'Aqidah Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat (Ru'yatullah)


‘Aqidah bahwasannya Allah ta’ala dapat dilihat kelak oleh orang-orang beriman di akhirat merupakan bagian ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang didasari oleh dalil-dalil mutawatir, baik Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada orang yang menyelisihi dan menentangnya kecuali dari kalangan ahlul-bida’ atau orang-orang bodoh yang perlu diajari. Melalui media ini, perlu kiranya dituliskan kembali bahasan dimaksud sebagai pelengkap dari apa telah dituliskan para asatidzah yang telah disebarluaskan di berbagai website/blog.

Dalil dari Al-Qur’an

Allah ta’ala berfirman :

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat” [QS. Al-Qiyaamah : 22-23].

Ayat ini merupakan dalil yang paling jelas dan kuat yang menetapkan ru’yatullah (dilihatnya Allah pada hari kiamat) oleh orang-orang mukmin menurut ‘aqidah Ahlus-Sunnah.[1]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

ثم قال تعالى: { وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ } من النضارة، أي حسنة بَهِيَّة مشرقة مسرورة، { إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ } أي: تراه عيانا، كما رواه البخاري، رحمه الله، في صحيحه: "إنكم سترون ربكم عَيَانا".

“Kemudian Allah ta’ala berfirman : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri’ ; berasal dari kata an-nadlaarah yang berarti bagus, menawan, cemerlang, lagi penuh kebahagiaan. (Firman Allah ta’ala : ) ‘Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ ; yaitu melihat-Nya dengan mata telanjang, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhariy rahimahullah dalam Shahih-nya[2] : ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan mata telanjang”.[3]

Allah ta’ala berfirman :

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” [QS. Yunus : 26].

Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

وقد روي تفسير الزيادة بالنظر إلى وجه الله الكريم، عن أبي بكر الصديق، وحذيفة بن اليمان، وعبد الله بن عباس [قال البغوي وأبو موسى وعبادة بن الصامت] وسعيد بن المسيب، وعبد الرحمن بن أبي ليلى، وعبد الرحمن بن سابط، ومجاهد، وعكرمة، وعامر بن سعد، وعطاء، والضحاك، والحسن، وقتادة، والسدي، ومحمد بن إسحاق، وغيرهم من السلف والخلف.
وقد وردت في ذلك أحاديثُ كثيرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فمن ذلك ما رواه الإمام أحمد:
حدثنا عفان، أخبرنا حماد بن سلمة، عن ثابت البُناني، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى، عن صهيب؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تلا هذه الآية: { لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ } وقال: "إذا دخل أهل الجنة الجنة، وأهل النار النار، نادى مناد: يا أهل الجنة، إن لكم عند الله موعدًا يريد أن يُنْجِزَكُمُوه. فيقولون: وما هو؟ ألم يُثقِّل موازيننا، ويبيض وجوهنا، ويدخلنا الجنة، ويزحزحنا من النار؟". قال: "فيكشف لهم الحجاب، فينظرون إليه، فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم من النظر إليه، ولا أقر لأعينهم".

“Telah diriwayatkan penafsiran kata az-ziyaadah (tambahan) dengan melihat wajah Allah Yang Mulia dari Abu Bakr Ash-Shiddiq,[4] Hudzaifah bin Al-Yamaan,[5] ‘Abdullah bin Al-‘Abbaas,[6] [Al-Baghawiy berkata : Abu Musa, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit], Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, ‘Abdurrahman bin Saabith, Mujaahid, ‘Ikrimah, ‘Aamir bin Sa’d, ‘Atha’, Adl-Dlahhaak, Al-Hasan, Qataadah, As-Suddiy, Muhammad bin Ishaaq, dan yang lainnya dari kalangan salaf dan khalaf. Dan telah banyak hadits yang membicarakan hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad[7] : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa, dari Shuhaib : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’, beliau bersabda : “Bila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka, maka ada seorang penyeru yang memanggil : ‘Wahai penduduk surga, sesungguhnya kalian mempunyai apa yang telah dijanjikan di sisi Allah, Allah ingin memenuhinya untuk kalian. Maka mereka berkata : ‘Apakah itu ? bukankah Allah telah memberatkan timbangan (amal baik) kami, memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Maka dibukalah hijab untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada wajah-Nya”.[8]

Allah ta’ala berfirman :

كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka” [QS. Al-Muthaffifiin : 15].

Dalil dari As-Sunnah

عن أبي هريرة : أن ناسا قالوا لرسول الله صلى الله عليه وسلم : يا رسول الله! هل نرى ربنا يوم القيامة؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هل تضارون في رؤية القمر ليلة البدر؟" قالوا: لا. يا رسول الله! قال: "هل تضارون في الشمس ليس دونها سحاب؟" قالوا: لا. يا رسول الله! قال "فإنكم ترونه كذلك. يجمع الله الناس يوم القيامة. فيقول: من كان يعبد شيئا فليتبعه. فيتبع من كان يعبد الشمس الشمس. ويتبع من كان يعبد القمر القمر. ويتبع من كان يعبد الطواغيت الطواغيت. وتبقى هذه الأمة فيها منافقوها. فيأتيهم الله، تبارك وتعالى، في صورة غير صورته التي يعرفون. فيقول: أنا ربكم. فيقولون: نعوذ بالله منك. هذا مكاننا حتى يأتينا ربنا. فإذا جاء ربنا عرفناه. فيأتيهم الله تعالى في صورته التي يعرفون. فيقول: أنا ربكم. فيقولون: أنت ربنا. فيتبعونه.

