Di Blog-nya Abu Salma telah ditulis beberapa bahasan dan penjelasan mengenai tema di atas. Tentu kita paham bahwa tulisan itu ditujukan kepada beberapa orang yang mengaku ber-intisab pada madzhab salaf – yang kemudian menyebut diri mereka sebagai salafiyyun – namun sebenarnya mereka tidak lebih dari gerombolan muqalliduun yang jauh dari apa yang mereka nisbatkan.
Betul bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu adalah salah satu kaidah yang sangat penting dalam agama. Betul pula bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu tidak hanya khusus di bidang ilmu hadits. Dua kata ‘betul’ tadi menjadi benar-benar ‘betul’ jika memang dijalankan sesuai dengan kaidah dan aturannya. Sebaliknya, kata ’betul’ pun menjadi ’tidak betul’ jika diterapkan secara serampangan, sembrono, dan semau gue. Al-Jarh wat-Ta’dil itu bukan merupakan monopoli satu atau dua orang ulama saja. Bahkan bagi ulama yang telah dikenal pengetahuannya tentang ilmu itu. Harap kiranya kalimat ini tidak disangkakan bahwa saya bermaksud menyindir atau mencela ulama tertentu. Sebagaimana yang telah dinukil oleh al-akh Abu Salma, permasalahan al-jarh wat-ta’dil ini membuka pintu perbedaan pendapat. Konsekuensinya, jika ada dua orang ulama yang telah dikenal keilmuan dan dakwahnya kepada sunnah berbeda pendapat akan ’status’ objek tertentu, maka tidak ada celah untuk membawa permasalahan ini kepada perpecahan dan saling cela satu sama lain, khususnya sesama Ahlus-Sunnah. Tidak lain karena permasalahan al-jarh wat-ta’dil itu asalnya merupakan perkara ijtihadiyyah. Sikap kita seharusnya adalah mengambil mana yang rajih (dan meninggalkan yang marjuh) di antara dua pendapat serta menghormati orang yang berselisih pendapat dengan kita. Jadi, sah-sah saja kita tidak mengikuti pendapat salah seorang ulama dan mengikuti ulama yang lain yang kita pandang lebih dekat dengan kebenaran menurut sisi pandang kita. Perkara ini masyhur sebenarnya di kitab-kitab para ulama,........... Namun sayangnya hal ini seakan-akan menjadi lenyap tertelan bumi oleh sikap ghulluw dan ashabiyyah yang menjangkiti sebagian ikhwah ’salafiyyun’. Sedikit akan saya berikan contohnya........ Siapa yang tidak kenal dengan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah ? Ia adalah imam kota Madinah, panutan dalam ilmu di masanya. Apakah semua perkataannya dalam bidang al-jarh wat-ta’dil diterima dan haram hukumnya untuk ditolak ? Mari kita lihat tentang kasus Al-Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, seorang imam di bidang sirah. Apa kata Al-Imam Malik kepadanya ? Akan saya sebutkan sedikit di antaranya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : يحيى بن آدم: حدثنا ابن إدريس قال: كنت عند مالك، فقال له رجل: إن محمد بن إسحاق يقول: اعرضوا علي علم مالك فإني بيطاره. Yahya bin Adam berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, ia berkata : Kami pernah bersama Malik (pada suatu saat). Ada seseorang yang berkata kepada beliau : Sesungguhnya Muhammad bin Ishaq berkata : ’Paparkan kepadaku ilmunya Malik, karena aku adalah pakarnya’. Maka Malik pun berkata : ’Lihatlah oleh kalian seorang pendusta (dajjal) di antara para pendusta itu. Ia mengatakan ’paparkan ilmunya Malik kepadaku’ ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabi, 7/50; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9 – 1413 H/1993 M]. أبو جعفر العقيلي: حدثني أسلم بن سهل، حدثني محمد بن عمرو بن عون، حدثنا محمد بن يحيى بن سعيد القطان قال: قال أبي: سمعت مالكا يقول: يا أهل العراق من يغت عليكم بعد محمد بن إسحاق ؟ ”Abu Ja’far Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepadaku Aslam bin Sahl : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ’Amru bin ’Aun : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, ia berkata : Telah berkata ayahku : Aku telah mendengar Malik berkata : ”Wahai penduduk ’Iraq, siapa lagi yang merusak kalian setelah Muhammad bin Ishaq ?” [idem, 7/53]. Jarh dari Al-Imam Malik kepada Ibnu Ishaq ini didahului oleh Hisyam bin ’Urwah yang menuduhnya pula sebagai pendusta. Adz-Dzahabi membawakan riwayat : العقيلي: حدثنا العباس بن الفضل الاسفاطي، حدثنا سليمان بن داود، حدثنا يحيى بن سعيد، حدثنا وهيب: سمعت هشام بن عروة يقول: ابن إسحاق كذاب ”Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-’Abbas bin Al-Fadhl Al-Isfaathiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Aku mendengar Hisyaam bin ’Urwah berkata : ”Ibnu Ishaq adalah pendusta (kadzdzaab)” [idem, 7/48]. Hisyam bin ’Urwah dan Malik bin Anas rahimahumalah adalah para imam Ahlus-Sunnah yang telah melakukan jarh yang sangat jelas kepada Muhammad bin Ishaq. Tuduhan sebagai pendusta (apalagi sampai menyebut : dajjal) dalam ilmu hadits adalah salah satu jenis jarh yang paling berat. Namun apakah para imam selain keduanya menerima jarh mereka tanpa ada penyelisihan ? Ternyata tidak. Saya nukilkan perkataan ringkas dari Adz-Dzahabi tentang perselisihan antara Malik bin Anas dan Ibnu Ishaq : لسنا ندعي في أئمة الجرح والتعديل العصمة من الغلط النادر، ولا من الكلام بنفس حاد فيمن بينهم وبينه شحناء وإحنة ، وقد علم أن كثيرا من كلام الاقران بعضهم في بعض مهدر لا عبرة به ، ولا سيما إذا وثق الرجل جماعة يلوح على قولهم الانصاف، وهذان الرجلان كل منهما قد نال من صاحبه، لكن أثر كلام مالك في محمد بعض اللين، ولم يؤثر كلام محمد فيه ولا ذرة، وارتفع مالك، وصار كالنجم، والآخر، فله ارتفاع بحسبه، ولاسيما في السير، وأما في أحاديث الاحكام، فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة إلى رتبة الحسن، إلا فيما شذ فيه، فإنه يعد منكرا. ”Kita tidak mengklaim bahwa dalam diri para imam al-jarh wat-ta’dil terjaga dari kesalahan yang jarang dan perkataan dengan nafas yang tajam dari seseorang dimana di antara mereka dengan dirinya terdapat permusuhan dan kebencian. Telah diketahui bahwa tidak sedikit perkataan sebagian orang terhadap kawan-kawannya yang lain akan sia-sia tanpa makna, lebih-lebih jika orang yang bersangkutan telah dinyatakan tsiqah oleh jama’ah dimana objektifitas terlihat dalam perkataan mereka. Kedua orang ini saling bersaing dengan rekannya. Akan tetapi perkataan Malik memberikan pengaruh pada diri Muhammad (bin Ishaq) dengan sedikit melemahkannya. Sebaliknya perkataan Muhammad tidak membekas pada diri Malik sedikitpun. Malik terangkat dan menjadi seperti bintang, sementara kawannya ini juga naik sesuai dengan keadaannya, lebih-lebih di bidang sirah. Adapun dalam hadits-hadits hukum, maka haditsnya turun dari derajat shahih menjadi derajat hasan. Kecuali pada apa-apa yang ada keganjilan (syadz) di dalamnya. Maka ia terhitung sebagai hadits munkar. Ini adalah kesimpulanku tentang keadaannya. Wallaahu a’lam” [idem, 7/40-41]. Begitu juga para imam lain yang membuat perincian dan penjelasan tentang jarh sebagai pendusta sebagian ulama kepada Ibnu Ishaq, dimana mereka tidak menerima begitu saja jarh tersebut. Sebut saja Al-’Iraqiy[1], Ibnu Hajar[2], dan yang lainnya yang tetap menerima riwayat dari Ibnu Ishaq. Atau pembahasan mengenai khabaruts-tsiqat yang masyhur. Apakah setiap khabarun minats-tsiqaat – terutama berkaitan dengan al-jarh wat-ta’dil – harus diterima secara aklamasi tanpa boleh ada penyelisihan ? Barangsiapa yang menyelisihi akan diikut di-jarh tanpa ada ampun ?[3] Ada kisah menarik Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farra’ rahimahullah, salah seorang pembesar madzhab Hanabilah. Ia pernah dituduh sebagai mujassimah, sebagaimana hal itu dikatakan oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy rahimahullah. Ibnul-’Arabiy berkata : ”Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku, bahwa Abu Ya’la Muhammad bin Husain Al-Farra’, pemuka madzhab Hanabilah di Baghdad, pernah berkata apabila ia menyebut Allah ta’ala dan dalil-dalil dhahir yang menetapkan shifat-shifat-Nya, ia berkata : ”Berikanlah konsekuensi apapun yang kalian inginkan kepadaku. Aku akan menerimanya, kecuali jengot dan aurat” [Al-’Awaashim minal-Qawaashim oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy, hal. 209-210, tahqiq : Dr. Ammar Thalibi]. Beberapa ulama telah membantah ’khabaruts-tsiqaat’ ini. