Allah Berada di Atas Punggung Delapan Ekor Kambing Hutan ? (Kebodohan dan Kedustaan Seorang Abu Salafy)


Lagi,… ada tulisan menarik dari Abu Salafy yang patut kita cermati (baca : kritisi). Pada blognya (lihat : http://abusalafy.wordpress.com/2008/12/27/allah-nya-kaum-wahhabiyah-bersemayam-di-atas-arsy-dan-arsy-nya-di-atas-punggung-delapan-kambing-hutan/) ia membuat satu kesimpulan bahwa Allah-nya ‘Wahabiy’ berada di atas ‘Arsy, dimana ‘Arsy itu berada di atas punggung kambing hutan yang sangat besar. Mari kita simak apa yang dikatakannya itu :
Dalam akhir kitab Tauhîd-nya, Imam Besar Sekte Wahhâbiyah menegaskan bahwa Allah bersemayan di atas Arsy… arsy-Nya berada di atas laut yang berada di atas langit ke tujuh dan memiliki kedalaman seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya yaitu 71 atau 72 atau 73 tahun perjalanan…. Nah di atas lautan itu ada delapan ekor kambing hutan yang ukurannya sangat besar, antara kuku-kuku danlutut-lututnya seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya.. di atas punggung-punggung kedelapan kambing hutan itulah Arsy Allah bertempat… lalu allah bersemayam di atas Arsy-Nya yang berada di atas punggung-punggung kambing hutan. (Kitab  Fathu al Majîd Syarh Kitab al Tauhîd:515-516)
[Cetak tebal dari saya]
Ini adalah satu kedustaan yang dialamatkan pada Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah dan kitab At-Tauhid-nya. Saya ajak para Pembaca budiman untuk membaca kitab At-Tauhid yang ditulis oleh beliau rahimahullah untuk mencocokkan omongan saudara kita yang bernama Abu Salafy ini. Yang ada, Asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau menuliskan satu hadits seperti ini :
وعن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هل تدرون كم بين السماء والأرض؟) قلنا: الله ورسوله أعلم قال: (بينهما مسيرة خمسمائة سنة، ومن كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة سنة وكثف كل سماء خمسمائة سنة، وبين السماء السابعة والعرش بحر بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض، والله سبحانه وتعالى فوق ذلك، وليس يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم). أخرجه أبو داود وغيره.
Dari Al-’Abbas bin ’Abdil-Muthallib radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah 500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. [Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ’alal-’Abiid, hal. 149, tahqiq : ’Abdul-’Aziiz bin ’Abdirrahmaan As-Sa’iid dll.; Cet. Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’uud, Riyadl].
Silakan perhatikan apa yang tertulis di atas. Adakah Asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab rahimahullah mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Salafy ? Padahal Abu Salafy dalam tulisannya itu mengatakan : Dalam akhir kitab Tauhîd-nya, Imam Besar Sekte Wahhâbiyah menegaskan bahwa….dst.
Ini satu kedustaan, sebab beliau tidak pernah menegaskan seperti yang dikatakan Abu Salafy, khususnya pada pernyataan yang saya cetak tebal di atas. Tidak ada satu kalimat pun yang menunjukkan hal itu dalam kitab At-Tauhid. Dari sini kita tahu bahwa Abu Salafy telah memulai tulisannya dengan satu kedustaan. Akan sangat ‘dimaklumi’ jika pada kalimat-kalimat selanjutnya akan dibumbui hal yang lebih buruk lagi.
Sebenarnya Abu Salafy tahu tentang hal itu. Namun karena sifat hasadnya terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah membuat dia berpura-pura bodoh (atau memang bodoh ?) dan berkata :
Akan tetapi sebenaranya Imam Wahhabi melakukan manipulasi dan merobeh-robah sedikit redaksi riwayat di atas. Sebab apa yang tertera dalam kitab Sunan Abu Daud berbeda dengan apa yang ia sebutkan. Tetapi kami tidak akan mempermasalahkannya sekarang.
Cermatilah bahasa ia gunakan untuk membuat opini : manipulasi dan merobeh-robah sedikit redaksi riwayat di atas.
Apabila kita punya husnudhdhan terhadap ulama, tentu kita akan mengatakan bahwa beliau (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah) membawakan riwayat dengan peringkasan dan/atau makna. Atau, paling banter kita akan mengatakan : Beliau telah keliru dalam menyebutkan redaksi hadits. Ini pun dengan catatan : Jika benar beliau telah meringkas periwayatan atau membawakan secara makna dari sumber yang dinukil (padahal kenyataan tidak seperti itu – sebagaimana akan dituliskan).
Hal seperti ini (peringkasan atau membawakan secara makna) sangat lumrah kita temui dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama salaf. Saya akan berikan dua contoh :
1.      Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata dalam kitab beliau yang berjudul Buluughul-Maraam min Adillatil-Ahkaam :
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا؛  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ اِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ.  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ
Dari ‘Imran bin Hushain radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya pernah berwudlu di mazadah (tempat air yang terbuat dari kulit binatang) milik seorang wanita musyrik. Muttafaqun ‘alaih, dalam hadits yang panjang” [Buluughul-Maraam, hal. 9, hadits no. 25, tahqiq & takhrij : Ahmad bin ‘Abdirrazzaaq Al-Bakriy; Daarus-Salaam, Cet. 1/1424 H].
Komentar : Hadits dengan lafadh yang disebutkan oleh Al-Haafidh di atas tidak terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Namun beliau membawakan secara makna dan dengan peringkasan dalam Shahih Al-Bukhari no. 344 dan 3571 serta Shahih Muslim no. 682.
2.      Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata dalam kitab beliau yang berjudul Jaami’ul-‘Uluum wal-Hikaam :
ففي " مسند الإمام أحمد " عن جابر قال : اشترطت ثقيفٌ على رسولِ الله صلى الله عليه وسلم أنْ لا صدقةَ عليها ولا جهادَ ، وأنَّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم قال : (( سَيَصَّدَّقُون ويُجاهدون ))
“Dan dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Jaabir ia berkata : ‘Orang-orang Tsaqif membuat syarat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar mereka tidak dikenakan kewajiban shadaqah dan jihad. Dan kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Mereka akan bershadaqah dan berjihad” [Jaami’ul-‘Uluum wal-Hikaam, hal. 105, syarah hadits no. 8, takhrij & ta’liq : ‘Ishaam Ash-Shabaabithiy; Daarul-Hadiits, Cet. Thn. 1424 H].
Komentar : Hadits dengan lafadh di atas tidak terdapat dalam Musnad Ahmad. Beliau rahimahullah mengambil hadits secara makna pada juz 3 hal. 341 yang merupakan penggabungan antara hadits no. 14714 dan no. 14715.
Kita tidak mengatakan kepada Al-Haafidh Ibnu Hajar dan Al-Haafidh Ibnu Rajab hafidhahumallah telah memanipulasi dan merubah-rubah hadits. Lihatlah akhlaq para muhaqqiq ketika mereka menemui apa yang dikatakan oleh mereka berdua dengan mengatakan : “Hadits dengan lafadh di atas tidak ditemui di….., namun lafadh yang benar adalah….”. Atau yang semisal.
Inilah akhlaq muhaqqiq. Adapun bila kita temui Abu Salafy mengatakan : ‘telah memanipulasi dan merubah-rubah hadits’; tentu saja kita maklumi, karena ia bukanlah seorang muhaqqiq sehingga pantas berakhlaq sebagai seorang muhaqqiq.
Setelah itu Abu Salafy melanjutkan :
Karenanya Syeikh Abdurrahman (pensyarahnya) mengakuinya walaupun kemudian ia menutupinya dengan mengatakan bahwa Syeikh meringkas riwayat, sementara yang terjadi bukan meringkas akan tetapi merobah-robah (merusak keotentikannya).
Kita akan lihat ‘ketangguhan’ celaan Abu Salafy di point ini.
Saya katakan : Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah sebenarnya merupakan hadits yang tertera dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar karangan Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah. Teks riwayat beserta sanad yang dibawakan oleh Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullaah tersebut adalah sebagai berikut :
أخبرنا علي بن القرشي أنبأنا محمد بن مسلمة أنبأنا على بن الحسن الحافظ ح وكتب إلينا إبن قدامة أنبانا حنبل قالا أخبرنا هبة الله ابن محمد أنبأنا الحسن بن علي أنبأنا أحمد بن جعفر حدثنا عبد الله بن أحمد حدثني أبي حدثنا عبد الرزاق حدثنا بن العلاء عن عمه شعيب ابن خالد حدثني سماك بن حرب عن عبد الله بن عميرة عن عباس بن عبد المطلب قال كنا بالبطحاء جلوسا مع رسول الله فمرت سحابة فقال رسول الله أتدرون ما هذا قلنا السحاب قال والمزن قلنا والمزن قال والعنان فسكتنا قال هل تدرون كم بين السماء والأرض قلنا الله ورسوله أعلم قال بينهما مسيرة خمسمائة سنة من كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة سنة وكثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة وبين السماء السابعة بحر بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض والله تعالى فوق ذلك وليس يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم
“Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin ‘Aliy Al-Qurasyiy : Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Maslamah : Telah memberitakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan Al-Haafidh. - Menuliskan kepada kami Ibnu Qudamah : Telah memberitakan kepada kami Hanbal. - Mereka berdua (‘Aliy bin Al-Hasan dan Ibnu Qudamah) berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Muhammad : Telah memberitakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy : Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Alaa’, dari pamannya yang bernama Syu’aib bin Khaalid : Telah menceritakan kepadaku : Sammaak bin Harb, dari ‘Abdullah bin ‘Amiirah, dari ‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib, ia berkata : Kami pernah berada di Bath-haa’ duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncullah awan. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Apakah kalian tahu apakah ini ?”. Kami berkata : “Awan”. Beliau bersabda : “Dan mendung”. Kami pun berkata : “Dan mendung”. Beliau menambahkan : “Dan mega”. Kami pun diam. Beliau melanjutkan : Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah 500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam” [lihat riwayat ini dalam Al-’Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffaar oleh Adz-Dzahabi, hal. 49, tashhih : ’Abdurrahman Muhammad ’Utsman; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 1/1388 H].
Sama persis dengan hadits/riwayat yang ada dalam kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Ibnu ’Abdil-Wahhab rahimahullah.
Kemudian,... mari kita bandingkan dengan riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Abu Dawud rahimahullah dalam Sunan-nya :
حدثنا محمد بن الصباح البزاز، ثنا الوليد بن أبي ثور، عن سماك، عن عبد اللّه بن عميرة، عن الأحنف بن قيس، عن العباس بن عبد المطلب قال : كنت في البطحاء في عصابة فيهم رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فمرت بهم سحابة فنظر إليها فقال: "ما تسمون هذه؟" قالوا: السحاب، قال: "والمزن" قالوا: والمزن، قال: "والعنان" قالوا: والعنان، قال أبو داود لم أتقن العنان جيداً، قال: "هل تدرون ما بعد ما بين السماء والأرض؟" قالوا: لا ندري قال: "إنَّ بعد ما بينهما إمَّا واحدةٌ أو اثنتان أو ثلاثٌ وسبعون سنةً، ثم السماء فوقها كذلك" حتى عدَّ سبع سموات "ثم فوق السابعة بحرٌ بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماءٍ إلى سماءٍ، ثم فوق ذلك ثمانية أو عالٍ بين أظلافهم وركبهم مثل ما بين سماء إلى سماء، ثم على ظهورهم العرش [ما] بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماء إلى سماء، ثم اللّه تبارك وتعالى فوق ذلك".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Abi Tsaur, dari Sammaak, dari ’Abdullah bin ‘Amiirah, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Al-’Abbaas bin ’Abdil-Muthallib, ia berkata : ”Aku pernah berada di Bath-haa’ bersama sekelompok orng yang diantaranya adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncullah awan melewati mereka. Kemudian beliau menoleh ke arahnya, lalu bertanya : ”Kalin sebut apa itu ?”. Mereka menjawab : ”Awan”. Beliau bersabda : ”Dan mendung”. Mereka berkata : ”Dan mendung”. Beliau menambahkan : ”Dan mega”. Mereka pun mengatakan : ”Dan mega”. Abu Dawud berkata : ”Aku tidak dapat menangkap dengan sempurna kata ketiga ini”. Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bertanya : ”Tahukah kalian jarak antara langit dan bumi ?”. Mereka menjawab : ”Kami tidak tahu”. Beliau bersabda : ”Sesungguhnya jarak antara keduanya adalah 71 atau 72 atau 73 tahun, kemudian demikian juga langit yang ada di atasnya lagi”. Demikian hingga beliau menyebutkan tujuh langit. ”Kemudian di atas langit ketujuh ada samudera yang jarak permukaan dan dasarnya adalah seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Kemudian di atas itu terdapat delapan malaikat au’aal yang jarak antara kuku dan lututnya adalah seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Kemudian di atas punggung mereka ada ’Arsy yang mana jarak antara bawah dan atasnya adalah seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Kemudian Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas itu” [HR. Abu Dawud no. 4723].
Dari data di atas, tidak bisa dikatakan bahwa beliau meringkas riwayat yang tertera dalam Sunan Abu Dawud (sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan rahimahullah), sebab yang beliau bawakan adalah riwayat Al-Haafidh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-’Ulluw. Sanad dua riwayat tersebut bertemu pada perawi yang bernama Sammaak bin Harb rahimahullah.
Anda (Abu Salafy) mungkin berkata : ”Saya mengkritik karena Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab sendiri menisbatkan riwayat tersebut pada Abu Dawud. Oleh karena itu saya mengkritiknya berdasarkan penisbatan tersebut”.
Saya katakan : Ini menunjukkan akurasi penelitian Anda sangat lemah. Penisbatan beliau kepada Sunan Abu Dawud dalam hal ini karena beliau mengikuti perkataan Al-Haafidh Adz-Dzahabi (walau hal itu tidak ditegaskan dalam Kitaabut-Tauhiid). Maksudnya, selain hadits itu diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi, Adz-Dzahabi sendiri menegaskan bahwa hadits itu juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan yang lainnya; meskipun dengan lafadh yang (sedikit) berbeda. Oleh karena itu, As-Syaikh Ibnu ’Abdil-Wahhab mengatakan : ”Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya”. Adapun Asy-Syaikh ’Abdurrahman, maka beliau menuliskan apa yang tertera dalam Sunan Abu Dawud sebagaimana ternisbat dalam kitab At-Tauhiid.
Oleh karena itu, perkataan Abu Salafy :
Karenanya Syeikh Abdurrahman (pensyarahnya) mengakuinya walaupun kemudian ia menutupinya dengan mengatakan bahwa Syeikh meringkas riwayat, sementara yang terjadi bukan meringkas akan tetapi merobah-robah (merusak keotentikannya).
adalah perkataan dusta tanpa faedah yang didasari oleh kejahilan, ketaqlidan dan kesalahpahaman (terhadap penjelasan Asy-Syaikh ’Abdurrahman ?). Tidak ada peringkasan, apalagi sampai merubah-rubah dan merusak keotentikan sebagaimana klaim Abu Salafy. Tidak ada yang ditutup-tutupi oleh Asy-Syaikh ’Abdurahman bin Hasan, karena sebenarnya beliau juga telah mengisyaratkan riwayat yang dibawakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ’Abdil-Wahhab adalah riwayat dari Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah. Beliau (Asy-Syaikh ’Abdurrahman) berkata :
وروى الترمذي نحوه من حديث أبي هريرة وفيه: " ما بين سماء إلى سماء خمسمائة عام ". ولا منافاة بينهما؛ لأن تقدير ذلك بخمسمائة عام هو على سير القافلة مثلا، ونيف وسبعون سنة على سير البريد؛ لأنه يصح أن يقال: بيننا وبين مصر عشرون يوما باعتبار سير العادة، وثلاثة أيام باعتبار سير البريد. وروى شريك بعض هذا الحديث عن سماك فوقفه. هذا آخر كلامه
”Dan At-Tirmidzi meriwayatkan yang seperti itu juga dari hadits Abu Hurairah, dan di dalamnya terdapat perkataan : ”Jarak antara satu langit dengan langit lainnya adalah 500 tahun”. Tidak ada pertentangan antara keduanya, karena perhitungan selama 500 tahun adalah dengan perjalanan onta, sedangkan 70 tahun lebih adalah dengan perjalanan kuda. Karena itu, boleh dibilang bahwa jarak antara kita dengan Mesir adalah 20 hari perjalanan biasa atau 3 hari perjalanan kuda. Syaarik meriwayatkan sebagian hadits ini dari Sammaak secara mauquf. Inilah akhir dari perkataan Adz-Dzahabi” [Fathul-Majiid, hal. 534, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, tanpa tahun].
Seharusnya Anda (Abu Salafy) - jika ingin melakukan kritikan - menelusuri semua sumber yang disebutkan oleh muallif (Asy-Syaikh Ibnu ’Abdil-Wahhab) dan syaarih-nya (Asy-Syaikh ’Abdurrahman), yaitu minimal : Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan kitab-kitab Adz-Dzahabi. Namun ternyata Anda tidak melakukannya (jika tidak boleh dibilang : tidak mampu melakukannya). Padahal, penjelasan riwayat-riwayat tersebut dapat Anda temui dalam kitab Al-’Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffar (hal. 49) dan Al-’Arsy (2/41-43, tahqiq : Dr. Muhammad bin Khalifah bin ’Aliy At-Tamimiy; Universitas Islam Madinah, Cet. 2/1424 H).
Pada bagian ini kita dapat simpulkan perihal Abu Salafy :
1)      Abu Salafy telah melakukan kedustaan terhadap As-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab bahwa beliau telah merubah-rubah hadits dan merusak keotentikan hadits.
2)      Abu Salafy telah membuat kedustaan terhadap Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan bahwa beliau telah menutup-nutupi perusakan hadits yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab.