Dari Abu Hurairah : Bahwa para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Rabb kita pada hari kiamat ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah kalian semua tertutup mata untuk melihat bulan pada malam bulan purnama ?”. Mereka menjawab : “Tidak, ya Rasulullah”. Beliau bertanya lagi : “Apakah kalian semua tertutup mata untuk melihat matahari tanpa dibayangi awan ?”. Mereka menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya kalian semua akan melihat Allah seperti itu. Allah akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat, lalu Dia berfirman : ‘Barangsiapa menyembah sesuatu, maka ikutlah dengannya’. Kemudian orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala, dan tinggallah umat ini di tempatnya, termasuk di dalamnya kelompok munafik. Maka Allah tabaaraka wa ta’ala mendatangi mereka dalam rupa yang tidak mereka kenal. Kemudian Allah berfirman : ‘Aku adalah Rabb kalian’. Mereka menjawab : ‘Kami berlindung kepada Allah darimu. Kami tetap di tempat kami hingga Rabb kami datang kepada kami. Kalau Rabb kami datang, pasti kami mengenal-Nya’. Kemudian Allah datang kepada mereka dengan rupa yang mereka kenal, lalu berfirman : ‘Aku adalah Rabb kalian’. Mereka menjawab : ‘Engkau Rabb kami’. Maka mereka pun mengikuti-Nya”.[9]

عن جرير قال : كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم، فنظر إلى القمر ليلة - يعني البدر - فقال: (إنكم سترون ربكم، كما ترون هذا القمر، لا تضامون في رؤيته، فإن استطعتم أن لا تغلبوا على صلاة قبل طلوع الشمس وقبل غروبها فافعلوا). ثم قرأ: {وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ}.

Dari Jarir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Suatu hari kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pada suatu malam beliau melihat bulan purnama dan bersabda : “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan kalian. Karena itu, jangan sampai kalian lewatkan shalat sebelum matahari terbit (shalat Shubuh) dan shalat sebelum matahari terbenam (shalat ‘Ashar)”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘…dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya)’ (QS. Qaaf : 39)”.[10]

Penyerupaan dalam hadits di atas adalah penyerupaan dalam hal memandang yang tanpa dihalangi sesuatupun, bukan dalam penyerupaan Allah dengan matahari ataupun bulan.

Berkata Al-Imam Abu Isma’il Ash-Shaabuniy rahimahullah :

والتشبيه [في هذا الخبر] وقع للرؤية بالرؤية ، لا للمرئي [بالمرئي[. والأخبار الواردة في الرؤية، مخرجة في كتاب (الانتصار) بطرقها.

“Keserupaan dalam hadits di atas adalah dalam hal cara melihatnya (tanpa ada kesulitan/terhalang), tidak dalam keserupaan bentuk yang dilihat. Hadits-hadits tentang hal itu sudah kami takhrij dalam kitab Al-Intishaar dengan menyebutkan jalur-jalur sanadnya”.[11]

عن أبي بكر بن عبد الله بن قيس، عن أبيه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (جنتان من فضة، آنيتهما وما فيهما، وجنتان من ذهب، آنيتهما وما فيهما، وما بين القوم وبين أن ينظروا إلى ربهم إلا رداء الكبر، على وجهه في جنة عدن).

Dari Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Qais, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dua surga dan bejana-bejana yang terdapat di keduanya yang terbuat dari perak, dua surga dan bejana-bejana yang terdapat di keduanya yang terbuat dari emas. Tidaklah ada suatu penghalangpun bagi manusia untuk melihat Rabb mereka kecuali selendang kebesaran di wajah-Nya di surga ‘Adn”.[12]

عن ‏ ‏عدي بن حاتم ‏ ‏قال : ‏قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم :‏ ‏ما منكم من أحد إلا سيكلمه ربه ليس بينه وبينه ترجمان ولا حجاب يحجبه ))

Dari ‘Adiy bin Haatim ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah ada seorangpun di antara kalian kecuali ia akan diajak bicara oleh Rabb-nya. Tidak ada antara keduanya penerjemah dan penghalang yang menghalanginya”.[13]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa yang masyru’ dibaca setelah tasyahud akhir sebelum salam :

اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق أحيني ما علمت الحياة خيراً لي وتوفني ما علمت الوفاة خيراً لي ، اللهم إني وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة ، وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب ، وأسألك القصد في الغنى والفقر ، وأسألك نعيماً لا ينفد ، وأسألك قرة عين لا تنقطع ، وأسألك الرضا بعد القضاء ، وأسألك برد العيش بعد الموت ، وأسألك لذة النظر إلى وجهك والشوق إلى لقائك من غير ضرَّاء مضرة ولا فتنة مضلة ، اللهم زينا بزينة الإيمان ، واجعلنا هداة مهتدين

“Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas yang ghaib dan dengan ke-Mahakuasaan-Mu atas seluruh makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar takut kepada-Mu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepada-Mu agar dapat berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku mohon kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau faqir, aku mohon kepada-Mu agar diberikan nikmat yang tidak habis, dan aku mohon kepada-Mu agar diberikan penyejuk mata yang tidak putus. Aku mohon kepada-Mu agar aku dapat rela setelah qadla-Mu (turun pada kehidupanku). Aku mohon kepada-Mu kehidupan yang menyenangkan setelah aku mati. Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dari-Mu”.[14]

Tidak mungkin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kalimat : “Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di surga)” jika hal itu tidak akan terwujud (mustahil terjadi) kelak di akhirat.

Dalil Ijma’

Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :

أجمعوا على أن المؤمنين يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى

“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan mata kepala mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala”.[15]

Al-Haafidh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :

وأجمع أهل الحق واتفق أهل التوحيد والصدق أن الله تعالى يرى في الآخرة كما جاء في كتابه وصح عن رسوله.

“Orang-orang yang menetapi kebenaran, kejujuran, dan mentauhidkan Allah telah berijma’/sepakat bahwasannya Allah ta’ala akan dilihat kelak di akhirat sebagaimana terdapat keterangannya dalam Al-Qur’an dan hadits shahih dari Rasul-Nya”.[16]

Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :

قال الله عز وجل (وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ). أجمع أهل التأويل؛ كابن عباس وغيره من الصحابة، ومن التابعين : محمد بن كعب، وعبد الرحمن بن سابط، والحسن بن أبي الحسن، وعكرمة، وأبو صالح، وسعيد بن جبير، وغيرهم : أن معناه : إلى وجه ربها ناظرة.

“Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah : 22-23). Para ulama tafsir telah bersepakat, seperti Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya dari kalangan shahabat; dari kalangan tabi’in : Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahman bin Saabith, Al-Hasan bin Abil-Hasan (Al-Hasan Al-Bashriy), ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya; bahwa makna ayat tersebut adalah : Melihat pada wajah Rabb-Nya”.[17]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

أجمع سلف الأمة وأئمتها على أن المؤمنين يرون الله بأبصارهم في الآخرة

“Salaf umat beserta para imamnya telah bersepakat bahwa kaum mukminin akan melihat Allah dengan penglihatan mereka di akhirat”.[18]

Atsar Salaf

عن أبي بكر رضي الله عنه : (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ) قال : الزيادة : النظر إلى وجه الله تعالى.

Dari Abu Bakr (Ash-Shiddiq) radliyallaahu ‘anhu tentang firman Allah : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Tambahannya (az-ziyaadah) adalah melihat wajah Allah ta’ala”.[19]

عن عامر بن سعد قال : قرأ أبو بكر الصديق، أو قرأت عنده (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)، قالوا : وما الزيادة يا خليفة رسول الله ؟ قال : النظر إلى وجه الله عز وجل.

Dari ‘Aamir bin Sa’d ia berkata : Abu Bakr Ash-Shiddiiq membaca, atau aku membaca di sampingnya ayat : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); orang-orang bertanya : “Apakah maksud tambahan (dalam ayat tersebut) wahai khalifah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla”.[20]

عن حذيفة : في قوله عز وجل (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)؛ قال : النظر إلى وجه عز وجل.

Dari Hudzaifah (bin Al-Yamaan) tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla”.[21]

قال عبد الرزاق في تفسيره (٢/٢٩٦) : عن معمر، عن ثابت البناني، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى في قوله : (الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)، قال : الحسنى : الجنة، والزيادة : النظر إلى وجه الله.

Telah berkata ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsir-nya (2/296) : Dari Ma’mar, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari ‘Abdurrahman bin Abi Lailaa tentang firman-Nya : ‘ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah adalah melihat wajah Allah”.[22]

قال عبد الرزاق في تفسيره (٢/٢٩٤) : عن معمر، عن قتادة في قوله (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)، قال : الحسنى : الجنة، والزيادة - فيما بلغنا - : النظر إلى وجه الله.

Telah berkata ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsir-nya (2/294) : Dari Ma’mar, dari Qataadah tentang firman Allah : ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus : 26); ia berkata : “Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah – menurut khabar yang sampai kepada kami – adalah melihat wajah Allah”.[23]

قال الدارمي في الرد على الجهمية (٢٠٠) : ثنا محمد بن منصور الذي يقال له : الطوسي من أهل البغداد، ثنا علي بن شقيق، أبنا حسين بن واقد، عن يزيد النحوي، عن عكرمة : (وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ) قال : ينظرون إلى الله نظرا.

Telah berkata Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah (hal. 200) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Manshuur yang sering disebut Ath-Thuusiy, salah seorang penduduk Baghdaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Syaqiiq : Telah memberitakan kepada kami Husain bin Waaqid, dari Yaziid An-Nahwiy, dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah : 22-23); ia berkata : “Mereka melihat Allah dengan sebenar-benarnya”.[24]

عن الوليد بن مسلم، قال : سألتُ الأوزاعي ومالك بن أنس، وسفيان الثوري، الليث ابن سعد، عن هذه الأحاديث التي فيها الرؤية وغير ذلك، فقالوا : امضها بلا كيف.

Dari Al-Waliid bin Muslim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Maalik bin Anas, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada penyebutan ar-ru’yah dan yang lainnya; maka mereka berkata : “Biarkanlah ia tanpa menanyakan bagaimana”.[25]

عن عبد الله بن وهب قال : قال مالك بن أنس رحمه الله : الناس ينظرون إلى الله تعالى يوم القيامة بأعينهم

Dari ‘Abdullah bin Wahb ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas rahimahullah : “Manusia akan melihat Allah ta’ala pada hari kiamat dengan mata mereka”.[26]

عن الربيع بن سليمان يقول : كنت ذات يوم عند الشافعي، رحمه الله، وجاءه كتاب من الصَّعيد - وهو اسم موضع - يسألونه عن قول الله جل ذكره : (كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوْبُوْنَ) فكتب فيه : لَمَّا حجب الله قوما بالسخط دلّ على أن قوما يرونه بالرضا [قال الربيع]. قلت له : أو تدينُ بهذا يا سيدي ؟ فقال : والله لو لم يوقن محمد بن إدريس أنه يرى ربه في المعاد لما عبده في الدنيا.

Dari Ar-Rabii’ bin Sulaiman ia berkata : Suatu hari aku pernah bersama Asy-Syafi’iy rahimahullah. Tiba-tiba datang kepadanya sepucuk surat dari seseorang dari Ash-Sha’iid – ia adalah nama sebuah tempat – yang bertanya kepadanya tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka’ (QS. Al-Muthaffifiin : 15). Maka ia menulis jawabannya : “Yaitu ketika Allah menutupi suatu kaum dengan kemurkaan, ini menunjukkan bahwasa ada kaum yang lain melihat-Nya dengan keridlaan”. Aku (Ar-Rabii’) berkata kepadanya (Asy-Syafi’iy) : “Apakah engkau berpegang dengan ini wahai tuanku (guruku) ?”. Asy-Syafi’iy menjawab : “Demi Allah, jika Muhammad bin Idriis tidak meyakini bahwa ia akan melihat Rabb-Nya di akhirat, niscaya tidaklah ia menyembah di dunia”.[27]

عن ابن هرم القرشي يقول : سمعت الشافعي يقول في قول الله عز وجل : (كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوْبُوْنَ)، قال : هذا دليل أن أولياءه يرونه يوم القيامة.

Dari Ibnu Harm Al-Qurasyiy ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka’ (QS. Al-Muthaffifiin : 15); ia berkata : “Ini adalah dalil bahwa para wali Allah akan melihat-Nya pada hari kiamat”.[28]

عن أبي داود السجستاني قال : سمعتُ أحمد بن حنبل وذكر عنده شيء من الرؤية فغضب، وقال : ((من قال : إن الله تعالى لا يُرى، فهو كافر)).