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : وما نقله عنه أبو بكر بن العربي في العواصم كذب عليه عن مجهول لم يذكره أبو بكر وهو من الكذب عليه ”Dan apa-apa yang dinukil dari Abu Ya’la oleh Abu Bakr bin Al-’Arabiy dalam kitab Al-’Awaashim adalah satu kedustaan terhadapnya. Nukilan ini berasal dari seorang yang majhul (tidak diketahui identitasnya) yang tidak disebutkan namanya oleh Abu Bakr (bin Al-’Arabiy). Perkataan ini termasuk kedustaan terhadap Al-Qadli Abu Ya’la” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-’Aql wan-Naql oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, 5/238, tahqiq : ’Abdul-Lathif bin ’Abdirrahman; Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. Thn. 1417]. Al-Qadli Ibnul-’Arabiy adalah seorang tsiqah. Yang mengkhabarkan kepada beliau pun dikatakan olehnya (Ibnul-’Arabiy) juga sebagai seorang yang tsiqah.[4] Namun pengkhabaran ini tidak diterima oleh Syaikhul-Islam karena apa yang tampak oleh beliau dari perkataan-perkataan Al-Qadli Abu Ya’la dalam kitab-kitabnya sama sekali tidak menunjukkan tuduhan itu. Syaikhul-Islam tidak menerimanya walaupun Ibnul-’Arabiy telah menegaskan bahwa khabar itu diperolehnya dari salah seorang gurunya yang terpercaya. Al-Qadli Abu Ya’la mengatakan bahwa ia sering difitnah karena ’aqidahnya yang lurus mengenai shifat-shifat Allah yang menolak ta’wil (yang bathil) ala Asyaa’irah, dimana musuh-musuhnya berkata : ”Dalam kitab tersebut (yaitu kitab Ibthaalut-Ta’wiil), ia telah menyebutkan bab kelamin, dua buah pelir, mulut, jenggot, kepala, bulu dada, rambut, sandal sharrarah, naik keledai, berjalan di pasar, dan bahwa Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda, dan yang lain-lainnya”. Beliau mengatakan bahwa apa yang dikatakan musuh-musuhnya tentang dirinya hanyalah kedustaan dan kebohongan belaka [lihat selengkapnya dalam Ibthaalut-Ta’wiil, hal. 187/A]. Oleh karena itulah – sekali lagi – Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menolak khabaruts-tsiqaat-nya Al-Qadli Ibnul-’Arabiy rahimahumallah. Yaitu dengan alasan-alasan yang menurut sisi pandang beliau cukup kuat. Jika demikian, bukankah hal itu di jaman sekarang masih berlaku ? Apalagi jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap. Contoh lain lagi,..... Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan...... Dan yang lainnya.[7] Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahas al-jarh wat-ta’dil – terutama dalam kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama. Mereka menginginkan bahwa penyelisihan (khilaf) yang pantas diberikan pemakluman padanya adalah penyelisihan yang terjadi di kalangan orang-orang tertentu saja, terutama pihak-pihak yang mereka tokohkan. Namun jika penyelisihan itu terjadi pada orang-orang tidak mereka kehendaki, maka penyelisihan itu mereka anggap seakan-akan merupakan penyelisihan terhadap nash atau ijma’ yang tidak diberikan ruang pemakluman. Hal itu diperparah dengan sikap menyembunyikan fakta karena mengikuti hawa nafsu.[8] Kedangkalan penyikapan itu juga dikarenakan oleh sebab akut mereka yang tidak bisa membedakan antara perselisihan yang lahir dari penyimpangan prinsip ilmu dengan perselisihan yang lahir dari perbedaan memandang realitas.[9] Dalam hal ushul ilmu, mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) tidak berbedalah berbeda. Mereka semua sama dalam hal ushul-ilmu tentang kewajiban memegang manhaj salaf, membenci sikap hizbiyyah dan orang-orang hizbiyyin, serta membenci perpecahan dan mencintai persatuan (dengan dasar ’aqidah dan manhaj). Perselisihan mereka (terutama dalam masalah al-jarh wat-ta’dil) adalah perselisihan tentang jenis kesalahan tertentu yang telah dilakukan oleh seorang ulama apakah cukup membuatnya keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah atau tidak ? Jika perselisihannya adalah dalam perkara ini, maka tidak seharusnya menjadi sebab tafaarruq di kalangan Ahlus-Sunnah !! Semoga kita terhindar dari berbagai macam fitnah dan bukan termasuk orang yang menjadikan fitnah yang ada bertambah besar. Hanya kepada Allah lah kita mengadu dan memohon pertolongan. Wallaahu a’lam. Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai. NB : Apa yang saya tuliskan di sini bukan hendak mendeskreditkan beberapa ulama yang disebutkan dalam tulisan ini. Kita mencintai Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin, Asy-Syaikh Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi, Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy, Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, dan yang semisal dengan mereka. Mereka semua adalah ulama Ahlus-Sunnah yang kita cintai. Kita tidak memilih-milih salah seorang pun di antara mereka dengan meninggalkan yang lainnya. Selain itu, apa yang saya tulis hanyalah buih tambahan atau bahkan pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh al-akh Abu Salma dalam blognya. [1] Al-‘Iraqiy berkata : المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا ”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima” [Tharhut-Tatsrib Syarh At-Taqrib oleh Al-‘Iraqi, 8/72]. [2] Ibnu Hajar berkata : ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث....وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه ”Selama ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan penyimakan haditsnya........ Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya” [Fathul-Baari oleh Ibnu Hajar 11/163]. [3] Sebagaimana pendapat muta’akhkhirin yang mengharuskan menerima khabaruts-tsiqaat secara mutlak tanpa boleh ada penyelisihan, walaupun penyelisihan itu mempunyai qarinah yang cukup kuat. [4] Ditunjukkan oleh perkataan Ibnul-‘Arabiy : “ Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku”. [5] Menyedihkannya, itu terjadi pada orang-orang yang mengklaim dirinya di atas manhaj salaf – padahal ia sangat jauh darinya. Yaitu, ketika salah seorang ustadz mengatakan bahwa si Fulan itu hizbiy atau surury, maka para muqallid ramai-ramai membeonya. Mereka (para muqalliduun) tersebut tidak menghendaki satu pun ruang toleransi kepada saudaranya (yang sama-sama seperti dirinya yang ingin meniti manhaj salaf, manhaj Ahlus-Sunnah). Ia tidak mentolerir sama sekali dengan adanya kemungkinan alasan bahwa apa yang dilihat oleh saudaranya terhadap si Fulan tersebut tidak sesuai dengan dakwaannya. Padahal, apa yang dilihat oleh saudaranya itu, si Fulan bukanlah hizbiy, bukan pula sururiy. Tragisnya, diberlakukanlah kemudian kaidah yang buruk oleh mereka : ”Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami” (wa man laisa ma’anaa fahuwa ’alainaa). Para muqalliduun itupun akhirnya men-tahdzir dan meng-hajr saudaranya yang Ahlus-Sunnah secara mutlak, baik yang pandai sampai yang masih bodoh, baik yang mengetahui permasalahannya sampai yang baru belajar mengaji gak tahu apa-apa. Semua diperlakukan ’sama’ hanya karena punya ’koneksi’ dengan si Fulan. Para muqalliduun itu men-tahdzir dan meng-hajr berdasarkan igauan, bukan dengan ilmu......... [6] Lihat dalam kitab beliau yang berjudul : Rudud Ahlil-‘Ilmi ‘alath-Thaa’iniin fii Hadits As-Sihri wa Bayaani Bu’di Muhammad Rasyid Ridlaa ’anis-Salafiyyah. [7] Misalnya : Perbedaan pandangan antara Asy-Syaikh Al-Albani dan jumhur ulama dengan Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri (dan yang sepakat dengan beliau) mengenai Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam rahimahullah, perbedaan pandangan jumhur ulama muta’akhkhirin dengan Asy-Syaikh Muqbil mengenai status Abu Hanifah rahimahullah, dan yang lainnya. [8] Seperti misal saudara-saudara kita yang ghuluw di Inggris dan Amerika yang menjalankan situs salafipublication, salafitalk, troid, dan yang lainnya. Ketika ada permasalahan antara Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy dengan Dr. Ahmad Bazmul, dengan serta merta mereka mem-blow up permasalahan tersebut dan ikut bicara memperkeruh keadaan. Dulu, mereka menyebut Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai Al-’Allamah Al-Muhaddits. Namun setelah muncul permasalahan yang berkaitan dengan Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, maka ’status’ Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy turun menjadi sekedar thaalibul-’ilmi. Mereka menurunkan ’status’ Asy-Syaikh ’Ali karena beliau tidak menganggap Abul-Hasan Al-Ma’ribiy sebagai seorang mubtadi’ (namun masih seorang ulama Ahlus-Sunnah yang telah terjatuh dalam sebagian kesalahan). Beliau (Syaikh ’Ali) tidak sendirian dalam hal ini. Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad bersama beberapa ulama yang lain pun tidak jauh berbeda dengan posisi beliau dalam hal ini. Namun di sisi lain, sebagian masyaikh (seperti Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, dan yang lainnya hafidhahumullah) menganggap Abul-Hasan sebagai seorang mubtadi’ yang keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Mereka (para muqalliduun) belum begitu mencela Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy karena Asy-Syaikh Rabi’ pernah melarangnya. Begitu pula Dr. Muhammad bin ’Umar Bazmul sangat menghormati beliau (hingga saat ini). Namun ketika Asy-Syaikh ’Ali menuliskan sebuah risalah (kitab) - yang kemudian mereka anggap sebagai satu pembelaan terhadap mubtadi’ –, yang tidak lama kemudian ditindaklanjuti dengan bantahan yang dikeluarkan oleh Dr. Ahmad Bazmul dan Abu ’Abdirrahman Sa’d Az-Za’tiriy; maka status Asy-Syaikh ’Ali pun turun lagi dari thaalibul-’ilm menjadi : bukan apa-apa (baca : bukan ’ulama). Mereka tidak menganggap bahwa perselisihan ini adalah perselisihan di antara ahlul-ilmi yang harus disikapi dengan bijak. Perselisihan itu merupakan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlus-Sunnah dalam sebagian perkara ijtihadiyyah. Lucunya,.... di sisi lain mereka ’menyembunyikan’ fakta adanya perselisihan antara Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri dengan Asy-Syaikh ’Ubaid Al-Jabiriy. Bahkan salah seorang di antara keduanya sampai mengatakan bahwa yang lainnya bukanlah ulama. Mereka juga menyembunyikan fakta kritikan Asy-Syaikh Al-Ghudayan kepada Asy-Syaikh Rabi’ (dan juga Asy-Syaikh ’Ali) tentang permasalahan irja’ (walaupun kritikan ini juga perlu dicermati lebih lanjut). Mereka diam saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Lebih lucu dari yang sebelumnya,...... ketika Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad menulis kitab Ar-Rifqan – dimana kitab ini dipuji oleh Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai kitab yang sangat bagus (karena kitab ini mengkritik perilaku sebagian orang yang sok keras yang menerapkan tahdzir dan hajr secara serampangan yang dengan itu menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus-Sunnah) – Fauziy Al-Bahrainiy menulis satu bantahan untuk kitab ini (sekaligus penulisnya). Untuk menguatkan kritikan ini, ditulislah beberapa ’pujian’ yang kira-kira dapat mengangkat status Fauziy Al-Bahrainiy (termasuk pernyataan bahwa ia adalah murid Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah). Ketika kritikan itu beredar, maka mengalirlah pembelaan dari beberapa ulama Ahlus-Sunnah yang mu’tabar seperti Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh ’Abdus-Salam bin Barjas, dan yang lainnya terhadap kitab Ar-Rifqan dan penulisnya. Pembelaan ini belumlah dianggap oleh mereka. Namun ketika Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy telah angkat bicara men-tahdzir Fauziy Al-Bahrainiy, maka mereka baru ikut men-tahdzir Fauzi Al-Bahrainiy. Mereka anggap sepi – seakan-akan tidak terjadi apa-apa – terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu dalam hal pembelaannya terhadap Fauzi Al-Bahrainiy dan dukungan mereka atas kritikan terhadap Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad dengan kitab Ar-Rifqan-nya. Kasus yang sama dengan Fauzi Al-Bahrainiy terjadi pada Falih Al-Harbiy. Begitulah mereka......... Dan ini yang paling lucu dari yang sebelum-sebelumnya..... ketika dulu Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribi belum ramai dibicarakan, maka ia dianggap salah satu murid Asy-Syaikh Muqbil yang paling pandai dan unggul dalam ilmu hadits. Bisa dikatakan, tidak ada (jarang) ditemukan diantara murid Asy-Syaikh Muqbil yang dapat mengungguli Abul-Hasan Al-Ma’ribi dalam ilmu hadits. Namun ketika fitnah menerpanya, maka ia bukan lagi apa-apa. Ia tidak lagi dipandang sebagai seorang ulama hadits. Ilmu hadits yang beliau kuasai (dan pernah mereka akui) menjadi ’hilang’ karena adanya fitnah – padahal para ulama belum ittifaq dalam hal tabdi’ terhadap Abul-Hasan. Pernyataan bahwa Abul-Hasan merupakan salah satu murid terbaik Asy-Syaikh Muqbil dalam ilmu hadits pun lenyap tak berbekas. Kritikan dan kebencian mereka itu membabi buta. Tidak objektif dan proporsional lagi. Persis seperti hilangnya status ’muhaddits’ kepada Asy-Syaikh ’Ali sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Begitulah mereka............ [lha wong yang namanya Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth saja masih diakui sebagai seorang muhaddits oleh para ulama walau beliau ini banyak terjatuh dalam kesalahan ta’wil Asya’irah dalam permasalahan shifat Allah – baca kitab : Istidraak wa Ta’qiib ’alasy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth fii Ta’wiilihi Ba’dli Ahaaditsish-Shifaat oleh Khaalid bin ’Abdirrahman Asy-Syaayi’, qara-ahu wa ’allaqa ’alaihi : Asy-Syaikh Ibnu Baaz]. Sayangnya,..... kelakuan orang-orang yang ghulluw dari daratan Inggris dan Amerika ini diikuti oleh sebagian orang-orang Indonesia. Khususnya – perlu saya sebutkan – adalah pemilik blog tukpencarialhaq.wordpress. Tidak ragu bagi saya untuk mengatakan bahwa pengelola blog ini adalah orang bodoh, sebagaimana diakui oleh Al-Ustadz ’Abdul-Mu’thi (yang notabene adalah salah seorang ustadz yang menjadi garis ilmu orang tersebut). [9] Satu kaidah mengatakan : { التفريق في مواضع الخلاف بين ماكان مرده إلى المنازعة في الأصول العلمية وبين ماكان مرده إلى التفاوت في تقدير الواقع} ”Membedakan antara khilaf yang timbul dari penyimpangan ushul ’ilmiyyah dengan khilaf yang timbul dari perbedaan memandang realitas”. Ketidakpahaman akan hal ini menyebabkan mereka mencela seseorang (ulama) yang sebenarnya tidak pantas untuk dicela. Misalnya saja mereka mencela Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid atau Asy-Syaikh Ibnu Jibrin yang dianggap cenderung membela Sayyid Quthb. Permasalahannya adalah jelas. Dalam hal prinsip ilmu, maka Asy-Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin tidaklah berbeda dengan para masyaikh lainya (seperti misal : Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy). Dan mereka sangatlah berbeda dengan Sayyid Quthb dalam hal prinsip ilmu (baik dalam ’aqidah dan manhaj secara umum). Perbedaan di antara para ulama tersebut berkisar apakah kesalahan Sayyid Quthb itu cukup mengeluarkannya dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Selain itu, perbedaan itu juga disebabkan perbedaan kedalaman telaahan realitas terhadap karya-karya Sayyid Quthb. Tidak diragukan lagi bahwa dalam hal ini Asy-Syaikh Rabi’ lebih mendekati kebenaran dibandingkan yang lainnya. Namun bukan berarti dengan hal ini kita boleh seenaknya mencela Asy-Syaikh Bakr dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin dengan perkataan-perkataan yang tidak layak seperti : Quthbiyyun, bukan ulama, pendukung hizbiyyin, dan yang sejenisnya. Mereka semua kita cintai dan kita dudukkan sebagaimana kedudukan yang semestinya sebagai seorang ahli ilmu.
