Ittiba’ kepada Dalil Bukan Berarti Meninggalkan Perkataan Para ‘Ulama !!


Sebagian penyeru taqlid beranggapan bahwa ajakan untuk berittiba’ kepada dalil (nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’) mengkonsekuensikan untuk meninggalkan dan tidak memperdulikan seluruh perkataan ulama madzhab secara mutlak. Anggapan ini keliru.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah telah membantahnya dengan jawaban yang sangat bagus sebagai berikut :

إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة - زعموا - وما أحسن قول سليمان التيمي رحمه الله تعالى :
(إن أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله)
رواه ابن عبد البر ( 2 / 91 - 92 ) وقال عقبة :
( هذا إجماع لا أعلم فيه خلافا )
فهذا الذي ننكره وهو وفق الإجماع كما ترى
وأما الرجوع إلى أقوالهم والاستفادة منها والاستعانة بها على تفهم وجه الحق فيما اختلفوا فيه مما ليس عليه نص في الكتاب والسنة أو ما كان منها بحاجة إلى توضيح فأمر لا ننكره بل نأمر به ونحض عليه لأن الفائدة منه مرجوة لمن سلك سبيل الاهتداء بالكتاب والسنة.

قال العلامة ابن عبد البر رحمه الله تعالى ( 2 / 172 ) :
( فعليك يا أخي بحفظ الأصول والعناية بها واعلم أن من عني بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن ونظر في أقاويل الفقهاء - فجعله عونا له على اجتهاده ومفتاحا لطرائق النظر وتفسيرا لجمل السنن المحتملة للمعاني - ولم يقلد أحدا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها على كل حال دون نظر ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها واقتدى بها في البحث والتفهم والنظر وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرؤوا أنفسهم منه فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح وهو المصيب لحظه والمعاين لرشده والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم
ومن أعف نفسه من النظر وأضرب عما ذكرنا وعارض السنن برأيه ورام أن يردها إلى مبلغ نظره فهو ضال مضل ومن جهل ذلك كله أيضا وتقحم في الفتوى بلا علم فهو أشد عمى وأضل سبيلا ).

فهذا هو الحق ما به خفاء فدعني عن بنيات الطريق

“Anggapan ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu. Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”. Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir (kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap. Oleh karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Sulaiman At-Taimiy rahimahullahu ta’ala :

“Apabila engkau mengambil keringanan (rukhshah) dari setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu setiap keburukan”.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr (2/91-92). Kemudian ia berkomentar :

“Ini adalah satu ijma’ yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya”.

Inilah yang kami ingkari, dimana hal itu berkesesuaian dengan ijma’ sebagaimana yang engkau lihat.

Adapun ruju’ (kembali) kepada perkataan mereka (para ulama), mengambil faedah dalam memahami sisi kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan yang tidak ada nash-nya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalam rangka memahami sesuatu yang membutuhkan penjelasan; maka hal itu sama sekali tidak kami ingkari. Bahkan kami turut memerintahkannya dan menganjurkannya, karena faedah yang ada padanya diharapkan oleh orang yang menempuh jalan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullahu ta’ala berkata (2/172) :

“Wajib bagimu - wahai saudaraku - untuk menjaga dan memperhatikan ushul (prinsip) ini. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang menjaga sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang di-nash-kan dalam Al-Qur’an, dan melihat berbagai perkataan fuqahaa’ – yang kemudian ia jadikan sebagai penolong dalam ijtihadnya, pembuka jalan-jalan penelitiannya, dan penjelas sunnah-sunnah yang mempunyai berbagai kemungkinan makna – tanpa bersikap taqlid kepada seorang pun di antara mereka sebagaimana layaknya ia ‘bertaqlid’ kepada nash-nash As-Sunnah yang memang wajib diikuti dalam segala keadaan tanpa banyak pertimbangan/penelitian; tidak merasa puas dengan apa yang telah diambil, dihafal, dan diperhatikan para ulama; mengikuti mereka (para ulama) dalam pemahaman, pembahasan, dan penelitian; berterima kasih kepada mereka atas berbagai faedah yang diberikan dan berbagai peringatan mereka; serta memuji mereka atas kebenaran yang mendominasi perkataan mereka; serta tidak membebaskan mereka dari segala kesalahan/ketergelinciran sebagaimana mereka tidak membebaskan hal itu pada diri mereka sendiri; maka dia adalah penuntut ilmu yang berpegang teguh dengan apa yang as-salafush-shaalih berada di atasnya. Dia adalah orang yang benar dalam hal penjagaannya (terhadap agama), saksi atas petunjuk Allah bagi dirinya, dan muttabi’ (orang yang mengikuti) atas sunnah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.

Barangsiapa memaafkan dirinya untuk melakukan penelitian, menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, serta berpaling dari sunnah-sunnah kepada akalnya dan bermaksud mengembalikannya kepada kadar pandangannya; maka ia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui semua itu dan mencela fatwa tanpa ada pengetahuan, maka ia adalah orang yang lebih buta dan lebih sesat jalannya”.

Inilah kebenaran yang tidak ada kesamaran

Biarkan aku berada dalam jalan yang terang

[selesai – Lihat : Shifat Shalat Nabi minat-Takbiiri ilat-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, hal. 69-70; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 2/1996 M, Riyadl].

Semoga bermanfaat….

[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy, 6 Rajab 1430 H, Perumahan Ciomas Permai, Bogor - Supported by : Ummu Humaid Al-Atsariyyah].

Comments