Dari Abu Dawud As-Sijistaaniy ia berkata : Aku pernah mendengar Ahmad bin Hanbal yang ketika itu disebutkan sesuatu tentang ru’yah di sisinya, maka ia pun marah. Lalu ia berkata : “Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah tidak dilihat (di akhirat)’, maka ia kafir”.[29]

عن حنبل قال : قلتُ لأبي عبد الله - يعني أحمد - في الرؤية. قال : أحاديث صحاح نؤمن بها ونقر وكلما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم بأسانيد جيدة نؤمن به ونقر.

Dari Hanbal ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah – yaitu Ahmad - tentang ar-ru’yah (melihat Allah pada hari kiamat/akhirat). Maka beliau menjawab : “Hadits-hadits shahih kita imani dan akui. Dan semua yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad-sanad jayyid, maka ia imani dan akui”.[30]

قال إسحاق بن راهويه : «وقد مضت السنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم بأن أهل الجنة يرون ربهم وهو من أعظم نِعم أهل الجنة.»

Telah berkata Ishaq bin Rahawaih : “Sungguh telah berlalu/tetap sunnah dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya penduduk surga akan melihat Rabbnya, dan hal itu merupakan kenikmatan yang paling besar bagi penduduk surga”.[31]

I’tiqad Ahlus-Sunnah yang menyatakan bahwa Allah kelak akan dilihat di akhirat oleh orang-orang Mukmin bukan merupakan ‘aqidah tajsiim sebagaimana disangkakan sebagian orang-orang bodoh dari kaum muslimin. Al-Haafidh Abu Bakr Al-Isma’iliy rahimahullah berkata :

وذلك من غير اعتقاد التجسيم في الله عز وجل، ولا التحديد له، ولكن يرونَه جل وعز بأعيُنِهم على ما يشاءُ هو بلا كيفٍ.

“Hal itu (ru’yatullah) bukan termasuk i’tiqad tajsiim terhadap Allah ‘azza wa jalla, tidak pula tahdiid (memberi batasan) kepada-Nya. Namun mereka (kaum mukminin) melihat-Nya jalla wa ‘azza dengan mata mereka sesuai yang Allah kehendaki, tanpa (ditanyakan) bagaimana”.[32]

Beberapa Permasalahan dan Jawabannya

Sebagian ahli bid’ah mengingkari ‘aqidah dilihatnya Allah kelak di akhirat oleh orang-orang mukmin dengan mata mereka di akhirat. Mereka berdalil dengan sejumlah dalil sebagai berikut :

Allah ta’ala berfirman :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" [QS. Al-A’raf : 143].

Dalam ayat di atas Allah ta’ala berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”. Di sini mereka berpendapat bahwa Allah ta’ala tidak mungkin dapat dilihat selama-lamanya oleh makhluk-Nya.

Pendapat mereka adalah keliru. Hal ini dipandang dalam beberapa segi :

1. Tidak mungkin bagi Nabi Musa ‘alaihis-salaam – seorang Rasul yang ‘aalim terhadap Rabbnya - meminta sesuatu yang mustahil terjadi/dikabulkan.

2. Allah dalam ayat di atas tidak mengingkari permintaan Musa ‘alaihis-salaam. Allah ta’ala hanya berfirman :

لَنْ تَرَانِي

“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”.

Allah ta’ala dalam ayat ini tidak mengatakan : “Aku tidak bisa dilihat” (إِنِّي لَا أُرَى).

Bandingkan dengan pengingkaran Allah ta’ala terhadap Nabi Nuh ‘alaihis-salaam saat beliau meminta anaknya yang kafir diampuni. Allah ta’ala berfirman :

وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan” [QS. Huud : 46].

3. Ternyata – dalam ayat di atas – Allah ta’ala menampakkan diri-Nya kepada gunung, meskipun akhirnya gunung itu hancur karenanya, dengan firman-Nya :

وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا

“Tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.

Namun yang menjadi point di sini adalah bahwa Allah menampakkan diri-Nya. Jika kepada benda mati yang tidak diberi pahala dan siksa saja Allah memungkinkan untuk menampakan diri, maka kepada wali/Rasul-Nya yang mulia tentu lebih memungkinkan lagi. Hanya saja karena kelemahan manusia, maka Allah tidak menampakkan diri-Nya kepada mereka. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin jika Allah menghendaki.

4. Allah ta’ala pernah mengajak bicara, berbisik-bisik, serta memperdengarkan suara-Nya kepada Musa ‘alaihis-salaam tanpa perantara; maka melihat kepada-Nya lebih memungkinkan lagi.

Adapun syubhat mereka bahwa Allah menggunakan kata lan (لَنْ) yang mempunyai makna ‘selama-lamanya’, maka kita jawab :

Kata lan tidak selalu bermakna selama-lamanya jika ada qarinah pemalingan-nya, seperti firman Allah ta’ala :

فَلَنْ أَبْرَحَ الأرْضَ حَتَّى يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengijinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya" [QS. Yusuf : 80].

Ayat ini tidak mengkonsekuensikan Yusuf selama-lamanya tinggal di Mesir. Tapi ayat tersebut dibatasi oleh kalimat setelahnya (yaitu ijin dari ayahnya atau turun keputusan dari Allah).

Begitu pula dengan QS. Al-A’raf : 143 yang ia dibatasi oleh ayat-ayat lain dan hadits-hadits shahih yang menegaskan Allah ta’ala akan dilihat kelak di akhirat.

Syubhat lain adalah ayat :

لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-An’am : 103].