فقال مالك: انظروا إلى دجال من الدجاجلة يقول: اعرضوا علي علم مالك.
هذا الذي عندي في حاله، والله أعلم.
Comments
Jazakumullah atas artikelnya ustadz..
Semoga artikel ini bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua..
semoga juga pihak-pihak yang dengki dengan manhaj salaf ini, yang menggunakan isu ini sebagai isu "perpecahan salafy" (sampai-sampai repot-repot mengkategorikan salafy a, b, c...) bisa membuka mata mereka lebar-lebar sehingga tahu duduk persoalan dan insya Allah lebih paham apa makna salafy itu sendiri..
dan juga semoga, kita mendoakan agar semua kaum muslimin kembali kepada pemahaman salafush sholeh, baik dari segi aqidah, manhaj dan akhlak..
Assalamu'alaikum..
Menarik membaca tulisan antum:
"Mereka juga menyembunyikan fakta kritikan Asy-Syaikh Al-Ghudayan kepada Asy-Syaikh Rabi’ (dan juga Asy-Syaikh ’Ali) tentang permasalahan irja’ (walaupun kritikan ini juga perlu dicermati lebih lanjut)."
Afwan dimanakah ana bisa membaca kritikan beliau kepada Syaikh Rabi'?
Jazakallah khair sebelumnya.
BANTAHAN ILMIAH UNTUK AL AKH JAUZAA DALAM KEKELIRUAN JARH WAT TAD’IL SEBAGAI IJTIHADIYYAH
http://www.facebook.com/notes/abu-khalid-lsjn/bantahan-ilmiah-untuk-al-akh-jauzaa-dalam-kekeliruan-jarh-wat-tadil-sebagai-ijti/260132684506
ABu Khalid
(SALAFYINDEPENDENT.WORDPRESS.COM)
Abu Khalid, terima kasih atas 'bantahannya' yang sangat 'berharga' pada saya. Saya berharap ada hal yang dapat saya petik dari nasihat Anda tersebut....
Sebenarnya ini sudah jelas perkara khilafiyah ijtihadiyah, tapi selama ada org hizbiyin yg menyusup ke barisan ahlussunnah dan memporakporandakan dakwah salafiyah di indonesia dengan memelihara dan memunculkan bahkan membesarkan masalah ini sehingga kaum muqolid dan hizbiy mempunyai celah untuk menghujat masyaikh ahlussunnah..
Subhanalloh...
Bukankah ikhtilaf adalah sunnatulloh.
Kita mesti senantiasa berusaha mensikapinya secara arif dan bijaksana.
Kita kembalikan urusan-urusan menurut tempatnya. Terutama permasalahan yang adalah kewenangan ulama, kita meminta nasehat kepadanya. Dan janganlah mendahului mereka, karena ulamalah yang lebih berkewajiban untuk meneliti permasalahan itu haq atau bathil.
bismillaahirrahmaanirrahiim
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
syubhat 1: sikap ghulluw dan ashabiyyah yang menjangkiti sebagian ikhwah ’salafiyyun’.
jawab: ini adalah su'dhon terhadap sebagian ikhwah salafiyyun. tanpa bukti!
syubhat 2: Sebaliknya, kata ’betul’ pun menjadi ’tidak betul’ jika diterapkan secara serampangan, sembrono, dan semau gue.
jawab: setahu saya dari fatwa masyaikh semisal syaikh rabi', ubdaid al-jabiri, muhammad ruslan, dan selain mereka hafidhohullah jamii'an, baik maqoolat, kitaabat,
maupun sowtiyyat..lengkap dengan bukti dan dalil. kalo anda tidak alergi terhadap sahab.net, rabee.net, dan .net,.ws masyaikh salafiyyin, yang sebagian orang bilang
saudiyyin, qothriyyin, dan yin yin lainnya...silahkan buka dengan gaya tulis anda yang objektif, mudah mudahan gaya baca anda juga, amin. jadi tidak ada itu
sembrono, semau gue, atau apalah namanya.
syubhat 3: Sikap kita seharusnya adalah mengambil mana yang rajih (dan meninggalkan yang marjuh) di antara dua pendapat serta menghormati orang yang berselisih
pendapat dengan kita. Jadi, sah-sah saja kita tidak mengikuti pendapat salah seorang ulama dan mengikuti ulama yang lain yang kita pandang lebih dekat dengan
kebenaran menurut sisi pandang kita. Perkara ini masyhur sebenarnya di kitab-kitab para ulama
jawab: kata sah-sah saja itu, bukan mencari kebenaran. ijtihad itu ada yang benar ada yang salah. bukan kayak beli kacang goreng ustadz. kalau sah-sah saja. abul
hasan, dan ali hasan, kedua syaikh hafidhohullah wa waffaqohullah lil haq, keduanya keliru dalam masalah yang keluar dari aqidah dan manhaj salaf. bisa dicek di
maqoolat terbaru, sowtiyyat, dan kitaabat, dari masyaikh yang teman-teman antum bilang saudiyyin.
syubhat 4: Mari kita lihat tentang kasus Al-Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, seorang imam di bidang sirah. Apa kata Al-Imam Malik kepadanya ?
jawab: adakah bid'ah yang dibuat imam ibn ishaq, adakah hadits palsu yang menguatkan bid'ahnya, adalah hadits lemah yang diriwayatkan dan dia bersikeras akan
keshohihannya. Adakah bid'ah yang didakwahkannya???? bila tidak ada, bagaimana bisa diterima jarh yang demikian.!?
