, karena jarh yang mereka berikan adalah jenis jarh yang mufassar (dijelaskan sebabnya). Selengkapnya, silakan baca Tahdziibul-Kamaal, 25/97-108.
Selain itu, lebih memilih menghadap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa dibandingkan menghadap kiblat merupakan satu bentuk penyelisihan dari petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا عمرو بن يحيى عن عباد بن تميم عن عبد الله بن زيد قال : خرج النبي صلى الله عليه وسلم إلى هذا المصلى يستسقى، ثم استقبل القبلة وقلب رداءه.
Telah menceritakan kepada kami Musaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Yahyaa, dari ‘Abbaad bin Tamiim, dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang ini untuk berdoa meminta hujan. Lalu beliau menghadap kiblat dan membalikkan selendangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6343].
حدثنا عثمان بن أبي شيبة: حدثنا طلحة بن يحيى: حدثنا يونس، عن الزهري، عن سالم، عن ابن عمر رضي الله عنهما:
أنه كان يرمي الجمرة الدنيا بسبع حصيات، يكبر على إثر كل حصاة، ثم يتقدم حتى يسهل، فيقوم مستقبل القبلة، فيقوم طويلا، ويدعو ويرفع يديه، ثم يرمي الوسطى، ثم يأخذ ذات الشمال فيسهل، ويقوم مستقبل القبلة، فيقوم طويلا، ويدعو ويرفع يديه، ويقوم طويلا، ثم يرمي جمرة ذات العقبة من بطن الوادي، ولا يقف عندها، ثم ينصرف، فيقول: هكذا رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يفعله.
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Thalhah bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Yuunus, dari Az-Zuhriy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya ia melempar jumrah dun-yaa (uulaa) dengan tujuh buah kerikil dengan bertakbir setiap kali pelemparan. Setelah itu ia maju ke tanah datar dan berdiri menghadap ke arah kiblat. Ia berdiri lama untuk berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Setelah itu ia melempar jumrah wusthaa, lalu ia pergi ke arah kiri menuju tanah datar dan berdiri sambil menghadap ke arah kiblat. Ia berdiri lama untuk berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Setelah itu ia melempar jumrah ‘aqabah dari tengah lembah, dan ia tidak berhenti di situ namun terus pergi dan kemudian berkata : “Seperti inilah aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1751].
Semoga ada manfaatnya……..
[Abul-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas Bogor – 16610; for http://abul-jauzaa.blogspot.com].
[1] QS. Al-Hujuraat : 2.
[2] QS. Al-Hujuraat : 3.
[3] QS. Al-Hujuraat : 4.
[4] Asy-Syifaa’ bi-Ta’riifi Huquuqil-Mushthafaa (2/40-41).
[5] Lihat : Qaaidatun Jaliilah fit-Tawassul wal-Wasiilah oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah – ebook from http://www.islamway.com
[6] Namun Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin (2/321) menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid, beliau mengibaskan tangannya”.
Nampaknya inilah pendapat terakhir dari Ahmad bin Hanbal yang mencabut tautsiq-nya dari Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy.
Comments
Alhamdulillah, ini dulu ana tunggu-tunggu artikelnya :D
Salam 'alaik..
mf Mungkin akan lebih baik lagi jika menyertakan tentang bagaimana do'a Rosul di Kubur, menghadap ke mana?
Sebab dalil yang di atas tentang doa istisqo dan jumrah bisa disebut khusus, bisa juga dimutlakkan untuk setiap do'a.
sementara untuk di kubur bisa saja dikatakan perlu dalil khusus. mf kalo salah
Jazakumullah khairan katsira
Posting Komentar