Syubhat ini dapat dijawab dengan menerangkan kaidah tata bahasa Arab bahwa ketika Allah mengucapkan ayat di atas dalam konteks pujian terhadap diri-Nya. Terkadang sifat Allah dipuji dengan menafikkan sifat negatif yang menjadi lawan darinya. Seperti meniadakan sifat ‘mengantuk’ dan ‘tidur’ bagi Allah untuk menetapkan sifat yang menjadi lawannya, yaitu ‘kuat’ dan ‘terus-menerus berjaga’. Juga meniadakan sifat ‘mati’ untuk menetapkan sifat kesempurnaan hidup-Nya, dan begitu seterusnya. Maka, makna ayat tersebut adalah bahwa Allah dapat dilihat akan tetapi tidak sanggup dicapai oleh penglihatan. Atau dengan kata lain, penglihatan makhluk tidak dapat mencapai keseluruhan wajah Allah ta’ala. Contoh yang lebih mudah adalah ketika kita melihat matahari, maka dapat dipastikan penglihatan kita tidak mampu mencapai secara keseluruhan dzat matahari. Terlebih lagi dzat Allah ta’ala yang menciptakan matahari dan segala sesuatu. Ayat tersebut menunjukkan kebesaran-Nya yang karena kebesaran-Nya, Dia tidak sanggup dicapai (idraak) atau diliputi, bahkan Dia-lah yang meliputi atas segala sesuatu.

Kata al-idraak merupakan kata yang lebih luas dari makna kata ru’yah, sebagaimana firman Allah ta’ala :

فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ * قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul". Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku" [QS. Asy-Syu’araa : 61-62].

Pada ayat yang mulia ini dibedakan antara kata ar-ru’yah (melihat) dan al-idraak (menjangkau). Musa tidak meniadakan ru’yah, melainkan idraak. Demikian pula Allah ta’ala dapat dilihat, namun tidak dapat dijangkau (meliputi) secara keseluruhan sebagaimana telah diketahui.[33] Demikian pula yang dipahami para shahabat serta para imam dalam menafsirkan ayat di atas.[34]

[selengkapnya, bisa dibaca dalam penjelasan Al-Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy dalam Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 212-214, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1417].

Sungguhpun demikian, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang melihat Allah dengan mata kepala, dengan dalil :

عن عبادة بن الصامت عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : قد حدثتكم عن الدجال حتى خشيت أن لا تعقلوا فإن أشكل عليكم منه شيء فاعلموا أنه أعور وأن ربكم ليس بأعور وإنكم لن تروا ربكم حتى تموتوا.

Dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sungguh aku telah berkata kepada kalian tentang Dajjaal hingga aku khawatir kalian tidak mempercayainya. Jika sulit bagi kalian untuk mengetahuinya, maka ketahuilah bahwasannya Dajjaal itu buta sebelah matanya. Dan sesungguhnya Rabb kalian itu tidak buta sebelah matanya. Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.[35]

Hadits di atas merupakan dalil yang terang bahwa manusia tidak akan pernah dapat melihat Allah ta’ala dalam keadaan jaga di dunia.

Namun hal itu dikecualikan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini (yaitu saat peristiwa mi’raj) dalam tiga kelompok :

1. Menafikkan ru’yah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan mata kepala, namun mereka menetapkan ru’yah tersebut dengan hati.

2. Menetapkan ru’yah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan mata kepala.

3. Abstain karena tidak ada dalil yang pasti.

Kelompok pertama berdalil dengan riwayat ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhu di atas. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Kelompok kedua berdalil dengan riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : رأيتُ ربي عز وجل.

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku telah melihat Rabbku ‘azza wa jalla”.[36]

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

وأن النبي صلى الله عليه وسلم قد رأى ربَّه، فإنه مأثورٌ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صحيحٌ، رواه قتادةُ عنْ عكرمةَ عن ابن عباس، ورواهُ الحكمُ بن أبانٍ عنْ عكرمةَ عن ابن عباس، ورواهُ علي بن زيد عن يوسف بن مهرانَ عن ابن عباس، والحديث عندنا على ظاهره، كما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم والكلامُ فيه بدعةٌ، ولكنْ نؤمنُ به كما جاء على ظاهره، ولا نناظرُ فيه أحداً.

“Dan bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya. Telah ada atsar shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Qatadah dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan pula dari Al-Hakam bin Abaan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas; dan diriwayatkan pula dari ‘Aliy bin Zaid dari Yusuf bin Mihraan dari Ibnu ‘Abbas. Hadits tersebut menurut kami dipahami sebagaimana dhahirnya sebagaimana hal itu datang dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Memperdebatkan hadits itu adalah bid’ah. Akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan dhahirnya sebagaimana hal itu datang (kepada kami), dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun”.[37]

Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah cenderung menguatkan pendapat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah dengan mata kepada beliau berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini.[38]

Namun ada riwayat yang bertentangan dengan di atas yang sama-sama dibawakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ta’ala dengan (mata) hatinya.

عن ابن عباس؛ قال: {ما كذب الفؤاد ما رأى} ، {ولقد رآه نزلة أخرى} قال: رآه بفؤاده مرتين.

Dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah : ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya’ (QS. An-Najm : 11) dan ‘Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat pada waktu yang lain’ (QS. An-Najm : 13); ia berkata : “Ia (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) telah melihat Allah dengan (mata) hatinya sebanyak dua kali”.

Dalam riwayat lain :

عن ابن عباس؛ قال: رآه بقلبه.

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Ia (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) telah melihat Allah dengan (mata) hatinya”.[39]

Oleh karena itu, penglihatan dengan mata pada riwayat Ibnu ‘Abbas sebelumnya dibawa pada penglihatan dengan (mata) hati.