syubhat 5: didahului oleh Hisyam bin ’Urwah yang menuduhnya pula sebagai pendusta
jawab: saya tidak melihat jarh yang disertai bayan dari penjelasan anda mengenai jarh Hisyam Ibn
Hujjah Alaikum: Saya nukilkan perkataan ringkas dari Adz-Dzahabi tentang perselisihan antara Malik bin Anas dan Ibnu Ishaq..dst
Hujjah Alaikum: Nukilan ini berasal dari seorang yang majhul (tidak diketahui identitasnya) yang tidak disebutkan namanya
Hujjah Alaikum: tidak diterima oleh Syaikhul-Islam karena apa yang tampak oleh beliau dari perkataan-perkataan Al-Qadli Abu Ya’la dalam kitab-kitabnya sama
sekali tidak menunjukkan tuduhan itu.
jadwab: sedangkan maqoolaat syaikh ali hasan di web kulalsalafiyeen.com ada yang menunjukkan kebathilannya, penyelisihannya dari manhaj salaf. ats-tsiqot yang
dimaksud dijaman ini adalah syaikh rabi hafidhohullah..wal hamdulillah. dan bila anda teliti dan jujur membaca karya syaikh rabi', jelaslah kebenaran dan anda mudah
melakukan tarjih atas kebathilan kedua syaikh tersebut hafidhohumallahu wa waffaqohuma lil haq.
syubhat 6: Jika demikian, bukankah hal itu di jaman sekarang masih berlaku ? Apalagi jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman
dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap.
jawab: sungguh kasar dan jahat hinaanmu terhadap kami yang mengaji dengan ustadz muhammad umar sewed and the gang,...tahukah kamu bahwa kami mengajari
anak kami menghapal qur'an dan hadits, dan kami dengan susah payah (karena sudah tua) menghapal hadits dan ayat qur'an dan belajar nahwu shorf dan membaca
kitab fiqh, dan kitab aqidah salaf....seberapa tinggi ilmu mu wahai ustadzul kirom abul jauzaa' hadidhohullah.
syubhat 7: Contoh lain lagi,..... Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia
dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin
lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun
datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan...... Dan yang
lainnya.
jawab: jika benar demikian, maka ijma' umat tidak akan berdiri diatas kesesatan wahai ustadz. bila demikian faktanya, maka syaikh muhammad rasyid ridho
rahimahullah tidaklah keluar dari golongan ahlus sunnah.
syubhat 8: Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-
Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika
mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahas al-jarh wat-ta’dil – terutama dalam
kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama.
jawab: fiqh murni beredar pada dalil wahai ustadz. sedangkan apa yang dibuat oleh kedua fadhilatusy syaikh tersebut tidak beredar pada dalil, baik kaidah,
patokan/dhawabith, manhaj dan pembelaan...terlebih lagi bila anda, membaca maqoolat mereka akhir ini di muntada kulal salafiyeen, dan perkataan murid2nya
mencela syaikh rabi' dan masyaikh lainnya.
mudah-mudahan bisa menjadi pencerahan bagi Anda wahai ustadz..
perlu diketahui, bahwa saya tidak bertentangan dengan anda, melainkan saya juga mengaji dengan ustadz yang mereka tahdzir (abdulhakim ibn amir abdat). Tapi al-
haq adalah al-haq, walau orang tidak suka.
Hujjah 'alaiyya ? Berikut secara ringkasnya :
1. Saya bukan berbicara dhann (sehingga disebut su'udhdhan), tapi fakta atau realitas.
2. Tidak nyambung. Silakan Anda baca kembali apa yang saya tuliskan :
"Betul bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu adalah salah satu kaidah yang sangat penting dalam agama. Betul pula bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu tidak hanya khusus di bidang ilmu hadits. Dua kata ‘betul’ tadi menjadi benar-benar ‘betul’ jika memang dijalankan sesuai dengan kaidah dan aturannya. Sebaliknya, kata ’betul’ pun menjadi ’tidak betul’ jika diterapkan secara serampangan, sembrono, dan semau gue. Al-Jarh wat-Ta’dil itu bukan merupakan monopoli satu atau dua orang ulama saja. Bahkan bagi ulama yang telah dikenal pengetahuannya tentang ilmu itu. Harap kiranya kalimat ini tidak disangkakan bahwa saya bermaksud menyindir atau mencela ulama tertentu" [selesai].
3. Kata 'sah-sah saja' yang saya tulis maksudnya merujuk pada kaedah umum. Pahami, lalu buka sebelah mata Anda - terserah yang kiri atau yang kanan. Sudah saya katakan bahwa kita seharusnya mengikuti pendapat yang raajih di antara perselisihan pendapat ulama yang ada. Setelah kita memegang pendapat yang kita anggap raajih, maka kita menghormati pendapat satu dengan yang lainnya. Apa ini tidak jelas ?. Mau contoh ?. Ketika Anda dihadapkan permasalahan isyarat telunjuk saat tasyahud, maka seandainya Anda memilih pendapat tidak menggerak-gerakkanya versi Syaikh Muqbil - dan itu Anda anggap raajih - maka sikap Anda setelah itu adalah menghormati pendapat yang berseberangan dengan ijtihad beliau (yaitu versi Syaikh Al-Albaaniy). Apa gak jelas maksudnya ?. Anda tahu perselisihan pendapat antara Syaikh Al-Albaaniy dengan masyaikh Saudi yang membolehkan masuknya Amerika di Saudi saat invasi Iraq atas Kuwait ?. Bahkan Syaikh Al-Albaaniy mengkritik keras keputusan kibar ulama Saudi. Tapi bagaimana sikap mereka satu dengan yang lain atas perselisihan ini ?. Saling bermusuhankah ?. Mau contoh versi jarh wa ta'dil ?. Anda tahu perselisihan ulama tentang Ibnu Zibqiiq ?. Beberapa ulama mengkritiknya. Bahkan Abu Daawud mengatakan : tidak ada apa-apanya - karena mengikuti pendustaan Muhammad bin 'Auf kepadanya. Namun, Yahya bin Ma'iin berkata : 'Tidak mengapa dengannya, akan tetap mereka (yang mengkritik Ibnu Zibriiq) hasad kepadanya. Namun bagaimana komentar Abu Daawud terhadap Ibnu Ma'iin ?. Menggoblokkannya kah ?. Bahkan Abu Daawud berkomentar tentang Ibnu Ma'iin : 'Aalim bir-rijaal'. Contoh yang semacam ini banyak.
Oleh karenanya, jika perselisihan dalam satu permasalahan merupakan perselihan yang timbul di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang telah dikenal keilmuannya, maka perselisihan yang timbul di kalangan mereka - terutama dalam naqdur-rijaal - tidak perlu menimbulkan perpecahan, pertengkaran, dan pertikaian di kalangan Ahlus-Sunnah. Apalagi di kalangan thullab-nya.
Menilik dari komentar Anda, maka tergambar satu realitas tentang kejumudan dan ajakan taqlid dan ta’shub pada satu pendapat. Tidak memberikan ruang bagi ikhwan yang lain untuk berbeda pendapat. Saya tidak tahu salaf Anda dalam hal ini. Mungkin salaf Anda adalah penjual gorengan sehingga menganggap khilaf ijtihadiy di kalangan ulama sebagai khilaf penjual kacang goreng. Naas nya Anda.
Tentang masalah ‘Aliy Hasan atau Abul-Hasan, saya kira saya bukanlah orang yang terlalu ketinggalan berita dibandingkan Anda. Tapi berhubung manhaj penyikapan Anda sudah konslet di main cable-nya, perbaikan susah dilakukan kecuali dengan bongkar instalasi.
4. Nah, alhamdulillah Anda sudah agak berpikir maju ke depan, walau tidak banyak. Jarh – walaupun dibawakan oleh ulama sekelas Imam Maalik – tidaklah wajib dengan serta merta diterima. Mesti diteliti. Jika ada indikasi/qarinah tidak benar, ya kita wajib menolaknya. Anda tahu siapa Imam Maalik kan ?. Ia kedudukannya lebih tinggi dari Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albaaniy. Apalagi murid-murid keduanya semisal Syaikh Rabii’, Syaikh ‘Abdul-Muhsin, Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, Syaikh ‘Ubaid, Syaikh Muhammad bin Hadi, dan yang lainnya.