3)      Abu Salafy telah melakukan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab bahwa beliau mengatakan Allah berada di atas ’Arsy yang dipikul oleh delapan ekor kambing hutan, sebab beliau rahimahullah tidak menyebutkan lafadh Abu Dawud, namun lafadh yang dibawakan oleh Adz-Dzahabi yang sama sekali tidak terdapat kata ”kambing hutan” (yang insya Allah ini akan kita bahas lebih lanjut di bawah).
4)      Abu Salafy adalah seorang jahil yang tidak mempunyai pengetahuan memadai tentang atsar.
5)      Abu Salafy adalah seorang yang memperturutkan hawa nafsunya ketika ia lebih mengedepankan sikap hasad serta mengakhirkan usaha penelitian, sikap tatsabbut dan husnudhdhan pada ulama. Akhirnya ia pun menyalahkan apa yang sebenarnya tidak tepat untuk dipersalahkan.
Abu Salafy berkata :
Jadi inilah konsep Tauhid yang menjadi inti ajakan Imam Sekte Wahhâbiyah!! Kita diajak untuk mengimani konsep Tauhid yang mengatakan bahwa Allah bertengger di atas Arsy-nya yang berada di atas punggung-punggung delapan kambing hutan raksasa mengapun di atas air laut di atas laingit ke tujuh!
Jika terkait dengan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah, maka sebenarnya pembahasan ini telah selesai, karena beliau tidak menggunakan hadits dengan lafadh tsamaaniyatu au’aal dalam Kitaabut-Tauhiid-nya. Namun sebagai tambahan faedah, saya ajak Pembaca budiman menjadi saksi atas kejahilan Abu Salafy - sekali lagi -.
1.      Makna tsamaaniyatu au’aalin (ثمانية أوعالٍ).
Tentang kata au’aal (أوعال), maka ia merupakan bentuk jamak dari kata wa’ilun (وَعِلٌ) yang artinya adalah kambing gunung (تَيْسُ الْجَبَل) [lihat Lisanul-‘Arab hal. 4875, tahqiq : ‘Abdullah ‘Aliy Al-Kabiir, dkk., Daarul-Ma’aarif; dan An-Nihaayah 5/207, melalui perantara Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabi, hal. 40].
Adapun makna tsamaaniyatu au’aal yang terdapat dalam hadits adalah delapan orang malaikat pemikul ‘Arsy dalam wujud kambing gunung.
Berkata Ibnul-Atsiir rahimahullah :
ومنه الحديث في تفسير قوله تعالى : ويَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُم يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيةٌ. قيل: ثمانية أوعا. أي ملائكةٌ على صُورة الأوْعال.
“Di antaranya adalah hadits yang terkait dengan tafsir firman Allah ta’ala : ‘Dan pada hari itu ada delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka’ (QS. Al-Haaqqah : 17). Dikatakan : Delapan au’aal. Yaitu malaikat dalam wujud kambing gunung” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits; kata وعل].
Berkata Al-Mubaarakfury rahimahullah :
"ثمانية أوعال" جمع وعل وهو العنز الوحشي ويقال له تيس شاة الجبل والمراد ملائكة على صورة الأوعال
Tsamaaniyyatu au’aal adalah jamak dari kata wa’ilun, yang mempunyai makna kambing liar. Dikatakan juga arti baginya : kambing gunung. Adapun maksud (dari kata tersebut dalam hadits) adalah malaikat dalam wujud kambing gunung” [Tuhfatul-Ahwadzi bi-Syarhi Jaami’ At-Tirmidzi, 9/235, tashhih ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman; Daarul-Fikr, tanpa tahun].
Perkataan Al-Mubaarakfuriy di atas disebutkan pula secara persis oleh Al-‘Allamah Syamsul-Haq ‘Adhiim ‘Abadiy rahimahullah dalam ‘Aunul-Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud, 13/8, tahqiq : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1389 H]
Berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah :
أوعال : جمع وَعل. ولعل المراد ملائكة على صورة الأوعال، والله أعلم.
Au’aal adalah bentuk jamak dari kata wa’ilun (kambing gunung). Barangkali yang dimaksudkan adalah malaikat dalam wujud kambing gunung. Wallaahu a’lam” [Dla’iif Sunan Ibni Majah, hal. 18; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1417].
Dari sini kita mengetahui kesalahan sekaligus kejahilan dari Abu Salafy yang mengartikan delapan au’aal itu adalah delapan ekor kambing yang memikul ‘Arsy, yang bertolak belakang dengan para ulama. Mereka (para ulama) memahami makna au’aal adalah malaikat dalam wujud kambing gunung. Jelas beda antara kambing dengan malaikat (dalam wujud kambing) !!
Ada kemungkinan Abu Salafy sebenarnya mengetahui perkara ini, namun menyembunyikannya dalam rangka mendiskreditkan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah, yang kemudian dibalutlah artikel yang ia tulis dengan judul sensasif : Allah-nya Kaum Wahhabiyah Bersemayam Di Atas Arsy Dan Arsy-Nya Di Atas Punggung Delapan Kambing Hutan!. Atau…. mungkin juga Abu Salafy memang benar-benar tidak tahu alias jahil sebagaimana yang saya tegaskan sebelumnya.
فَإِنْ كُنْتَ لَا تَدْرِي فَتِلْكَ مُصِيبَةٌ
إِنْ كُنْتَ تَدْرِي فَالْمُصِيْبَةُ أَعْظَمُ
“Apabila engkau tidak mengetahui, maka itu musibah
Namun apabila engkau mengetahui, maka musibah itu lebih besar”.
2.      Penilaian Keshahihan Hadits
Sebelumnya, saya katakan bahwa hadits au’aal (yaitu hadits yang sedang diperbincangkan oleh Abu Salafy) dikeluarkan oleh :
“Ahmad (1/206), Abu Dawud (5/93 no. 4723), At-Tirmidziy (5/424 no. 3320), Ibnu Majah (1/69 no. 193), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid (1/234 no. 144), Ibnu Abi ‘Aashim (1/253 no. 577), Al-Ajurriy (hal. 292-293), Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (2/288,412,500,501), Ad-Daarimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah (hal. 24), Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah (2/566 no. 204), Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat (2/142), Ibnu Qudamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw (hal. 59 no. 29), Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ (2/284 no. 852), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhid (7/140), dan Al-Mizziy (Tahdziibul-Kamaal 2/719), Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid (1/117), Al-Laalika’y dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah (1/254) dan Adz-Dzahabiy dalam Al-‘Ulluw (hal. 49) dengan seluruh jalannya yang berporos pada Sammaak bin Harb, dari ‘Abdullah bin ‘Amiirah, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib” [Takhirij hadits dinukil dari kitab:  Takhriij Ahaadiits Muntaqadah fii Kitaabit-Tauhiid oleh Fariih bin Shaalih Al-Bahlaal hal. 141; Darul-Atsar, Cet. Thn. 1415 H; dan Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabiy, hal. 41].
Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits al-au’aal. Di antara mereka yang menshahihkannya adalah : Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (2/288,412,500,501), Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy (12/217), Adz-Dzahabiy dalam Kitaabul-‘Arsy (hal. 41), Al-Jauzaqaaniy dalam Al-Abaathil (1/79), Ibnu Khuzaimah sebagaimana dinukil dan disepakati oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fataawaa (3/192), Ibnul-Qayyim dalam Tahziibus-Sunan (7/92-93), dan yang lainnya.
Selain itu, beberapa orang mufassir menyebutkan riwayat al-au’aal baik yang marfu’ dan mauquf dalam kitab-kitab mereka. Diantaranya :
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah saat membawakan tafsir QS. Al-Haaqaah : 17 menyebutkan riwayat hadits al-au’aal dengan mengatakan :
وقوله: { وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ } أي: يوم القيامة يحمل العرش ثمانية من الملائكة. ويحتمل أن يكون المراد بهذا العرش العرش العظيم، أو: العرش الذي يوضع في الأرض يوم القيامة لفصل القضاء، والله أعلم بالصواب. وفي حديث عبد الله بن عَميرة، عن الأحنف بن قيس، عن العباس بن عبد المطلب، في ذكر حَمَلة العرش أنهم ثمانية أوعال
“Dan firman-Nya : ‘Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka’; yaitu : pada hari kiamat nanti ada delapan orang malaikat yang memikul/membawa ‘Arsy. Dan hal ini dibawa pada pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan ‘Arsy ini adalah ‘Arsy yang agung. Atau : ‘Arsy yang diletakkan di muka bumi kelak pada hari kiamat saat memutuskan hukum (di antara manusia). Wallaahu a’lam bish-shawwaab. Dan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amiirah, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib dalam penyebutan pemikul ‘Arsy, bahwasannya mereka adalah delapan orang malaikat au’aal” [Tafsir Al-Qur’anil-‘Adhiim oleh Ibnu Katsir, 14/115, tahqiq : Mushthafaa Sayyid Muhammad, dkk.; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421 H].
Al-Haafidh As-Suyuthi rahimahullah menyebutkan riwayat tsamaaniyyatu au’aal dalam kitabnya Ad-Duurul-Mantsuur :