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

جاءت عن ابن عباس أخبار مطلقة وأخرى مقيدة، فيجب حمل مطلقها على مقيدها،..... وعلى هذا فيمكن الجمع بين إثبات ابن عباس ونفي عائشة بأن يحمل نفيها على رؤية البصر وإثباته على رؤية القلب. ثم المراد برؤية الفؤاد رؤية القلب لا مجرد حصول العلم، لأنه صلى الله عليه وسلم كان عالما بالله على الدوام

“Telah datang beberapa khabar dari Ibnu ‘Abbas yang bersifat muthlaq dan muqayyad. Maka wajib membawa yang muthlaq kepada yang muqayyad…… Atas dasar ini, memungkinkan untuk menjamak antara penetapan Ibnu ‘Abbas dan penafi’an ‘Aisyah (yang riwayatnya akan dituliskan di bawah – Abul-Jauzaa’), yaitu dengan penafian pandangan dengan mata dan menetapkan adanya pandangan dengan hati. Kemudian yang dimaksud dengan ru’yatul-fuaad aalah ru’yatul-qalb (pandangan hati), dan bukan hanya adanya ilmu/pengetahuan. Karena sesungguhnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu mengenal Allah ta’ala”.[40]

Selain itu, ada riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwa penglihatan mata yang dimaksudkan adalah penglihatan terhadap apa-apa yang ditunjukkan oleh Allah di malam isra’.

عن ابن عباس رضي الله عنه : {وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ}. قال : هي رؤيا عين، أريها رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به.

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu tentang firman Allah ta’ala : ‘Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia’ (QS. Al-Israa’ : 60), ia berkata : “Yang dimaksudkan adalah penglihatan dengan mata kepala terhadap hal-hal yang telah ditunjukkan Allah ta’ala kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada malam israa’”.[41]

Pendapat yang raajih (kuat) lagi terpilih dalam permasalahan ini adalah pendapat pertama (jumhur ulama) yang mengatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melihat Allah ta’ala pada malam beliau di-mi’raj-kan Allah ta’ala ke langit. Pendapat ini dikuatkan lagi oleh beberapa riwayat sebagai berikut :

عن عبدالله بن شقيق. قال قلت لأبي ذر : لو رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم لسألته. فقال: عن أي شيء كنت تسأله؟ قال: كنت أسأله هل رأيت ربك؟ قال أبو ذر: د سألت فقال "رأيت نورا".

Dari ‘Abdullah bin Syaqiiq ia berkata : Aku berkata kepada Abu Dzarr : “Jika saja aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku akan bertanya sesuatu kepada beliau”. Abu Dzarr bertanya : “Permasalahan apa yang hendak engkau tanyakan kepada beliau ?”. Ia berkata : “Aku akan bertanya kepada beliau : Apakah engkau pernah melihat Rabbmu ?”. Abu Dzarr berkata : “Aku pernah menanyakan itu kepada beliau, dan beliau menjawab : ‘Aku melihat cahaya”.[42]

عن مسروق؛ قال : كنت متكئا عند عائشة. فقالت: يا أبا عائشة! ثلاث من تكلم بواحدة منهن فقد أعظم على الله الفرية. قلت: ما هن؟ قالت: من زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم رأى ربه فقد أعظم على الله الفرية. قال وكنت متكئا فجلست. فقلت: يا أم المؤمنين! أنظريني ولا تعجليني. ألم يقل الله عز وجل: {ولقد رآه بالأفق المبين} [81/التكوير/ الآية-23] {ولقد رآه نزلة أخرى} [53/النجم/ الآية-13] فقالت: أنا أول هذه الأمة سأل عن ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال: "إنما هو جبريل. لم أره على صورته التي خلق عليها غير هاتين المرتين. رأيته منهبطا من السماء. سادا عظم خلقه ما بين السماء إلى الأرض

Dari Masruuq ia berkata : Aku pernah duduk bertelekan di dekat ‘Aisyah. Ia (‘Aisyah) berkata : “Wahai Abu ‘Aisyah, ada tiga hal, barangsiapa yang berkata salah satu diantaranya sungguh ia telah membuat kebohongan yang besar terhadap Allah”. Aku berkata : “Apa itu ?”. ‘Aisyah berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya, sungguh ia telah membuat kebohongan yang besar terhadap Allah”. Aku yang semula duduk bertelekan, kemudian duduk tegak, dan kemudian berkata : “Wahai Ummul-Mukminiin, tunggulah sebentar, jangan tergesa-gesa. Bukankah Allah telah berfirman : ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya di ufuk yang terang’ (QS. At-Takwiir : 23). ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain’ (QS. An-Najm : 13) ?’. ‘Aisyah berkata : “Aku adalah orang yang pertama menanyakan hal itu pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab : ‘Sesungguhnya yang aku lihat itu adalah Jibril. Tidaklah aku pernah melihatnya dalam rupa yang asli selain dua kali itu. Aku melihatnya ketika turun dari langit, yang besar fisiknya memenuhi antara langit dan bumi”.[43]

Sebagai penutup bahasan, akan kami nukilkan penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وقد اتفق أئمة المسلمين على أن أحداً من المؤمنين لا يرى الله بعينه في الدنيا، ولم يتنازعوا إلا في النبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع أن جماهير الأئمة على أنه لم يره بعينه في الدنيا، وعلى هذا دلت الآثار الصحيحة الثابتة عن النبي صلى الله علسه وسلم، والصحابة وأئمة المسلمين‏.‏
ولم يثبت عن ابن عباس، ولا عن الإمام أحمد وأمثالهما، أنهم قالوا‏:‏ إن محمداً رأى ربه بعينه، بل الثابت عنهم إما إطلاق الرؤية وإما تقييدها بالفؤاد، وليس في شيء من أحاديث المعراج الثابتة أنه رآه بعينه، وقوله‏:‏ ‏(‏أتاني البارحة ربي في أحسن صورة‏)‏ الحديث الذي رواه الترمذي وغيره، إنما كان بالمدينة في المنام، هكذا جاء مفسراً‏.‏
وكذلك حديث أم الطفيل وحديث ابن عباس وغيرهما ـ مما فيه رؤية ربه ـ إنما كان بالمدينة كما جاء مفسراً في الأحاديث، والمعراج كان بمكة كما قال تعالى‏:‏‏{‏سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى‏}‏ ‏[‏الإسراء‏:‏1‏]‏، وقد بسط الكلام على هذا في غير هذا الموضع‏.‏
وقد ثبت بنص القرآن أن موسى قيل له‏:‏ ‏{‏لن رآني‏}‏ ‏[‏الأعراف‏:‏143‏]‏، وأن رؤية الله أعظم من إنزال كتاب من السماء، كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَن تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِّنَ السَّمَاء فَقَدْ سَأَلُواْ مُوسَى أَكْبَرَ مِن ذَلِكَ فَقَالُواْ أَرِنَا اللّهِ جَهْرَةً‏}‏ ‏[‏النساء‏:‏153‏]‏، فمن قال‏:‏ إن أحدًا من الناس يراه، فقد زعم أنه أعظم من موسى بن عمران،ودعواه أعظم من دعوى من ادعى أن الله أنزل عليه كتاباً من السماء