Dan sebagai informasi saja, jarh pendusta itu tidak mesti harus terwujud adanya perkara bid’ah. Saya sarankan Anda agar belajar lebih dalam lagi dalam masalah ilmu jarh wa ta’dil ini ya.....
5. Idem dengan yang di atas.
6. Nukilan perselisihan Maalik dan Ibnu Ishaaq berasal dari seorang yang majhul ?. Anda ngomong seperti itu berdasarkan wangsit ataukah ilmu ?. Jika berasal dari wangsit, maka bergabunglah dengan orang-orang shufiy. Tapi jika Anda mengklaim perkataan Anda berasal dari ilmu, maka lengkapilah keterangan Anda.
Bermimpilah orang yang ingin bermimpi. Dan bagi yang belum bisa bermimpi, berangkatlah ke ranjang untuk belajar tidur. Riwayat tersebut selain dibawakan oleh Adz-Dzahabiy, juga dibawakan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta'diil dengan sanad :
حدثنا عبد الرحمن، نا مسلم بن الحجاج النيسابوري، حدثني إسحاق بن راهويه، نا يحيى بن آدم، نا ابن إدريس، قال: كنت عند مالك بن أنس، فقال له رجل: يا أبا عبد الله، إني كنت بالري عند أبي عبيد الله يعني: الوزير، وثم محمد بن إسحاق، فقال ابن إسحاق: اعرضوا علي علم مالك فإني أنا بيطاره، فقال مالك: دجال من الدجاجلة
Semua perawinya adalah para imam. Oleh karenanya, atsar itu sangat shahih - menurut saya. Saya bisa sebut biografi satu per satu perawinya. Namun jika ada perawi yang Anda anggap majhul, silakan disebut. Ahlan wa sahlan.... ilmu tidak mengenal kejumudan.
7. Tentang masalah Al-Qaadliy Abu Ya’laa, maka permasalahan yang ingin saya angkat sama seperti di atas. Jarh dari ulama sekelas Ibnul-‘Arabiy yang ia sandarkan dari gurunya yang ia anggap tsiqat tidak mesti harus ditelan mentah-mentah, tanpa boleh menoleh kanan kiri melakukan cek dan ricek. Oleh karenanya, Syaikhul-Islaam menolak jarh ini karena bukti yang ada bertolak-belakang dengan tuduhan. Di atas telah saya sebutkan. Silakan cek kembali.
8. Saya tidak meragukan kapasitas Syaikh Rabii’ yang Anda anggap sebagai ats-tsiqah. Namun apakah ia satu-satunya ats-tsiqah ?. Apakah tidak boleh ulama lain berselisih dengan beliau ?. Apakah jika ada perselisihan, pendapat Syaikh Rabii’ pasti benar ?.
Coba lihat contoh berikut, semoga dapat lebih mencerahkan Anda. Pernah ditanyakan kepada Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin tentang permasalahan ‘Adnaan ‘Ar’uur dimana beliau (Ibnu ‘Utsaimiin) belum begitu mengenalnya. Setelah itu penanya mengatakan bahwa Syaikh Al-Fauzaan, Syaikh Al-Ghudayaan, dan Syaikh ‘Abdul-Muhsin memperbincangkannya. Lalu dikatakan begini (saya kutip seperlunya saja) :
Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin berkata : [هؤلاء العُلماء الثلاثة عندنا ثقات] “Tiga ulama tersebut di sisi kami adalah tsiqaat (maksudnya Syaikh Al-Fauzaan, Syaikh Al-Ghudayaan, dan Syaikh ‘Abdul-Muhsin).
Penanya : [وحتى الشيخ ربيع تكلم فيه] “Hingga Syaikh Rabii’ pun memperbincangkannya juga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin berkata : [أقول هؤلاء الثلاثة عندنا ثقات] “Aku katakan, tiga ulama tersebut di sisi kami adalah tsiqaat”.
[selesai kutipan, rekamannya bisa Anda dengarkan di http://www.youtube.com/watch?v=fmcjnERYc3o].
Perhatikan dengan baik..... ketika disebut Syaikh Rabii’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin tidak menambah perkataan menjadi empat ulama, tapi tetap berkata : Aku katakan, tiga ulama tersebut di sisi kami adalah tsiqaat.
Atau silakan Anda baca di bagian akhir artikel Al-Jarh wa Ta’diil, yaitu perkataan Syaikh Al-Ghudayaan rahimahullah.
Atau Anda pingin contoh yang lain lagi ?. Silakan silakan simak bagaimana pandangan Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Alusy-Syaikh tentang jarh wa ta’dil-nya Syaikh Rabii’ di http://www.youtube.com/watch?v=orHpG8YcXmM.
Saya rasa, Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, Syaikh Al-Ghudayaan, dan Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Alusy-Syaikh bukanlah ulama yang kapasitasnya di bawah Syaikh Rabii’.
Mohon maaf jika saya terpaksa memberitahukan kepada Anda, karena Anda memaksa saya untuk melakukannya.
Bagi saya, Syaikh Ibnu 'Utsaimiin, Syaikh Rabii', Syaikh 'Abdul-Muhsin, dan yang lainnya termasuk ulama Ahlus-Sunnah yang saya cintai.
9. Mengapa Anda merasa tulisan di atas tertuju pada Ustadz Muhammad As-Sewed ?. Adakah satu kalimat dalam artikel di atas menyinggung ustadz-ustadz Anda ?. Adakah Anda pengagum Ustadz Muhammad dan membenci semua orang yang menyelisihi beliau ?. Perlu saya sampaikan kepada Anda bahwa menyebut nama personal ustadz Fulan dan Fulan di kalangan Salafiyyiin dalam perselisihan semacam ini bukanlah style saya, meskipun yang semacam itu sangat membudaya di kalangan Ustadz Anda dan murid-muridnya (termasuk Anda, barangkali).
10. Tentang perselisihan pendapat di kalangan ulama terhadap Syaikh Rasyid Ridlaa, maka idem dengan penjelasan saya di atas.
11. Anda selalu katakan bahwa ulama dan ustadz yang Anda bela itu selalu berada di atas ilmu, dan yang lain di atas kesesatan (tidak di atas ilmu). Ya, saya maklum ucapan ini Anda lontarkan karena Anda ibarat seorang musafir yang kekurangan bekal. Anda selalu terkondisikan melihat dengan kaca mata kuda. Seandainya Syaikh Rabii’ mencela Syaikh ‘Aliy, Syaikh ‘Aliy menjadi haram hukumnya memberikan pembelaan dan kritikan balik ?. Anda membolehkan ulama Fulan mencela si ‘Alaan, namun mengharamkan hal serupa bagi sebaliknya, meskipun hanya sebuah pembelaan dan jawaban ?. Apakah dengan ini Anda membolehkan Syaikh Rabii’ mengkritik siapa saja, namun diharamkan bagi siap saja untuk mengkritiknya ?. Bahkan ulama yang thabaqahnya di atas Syaikh Rabii’, semisal Syaikh Al-Albaaniy boleh untuk dikritik. Dan ketahuilah wahai akhi,.... orang yang mengkritik/menjarh Syaikh ‘Aliy sekarang ini mulai diliputi hawa nafsu. Hingga tuduhan penganut dan atau memuji wahdatul-adyaan pun tersemat. Hanya orang sinting yang menganut dan membenarkan paham ini.......
"konslet di main cable" ???
ungkapan yang tepat meskipun bikin sedih. Sedih karena realitanya. Saya pernah ketemu orang seperti ini di awal-awal ngaji. Menyedihkan...
-arief
Terima kasih ustadz, atas penjelasannya, maaf baru balas, bukan tidak menghormati, tapi ada pekerjaan yang harus ditunaikan...