أَخرَجَ عبدُ بن حُمَيدٍ، وعثمان بن سعيد الدارميُّ في الرد على الجهمية ، وأبو يعلى، وابنُ المنذر، وابن خزيمة، والحاكم وصححه، وابن مردوية، والخطيب في تالي التلخيص، عن العباس بن عبد المطلب في قوله : (وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ). قال : ثمانية أملاك على صورة الأوعال.
“Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid, ‘Utman bin Sa’id Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, Abu Ya’laa, Ibnul-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Al-Haakim dan ia menshahihkannya, Ibnu Marduyah, Al-Khathiib dalam Taalit-Talkhiish, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdil-Muthallib : ‘Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka’ (QS. Al-Haaqqah : 17), ia berkata : Delapan orang malaikat dalam wujud kambing gunung” [Ad-Durrul-Mantsuur fit-Tafsiir bil-Ma’tsuur oleh As-Suyuthiy, 14/671, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Markaaz lil-Buhuuts wad-Diraasaat Al-’Arabiyyah wal-Islamiyyah, Cet. 1/1424 H].
Selain dua ulama di atas, Ath-Thabariy, Al-Qurthubi, Al-Baghawiy, dan yang lainnya juga menyebutkan hadits al-au’aal.
Namun para ulama lain memberikan penilaian bahwa hadits al-au’aal dengan keseluruhan jalannya adalah dla’if, dengan sebab Sammaak bin Harb dan ‘Abdullah bin ‘Amiirah.
Mengenai Sammaak bin Harb, maka ia adalah perawi yang dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya, dimana para ulama berselisih pendapat tentangnya pada riwayat yang terdapat di selain Shahih Muslim. Hal itu dikarenakan ia diperselisihkan status ke-dlabith-annya. Yahya bin Ma’in berkata : Tsiqaat. Ahmad berkata : “Seorang yang goncang haditsnya (mudltharibul-hadiits)”. Abu Haatim berkata : “Tsiqah shaduuq”. An-Nasa’iy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy). Ia menerima riwayat dengan talqiin”. Ad-Daaruquthni berkata : “Sayyi’ul-hifdhi”. [Selengkapnya bisa dibaca dalam Mizaanul-I’tidaal oleh Adz-Dzahabi 2/232-234 no. 3548, Daarul-Ma’rifah; dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil oleh As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy dkk., 1/350 no. 1697, Daar ‘Aaalamil-Kutub, Cet. 1/1412 H].
Adapun ‘Abdullah bin ‘Amiirah, maka Adz-Dzahabi berkata : “Padanya terdapat jahalah. Telah berkata Al-Bukhari : Tidak diketahui penyimakannya dari Al-Ahnaf bin Qais”. Muslim berkata dalam Al-Wihdaan : Sammaak bersendirian dalam riwayat darinya (‘Abdullah bin ‘Amiirah). Ibrahim Al-Harbiy berkata : “Aku tidak mengetahuinya” [lihat selengkapnya pada Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’dil, 2/7 no. 2258; dan Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar, 5/344 no. 595, Mathba’ah Daairatil-Ma’aarif An-Nidhamiyyah, Cet. 1/1326 H].
Kesimpulan atas ‘Abdullah bin ‘Amiirah dengan data di atas adalah bahwasannya ia seorang perawi majhul ‘ain.
Adapun masuknya ‘Abdullah bin ‘Amiirah ini dalam Ats-Tsiqaat-nya Ibnu Hibban, maka tidak perlu dianggap. Telah ma’ruf di kalangan muhadditsiin bahwa manhaj Ibnu Hibban sangat longgar (tasaahul) dalam men-tautsiq para perawi majhul. Begitu juga ta’dil yang diberikan oleh At-Tirmidzi merupakan satu bentuk tasaahul beliau. Al-Haakim berkata : “Shahih menurut persyaratan Muslim, namun ia tidak mengeluarkannya”. Ini lebih jauh dari kebenaran dibandingkan perkataan At-Tirmidzi sebelumnya.
Selain itu pada hadits al-au’aal terdapat perselisihan dalam sanad dan matannya pada beberapa jalannya.
Kesimpulannya : Hadits ini adalah lemah. Silakan baca selengkapnya pada kitab Silsilah Adl-Dla’iifah, 3/398-402 no. 1247 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 2/1408 H).
Kembali pada permasalahan Abu Salafy. Jikalau Anda (Abu Salafy) mau sedikit cermat menelaah kajian ilmiah di kalangan ulama ‘Salafy-Wahabiy’, niscaya Anda akan dapati bahwa mereka (para ulama) tidaklah fanatik berdasarkan ketokohan. Asy-Syaikh Al-Albaniy, Asy-Syaikh Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawaabirah, Asy-Syaikh Ahmad Syaakir, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy, dan yang lainnya menjelaskan kelemahan riwayat hadits al-au’aal. Walaupun sama-sama berpendapat dla’if seperti Anda, namun mereka berbeda dengan Anda dalam manhaj tadl’if hadits. Mereka mendla’ifkan hadits bukan karena sentimen atau hanya sekedar alasan tidak masuk akal, namun mereka mendla’ifkannya berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadits yang baku. Walaupun dalam hal ini mereka berbeda dengan kesimpulan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab atau Asy-Syaikh ‘Abdurrahman rahimahumullah, namun pada hakekatnya mereka sama. Hanya saja mereka berbeda dalam ijtihad akhir penshahihan hadits. Seandainya saja mereka semua bersepakat bahwa hadits tersebut adalah shahih, tentu saja mereka juga bersepakat untuk mengimani dan mengamalkan kandungannya tanpa ta’wil macam-macam. Pun sebaliknya jika seandainya disepakati hadits tersebut dla’if.
Dan sepertinya hal ini berbeda dengan diri Anda.
Jika saja pendapat Anda berkesesuaian dengan pendapat Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya dalam perkara ini, tidak lebih hal itu hanya bersifat kebetulan saja. Hal itu karena manhaj Anda dalam hadits dan pemahaman berbeda dengan mereka.
Tidak ada hal yang ditutup-tutupi dari mereka (sebagaimana yang Anda sangka) untuk berbeda pendapat dan mengoreksi Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah jika memang beliau salah. Bahkan ada beberapa kitab dari kalangan ‘Salafy-Wahabiy’ yang menelaah/membahas atau mengkritik hadits-hadits yang terdapat dalam kitab At-Tauhiid karangan Asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab, seperti : Ad-Durrul-Nadliid fii Takhriiji Kitaabit-Tauhiid oleh Shaalih bin ‘Abdillah Al-‘Ashiimiy, Nahjus-Sadiid fii Takhriiji Ahaadiitsi Taisiril-‘Aziizil-Hamiid oleh Jaasim Al-Fahiid Ad-Dausariy, Dla’iif Kitaabit-Tauhiid oleh Shaghiir bin ‘Aliy Asy-Syamriy, At-Tanbihaat ‘alaa Kutubi Takhriiji Kitaabit-Tauhiid oleh Naashir bin Hamd Al-Fahd, Takhriiji Ahaadiitsi Muntaqadah fii Kitaabit-Tauhiid oleh Fariih bin Shaalih Al-Bahlaal, dan yang lainnya masih banyak. Mereka saling kritik dengan adab-adab sebagai seorang thaalibul-ilmi. Sekali lagi, tidak ada yang ditutup-tutupi sebagaimana klaim Anda. Pembelaan jika memang perlu dibela adalah pantas diberikan, namun bukan dengan dasar ta’ashub buta. Ia dilakukan dengan dasar ilmu dan sikap penuh penghormatan terhadap ulama’.
3.      Apakah Anda (Abu Salafy) merasa keberatan jika kami mengimani bahwa Allah berada di atas ‘Arsy ? Juga bahwasannya ‘Arsy Allah berada di atas air (samudera) yang ia (‘Arsy) dipikul oleh para malaikat-Nya ? (dan saat ini kita tidak lagi membahas hadits al-au’aal karena ia adalah hadits dla’if dan tidak bisa dipakai berhujjah dalam masalah agama).
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya” [QS. Al-A’raaf : 54].
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” [QS. Al-Mulk : 16-17].
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
فَيَوْمَئِذٍ وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ * وَانْشَقَّتِ السَّمَاءُ فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ * وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَائِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
“Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka [QS. Al-Haaqqah : 15-17].
Juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya kepada budak Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
أين الله قالت في السماء قال من أنا قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة
“Dimanakah Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Bebaskanlah/merdekakanlah dia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah” [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].
Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
فإذا سألتم الله فاسألوه الفردوس، فإنه أوسط الجنة، وأعلى الجنة وفوقه عرش الرحمان
“Apabila kalian meminta (berdoa) kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus, karena ia adalah surga yang paling tengah (letaknya) dan paling tinggi. Dan di atasnya terletak ‘Arsy Ar-Rahmaan (Allah)” [HR. Al-Bukhari no. 2790,7423; Ahmad 2/335,339; dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 581].
أذن لي أن أحدث عن ملكٍ من ملائكة اللّه من حملة العرش، إن ما بين شحمة أذنه إلى عاتقه مسيرة سبعمائة عامٍ
“Telah diijinkan kepadaku untuk bercerita tentang seorang malaikat dari malaikat-malaikat Allah yang memikul ‘Arsy. Sesungguhnya jarak antara daun telinganya sampai bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun” [HR. Abu Dawud no. 4727, Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/284-285 no. 846, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath 2/425, Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 3/948, dan yang lainnya; shahih].
ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi sepertilingkaran yang dilemparkan di padang sahara yang luas. Dan keunggulan ‘Arsy atau Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas lingkaran tersebut” [lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 1/223-227 no. 109; Maktabah Al-Ma’aarif].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah berkata :
بين السماء الدنيا والتي تليها خمسمائة عام، وبين كل سماء خمسمائة عام، وبين السماء السابعة وبين الكرسي خمسمائة عام، وبين كرسي وبين الماء خمسمائة عام، والكرسي فوق الماء، والله عز وجل فوق الكرسي، ويعلم ما أنتم عليه
“Antara langit yang terendah (langit dunia) dan (bumi) yang di bawahnya berjarak selama 500 tahun. Antara satu langit dengan langit yang lainnya berjarak 500 tahun. Antara langit yang ketujuh dengan kursi berjarak 500 tahun. Antara kursi dengan air berjarak 500 tahun. Kursi Allah itu letaknya di atas air. Dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas kursi. Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 2/290, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy. Muhaqqiq juga menisbatkan riwayat itu pada Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid 1/232-234; Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 81 dan Ar-Radd ‘alal-Mariisiy hal. 73,90,105; Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 9/228 dan yang lainnya].
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma pernah berkata :
خلق الله سبع سماوات وخلق فوق السابعة الماء، وجعل فوق الماء العرش، وجعل في السماء الدنيا الشمس والقمر والنجوم والرجوم.
“Allah menciptakan tujuh langit. Dia menjadikan air di atas langit ketujuh, menciptakan ‘Arsy di atas air. Dan Dia juga menjadikan/mengadakan matahari, bulan, bintang, dan meteor di langit dunia” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 2/292 no. 853; sanadnya shahih, rijalnya semuanya tsiqaat ma’ruuf].
Sulaiman At-Taimiy rahimahullah, seorang imam tabi’iy penduduk Bashrah, pernah berkata :
لو سئلت : أين الله تبارك وتعالى ؟ قلت : في السماء. فإن قال : فأين عرشه قبل أن يخلق السماء ؟ قلت : على الماء. فإن قال لي : أين كان عرشه قبل أن يخلق الماء ؟ قلت : لا أدري.
“Apabila aku ditanya : ‘Dimanakah Allah tabaaraka wa ta’ala ?’. Maka aku akan menjawab : ‘Di (atas) langit’. Apabila ia bertanya : ‘Dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan langit ?’. Maka akan aku jawab : ‘Di atas air’. Jika ia kembali bertanya kepadaku : ‘Lantas, dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan air ?’. Maka akan aku jawan : ‘Aku tidak tahu” [Shahih; diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194. Dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur 7/337 dan ia menisbatkannya pada ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Abusy-Syaikh – takhrij dinukil dari Aqwaalut-Taabi’in fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 941; Daarut-Tauhiid, Cet. 1/1424 H].
Adl-Dlahhak bin Muzaahim rahimahullah berkata :
هو فوق العرش وعلمه معهم أينما كانوا
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka dimanapun mereka berada” [lihat Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabiy, 2/201-202; shahih].
Itulah sedikit yang kami sebutkan dan kami imani, dimana hal itu adalah merupakan bahasan yang selalu Anda (Abu Salafy) ingkari. Dan ketahuilah bahwa keingkaran Anda terhadap kami atas ‘aqidah ini tidaklah akan membawa efek apapun bagi kami dalam menetapi ‘aqidah salaf.
‘Aqidah bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy ber-istiwaa’ merupakan ‘aqidah generasi salaf. Bahkan mereka ijma’ salaf mengenai hal itu. Di antara banyak yang dapat ditampilkan, akan saya tuliskan beberapa saja :
Telah berkata Al-Imam Al-Auza’iy rahimahullah :
كُنَّا والتابعون متوافرون  نقول : إن الله تعالى  فوق عرشه، ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته.
“Kami dan banyak sekali dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, dan kami beriman kepada sifat-sifat yang disebutkan oleh As-Sunnah” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, hal. 304. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan berkata dalam Fathul-Majiid hal. 533 : “Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ash-Shifaat, para perawinya adalam para imam tsiqaat”].
Telah berkata Al-Imam Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah :
"قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة ".
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Allah berfirman : ‘Allah Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya’ (QS. Thaahaa : 5). Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy ber-istiwaa’ (bersemayam), dan Dia mengetahui segala sesuatu (walaupun) di bawah bumi ketujuh yang paling dalam.”
Adz-Dzahabi berkata : “Perhatikanlah ijma’ yang dinukil oleh sang imam terhadap masalah yang mulia ini, sebagaimana yang dikutip di jamannya oleh Qutaibah” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar, hal. 132].
Telah berkata Al-Imam Al-Muhaddits Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy rahimahullah :
سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة فقالا أدركنا العلماء في جميع الأمصار فكان من مذاهبهم أن الإيمان قول وعمل يزيد وينقص والقرآن كلام الله غير مخلوق بجميع جهاته والقدر خيره وشره من الله تعالى وإن الله تعالى على عرشه بائن من خلقه كما وصف نفسه في كتابه وعلى لسان رسوله بلا كيف
“Aku pernah bertanya kepada ayahku (Abu Haatim) dan Abu Zur’ah mengenai madzhab Ahlus-Sunnah. Maka mereka berdua (Abu Haatim dan Abu Zur’ah) berkata : ‘Kami menjumpai ulama diseluruh pelosok negeri. Madzhab mereka tentang hal ini bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Sedangkan Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk dari segala sisinya. Takdir yang baik dan yang buruk itu berasal dari Allah ta’ala, dan bahwasannya Allah ta’ala  berada di atas ‘Arasy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya; sebagaimana Dia sifatkan atas diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an) dan melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tanpa menanyakan bagaimana” [Shahih; lihat Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar oleh Adz-Dzahabi, hal. 138, tashhih : ’Abdurrahman Muhammad ’Utsman; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 1/1388 H].
Telah berkata Al-Imam Al-Haafidh ‘Utsman bin Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah :
وقد التَّفقت كلمة المسلمين أنَّ الله تعالى فوق عرشه، فوق سماواتة
“Dan sungguh telah ada kesepakatan dalam perkataan kaum muslimin bahwasannya Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, (yaitu) berada di atas langit-langit-Nya” [Ar-Radd ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy, 1/340 – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Faishal bin Qazzaar Al-Jaasim, hal. 433; Al-Mabaratul-Khairiyyah, Cet. 1/1428 H].
Telah berkata Al-Imam Al-Haafidh Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah :
وأجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين، أنَّ الله تبارك وتعالى على عرشه، فوق سماواته، بائن من خلقه، وعلمه محيط بجميع خلقه، لا يأبى ذلك ولا ينكره، إلا من انتحل مذاهب الحلولية.
“Telah menjadi satu kesepakatan dari kaum muslimin dari kalangan shahabat, tabi’iin, dan seluruh ulama kaum mukminin bahwasannya Allah tabaraka wa ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, (yaitu) di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidak ada yang menolak dan mengingkarinya, kecuali orang yang menganut madzhab Huluuliyyah (Wihdatul-Wujud)” [Al-Ibaanah, 3/136 – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 435].
Inilah manhaj para ulama salaf dalam ‘aqidah al-asmaa’ wash-shifaat yang banyak Anda cela.
Besar harapan saya jika Anda – wahai saudaraku Abu Salafy - mau berhenti mencela manhaj salaf dan para ulama yang berada di atasnya, termasuk Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah – yang sudah pasti lebih ‘alim daripada Anda. Selain karena tidak pantas Anda lakukan, saya juga melihat Anda bukanlah tipe orang yang punya kapabilitas menghasilkan kritik ilmiah lagi bermutu sehingga layak baca bagi penuntut ilmu (thaalibul-‘ilmi). Minimal, berdasarkan bacaan saya pada sebagian tulisan Anda.
Akhirnya, hanya kepada Allah lah kita memohon petunjuk dan keistiqamahan untuk meniti jalan yang benar. Semoga apa yang dituliskan dapat memberikan manfaat. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.