“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa tidak ada seorang mukmin pun yang dapat melihat Allah dengan kedua matanya di dunia. Mereka tidak berselisih pendapat kecuali pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara khusus; dimana menurut jumhur ulama, beliau pun tidak melihat dengan (kedua) matanya di dunia. Hal ini didasarkan oleh beberapa atsar yang shahih lagi tsabit (tetap) dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan imam kaum muslimin.

Tidak tsabit (tetap) dari Ibnu ‘Abas maupun dari Al-Imam Ahmad, atau selain keduanya yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihat Rabbnya dengan (kedua) matanya’. Namun yang tsabit dari mereka penyebutan ru’yah secara mutlak atau mentaqyidnya dengan (penglihatan) hati. Tidak ada satupun hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan peristiwa mi’raj yang menjelaskan bahwa beliau melihat dengan (kedua) matanya. Adapun sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Rabbku mendatangiku dalam bentuk yang paling bagus’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan yang lainnya; maka itu hanyalah terjadi di Madinah dalam tidur beliau.

Begitu pula hadits Ummu Thufail dan hadits Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya – yang di dalamnya menyebutkan ru’yah - , maka ia juga terjadi di Madinah sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits. Adapun peristiwa mi’raj, ia terjadi di Makkah sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidil-Aqsha’ (QS. Al-Isra’ : 1). Telah disebutkan penjelasannya di beberapa tempat selain di bagian ini.

Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa dikatakan kepada Musa : ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku’ (QS. Al-A’raf : 143). Bahwasannya ru’yatullah (melihat Allah) adalah perkara yang lebih besar daripada diturunkan Al-Qur’an dari langit, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata" (QS. An-Nisaa’ : 153). Maka barangsiapa yang mengatakan ada orang yang melihat Allah (di dunia), maka ia telah menganggap dirinya lebih agung/hebat daripada Musa bin ‘Imraan. Dan juga berarti menganggap dirinya lebih besar daripada orang yang diturunkan atasnya kitab dari langit”.[44]

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Semoga ada manfaatnya.

[Abul-Jauzaa’ – selesai pada pertengahan malam hari Jum’at yang mulia, 30 Oktober 2009 M, di Ciomas Permai, Bogor].



[1] Ru’yatullah oleh Ibnun-Nuhaas, hal. 25, tahqiq & ta’liq : Dr. ‘Alaauddin ‘Aliy Ridlaa; Daarul-Mi’raaj, Cet. 1/1416.

[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, 7435, dan 7436 dari hadits Jariir radliyallaahu ‘anhu.

[3] Tafsir Ibnu Katsir, 8/279 (tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420).

[4] Shahih mauquf. Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir 11/104, Hanaad dalam Az-Zuhd no. 170, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 630 & 632, Ibnu Mandah dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 84, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no. 192 & 201, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Dhilaalul-Jannah no. 474.

[5] Shahih mauquf. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 11/105, Hanaad dalam Az-Zuhd no. 170, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 473, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no. 202 & 206, dan yang lainnya.

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 11/108; Ibnul-Mundzir, Ibnu Abi Haatim, dan Al-Baihaqiy sebagaimana dalam Ad-Durrul-Mantsuur 3/548.

[7] Shahih. Al-Musnad 4/333 no. 18994. Juga pada 4/332 no. 18988-18989, 6/15 no. 24030. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 181, At-Tirmidziy no. 2555 & 3104, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa 4/7766, dan Ibnu Majah no. 187.

[8] Tafsir Ibnu Katsir, 4/262.

[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182.

[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 211.

[11] ‘Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu Isma’il Ash-Shaabuniy, hal. 80 no. 102 (tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415).

[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4878 & 4880 & 7444, Muslim no. 180, Ahmad 4/411 & 416, At-Tirmidziy no. 2528, Ibnu Majah no. 168, dan yang lainnya.

[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6889.

[14] Shahih. Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 120.

[15] Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237 – melalui perantaraan kitab Shifatullaahi ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 170; Ad-Durarus-Saniyyah, Cet. 3/1426.

[16] ‘Aqiidatu Al-Haafidh ‘Abdil-Ghaniy Al-Maqdisiy (Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad), hal. 58 (tahqiq, takhrij, dan ta’liq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Bushairiy; Cet. 1/1411).

[17] Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 100-101. Lihat Lihat Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman, hal. 1073.

[18] Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/512.

[19] Shahih. Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471. Lihat catatan kaki no. 4.

[20] Shahih. Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no. 192 dan dalam Al-‘Ilal 1/282, serta Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah hal. 257,

[21] Shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 202. Lihat catatan kaki no. 5.

[22] Shahih. Lihat Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 883 (taqdim : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman & ‘Aliy bin Nafii’ Al-‘Ulyaniy; Daarut-Tauhiid, Cet. 1/1424).

[23] Shahih. Idem, hal. 884.

[24] Shahih. Idem, hal. 1072-1073. Dishahihkan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, 13/424-425.

[25] Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Kitaabush-Shifaat, hal. 75 no. 67. Lihat pula dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw oleh Al-Albaniy hal. 143 no. 137 (Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401).

[26] Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/8-9 no. 615, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad 3/501, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/326.

[27] Manaqibusy-Syaafi’iy oleh Al-Baihaqiy, 1/419 (tahqiq : As-Sayyid Ahmad Shaqr; Maktabah Daar At-Turats).

[28] Idem, 1/420.

[29] Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 2/10 no. 621.