Anda membahas jawaban anda dengan baik (walau ada bagian main cable yang buat saya agak kaget dan bagian sufi yang buat saya agak sedih, karena agak keras, atau mungkin hati saya yang agak lembut)..
tanggapan saya:
1. Alhamdulillah bila anda menemukan fakta dan realitasnya, berarti anda telah tatsabbut
2. Maaf saya cuma menanggapi apa yang zhohir dan menjadi syubhat bagi saya, mungkin karena keterbatasan ilmu saya.
3. kata buka sebelah mata anda itu saya nilai bukan kalimat yang penuh hikmah.
4. ane belum tahu tentang ibn zibqiiq. terima kasih atas infonya.
5. Ana tidak membicarakan perpecahan dan permusuhan, melainkan kita diperintah Allah didalam qur'an untuk bersatu,
6. Saya tidak mengajak pada ta'ashub akhi. itu kesimpulan anda sendiri.
7. masalah salaf penjual gorengan, itu kesimpulan anda sendiri, coba baca lagi. bahwa ijtihad ada yang benar, dan ada yang salah. yang salah ditinggalkan, yang benar diikuti dan diamalkan -sebagaimana penjelasannya di muqoddimah ashul shifati sholatin nabi lil albany rahimahullah-. adapun mujtahid, sebagaimana dikatakan syaikh ibn utsaimin di syarh ushul sittah, bila benar, maka dua pahala yang dimaksud -wallahu a'lam- adalah pahala mengikuti dalil dan sesuai dengan kebenaran, bila salah, maka 1 pahala yang dimaksud adalah pahala bersungguh dalam mengekstrak hukum dari dalil. 'Naasnya saya' itu sumpah biar saya naas atau apa ya?
8. Main cable thing ini buat saya sedih, anda bila berprofesi sebagai tukang listrik, jangan dibawa ke uslub menasihati..kurang hikmah
9. jarh itu kan tidak diterima mentah-mentah bila tanpa tafsir/tasfhil, atau dilakukan karena hawa nafsu. bila jarh dibangun diatas penjelasan atas kekeliruan penyelisihan manhaj salaf/ahlus sunnah yang diambil dari penyelisih itu sendiri, la siyaama dia seorang syaikhun kabiir, semacam syaikh abul hasan dan ali hasan hafidhohumallah ta'ala wa waffaqohumallahu lil haq, dan memang demikian adanya, maka harus dinashihati dan diperingatkan ummat, begitukan ustadz? Bukankah, Nabi Shallallahu alaihi wa alihi wa sallam menasihati tiga shahabat yang tidak ikut perang tabuk karena ingin kemaslahatan bagi mereka? Demikian pula jarh syaikh rabi', karena Abul Hasan dan Ali Hasan adalah syaikhun kabir, tholibul ilmu qowy, alim bit tarikh wa ilmil hadits wa diroyatil hadits, ada kemaslahatan dan kekuatan bagi kaum mu'min bila mereka kembali kepada AL-Haq.
bersambung....
8. Saya tidak mengatakan jarh pendusta itu harus terwujud adanya perkara bid'ah. itu kesimpulan anda
9. trus jawaban mengenai ana jumud, ana sufi, dan ana dst..sepertinya salah tembak ustadz. mungkin terkait perkataan saya hujjah alaikum, ..kemudian perkataan komen yang terputus dari hisyam ibn, langsung ke hujjah alaikum : perkataan adz-dzahaby...maksud saya adalah,bahwa perkataan khabaruts tsiqot tidak boleh diperoleh dari orang yang tidak disebutkan, kan diatas bahwa awal mula bahwa kata 'dari guru kami yang terpercaya' yang dianggap oleh ibnu taymiah dalam ta'liqnya sebagai majhul..sedangkan khabaruts tsiqot yang saya maksud adalah syaikh rabi', yang jelas tarojim dan tarikhnya.
10. Adapun anda membawakan perkataan syaikh ibn utsaimin, maka itu menjadi faidah bagi saya
11. Video syaikh abdul aziz alu syaikh, saya sudah lihat, dan "ahyanan takun hawa..dst", tanpa menembakkan secara langsung ke syaikh rabi', saya tidak melihat korelasi pernyataan syaikh hafidhohullah terkait usaha nashihat dan menyelamatkan ummat dari kebid'ahan dan kemunkaran sebagaimana dilakukan syaikh rabi' hafidhohullah.
12. Maaf, kalimat mengenai kami..dst, adalah suatu ibarat, bagaimana murid-murid ustadz muhammad umar sewed termasuk dari ustadz-ustadz yang engkau anggap muridnya muqollid, jaamid, jaahil, aku hanya memberikan ibarat. Aku sendiri mengaji pada ustadz hakim hafidhohullah, ...itu ibarat karena engkau mengatakan bahwa tukpencarialhaq adalah muqollidun, sedangkan sebagian mereka -kalau tidak mau dikatakan semua- adalah murid ustadz muhammad umar sewed.
13. saya tidak berkata yang lain diatas kesesatan. itu kesimpulan anda
14. Terima kasih atas kesimpulan akhir, mungkin sebagian terjangkit hawa nafsu, terutama kalangan thullab, kita tidak memungkiri itu. tapi, untuk ulama' sekelas syaikh rabi' yang sudah lama menashihati empat mata kepada syaikh ali hasan, dan sudah buat pernyataan (seandainya ana simpan link sahab terkait kesepakatan syaikh ali dan syaikh rabi' dan syaikh musa alun nasr), bolehlah anda kiranya googling di internet (site:sahab.net intext:علي حسن الحلبي). untuk mencarinya? maaf.
akhir kata, terima kasih kata celaan dan perendahan kepada saya ustadz. dan saya tidak baru mengaji, alhamdulillah sudah 13 tahun sekarang, mungkin saya tidak ada apa-apanya bagi anda. Assalaamualaikum Wa rahmatullahi wa barakaatuh
1. No comment.
2. No comment.
3. Saya menuliskan buka sebelah mata anda karena saya yakin mata Anda tidaklah terpejam kedua-duanya. Ini adalah bahasa kiasan agar pikiran Anda lebih luas lagi melakukan telaahan.
4. Yang semacam ini banyak. Silakan Anda buka-buka kitab semisal Tahdziibul-Kamaal atau Siyaru A'laamin-Nubalaa'.
5. No comment.
6. Walau Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengajak kepada ta'ashub, namun komentar Anda sebelumnya cukup menggambarkan itu.
7. Silakan Anda renungi perkataan Anda sendiri. Jangan jadikan diri kita tertimpa amnesia dengan apa yang telah kita katakan sebelumnya. Bukankah Anda menanggapi perkataan saya :
"Sikap kita seharusnya adalah mengambil mana yang rajih (dan meninggalkan yang marjuh) di antara dua pendapat serta menghormati orang yang berselisih pendapat dengan kita. Jadi, sah-sah saja kita tidak mengikuti pendapat salah seorang ulama dan mengikuti ulama yang lain yang kita pandang lebih dekat dengan kebenaran menurut sisi pandang kita. Perkara ini masyhur sebenarnya di kitab-kitab para ulama" [selesai].
Maksud kalimat di atas mnurut saya jelas. Mengambil yang raajih dan meninggalkan yang marjuh, dan kemudian kita saling menghormati keberadaan masing-masing pendapat tadi.
Lalu Anda tanggapi di antaranya dengan kalimat : kata sah-sah saja itu, bukan mencari kebenaran. ijtihad itu ada yang benar ada yang salah. bukan kayak beli kacang goreng ustadz. kalau sah-sah saja.
8. Memang seperti itulah keadaannya.
9. Persyaratan diterimanya jarh itu (jika bertentangan dengan ta'dil), jika ia muafassar (diterangkan sebabnya) dan benar. Secara ringkas seperti itu - walau ada persyaratan lain yang diterangkan ulama dalam ilmu jarh wa ta'dil. Nah,... banyak jarh-jarh itu yang ndak benar. Jika Anda hanya hanya mau menerima asupan info dari pen-jarh saja dan menutup telinga dari jawaban dan pembelaan orang yang dijarh, maka selama itu pula Anda akan membenarkan segala jarh - entah salah entah betul.