Comments

Anonim mengatakan...

Semoga Allah selalu menambahkan ilmu kepada antum ya Ustadz..

abu hamzah al tegally mengatakan...

sdh saatnya abusalafy & salafytobat mulutnya disumbat pake sandal biar bs diem dari mencela dawah salaf & berdusta atas nama para Ulama Salaf

Anonim mengatakan...

IsnyaAllah para wahabi ini biar pada tobat. Aminn

Unknown mengatakan...

assalamualaikum, semakin banyak pembenci dakwah salfiyah yang mulia ini dimana-mana, tidak di blog, diwebm di forum dimajalah, semoga ustad abul jauza tetep istiqomah memberi penjelsan dan mematahkan argumen mereka amin,,,

Anonim mengatakan...

saya ingin bertanya kepada al akh ustaz abul jauza, gimana kabarnya, lama tak jumpa,,,wahai ahii..saya tanya suatu hal,,,,ketika Allah menaqdirkan memberi rejeki kepada manusia lusa, besok, tahun depan, kemarin dan dulu, apakah dengan demikian perbuatan Allah terikat dengan makhluqNya..

@ DodyKurniawan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

alhamdulillah, baik.

Tidak.

Unknown mengatakan...

ustad, ana izin untuk share....
Jazakallah khoir

Shobri mengatakan...

abusalafy.wordpress.com BUKANLAH SALAFY, itu FITNAH BESAR..
coba buka www.firanda.com, ini salaf sejati, ...

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum ustadz

kalau kita perhatikan dalam ayat al qur'an dan hadits banyak menggunakan kata 'fissamaa' yang artinya di dalam langit padahal sebenarnya Alloh berada di atas langit. bagaimana penjelasan tentang hal ini ustadz, jazakallohu khoiron atas penjelasannya ustadz.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Fii dalam bahasa Arab itu dapat berarti 'alaa. Jadi, fis-samaa' itu maknanya 'alas-samaa'.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Abu Salafy memang perlu di tahdzir supaya kaum muslimin tidak tertipu dengan tulisan-tulisan sesatnya

Unknown mengatakan...

Ada pertentangan antara ayat ALLAH di atas Arsy dgn ALLAH ada di bumi.

وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ

Dialah ALLAH yg di LANGIT dan BUMI. (Al An'am ayat 3)

Ketika tuhannya memanggilnya DI LEMBAH SUCI ialah lembah Thuwa (An Nazi'at ayat 16)

Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam (Al Qoshshosh ayat 30)

Cucunya bin Abdul Wahhab, Abdurrahman bin Hasan berkata :

"Ayat ARROhMAANU 'ALAL 'ARSYISTAWA, sesungguhnya arti ISTIWA' itu adalah ISTAQORRO (menetap) , WARTAFA'A (naik/tinggi/terangkat), WA 'ALAA (dan tinggi) dan semuanya berma'na satu" (Kitab Majmu'atut Tauhid halaman 34)

MENETAP (Istaqorro) di Arsy, jelas bertentangan dgn ayat-ayat yg menjelaskan ALLAH ada di LANGIT apalagi dgn ayat yg menerangkan ALLAH di BUMI. Juga dgn hadits ALLAH turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir (berarti tidak MENETAP) apalagi setiap saat bumi itu TERJADI SEPERTIGA MALAM, berarti kapan kembali ke Arsy?

Nabi bersabda :

وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ

Dalam hadits ini disebutkan Engkaulah Yang Zhohir maka tidak ada apapun di atas Engkau, dan Engkau Yang Bathin maka tidak ada apapun di BAWAH Engkau.
(HR. Imam Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Ibnu Katsir berkata dlm surat Al A'rof ayat 54 :

Yang dipakai adalah pendapat para imam salafus soleh seperti Imam Malik Auza'i, Ats Tsauri, Al Layts bin Sa'd, Syafii, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rohawaih dan lain-lain, yang menyatakan bahwa arti beristiwa' di atas Arsy adalah Istiwa' sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut tanpa memberikan arti caranya bagaimana, menyerupai apa, dan juga tidak mengingkari istiwa'nya ALLAH SWT. ALLAH tidak sama dengan makhluk-Nya. Berkata beberapa imam seperti gurunya Imam Bukhori yaitu Nu'aim bin Hammad Al Khoza'i, "Siapa yang menyerupai ALLAH dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir, siapa yang menentang sifat yang ALLAH sifati dirinya sendiri maka dia telah kafir"

Nabi bersabda :

"ALLAH ada dan tidak ada sesuatupun sebelumnya, dan 'Arsynya ALLAH ada di atas air, dan ALLAH menulis di lauhul mahfudz segala sesuatu, kemudian ALLAH ciptakan langit dan bumi". (HR. Imam Bukhori)

Dimana ALLAH ketika tempat / arsy / langit belum diciptakan, dimana ALLAH ketika belum ada apapun selainNya?

Di kitab Iqozhul Himam Syarh Al Hikam dijelaskan:

وقال سيدنا علي كرم الله وجهه الحق تعالى ليس من شيء ولا في شيء ولا فوق شيء ولا تحت شيء إذ لو كان من شيء لكان مخلوقاً ولو كان فوق شيء لكان محمولاً ولو كان في شيء لكان محصوراً ولو كان تحت شيء لكان مقهوراً اه وقيل له يا ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم أين كان ربنا أو هل له مكان فتغير وجهه وسكت ساعة ثم قال قولكم أين الله سؤال عن مكان وكان الله ولا مكان ثم خلق الزمان والمكان وهو الآن كما كان دون مكان ولا زمان

"Dan telah berkata Sayyidina Ali (semoga ALLAH muliakan wajahnya) Al Haqq (ALLAH) Ta'ala bukanlah dari sesuatu, dan bukan di dalam sesuatu, dan bukan di atas sesuatu dan bukan di bawah sesuatu, karena jika ALLAH dari sesuatu sungguh DIA diciptakan, jika DIA di atas sesuatu sungguh DIA bisa dibawa, jika DIA di dalam sesuatu maka sungguh DIA bisa terkurung, dan jika di bawah sesuatu maka DIA bisa dipaksa. Dan dikatakan kepada Sayyidina Ali: Wahai anak pamannya Rosulullah SAW, dimana Tuhan kita berada? Atau apakah dia bertempat? Maka berubahlah muka Sayyidina Ali dan beliau diam sesaat, kemudian beliau berkata : Perkataan kalian dimana ALLAH adalah pertanyaan tentang tempat & ALLAH itu ada, dan tempat belum ada, lalu ALLAH ciptakan waktu & tempat & DIA sekarang sebagaimana DIA ada, tanpa tempat & tanpa waktu"

Mr. M.A.Y. mengatakan...

@Neneng, coba terjemahannya cek dulu dong. Jangan terjemah leterlek... ayat pertama tuh terjemahnya DEPAG gini

"Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi." (Al-An'am:3)

gak ada ayat yang bertentangan, yang bertentangan itu anda terhadap ayat Allah.

Unknown mengatakan...

Anda mengartikan Arrohman dalam ayat Arrohman di atas arsy bersemayam dgn DIA (wahabi lain jg mengartikan sebgai Dzat) artinya leterlek mengartikannya kmudian ditafsirkan dgn Dzat. Hrusnya konsekwen, anda artikan Dzat ALLAH juga dlm ayat al an'am:3 tsb. Trus dgn ayat: ALLAH di lembah di sebuah pohon, atau hadist ALLAH trun? Jelas2 bertntangan bnget dgn menetapNya ALLAH di Arsy. Apalgi dgn fatwa Al Albani dalam mentahqiq kitab Mukhtashor Al Uluw karangan Imam Dzahabi :

فإنه يتضمن نسبة القعود على العرش لله عز وجل وهذا يسلتزم نسبة الاستقرار عليه الله تعالى وهذا مما لم يرد فلا يجوز اعتقاده ونسبته إلى الله عز وجل ولذلك ترى المؤلف رحمه الله أنكر على من قال ممن جاء بعد القرون الثلاثة : إن الله استوى استواء استقرار

Maka sesungguhnya makna yg menyimpan penisbatan qu'ud:duduk/semayam di atas arasy kepada allah,dan ini melazimkan penisbatan istiqror:menetap di atas arasy bagi allah dan ini adalah sesuatu yg tidak datang dari (quran hadits), maka tidak boleh meng'itiqadkannya dan menisbatkannya kpd allah, dan krn itu kau lihat pengarang rhm mengingkari org yg berkata yg termasuk dlm masa stlh 3 abad sesungguhnya ALLAH istiwa, Istiwa'=istiqror.

Juga perkataan ulama Salaf, Imam Thohawi :

وتعالى عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست

Dan Maha Tinggi ALLAH dari disifati berbatas, berakhiran, bergerak, beranggota badan, memiliki alat bantu, dan ALLAH tdklah diliputi oleh arah yg enam (Atas, Bawah, Kanan, Kiri, Depan, Belakang)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kira Anda perlu belajar dulu bahasa Arab ya.....

Unknown mengatakan...

Terjemahan itu beda dgn penafsiran. Terjemahan ayatnya jelas ALLAH di LANGIT dan BUMI. Jika ditambah YANG DISEMBAH berarti itu penafsiran, bukan terjemah, tepatnya terjemah yg menggunakan penafsiran dulu.

Ketika mengartikan ALLAH di Arsy/ langit kalian gunakan DZAT ALLAH. Tapi kenapa ketika mengartikan ALLAH di BUMI kalian tdk mengartikan dgn DZAT ALLAH di bumi, di sebuah pohon di lembah yang diberkati, kenapa tdk konsisten. Kenapa yg diimani hanya ALLAH DI ATAS, tapi TIDAK mengakui ALLAH DI BUMI, DI SEBUAH POHON DI LEMBAH YANG DIBERKATI?

Ketika Nabi bilang di atas ALLAH tdk ada sesuatu, di bawah ALLAH tdk ada sesuatu (dlm doa sebelum tidur beliau), kenapa kalian tdk imani spt itu?

Ketika ulama Salaf menyatakan ALLAH TIDAK DILIPUTI ARAH YANG ENAM, kalian malah meyakini DZAT ALLAH di atas?

Jawab saja dgn ilmu, bukan dgn perkataan yg tdk berguna

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Justru itu, saran saya tetap bahwa Anda memang perlu belajar bahasa Arab untuk mengetahui uslub-uslubnya. Misalnya Allah berfirman :

وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ

"Dan berapa banyak negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya" [QS. Ath-Thalaaq : 8].