[30] Syarh Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalika’iy, hal. 507 no. 889, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan – desertasi S3 Universitas Ummul-Quraa’.

[31] Musnad Ishaq bin Rahawaih, 3/672; tahqiq & takhrij : Dr. ‘Abdul-Ghafuur bin ‘Abdil-Haqq Al-Balusyiy; Maktabah Al-Aimaan, Cet. 1/1410.

[32] Kitaabu I’tiqaad Ahlis-Sunnah oleh Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim Al-Isma’iliy, hal. 43 (tahqiq : Jamaal ‘Azzuun, taqriidh : Hammaad bin Muhammad Al-Anshariy; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1420).

[33] Sebagaimana ini merupakan penjelasan dari Qatadah, Abu Bakr Al-Aajurriy, Ibnu Hibbaan, Abu Muhammad Al-Baghawiy dan yang lainnya.

[34] Tidak ada satu pun ulama salaf Ahlus-Sunnah mu’tabar yang menggunakan QS. Al-An’am : 103 untuk menafikkan/menolak ru’yatullah bagi kaum mukminin di akhirat. Bahkan sebagian salaf telah menjelaskan bahwa ayat tersebut (jika dikaitkan dengan tidak bisa dilihatnya Allah) hanyalah terjadi di dunia.

عن يحيى بن معين قال : سمعت إسماعيل بن علية يقول في قوله تعالى (لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ). قال : هذا في الدنيا.

Dari Yahya bin Ma’iin ia berkata : Aku mendengar Isma’il bin ‘Aliyyah berkata tentang firman Allah : ‘Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata’ ; ia berkata : “Ini terjadi di dunia” [Tafsir Ibni Abi Haatim Ar-Raaziy, 4/1363 no. 7740, tahqiq : As’ad bin Muhammad Thayyib; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417].

قال ابن راهويه: "قيل لابن المبارك أن فُلانًا فسَّر الآيتين {لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَار}َ [الأنعام : 103] وقوله {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَة} على أنها مخالفة للأخرى فلذلك أرى الوقف في الرؤية."
فقال ابن المبارك: «جهل الشيخ معنى الآية التي قال الله {لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَار} ليست بمخالفة {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَة} لأن هذه في الدنيا وتلك في الآخرة.

Ibnu Rahawaih berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak bahwa ada seorang laki-laki yang menjelaskan/menafsirkan dua ayat : ‘Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu’ (QS. Al-An’aam : 103) dan ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah : 22-23) : Bahwa ayat ini (QS. Al-An’aam : 103) menyelisihi ayat yang lain. Oleh karena itu ia berpendapat abstain dalam permasalahan ru’yah. Maka Ibnul-Mubaarak berkata : “Syaikh tersebut tidak tahu makna ayat yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu’ tidaklah menyelisihi ayat : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’. Hal itu dikarenakan ayat ini (QS. Al-An’am : 103) terjadi di dunia, dan yang lain (QS. Al-Qiyaamah : 22-23) terjadi di akhirat” [Musnad Ishaaq bin Rahawaih, 3/674].

[35] Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.

[36] Shahih, semua rijalnya tsiqaat. Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1116, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no. 264, Ahmad 1/285, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat hal. 444, dan yang lainnya.

[37] Ushuulus-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal, hal. 51-52 (syarh & tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, taqdim & ta’liq : Muhammad ‘Ied Al-‘Abaasiy; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416).

[38] Lihat Syarh Shahih Muslim, 3/5.

[39] Diriwayatkan oleh Muslim no. 176.

[40] Fathul-Baariy, 8/608.

[41] Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3888 & 4716 & 6613, At-Tirmidziy no. 3134, Ibnu Hibbaan no. 56, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 201-202, Ibnu Abi ‘Aashim no. 462, Ath-Thabaraniy no. 11641, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 2/365, Al-Baghawiy no. 3755, dan Al-Haakim 2/362.

[42] Diriwayatkan oleh Muslim no. 178, At-Tirmidziy no. 3282, Ahmad 5/147 & 157 & 170 & 175, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/61.

[43] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4855 dan Muslim no. 177.

Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata mengomentari riwayat tersebut :

قُلْتُ : هذا مع كونه موقوفا، فإن مفهومه أنه لم يره بعينه، فلا يخالف حديث عائشة في الباب الذي صرحت فيه بنفيها الرؤية، لأنها تعني رؤية العين، ومثله حديث أبي ذر قال : " سألتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم : هل رأيتَ ربَّكَ ؟ قال : نورٌ أنى أراه". رواه مسلم. نعم هذا الحديث يخالف الحديث عائشة من جهة أخرى فإن فيه أنها سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن قوله (وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى) فقال : "إنما جبريل عليه السلام...". ومما لا شك فيه أن المرفوع مقدم على الموقوف.

Aku (Al-Albaniy) berkata : “Hadits ini mauquf, maka mafhum-nya adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat dengan matanya. Sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits ‘Aisyah dalam bab ini yang menyatakan dengan jelas peniadaan ru’yah, karena maksudnya adalah ru’yatul-‘ain (pandangan mata). Dan yang semisal dengan hadits itu adalah hadits Abu Dzarr, ia berkata : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apakah engkau melihat Rabbmu ?’. Maka beliau menjawab : ‘Cahaya, bagaimana mungkin aku dapat melihatnya ?’. Diriwayatkan oleh Muslim. Memang benar hadits ini menyelisihi hadits ‘Aisyah dari sisi yang lain, karena sesungguhnya ia (‘Aisyah) bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah ta’ala : ‘Dan sungguh dia telah melihat-Nya di waktu yang lain’ (QS. An-Najm : 13). Beliau menjawab : ‘Dia tidak lain adalah Jibril ‘alahis-salaam’. Dan termasuk hal yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat marfu’ didahulukan daripada riwayat mauquf” [Mukhtashar Shahih Muslim oleh Al-Albaniy, hal. 29; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 6/1407].

[44] Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/335.

Comments

abu hafsh mengatakan...

Assalaamu'alaikum....

izin copas artikel2nya ustadz dengan menyertakan url sumbernya..

barakallahu fiykum...