======
8. Anda sekarang mengatakan bahwa jarh pendusta itu tidak harus terwujud adanya perkara bid'ah. Tapi tempo hari Anda mengatakan :
"adakah bid'ah yang dibuat imam ibn ishaq, adakah hadits palsu yang menguatkan bid'ahnya, adalah hadits lemah yang diriwayatkan dan dia bersikeras akan keshohihannya. Adakah bid'ah yang didakwahkannya???? bila tidak ada, bagaimana bisa diterima jarh yang demikian.!? [selesai].
Perkataan Anda di atas itu tidak nyambung, dan memperlihatkan konstruksi ilmu Anda sangat rapuh dalam hakekat pemahaman jarh.
9. Mengenai kejumudan, memang agak susah untuk mengatakan tidak pada Anda. Adapun tentang sufi,... coba perbaiki pemahaman Anda terhadap kalimat yang saya ucapkan. Dan sepertinya Anda tidak perlu berdalih. Anda mengomentari perkataan Adz-Dzahabiy tentang perselisihan Ibnu Ishaaq dan Maalik bin Anas yang Anda katakan berasal dari seorang yang majhul. Anda mengatakan ini dasarnya dari apa ?. Pun dengan kasus Hisyaam.... Ngomong-ngomong, Anda pernah membaca perselisihan masyhur tentang Ibnu ishaaq ini gak si ?. Ini semua dari orang-orang tsiqaat.
Adapun tentang Al-Qaadliy Abu Ya'laa,... maka yang menjadi point di sini perkataan Ibnu 'Arabiy itu didasarkan kepada seorang yang tsiqaat menurutnya yang kemudian tidak diterima Syaikhul-Islaam. Pun dalam masalah kekinian dimana Syaikh 'Aliy Hasan dianggap pendusta oleh Syaikh Rabii' dan Syaikh 'Ubaid, namun dianggap terpercaya oleh masyaikh lain seperti Syaikh 'Abdul-Muhsin, Syaikh Sa'd Al-ushain, dan yang lainnya. Maka, sesuai tema, perkara al-jarh wat-ta'dil itu perkara ijtihadiyyah, termasuk di dalamnya masalah khabaruts-tsiqaat.
10. Alhamdulillah.
11. Seharusnya Anda mengaitkan dengan pertanyaannya dong..... Jawaban itu lahir dari pertanyaan.
12. Itulah yang aneh dari Anda. Saya tidak menyebut Fulan dan Fulan, tapi kok Anda ngerasa 'diserang' dan menyangkut-pautkan dengan Muhammad As-Sewed. Adapun tentang tukpencarialhaq, ya memang keadaannya seperti itu. Bahkan sebagian ustadz Anda, yaitu ustadz Abul-Mu'thi pun sudah memperingatkan keadaan admin blog tukpencarialhaq. Jadi ini bukan ilusi....
13. No comment.
14. Bukan hanya thullab, tapi - maaf - sebagian masyaikh nya. Kalau Anda memakai kaca mata kuda hanya mau mendengar celaan yang keluar dari situs sahab,..... ya memang, yang ada akhir-akhir ini hanyalah ungkapan : Aliy Hasan pendusta, mubtadi', dlaal, dan yang semisal. Saya mengikuti apa yang ada di sahab dan albaidhaa sebagaimana saya juga mengikuti kulalsalafiyeen.
Waktu 13 tahun adalah waktu yang cukup lama yang seharusnya membuat kita lebih dewasa dalam bersikap dan memandang permasalahan......
Bismillah...
Akh abul jauzaa, artikelnya sgt menarik akh. Alhamdulillah ana mendapat byk faedah darinya.
Ana ada pertanyaan & ana berharap antum berkenan u/ menjawabnya.
Dari artikel antum dpt ana pahami bhw masalah jarh itu ad/ masalah ijtihad yg tdk sepantasnya menjadi alasan bg kita u/ saling berselisih apalagi sampai berpecah-belah. Apa lagi jika para ulama masih berselisih dlm menilai objek yg di jarh, sebagian ulama mentahdzir & sebagian lagi masih memberi tazkiyah.
Lalu bgm menurut antum seharusnya sikap kita, jika ada ustadz/dai yg membela & memuji kelompok seperti IM & JT bahkan ustadz/dai tsb kadang duduk bersama dg tokoh IM/JT dlm satu majelis(dauroh). Dg dalih bhw sebagian masyaikh jg tdk men-tabdi' kelompok tsb..? apakah boleh kita mengambil ilmu dari ustadz/dai tsb ?
Perkataan antum terlalu global, dan jawabannya pun akan terlalu global.
Pujian terhadap satu kelompok/individu tidak serta merta menyebabkan orang yang memuji itu sama dengan kelompok/individu tadi. Misal : Dr. Yuusuf Al-Qaradlawiy pernah memuji Syaikh Ibnu Baaz, namun pujian itu tidaklah menyebabkan ia selaras dengan Syaikh Ibnu Baaz, atau ia berhak dipuji sebagaimana Syaikh Ibnu Baaz. Syaikh 'Abdul-'Aziiz alusy-Syaikh pernah memuji Sayyid Quthb, namun bukan berarti Syaikh 'Abdul-'Aziiz berhak disandingkan dengan Sayyid Quthb dalam hal tahdzir atau bahkan tabdi'. Yang menjadi patokannya adalah : Apakah keduanya itu satu manhaj ataukah tidak ?. Itu bisa kita lihat dengan membandingkan manhaj keduanya. Misal : Sayyid Quthb berpemahaman takfiriy sedangkan Syaikh 'Abdul-'Aziiz tidak. begitu seterusnya. Pujian tadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
wallaahu a'lam.
Jadi mana yg benar benar nyalaf nih ustadz ? ana bingung. Ada salafi surury, ada salafi yamani, ada salafy hajury. Dan salafy ustad luqman bilang salafi ustad hakim itu hizbiyyun. dan salafi ustad luqman dibilang salafi hadadi. Kok jadi seperti ahli bid'ah ya..sementara ustadz2 kita mengajarkan untuk tidak iftiraq tp salafi sendiri ada byk dan slg iftiraq..mohon pencerahannya..wassalam
Kalau bingung, ya nggak usah memikirkan yang bikin bingung. Meninggalkan sesuatu yang membikin bingung sudah merupakan pencerahan itu sendiri. Simpel.
Alhamdulillaahm hati saya lebih tenang setelah mmbaca artikel Ustadz..
Bismillah. Klu bgitu kita ikut ngaji ke ustadz yg mana Ustadz?
Ana bru awal ngaji sunnah,dn bingung dgn perselisihan ini. Mohon masukan dr antum. Barakallahu fiikum.
Mengaji kepada Ustadz Sunnah. Yang mengajarkan sunnah. Yang mengajarkan ajaran Islam sesuai dengan manhaj as-salafush-shaalih.
wa fiikum baarakallaah
Apakah ada tulisan antum yg berkaitan ttg itu ustadz?ttg ciri2nya klu di indonesia ini bgmana...
kdng ktk kta btmu dgn tmn2 yg sma2 bru ngaji,muncul prtnyaan dr mrka,,sbnrnya yg paling benar yg mana ya?
Atau kta ikuti smuanya?slma yg mreka ajarkan bnar sesuai sunnah. Tp ini ada konsekuensinya,dr slh stu pihak kmgkinan kt di Hajr (boikot).
Ana mhon arahannya ustadz. Syukron.
Masalahnya ngaji sama ustadz sunnah yg mengajarkan sunnah di Indonesia rata2 juga mempertahankan pendapatnya msing2 sementara saling bersebrangan pendapat tersebut.
Alhamdulillah,artikel ini adalah sebagai bahan
renungan serta pembelajaran bagi kita semua,bagaimana seharusnya menyingkapi
perselisihan diantara para ulama,saya kira
ustadz abul jauza sudah sangat bijak dalam
memberikan ulasannya.
Posting Komentar