Apakah Anda memahami bahwa yang durhaka itu adalah "negeri" atau state dalam bahasa Inggris yang notabene adalah benda mati ?. Ataukah, pemahaman di situ adalah penduduk negeri ?.

Makanya, bahasa Arab itu mesti dipahami berdasarkan lisan Arab. Contoh seperti ini banyak di Al-Qur'an, As-Sunnah, atau pun dalam percakapan sehar-hari.

Pok Neneng,... satu saja saya komentari karena yang lainnya pun cukup menunjukkan payahnya kualitas bahasa dan pemahaman Anda.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Atau satu lagi deh,.... tentang kasus Nabi Muusaa 'alaihis-salaam. Kisah penerimaan wahyu Muusaa dari Allah ta'ala di lembah Thuwaa itu dikisahkan dalam beberapa ayat, di antaranya :

إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِي الْمُقَدَّسِ طُوًى * اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

"Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa; "Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas" [QS. An-Naazi'aat : 16-17].

فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى * إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى * وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى

"Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)" [QS. Thaha : 11-13].

فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الأيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

"Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam" [QS. Al-Qashshaash : 30].

Di situ tidak ada petunjuk bahwa Allah ta'ala ada di lembah Thuwaa. Yang ada hanyalah petunjuk bahwa Allah berfirman kepada Muusaa agar datang ke lembah Thuwaa dan kemudian Allah ta'ala berfirman kepadanya secara langsung di tempat tersebut.

Barangkali Anda membayangkan bahwa jika Muusaa dipanggil Allah untuk mendatangi suatu tempat, artinya, Allah ada di tempat tersebut. Sama seperti proses kejadian sumber suara dalam proses transfer gelombang di alam. Ya ini lucu sekali, kalau memang Anda berpikir demikian. Ini namanya Anda menyamakan (qiyas) Allah dengan makhluk [Jadi yang mentasybih itu siapa ?]. Berbicara tentang Alah itu harus menggunakan dalil. Selama tidak ada dalil bahwa Allah berada di lembah Thuwa, tidak boleh mengira-ngira tentang Allah sebagaimana disebutkan.

Sebenarnya, bangunan komentar Anda dari awal itu sudah kropos. Iya nggak ?.

Mekel mengatakan...

Teh Neneng,

itu yang doa Nabi:

وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ

terjemahan menurut anti jadi:

Engkaulah Yang Zhohir maka tidak ada apapun di atas Engkau, dan Engkau Yang Bathin maka tidak ada apapun di BAWAH Engkau

Kalau anti mengartikan kata "Duna" dari kata "ad-duun" = Rendah/dibawah.

semestinya artinya "Tidak ada yang lebih rendah/dibawah selain engkau" (naudzubullah)

Tapi kalau kata "Duuna" diambil dari kata "Ad dunuww" = Dekat.

maka artinya lebih pas, Tiada yang lebih dekat selain dirimu

Bener juga kata Ust. Jauza...B. Arab menjadi kuncinya, mungkin saya sendiri perlu mendalami Bahasa Arab lagi biar agak pinteran dikit dan punya sifat malu.

Untuk yg perkataan Sayidina Ali, itu ada sanadnya gak Teh?...tolong dibagiin kalau ada ya teh

Trimakasih

Tommi Marsetio mengatakan...

Ukhti Neneng berkata : "MENETAP (Istaqorro) di Arsy, jelas bertentangan dgn ayat-ayat yg menjelaskan ALLAH ada di LANGIT apalagi dgn ayat yg menerangkan ALLAH di BUMI. Juga dgn hadits ALLAH turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir (berarti tidak MENETAP) apalagi setiap saat bumi itu TERJADI SEPERTIGA MALAM, berarti kapan kembali ke Arsy?"

Anti dengan sendirinya telah terjatuh kepada aqidah tasybih dan tajsim dengan berkata2 spt itu (alih2 salafiy wahabiy yg terus2an difitnah tajsim). Allah Yang Maha Agung dan Yang Maha Berkehendak jauh lebih Tinggi untuk ditanyakan sifat-sifatNya dengan pertanyaan2 spt itu, wahai ukhti, takutlah kepada Allah.

Adidesember Blog mengatakan...

Assalamualaikum

Saya pernah membaca di http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/tujuh-lapis-bumi.htm#.UaKRh0BkpzY

disana dinyatakan "Diriwayatkan dari Ahmad dan Tirmidzi dari Hadits Abu Hurairoh,”Sesungguhnya antara satu langit dengan langit yang lainnya berjarak lima ratus tahun, dan sesungguhnya bangunan setiap langit sama seperti itu. Dan antara satu bumi dengan bumi yang lainnya berjarak lima ratus tahun."

Yang saya tanyakan maksud "Dan antara satu bumi dengan bumi yang lainnya berjarak lima ratus tahun" itu apa ya?

apakah 500 tahun itu jarak antara bumi lapis pertama dengan lapis ke duanya atau antara bumi yang ada di langit pertama dengan bumi yang ada di langit kedua.

Mohon penjelasannya ustadz dan atas jawabannya saya ucapkan "Jazakumullah"

Anonim mengatakan...

satu lagi untuk mbak neneng. Seharusnya anda menafsirkan QS al-An'am :3 dengan QS az-Zuhruf :84. terjemahan DEPAG:"Dan Dialah Tuhan(yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah)di bumi, dan Dialah yang Mahabijaksana, Mahamengetahui"

Anonim mengatakan...

Semoga oknum yg bernama abu salafy & salafy tobat mendapat hidayah... Kasian sama mereka karena kejahilannya telah menyesatkan banyak manusia. Nanti apa hujjah dia di hadapan Allah?

@Adidesember Blog

jarak tiap lapisan bumi 500 tahun mungkin sebagai kiasan saja karena tak ada manusia yg sanggup menembus keduanya. Bisa jadi logika kita yg gak sanggup menerjemahkannya.
Jarak 500 tahun ke langit kedua mungkin naik pesawat super cepat (cahaya aja butuh milyaran tahun utk mencapai ujung langit pertama), sedangkan 500 tahun ke perut bumi mungkin dengan gali pake pacul secara manual hehehe. Wallahu a'lam

Unknown mengatakan...

apakah riwayat ini shahih ustadz?
Di kitab Iqozhul Himam Syarh Al Hikam dijelaskan:

وقال سيدنا علي كرم الله وجهه الحق تعالى ليس من شيء ولا في شيء ولا فوق شيء ولا تحت شيء إذ لو كان من شيء لكان مخلوقاً ولو كان فوق شيء لكان محمولاً ولو كان في شيء لكان محصوراً ولو كان تحت شيء لكان مقهوراً اه وقيل له يا ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم أين كان ربنا أو هل له مكان فتغير وجهه وسكت ساعة ثم قال قولكم أين الله سؤال عن مكان وكان الله ولا مكان ثم خلق الزمان والمكان وهو الآن كما كان دون مكان ولا زمان

"Dan telah berkata Sayyidina Ali (semoga ALLAH muliakan wajahnya) Al Haqq (ALLAH) Ta'ala bukanlah dari sesuatu, dan bukan di dalam sesuatu, dan bukan di atas sesuatu dan bukan di bawah sesuatu, karena jika ALLAH dari sesuatu sungguh DIA diciptakan, jika DIA di atas sesuatu sungguh DIA bisa dibawa, jika DIA di dalam sesuatu maka sungguh DIA bisa terkurung, dan jika di bawah sesuatu maka DIA bisa dipaksa. Dan dikatakan kepada Sayyidina Ali: Wahai anak pamannya Rosulullah SAW, dimana Tuhan kita berada? Atau apakah dia bertempat? Maka berubahlah muka Sayyidina Ali dan beliau diam sesaat, kemudian beliau berkata : Perkataan kalian dimana ALLAH adalah pertanyaan tentang tempat & ALLAH itu ada, dan tempat belum ada, lalu ALLAH ciptakan waktu & tempat & DIA sekarang sebagaimana DIA ada, tanpa tempat & tanpa waktu"
A